Rabu, 18 Mei 2016

MEMAHAMI DAN MEWUJUDKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014

MEMAHAMI DAN MEWUJUDKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN  2014

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.Paradigma  Administrasi Pemerintahan  
                Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
                Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Dalam Tataran dogma Hukum Tata Negara adalah Negara Demokrasi didalam wadah Negara  Hukum yang berpaham konstitusional.
               Apa konsekuensi logisnya Negara Demokrasi didalam wadah Negara  Hukum yang berpaham konstitusional ? Konsekuensi logisnya adalah segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
             Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Oleh karena itu Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
             Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.
             Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan. Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
             Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan perlindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
              Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
              Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam UndangUndang  merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan.
             Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat.
            Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya—baik secara keseluruhan maupun sebagian—dapat terwujud. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara.
           Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan transformasi AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik) yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat.
           AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.
            Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.
            Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
             Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
            Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.

B.Pengertian Pokok Administrasi Pemerintahan
              Untuk memberikan pemahaman terhadap materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, maka perlu dipahami konsep- konsep yang berkaitan dengan aspek hukum administrasi pemerintahan, yaitu berikut ini.
1.        Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
2.        Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
3.        Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
4.         Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi.
5.        Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6.        Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
7.        Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
8.        Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
9.        Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundangundangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
10.    Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengenai keabsahan suatu salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang dinyatakan sesuai dengan aslinya.
11.    Sengketa Kewenangan adalah klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan.
12.    Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
13.    Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan.
14.    Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.
15.    Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
16.     Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
17.    Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
18.    Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19.     Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20.    Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
21.    Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
22.    Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

C. Tujuan, Asas Administrasi Pemerintahan
                  Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa tujuan administrasi pemerintahan  dari aspek hukum ?
                   Adapun tujuan administarsi Pemerintahan adalah:
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
e.memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan;
f.melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan dan menerapkan AUPB; dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.
               Apa yang menjadi asas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan ? Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB. (pasal 5 UU nomor 30 tahun 2014)

D. Hak dan Kewajiban Pejabat Administrasi Pemerintahan
           Berdasarkan tujuan dan asas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan, maka Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan.
           Apa yang hak Pejabat Pemerintahan ?
1.      melaksanakan Kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB;
2.      menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki;
3.      menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan;
4.      menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan;
5.      menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;
6.      mendelegasikan dan memberikan Mandat kepada Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan
7.      menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan;
8.      menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
9.      memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya;
10.  memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya;
11.  menyelesaikan Sengketa Kewenangan di lingkungan atau wilayah kewenangannya;
12.   menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya; dan
13.  menjatuhkan sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor  30 Tahun 2014 ini.
      Selanjutnya apa yang menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan?
1.        membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya;
2.        mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.        mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan;
4.        mematuhi Undang-Undang Nomor 30 Tahunn 2014 dalam menggunakan Diskresi;
5.        memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan tertentu;
6.        memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7.        memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan;
8.        menyusun standar operasional prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan; i. memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
9.        menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding.
10.    melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau Atasan Pejabat; dan l. mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

E. Kewenangan Administrasi Pemerintahan:  Atribusi, Delegasi dan Mandat
              Tiga  kata kunci kewenangan pejabat pemerintahan, yaitu Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Dan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB. serta Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. (lihat Pasal 8 UU Nomor 30Tahun 2014)
             Yang paling terpenting adalah ketika pejabat pemerintahan melakukan perbuatan pemerintah atau melakukan tindakan pemerintahan wajib memiliki alas hukum yakni peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 9 UU Nmor 30 Tahun 2014 yang menyatakan:
Pasal 9 ayat (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB. Pasal 9 ayat (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 9 ayat (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 9 ayat (4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.

            Atas dasar kewenangan yang beralaskan peraturan perundang-undangan, maka pejabat pemerintahan diberikan kewenangan yang diperoleh dari tiga konsep hukum admistrasi negara, yaitu  ATRIBUSI
             Pasal 12 Ayat (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila:
a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
b.  merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
           Pasal 12 ayat (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.
Pasal 12 ayat (3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang
         DELEGASI  berkenaan dengan delegasi rule of law diatur sebagai berikut :
Pasal 13 ayat (1) Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Delegasi apabila:
a.  diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya;
b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan
c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
Pasal 13 ayat (3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensub delegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan:
a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang dilaksanakan;
b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pasal 13 ayat (5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
Pasal 13 ayat (7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima Delegasi
            Bagaimana dengan kewenangan yang diperoleh melalui MANDAT?
Pasal 14 ayat  (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila:
a.  ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
Pasal 14 ayat (2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
Pasal 14 ayat (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 ayat (4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.
Pasal 14 ayat (5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 ayat (6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali Wewenang yang telah dimandatkan.
Pasal 14 ayat (7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Pasal 14 ayat (8) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat.

F. Tata cara Penggunaan Diskresi Oleh Pejabat Pemerintahan
                Bagaimana jika Pejabat Pemerintahan menggunakan DISKRESI ?
Berkaitan dengan diskresi di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 diatur tersendiri dalam BAB VI DISKRESI yang pengaturan diatur sebagai berikut:
Pasal 22 ayat (1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
Pasal 22 ayat (2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:
a.  melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b.  mengisi kekosongan hukum;
c.  memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
            Bagaimana Ruang Lingkup Diskresi ?
Pasal 23 Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:
a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b.   pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c.   pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d.  pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
           Apa syarat syarat diskresi  dapat digunakan oleh pejabat Pemerintahan ?
Pasal 24 Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat ;
a.    sesuai dengan tujuan Diskresi, yakni:
1.      melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
2.      mengisi kekosongan hukum;
3.      memberikan kepastian hukum; dan
4.      mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
b.tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Pasal 25 ayat (1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.
Pasal 25 ayat (3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
Pasal 25 ayat (4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 25 ayat (5) Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam.
                Bagaimana penggunaan prosedur diskresi ?
Pasal 26 ayat (1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan
Pasal 26 ayat  (2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat.
Pasal 26 ayat (3) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan.
Pasal 26 ayat (4) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Pasal 27 ayat (1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara.
Pasal 27 ayat (2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada Atasan Pejabat.
Pasal 27 ayat (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum penggunaan Diskresi.
Pasal 28  ayat (1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang ditimbulkan.
Pasal 28 ayat (2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
Psaal 28 ayat (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi.
Pasal 29 Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 dikecualikan dari ketentuan memberitahukan kepada Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.
              Apa akibat hukum diskresi ?
Pasal 30 ayat (1) Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila:
a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
c. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28. (2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
Pasal 31 (1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila:
a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan;
b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau
c. bertentangan dengan AUPB. (2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.
Pasal 32 ayat (1) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.

Pasal 32 ayat (2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
»»  Baca Selengkapnya...