Rabu, 02 November 2016

SEMIOTIKA POLITIK “AHOK” MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT “Ahok yakin dengan Nabi Isa Almasih AS, tinggal ditanya siapakah TuhanNya Ahok???

SEMIOTIKA POLITIK “AHOK”  MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT
“Ahok yakin dengan Nabi Isa Almasih AS, tinggal ditanya siapakah TuhanNya Ahok???

Oleh: Turiman Fachturahman Nur
HP 081310651414

           Tiba tiba menjelang PILKADA di Ibu kota NKRI bermunculan tafsir Al-Quran terhadap semiotika PILKADA, padahal sesungguhnya hakekat pilkada adalah memilih kepala daerah sebagai implementasi pelaksanaan konstitusi untuk mengurus kepentingan daerah yang berhubungan dengan kepentingan umat ataupun masyarakat didaerah tersebut.
           Persoalannya muncul ketika peristiwa “Ahok” bertepatan dengan agenda Pilkada, menurut penulis bukanlah sebuah kebetulan tidak ada yang serba kebetulan di hadapan Allah SWT, namun dibalik ini ada sebuah keniscayaan yang sebenarnya mengkristal dari masalah yang “terpendam” di qalbunya “Ahok”, satu kesalahan yang mendasar dari “Ahok” adalah jika beliau sebagai penganut nasrani tidak menggunakan “Ilmunya pendeta” yang menyebarkan kasih sayang dalam beberapa prilakunya, sehingga “Ahok” dianggap penganut nasrani yang kurang berakhlak, namun yang menarik adalah “Ahok bersumpah berkali-kali penganut nabi Isa AS dalam rapat jajaran birokrasi Pemda DKI yang setia, namun sayangnya belum sempurna, karena Nabi Isa telah bernubuat akan adanya Nabi akhir zaman pembawa rahmat lil alamin, yakni Nabi Muhammad SAW, satu langkah lagi “Ahok” sedang digiring oleh Allah SWT atau Allah SWT sedang menyindir umat Islam lewat “prilaku manusia yang namanya Ahok” atau “Ahok sedang menjemput hidayah dari Allah SWT, sebagai muslim yang jernih pasti ada hakekat dibalik peristiwa ini, tinggal ditanya oleh para ulama, siapakah  TuhanNya Ahok?  Adakah yang berani menanyakan secara terbuka kepada Ahok, sebagai wujud tabayun ulama.
Pertanyaannya adalah tanggungjawab siapakah, jika “Ahok kurang berakhlak” kemudian menimbulan masalah yang mengkristal kearah dugaan penistaan agama. Namun yang menarik dari sisi semiotika politik adalah politik berbasis keagamaan muncul, seakan akan al-quran adalah mutlak hanya miliknya umat Islam, bukankah al-quran itu hudalinas  atau pedoman bagi manusia  dimuka bumi penyempurna kitab-kitab sebelumnya, “yang  kita prihatin adalah jangan-jangan kita sedang “menjual ayat ayat Al-Quran dengan harga murah”, jika ini yang terjadi pantaslah yang ditangisi oleh Rasulullah 1400 Tahun yang lalu,  ketika sakratul mautnya yang dipanggil “umati-umati, umati”, bukankah kita yang masih hidup saat ini. 
Begitu naibnya umat ini ketika situasi ketika kegiatan politik terlihat begitu religiusnya dan pemeluk agama sedemikian salehnya menjelang politik electoral, Saya sependapat dengan Teuku Kemal Fasya dosen antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe dalam Tulisan yang berjudul “Nalar Agama dan Nalar Pilkada” dalam situs http://www.satuharapan.com, 31 Oktober 2016 yang menyatakan, bahwa tak ada perasaan bersalah ketika agama dijadikan arsenal utama untuk merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. Padahal yang dilakukan tak lebih sebuah politik pengicuhan dan penipuan rendahan (politic of deception).
Aforisme itu semakin menemukan bentuknya saat ini dan kita temukan di mana-mana. Anda jangan salah paham dulu, saya tidak bergegas untuk berbicara tentang situasi Pilkada Jakarta. Situasi ini terjadi di mana-mana, termasuk di tanah kelahiran saya sendiri menjelang Pilkada serentak 15 Februari 2017.
Tiba-tiba pasangan politik yang terkenal sekuler pun fasih menggunakan surban dan tasbih untuk politik pengicuhan itu. Di Aceh ada proses seleksi membaca Al Quran. Bagi pasangan calon yang mampu mengaji dengan irama yang baik serta-merta akan ditabalkan sebagai calon yang juga baik sebagai pemimpin. Demikian mitos beroperasi dan melupakan esensi bahwa menjadi kepala daerah yang dituntut adalah talenta kepemimpinan, integritas, dan manejerial, dan bukan menjadi pemuka agama.
Namun bukan saja di tempat di mana mayoritas penduduknya muslim, di tempat lain seperti Manado dan Kupang pun, politik agama kerap juga digunakan untuk memperkuat politik persuasi hingga provokasi. Upaya “memperdagangkan agama pada situasi pilkada memang lebih pekat konsentratnya. Ada pelbagai argumentasi yang kadang membenarkan fenomena itu.
Menurut Fachri Hamzah, mantan wakil ketua DPR RI asal PKS, agama adalah serum paling aktif untuk menghidupkan politik disamping serum-serum lainnya. Bahkan, agama hampir menjadi satu-satunya pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan rasionalitas pengetahuan (Vernunft) dan naluri intelektual (Verstand) - memakai istilah Immanuel Kant. Agama lebih mampu memacu perubahan, histeria, atau amuk massa. Agama sedemikian penuhnya menggetarkan sensori publik yang bisa memengaruhi kebijakan publik.
Apakah perspektif itu cukup tepat? Apakah agama memiliki rasionalitas dan nalar intelektual yang berbeda dengan nalar dan rasionalitas pengetahuan pada umumnya? Pandangan ini telah disanggah seribu tahun lalu dalam khazanah pemikiran Islam.
 Nalar Agama
Sebagaimana tercatat pada pemikiran Al Farabi atau Al Pharabius (Persia, 870-950), Ibnu Sina atau Avicenna (Uzbekistan/Persia, 980-1037), dan Ibnu Rusyd atau Averroes (Cordova, 1126-1198), nalar agama sesungguhnya tidak lepas dari nalar pengetahuan umumnya. Agama secara historis memang tidak hadir dari rahim filosofis dengan argumentasi sekularistik yang diuji dan dibantah secara bebas dan demokratis. Meskipun demikian, kemudian hari nalar agama berkembang dan ikut selaras dengan nalar pengetahuan. Hal itu karena agama dan pengetahuan sama-sama menapaki tujuan satu yaitu mendapatkan kebenaran.
Ibnu Sina yang terkenal dengan teori emanasinya menyebutkan bahwa nalar manusia sesungguhnya pancaran dari nalar Tuhan sebagai yang pertama (prima causa). Upaya manusia memecah misteri di dunia ini didasarkan pada bekerjanya akal aktif, termasuk memecah persoalan dan misteri di dalam ayat-ayat Al Quran. Jika dianggap Al Quran adalah pancaran nalar Tuhan, maka nalar Tuhan itu harus bisa bekerja di dalam nalar manusia untuk mendapatkan kebenaran. Tidak ada usaha lain mengaktifkannya kecuali dengan pengetahuan. Kita kerap menganggap istilah nalar murni dimunculkan pertama kali oleh Immanuel Kant (Critique of Pure Reason/Kritik der reinen Vernunft, 1781), padahal Ibnu Sina telah mengemukakannya 800 tahun sebelumnya.
Demikian pula penggunaan filsafat dan metodologi ilmiah bukan sesuatu yang harus diasingkan dari kitab suci. Al Quran sebagai kitab yang penuh metafora, alegori, historisia tanpa kronologia, dan frasa puitika hanya dapat dibedah jika menggunakan metodologi filsafat, termasuk filsafat Aristotelian. Apa yang secara filsafati bisa dibuktikan benar, maka benar pula dalam tafsir agama. 
Ibnu Rusyd bahkan mengkritik secara lugas buku Al Ghazali Thahafut al-Falasifah (Kekeliruan Filsafat) yang menyatakan nalar Islam terpisah dari pengetahuan filsafat Yunani. Al Ghazali (1058-1111) mengatakan filsafat Yunani memiliki inkoherensi jika digunakan memahami nalar Islam. Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (Kekeliruan dalam Kekeliruan), Ibnu Rusyd menemukan inkonsistensi pemikiran Al Ghazali, karena secara tak sadar ia malah menggunakan logika Aristotelian seperti silogisme dan analogi. Gagasan unifikasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum ini dimunculkan secara monumental (meskipun bukan pertama) oleh Ibnu Rusyd, sebelum Thomas Aquinas mengemukakannya dalam Summae Theologiae.  Agama dan pengetahuan bukan oposisi biner yang tidak bertemu, tapi bisa saling bermesraan.
Demikianlah, akhirnya goncangan-goncangan terjadi di dalam agama ketika filsafat dan pengetahuan empirisme “menemukan” sesuatu yang secara literal “berbeda” dengan tafsir kitab suci. Dalam tradisi gereja goncangannya terjadi sejak “revolusi Copernicus” – mengutip istilah Thomas Kuhn. Dalam dunia Islam, goncangan pengetahuan terjadi sejak observasi astronomis Ibnu al-Shatir (1304-1375) tentang teori heliosentrisme menggantikan “teologi  geosentrisme” yang bertahan tujuh abad lamanya. Bahkan teori Ibnu Al Shatir lebih dahulu hadir daripada teori Nicolaus Copernicus (1473-1543). Jejak-jejak pengetahuan berdasarkan pendekatan observasi, filsafat empirisme, verifikasi, refutasi, dan falsifikasi akhirnya menggusur tafsir arkaik agama tentang kebenaran.
Sayangnya revolusi pengetahuan dunia Islam itu tidak menjadi arus utama. Yang berkembang di dunia Islam kontemporer adalah konservatisme warisan Al-Ghazalian-Ibnu Taymian, dan bukan progresivisme Farabian-Rusydian yang menjadikan gairah keilmuan sebagai nilai-nilai imanen dan promotif dalam Islam.
Nalar Pilkada
Demikian pula kehadiran pilkada sebagai konstruksi politik baru di Indonesia. Nalar pilkada harus dilihat sebagai pergulatan dialektis bangsa Indonesia pascareformasi dalam merumuskan demokrasi lokal. Pilkada adalah manifestasi politik dan etik lokal yang dimulai beroperasi melalui UU No. 23 tahun 2014 dan kini dalam UU No. 8 tahun 2015. Logika dan etika demokrasi, egaliterisme, kebangsaan, dan keberagamaan menjadi bagian yang sebelumnya muncul dalam wacana politik nasional kini turun menjadi praktik diskursif politik di tingkat lokal.
Namun aspek etik, moral, dan norma pilkada dalam turbulensi demokrasi itu masih kurang dipahami. Dalam banyak praktiknya, politik elektoral lokal kerap bersemi menjadi politik purba yang penuh sentimen tribalisme-etnisisme-agama. Akhirnya pilkada tidak berdialektika dengan kematangan politik partisipannya tapi menegang dan berkontraksi secara negatif. Tidak ada harmoni yang dihasilkan dengan semangat demokrasi lokal seperti itu. Anehnya, ketika nilai komunisme ditolak, praktik Stalinisme dengan politik kekejaman dan menghalalkan cara demi mencapai tujuan malah dilakukan, oleh kaum yang mengaku agamawan.
Dari catatan Jaringan Antar iman Indonesia (JAII) saat menyusun laporan tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan (Freedom of Religion or Belief) untuk Komisi HAM PBB (Universal Periodic Review), momentum pilkada kerap menjadi jalan memuluskan politik diskriminasi atas minoritas. Di Batuplat, Kupang, masalah pelarangan pembangunan mesjid masuk dalam isu pilkada. Di Manado juga terjadi persaingan antar denominasi Kristen dan privilese kepada umat tertentu. Di Singkil isu gereja selalu masuk dalam siklus lima tahunan sejak era reformasi. Dalam catatan riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, ditemukan fakta bahwa perda-perda bernuansa Syariat Islam dan diskriminatif kerap diproduksi petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dan memenangkan histeria publik pada periode kedua.
Kasus paling hangat tentu saja menyangkut Ahok. Memang harus disadari, sikap Ahok ketika berdialog dengan masyarakat Pulau Seribu tentang QS Al Maidah ayat 51 adalah keliru dan tidak patut secara etika politik. Pertama ia bukan orang yang berkompeten untuk berbicara itu. Kedua, pola komunikasinya sangat rentan disalahtafsirkan, dan ketiga situasinya tidak dalam momentum kampanye, sehingga penyampaian hal-hal yang berbau politik persuasi-agitasi seharusnya dihindari, namun spontanitas Ahok itu saat ini menjadi rahmat bagi umat muslim untuk menyadari, bahwa Al-quran bukan hanya untuk umat Islam, tetapi sedang berproses dikalangan non muslim, karena sebenarnya merekag sedang mencari “keselamatan”, menurut penulis, Ahok menyebut Isa Almasih, adalah nabi Isa, tinggal ditanya sama Ahok siapakah TuhanNya Ahok.
Namun respons publik yang merasa terhina dengan pernyataan Ahok juga sudah keluar dari konteks gerakan demokrasi. Aksi-aksi massa yang terjadi telah menjurus pada kepentingan politik praktis, tidak murni sebuah anjuran moral agama. Yang terjadi malah politik ad homimem: menghina pribadi, etnisitas, dan pelecehan atas keyakinan agama lain. Bahkan berkembang totaliterisme tafsir atas ayat itu, padahal peradaban Islam telah tegak dengan pluralislistik tafsir.
Yang paling mengerikan dari situasi ini, bukan hanya cuplikan gambar yang telah menjadi viral tentang terjemahan kata awlia QS Al Maidah ayat 51 dengan kalimat “telah diubah dari pemimpin menjadi teman setia”, dan ternyata fitnah keji yang dilakukan kelompok orang tidak bertanggung-jawab, tapi penggusuran logika demokrasi dan konstitusi menuju logika teokrasi; sesuatu yang sejak awal bukan fondasi bangsa ini.
Seharusnya nalar agama tidak kontradiktif dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, demokrasi, dan keberagaman. Nalar agama seharusnya progresif dan proaktif dengan situasi yang berkembang dalam konteks historisitas masyarakat dan normativitas kebangsaan. Untuk konteks Indonesia, agama seharusnya tidak lagi dipertentangkan dengan konstitusionalisme Pancasila dan UUD 1945 dan kerangka nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika.
Agama karenanya jangan menjadi kuda Troya yang dipacu oleh demagog untuk kepentingan sempit dan permusuhan. Demikian pula pilkada seharusnya menjadi momentum ekseminasi demokrasi lokal yang bersifat profan, produktif, dan menggembirakan. Pada sisi lain untuk Ahok, karena dia berkali-kali yakin dengan Nabi Isa Almasih AS ketika dalam rapat birokrasi di Pemda DKI lihat dalam youtube humas Pemda DKI, maka para Ulama yang mungkin masih punya qalbu tinggal ditanya kepada Ahok dimuka publik Indonesia atau dihadapan umat Islam, siapakah TuhanNya Ahok ??? jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menghakimi Ahok, sepertinya Ahok sedang menjemput hidayah Allah SWT. Hanya umat ini sedang disindir oleh Allah SWT, namun tidak terasa atau belum mampuh merasakan sindiran Allah SWT kepada umat yang kebetulan mengaku berKetuhanan Yang Maha Esa.


Berikut ini artikel pembanding :

Kontroversi Mulut Ahok : Makna Dan Analisis Semiotika


Oleh : Ismail Giu (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin)

Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..” (Ahok).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama atau masyhur dengan panggilan Ahok mungkin tidak menyangka kata katanya yang disampaikan saat haha-hihi dengan warga di Kepulauan Seribu berbuntut panjang. Alih alih ingin merebut simpati warga dengan tidak mempersoalkan muslim non muslim sebagai pemimpin Ahok justru mengundang kontroversi dan antipati. Mulut-nya kini menjadi harimau yang sewaktu waktu bisa menerkamnya di atas panggung politik.
Kegaduhan semakin menjadi tatkala Nusron Wahid representasi politik Ahok membuat geger dengan kalimat ; yang paling tahu tentang omongan ahok ya ahok sendiri. Yang paling tahu tentang Al-Quran ya Allah Subhanahu wa-Taala,. Omongan yang disampaikan Nusron dalam sebuah acara talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (11/10). Spontan reaksi pun bermunculan dengan meme meme lucu yang beredar di media sosial. Besok kalau saya ketemu lampu merah, bablas (terobos) aja. Yang paling tahu warna merah itu saya bukan polisi kira kira begitu bunyi salah satu meme yang menjadi viral.
Tulisan ini ingin memeriksa kembali pertanya pertanyaan : Apakah Ahok berhak bicara apa saja karena makna pernyataannya sepenuhnya menjadi miliki dia sebagai pembuat pernyataan? Ataukah Ahok tidak punya hak memaknai pernyataan yang ia buat sendiri karena ini harus ditetapkan orang lain yang menerima pernyataan itu? Ataukah makna pernyataan Ahok tidak ditentukan niat dia atau pemahaman orang lain, tetapi sudah terpatok pada kalimat-kalimat pernyataan itu sendiri? Dan itu dapat diukur dan ditetapkan secara ilmiah oleh para ahli bahasa atau petugas pengadilan?
Istilah makna memang merupakan istilah yang membingungkan. Maka itu, batasannya pun bisa macam macam. Ogden dan Richards dalam bukunya The Meaning of Meaning mencatat tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna (1972:186-187).
Para ahli linguistik pun berbeda pandangan tentang jenis atau tipe makna. Vergaar sebagaimana dikutip Pateda (2001:96-97) mengemukakan makna gramatikal dan makna leksikal, sedangkan Boomfield (1933) mengemukakan istilah makna sempit (narrowed meaning) dan makna luas (widened meaning) dan masih banyak lagi.
Bahasa manusia mempunyai suatu kekuatan untuk menjelaskan. Tetapi, menurut Van Peursen, ini tidak berarti bahwa pengetahuan dan makna dari apa yang terjadi telah diberikan sebelumnya. Hanya dengan menunjuk pada kejadian, dan dalam berbagai perwujudan peristiwa itu, kata memperoleh maknanya. Makna ini belum ada sebelum kata digunakan makna tersebut bukannya diberikan secara a priori melainkan mendapatkan bentuknya melalui penggunaan kata (Van Peursen dalam Sobur, 2009:28).
Untuk lebih memahami pernyataan Van Peursen, kita masuk kedalam kajian kajian tentang Semiotika atau ilmu tentang tanda. Banyak definisi para ahli tentang semiotika, namun secara umum Semiotika menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem, aturan aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Charles Sanders Pierce (1834-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah dua ilmuan yang mempelopori kajian tentang semiotika.
Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dengan memilah apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (pertanda). Signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberada fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam member makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44).
Kata merah adalah signifier (penanda) sementara lampu merah adalah signified (pertanda). Hubungan antara merah dengan lampu merah menghasilkan signification yang bermakna stop atau berhenti. Lain halnya makna kata merah (signifier) ketika diletakkan pada bendera Merah-Putih {signified) yang bermakna (signification) keberanian, kekuatan, kegigihan dll.
Dalam konteks Ahok, kata dibohongi dan dibodohi tidak memperoleh makna apa apa ketika dia tidak merujuk pada kejadian atau peristiwa, gambaran mental atau konsep apapun. Lain ceritanya jika kata itu merujuk pada surat Al-Maidah 51. Terlepas seperti apa isi tafsiran Al-Maidah 51, publik sudah terlanjut memaknai bahwa kalimat “dibohongin pakai surat al Maidah 51 bermakna Al-Quran yang salah satunya berisi surat Al-Maidah adalah bohong, dan perilaku mengajak mematuhi Al-Quran adalah membodohi. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dari akidah umat muslim. Pada titik ini kenapa publik bereaksi.
Lantas apa urgensinya kata dibohongi dan dibodohi jika merujuk pada analisis semiotik? Bukankah kata ini hanya sekali diucapkan? Jika kita menganalisis secara isi seharusnya makna kata ini tidak signifikan bila dibandingkan dengan kata kata lain yang diucapkan Ahok selama proses sosialisasi tersebut? Itulah yang membedakan antara analisis isi dan analisis semiotik. Jika analisis isi menekankan segi kuantitatif maka semiotik menolak pendekatan kuantitatif dan lebih menggunakan kualitatif.
Dalam semiotik, tidak ada alasan bahwa item yang paling sering muncul adalah yang paling penting atau paling signifikan terhadap teks, sudah tentu akan menstruktur secara keseluruhan. Tempat yang diduduki oleh unsur unsur yang berbeda jauh lebih penting ketimbang kemunculannya.
Menyentil pendapat Collin Summer sebagaimana dikutip Sobur (2009:145), analisis isi kuantitatif terlalu memberikan banyak penekanan pada pengulangan (repeatability) dari tanda (yakni berapa kali itu terjadi) dan hanya sedikit member perhatian pada signifikansinya bagi khalayak. Sebetulnya, tidak menjadi persoalan berapa kali sesuatu sering muncul dalam sistem pesan. Jika pembaca atau penonton tidak memahaminya, maka repetisi menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, bukanlah signifikansi suatu repetisi yang penting, melainkan repetisi dari signifikansi.
Merunut dari analisis di atas maka bisa disimpulkan bahwa bahasa dan maknanya merupakan kerja kolektif. Komunikasi berlangsung hanya apabila ada kesepakatan bahasa dan makna dari semua pihak yang terlibat. Makna tidak dihasilkan oleh komunikator melainkan diinterpretasikan oleh komunikan berdasarkan kondisi mental, budaya dan nilai nilai yang melatar belakanginya. Itulah mengapa penting untuk menjaga lisan sebagaimana pepatah orang tua dahulu : Mulutmu, harimaumu.


Analisis Semiotika Video “Penistaan Agama” Ahok

 

Oleh : Yons Achmad

Video pernyataan Ahok yang termuat dalam pidatonya di hadapan warga Kepulauan Seribu, (27/9) menjadi sorotan. Durasinya memang agak panjang. Tapi, ada sepenggal tayangan video yang kemudian menjadi kontroversi. Ada pernyataan Ahok yang isinya begini “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu”. Atas pernyataan demikian, Ahok dinilai sudah menistakan agama. Tak hanya orang per orang yang tak sependapat. Tapi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sepakat kalau pernyataan tersebut sudah masuk penistaan agama.
Entah karena apa, rupanya ada beberapa yang masih saja ngotot tidak ada penistaan agama dalam kasus yang sudah terang benderang tersebut. Terutama bagi para pendukung setia Ahok. Atau kalau tidak, ada yang memilih bersikap netral. Untuk tidak menyebut mereka yang memang tidak jelas keberpihakannya. Alih-alih bersikap netral, yang ada sebenarnya hanya membiarkan kebiasaan pejabat omong “ngawur” dan serampangan. Bagi kaum akademisi dan intelektual yang hanya bisa diam dan bersikap netral saya kira juga sebuah ironi. Dalam dunia kampus, sikap netral mungkin dibangga-banggakan. Tapi di luar kampus, bagi saya sikap netral tetap saja ironi. Sebab seorang akademisi atau intelektual tetap saja harus jelas ke mana dia berpihak.
Dalam tafsir agama, sudah jelas pernyataan Ahok itu “Penistaan agama”. Dalam kajian media, saya kira pernyataan Ahok itu juga menarik sebagai studi kasus. Saya akan coba sedikit bedah melalui analisis wacana (semiotika sosial). Semiotika (ilmu tanda) sendiri, dalam kajian media merupakan salah satu perangkat analisis yang bisa digunakan dalam menganalisis “Fenomena Komunikasi”. Meminjam konsep Halliday, penulis buku “Language Structure and Language Function”, dalam semiotika sosial ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian dalam penafsiran teks secara kontekstual. Diantaranya:
Pertama, Medan Wacana (Field of Discourse). Menunjuk pada hal yang terjadi dan mengenai apa yang dijadikan wacana oleh pelaku. Dalam kasus video “Penistaan Agama” itu jelas. Ahok tidak suka pada orang-orang yang menggunakan agama, terutama yang menafsirkan surat Al-Maidah ayat 51 yang melarang seorang muslim memilih pemimpin non muslim. Yang kemudian oleh para pembela Ahok diklaim sebagai politisasi agama. Jelas, dengan ekspresi yang bisa kita tonton dalam video tersebut, Ahok sangat tidak suka. Menjadi problem ketika Ahok dengan seenaknya mengutip ayat suci agama lain (Islam) dan bilang “Dibohongin pakai Surat Al-Maidah ayat 51”. Dari kejadian ini, sebenarnya kita paham siapa yang sebenarnya menggunakan isu SARA dalam politik dan mengambil keuntungan politik darinya.
Kedua, Pelibat Wacana (Tenor of Discourse). Menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks, sifat orang-orang itu, kedudukan dan peran mereka. Kata “Dibohongin” berarti ada seseorang yang berbohong. Di sini, Ahok dengan serampangan menuduh orang-orang yang menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 dan mengajak untuk tidak memilihnya sebagai orang-orang yang berbohong atas nama agama atau istilah lain dituduh mempolitisasi agama. Jelas, pernyataan tersebut provokatif, arogan dan memancing kontroversi. Di sini saya kira Ahok telah memulai perang wacana. Dan kita bisa lihat, salah satu kelompok, sebut saja kubu “Islam Liberal” berada di balik pembenaran setiap ucapan Ahok. Alih-alih menuduh orang melakukan poitisi agama, sayangnya kubu Ahok juga menggunakan agama sebagai pembelaan-pembelaan. Pertempuran wacana dan tafsir sampai saat ini masih berlangsung. Tapi, dalam kasus ini lagi-lagi pesan yang tampak, Ahok dengan serampangan menuduh mereka yang menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 dengan “benar” dianggap mempolitisasi agama.
Ketiga, Sarana Wacana (Mode of Discourse). Menunjuk bagaimana komunikator menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip) apakah menggunakan bahasa yang hiperbolik, eufemistik atau vulgar. Sudah sangat jelas, bahasa yang digunakan Ahok sangat vulgar dengan memilih kata “Dibohongin” disandingkan dengan ayat suci pula. Maka sangat wajar, bagi orang Islam yang barangkali tidak pernah shalat sekalipun akan marah ketika agamanya dihina, dinistakan.
Sayangnya dengan beragam argumen yang jelas dan terang benderang, seperti yang saya sedikit singgung di atas, masih saja ada pembela-pembela Ahok yang memandang tidak ada masalah dengan pernyataan Ahok itu. Bahkan, Komisioner Badan Pengawas Pemilu RI, Nasrullah, (Detik.com/8/10/2016) angkat bicara soal pernyataan bakal calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait Al Maidah ayat 51 yang dianggap beberapa pihak telah menistakan agama. Nasrullah berpendapat pernyataan Ahok biasa saja. Tentu fenomena ini sangat aneh.
Tapi, pada akhirnya, kita memang tidak bisa memaksakan tafsir. Dalam ranah kajian media, saya berkesimpulan bahwa pernyataan Ahok jelas problematis dan memancing kegaduhan politik. Di ranah media, dalam kasus ini, saya kira tak elok kalau pemimpin (pejabat) bicara serampangan dengan tafsirnya sendiri, merasa benar sendiri. Kalau hal ini terus menerus terjadi, maka tak heran, seperti kata Romo Sandyawan “Rakyat akan membuat perhitungan”. (Yons Achmad/Pemerhati Media/Founder Kanetindonesia.com/WA:082123147969).



»»  Baca Selengkapnya...