Jumat, 12 Februari 2016

KONSTRUKSI HUKUM KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAHAN

KONSTRUKSI HUKUM
KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAHAN
(Analisis UU Nomor 30 Tahun 2014

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum
HP 081310651414
Blog/Web: Rajawali Garuda Pancasila

Pertama, Tentang Kedudukan Hukum dan Sumpah Pejabat Administrasi Negara
1.  Berkaitan dengan topik di atas kita ambil salah satu contoh, adalah  Kedudukan Status Hukum Pejabat Bupati, maka harus  dikaji lebih dahulu alas hukum yang menjadi dasar pengangkatan pejabat Bupati secara Hukum Administrasi Negara diberikan nomenklatur sebagai Pejabat Kepala Daerah, yaitu alas hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah Dan/Atau Wakil Kepala Daerah, menyatakan nomenklatur hukum Administrasi Negara tentang siapa yang dimaksud Pejabat Bupati, Pasal 1 angka 5 yang menyatakan: “Penjabat Kepala Daerah adalah Pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Gubernur dan Pejabat yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu”.
2.  Kata kuncinya pada konstruksi hukum Pasal 1 angka 5 diatas adalah klasul: “untuk melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu”. Pertanyaannya siapa yang menetapkannya ? jika dibaca secara cermat adalah Menteri Dalam Negeri. Sedangkan siapa yang melantik? Berdasarkan Pasal 26 Permendagri No 35 Tahun 2013 adalah Gubernur atas nama Presiden Republik Indonesia melakukan pelantikan penjabat bupati/walikota. Jadi secara Hukum Administrasi Negara (HAN) penetapan pejabat bupati adalah wewenang Mendagri, sedangkan Gubernur hanya melantik.
3.  Selanjutnya  pada saat pelantikannya pejabat Bupati menyatakan sumpah Pasal 25 Permendagri No 35 Tahun 2013 yang menyatakan:
(1)   Penjabat kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji.
(2)   Pengucapan sumpah/janji dipandu oleh pejabat yang melantik.
Bagaimana bunyi sumpahnya berdasarkan Pasal Pasal 29 Permendagri No 35 Tahun 2013 menyatakan:“Ketentuan mengenai naskah dan pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dan pasal 11 berlaku secara mutatis mutandis terhadap naskah dan pengucapan sumpah/janji penjabat kepala daerah”.
4.  Jika kita lihat bunyi sumpahnya, pada pasal 11 Permendagri No 35 Tahun 2013. Menyatakan: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji, akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
5.  Jika kita baca sumpah pejabat Bupati/pejabat Kepala Daerah terdapat klasul hukum, yaitu memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Kalimat “memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”, berarti pejabat bupati menjalan hak dan kewajiban dan keabsahannya mengacu kepada  paham konstitusional, dan Dalam UUD Neg RI 1945 pada Pasal 28 J ayat  2 tegas menyatakan: “Dalam hal menjalankan hak, dan keabsahannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata unuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi  tuntutan yang adil sesuai pertimbagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
6.  Selanjutnya klasul sumpah pejabat bupati/pejabat Kepala Daerah pada pasal 10 pada klasul hukum: “menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Hal ini bermakna,  bahwa pejabat bupati diwajibkan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.
7.  Pertanyaannya adalah mengapa perlunya keberadaan Penjabat Kepala Daerah?, Keberadaan Penjabat Kepala Daerah, karena terkait dengan beberapa sebab:
Pada peraturan terkait lainnya, Pejabat Bupati/ pejabat Kepala Daerah dapat diangkat berdasarkan sebab-sebab berikut ini:
1.    Bupati meninggal dunia (UU No.23 Tahun 2014 Pasal 87 ayat 2 dan Pasal 78 ayat 1)
2.    Bupati berhenti atas permintaan sendiri (UU No.23 Tahun 2014 Pasal 87 ayat 2 dan 78 ayat 2)
3.   Masa jabatan bupati berakhir dan penetapan bupati berikutnya belum diselenggarakan (UU No 23 Tahun 2014 Pasal 88 ayat 2)
4.    Bupati diberhentikan karena melanggar hukum (PP No 6 Tahun 2005 Pasal 130 ayat 3)
5.    Bupati mengundurkan diri karena ingin mengikuti pencalonan pemilihan kepala daerah (PP No 49 Tahun 2008 Pasal 132A)
8.Berdasarkan 5 sebab pejabat bupati diangkat, jika dieksplorasi konstruksi hukumnya, dalam hal apakah pejabat bupati ini diangkat dari salah satu lima  alasan tersebut, harus jelas dahulu konstruksi hukumnya, karena secara definitif berdasarkan peraturan Hukum, seorang Penjabat Bupati memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sama dengan Bupati definitif selaku kepala daerah walaupun dengan rentang waktu tertentu dan batasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena itu menurut penulis perlu diinvestigasi dahulu dalam rangka apa pejabat bupati ditetapkan dari lima alasan tersebut, karena setiap alasan diatas ada konsekuensi hukumnya secara Hukum Administrasi Negara.
9. Dengan perkataan lain, walaupun secara umum Penjabat Bupati memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sebagaimana Bupati Definitif. Namun Penjabat Bupati yang diangkat berdasarkan sebab sebagaimana Nomor 4 dan Nomor 5 di atas, membutuhkan izin tertulis dari Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan hal-hal berikut ini :
a)    melakukan mutasi pegawai (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008 Pasal 132A ayat 1 dan 2)
b)    membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008 Pasal 132A)
c)    membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008 Pasal 132A)
d)    membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya. (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008 Pasal 132A)
10.Kemudian  ada mekanisme hukum yang harus dilalui  oleh pejabat bupati/ pejabat Kepala Daerah dalam menduduki jabatan, adapun ketentuan-ketentuan penting lainnya bagi Penjabat Bupati yang diangkat dengan sebab sebagaimana No 4 dan No 5 adalah sebagai berikut:
a)    Pejabat Bupati disyaratkan Pejabat Pemerintah menduduki jabatan struktural Eselon II pangkat golongan sekurang-kurangnya IV/b dan selama tiga tahun terakhir dinilai berkinerja baik. (PP No.49 Tahun 2008 Pasal 132 Ayat 1)
b)    Pejabat Bupati ditetapkan Presiden atas usul dari Gubernur dan pertimbangan DPRD (PP No 49 Tahun 2008 Pasal 132 Ayat 3)
c)    Pejabat Bupati Bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri (PP No.49 tahun 2008 Pasal 132 ayat 3)
d)    Masa Jabatan maksimal adalah 1 Tahun. (PP No.49 tahun 2008 Pasal 132 ayat 4)

Kedua, Tentang Kewenangan dan Wewenang Pejabat Bupati/pejabat Kepala Daerah
11.  Untuk memahami kewenangan dan wewenang, maka harus dipahami lebih dahulu, siapa yang dimaksud pejabat yang berwenang dalam konstruksi HAN ?, mengapa, karena untuk memperjelas, bahwa pejabat bupati adalah pejabat aparatur sipil negara, yang tunduk dengan Undang-Undang Tentang ASN. oleh karena itu dalam UU ASN diberikan batasan hukum siapa yang dimaksud pejabat yang berwenang. Didalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal angka 13 menyatakan: “Pejabat yang  Berwenang adalah pejabat  yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Dalam pasal 1 angka 13 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN terdapat klasul HAN, yaitu: “yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ada kata kunci secara HAN, yaitu: sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

12.Pertanyaan apa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-Undangan?
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan secara tegas: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 ada klasul kunci secara HAN, yaitu: “pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Artinya Pejabat dalam membuat Keputusan haruslah ditetapkan melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
13.  Untuk itulah agar sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, Pejabat yang berwenang diwajibkan untuk memegang teguh asas–asas penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, yaitu mengacu kepada UU Nomor 30 Tahun 2014, yaitu: Pasal 5 Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan 4  c. AUPB.
Adapun yang dimaksud asas legalitas dan asas perlindungan HAM didalam UU  Nomor 30 Tahun 2014.  dinyatakan dalam penjelasan Pasal 5 huruf a  adalah “Yang dimaksud dengan “asas legalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan”. Makna hukumnya adalah Pejabat dalam membuat keputusan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan.
Kemudian penjelasan Pasal 5 Huruf b:  Yang dimaksud dengan “asas perlindungan terhadap hak asasi manusia” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar Warga Masyarakat sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Makna hukumnya adalah pejabat pemerintahan tidak boleh melanggar HAM.

14.  Bahwa pejabat bupati/pejabat Kepala daerah, maka secara HAN adalah juga sebagai pejabat Pemerintahan, karena Kepala Daerah adalah bagian dari Pemerintahan Daerah (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 23 Tahun 2014). maka pejabat bupati/pejabat Kepala daerah melaksanakan administrasi pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan administrasi pemerintahan berdasarkan pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2014 yang menyatakan: “Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan”
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 ada dua konstruksi hukum, pertama, adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan, dan kedua adalah tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan”
15. Atas dasar itu maka diwajibkan pejabat yang berwenang dalam hal ini pejabat Admnistrasi Negara/TUN terhadap tata laksana dalam pengambilan keputusan dan melakukan tindakan oleh pejabat pemerintahan, haruslah/wajib memegang teguh Undang-Undang yang menjadi dasar hukum kewenangan atau sumber Hukum Materiil HAN, yakni UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya pada pasal Pasal 9 ayat (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
16. Apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang dimaksud Pasal 9 ayat (1) diatas? Pasal 9 Ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan, bahwa Peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
17. Bagaimana tata laksanannya ? Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014,Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
  18.Bagaimana jika peraturan perundang-undangan tidak jelas?, Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014, menyatakan, bahwa ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
Berdasarkan  itu, maka pejabat pemerintahan dalam konteks ini pejabat bupati/ pejabat Kepala daerah, ketika mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan dan tindakan administrasi pemerintahan harus memiliki kewenangan dan wewenang serta dasar hukum yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan.
 19.Apa yang dimaksud Keputusan Administrasi Pemerintahan dan Tindakan Administrasi Pemerintahan?
Adapun yang dimaksud dengan Keputusan Administrasi dan Tindakan Administrasi adalah sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 7 dan 8 UU Nomor 30 Tahun 2014:
Pasal  1 angka 7: Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 1 angka 8: Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
 20.Berdasarkan hal pemahaman konstruksi hukum di atas dalam contoh dia atas, maka pertanyaannya adalah apakah pejabat bupati /pejabat Kepala daerah memiliki kewenangan dan wewenang dalam melakukan Mutasi PNS secara HAN?
      Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebih dahulu dipahami konstruksi hukum apa yang dimaksud dengan kewenangan dan wewenang?
Pasal 1 angka 5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan kewenangan berdasarkan Pasal 1 angka 6. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
Berdasarkan nomenklatur Pasal 1 angka 5 dan 6 UU Nomor 30 Tahun 2014, pejabat bupati/pejabat kepala daerah adalah dalam kapasitas sebagai pejabat Pemerintahan, dalam hal ini pejabat pemerintahan pada tingkat Kabupaten. (Dalam perkara ini adalah Kabupaten Melawi), dan Keputusan Administrasi Negara/Keputusan Tata Usaha Negara yang ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan, mengapa, karena pejabat kepala daerah secara definitif sama dengan Kepala Daerah, dengan demikian tunduk dengan kewajiban Kepala Daerah, dan salah satunya berdasarkan Pasal 67 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
       Ketiga,  Tentang Persyaratan Sahnya Keputusan Administrasi Negara ?
  A.Dilihat dari Konstruksi Hukum Administrasi Negara
21. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, adalah HUKUM MATERIIL HAN yang dimaksudkan keberadaannya untuk mengukur kualitas, penyelesaian, mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), yaitu:[1]
1.        dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.       untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
3.       untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan; 
Kedua, Bahwa dengan tidak memenuhi syarat-syarat prosedur  UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, maka keputusan  ada terindikasi “cacat hukum” dan “tidak sesuai prosedur”, karena dasar hukum HAN sebagai sumber hukum materiil tidak sesuai dengan prosedur hukum yang sudah secara jelas diatur, oleh UU Nomor 30 Tahun 2014.
B. Dilihat dari tempus Keputusan Tata Usaha Negara ketika dikeluarkan.
22. Mengapa setiaap Keputusan Tata Usaha Negara wajib menunjuk dasar hukum yang mengatur administrasi Pemerintahan dalam ini Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, karena, secara hukum, bahwa:1)
1.       Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
2.       Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Mengapa karena berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara, konsekuensi hukum, Pancasila adalah recht idee dari sistem hukuk Indonesia, karena berdasarkan penjelasan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011, menyatakan: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. dan Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, oleh karena itu konsekuensi hukumnya adalah:
3.       Bahwa Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
4.       Untuk itu dibutuhkan, pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang. Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas.
5.       Oleh karena begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.
6.       Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang dapat menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7.       Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka UndangUndang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan.
8.       Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena UndangUndang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara. Dan Pegawai Negeri Sipil, sebagai ASN adalah bagian dari warga masyarakat, sebagaimana pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 2014,  yang menayatakan Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah    warga  negara  Indonesia  yang  memenuhi syarat            tertentu,   diangkat   sebagai   Pegawai   ASN secara tetap  oleh  pejabat  pembina  kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan
Berdasarkan analisis di atas, maka menurut pandangan saksi ahli, bahwa Keputusan Pejabat Yang Berwenang wajib tunduk dengan UU Nomor 30 Tahun 2014, karena berdasarkan alasan hukum, sebagai berikut:
Pertama, Berdasarkan konstruksi hukum pada Pasal 86 UU Nomor 30 Tahun 2014  Apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, peraturan pemerintah yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini belum terbit, hakim atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menjatuhkan putusan atau sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang ini.
Kedua, berdasarkan konstruksi hukum pada Pasal 87 UU Nomor 30 Tahun 2014 Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
    eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
  Berdasarkan Pasal 86 dan 87 UU Nomor 30 Tahun 2014, maka semua  Keputusan Pejabat yang berwenang dilingkungan legislatif, eksekutif, yudikaif dan penyelenggraa negara lainnya dapat dikategorikan sebagai Keputusan Administrasi Negara/Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis, berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; bersifat final dalam arti lebih luas; dan Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, Walaupun konsideran hukumnya  tidak mencantumkan UU No 30 Tahun 2014, bukan berarti tidak terikat dengan sumber Hukum Materiil HAN, karena sesuai dengan sumpah jabatan pejabat administrasi negara wajib memegang teguh UUD Neg RI 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa (Pasal 11 Permendagri Nomor 35 Tashun 2013). Dan patut disadari berssma, bahwa keberadaan UU Nomor 30 Tahun 2014 ini adalah sebagai pelaksanaan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka konsekuensi hukum wajib dijadikan dasar hukum, kemudian jika dicontohkan terhadap kedudukan Penjabat Kepala Daerah secara definitif sama dengan Kepala Daerah, juga tunduk kepada UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, berarti wajib melaksanakan kewajiban kepala daerah, berdasarkan Pasal 67 Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menaati seluruh ketentuan peraturan perundangundangan;

C. Dilihat dari asas-asas Penyelenggaraan Kebijakan dan Manajemen ASN
23. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN, didalam subtansinya memberikan alas hukum, bahwa setiap keputusan Administrasi Negara/PTUN wajib tunduk dengan asas-asas penyelenggaraan Kebijakan dan manajemen ASN, yaitu sebagaimana diperintahkan pada pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 2014:
      Pasal 2, beserta penjelasannya UU Nomor  5 Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa: Penyelenggaraan    kebijakan    dan    Manajemen    ASN berdasarkan pada asas: a. kepastian hukum; b. profesionalitas; c.proporsionalitas; d.keterpaduan; e.delegasi; f.netralitas; g. akuntabilitas; h.efektif dan efisien;i. keterbukaan; jnondiskriminatif; k.persatuan dan kesatuan; l.keadilan dan kesetaraan; dan m.kesejahteraan.
24.Berdasarkan asas tersebut di atas, maka apabila dikaitkan dengan asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), baik yang juga dicantumkan didalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomo 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka yang terpenting dalam konteks HAN, adalah asas berikut ini:
      1. Asas Kepastian Hukum
            Penjelasan Pasal 2 Huruf a UU Nomor 5 Tahun 2014
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan keadilan.
   
       2.Asas Profesionalitas
Penjelasan Pasal 2 Huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014
Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

       3, Asas Akuntabilitas
Pasal 2 huruf g Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai ASN harus  dapat  dipertanggungjawabkan  kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

25.Berdasarkan tiga asas kunci Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, maka menurut pandangan saksi ahli perlu untuk diterapkan dalam penyelesaian terhadap obyek sengketa perkara ini, mengapa? oleh karena  berkaitan dengan manajemen ASN, yang secara HAN, yaitu berdasarkan pasal 1 angka 5, bahwa manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, dan praktik korupsi dan nepotisme.
Atas dasar itu secara HAN, maka Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum Administrasi Negara. Oleh Prajudi[2] menyatakan bahwa: “Pengertian kewenangan dan wewenang (comptence, bevoegdheid) walaupun dalam prakteknya pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya, dikatakan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari, Hukum Administrasi Negara, kekuasaan legislatif (diberikan oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif”.
Berdasarkan hal itu, dalam perkara ini apakah sudah ditempuh upaya-upaya penyelesaian secara administrasi pemerintahan pada tingkat kabupaten, provinsi, atau pemerintah pusat, jika sudah ada, tetapi belum dilaksanakan rekomendasinya, maka berdasarkan Pasal 21 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. (3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. (4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan. (6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat, tetapi apabila obyek yang dipersengketakan dalam perkara ini adalah prosedur dalam pengambilan keputusan oleh pejabat yang bewenang dan pelanggaran terhadap larangan peraturan perundang-undangan, maka tindakannya adalah pembatalan Surat Keputusan dan tidak sahnya Surat Keputusan Tata Usaha Negara, atau kedua-keduanya, menurut saksi ahli harus diperjelas atas obyek sengketa pokok perkara ini.

D.Dilihat dari upaya penyelesaian Sengketa, yaitu upaya hukum Terhadap Tindakan Pejabat Administrasi  BKAN dan KASN dalam konteks Peraturan Perundang-undangan.
26. Untuk kecermatan pendapat saksi ahli, maka harus dilihat dahulu peraturan yang ditetapkan oleh Badan dan Lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang, yaitu Bahwa berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan:
Pasal 8
      (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
    (2)   Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
 Berdasarkan Pasal  8 UU Nomor 12 Tahun 2011 diatas, secara HAN, bahwa Tindakan Administrasi Pejabat yang berwenang dilakukan oleh BKN, yaitu sebuah Badan Kepegawaian    Negara    yang    selanjutnya disingkat BKN adalah   lembaga     pemerintah non kementerian yang diberi kewenangan melakukan pembinaan dan menyelenggarakan Manajemen ASN secara nasional sebagaimana diatur dalam undang- undang ini. (pasal 1 angka 21 UU Nomor 5 Tahun 2014) dan Tindakkan Administrasi pejabat yang berwenang yang dilakukan oleh Komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik (pasal 1angka 19 UU Nomor 5 Tahun 2014)
27.Kemudian secara HAN bahwa BKN dan KASN adalah lembaga yang dibentuk atas dasar kewenangan atribusi yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan psal 25 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan:
Pasal 25
(1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN.
(2) Untuk  menyelenggarakan  kekuasaan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada:
a. Kementerian   yang   menyelenggarakan   urusan pemerintahan di bidang     pendayagunaan aparatur negara, berkaitan dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN;
b. KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan       evaluasi pelaksanaan    kebijakan   dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan SistemMerit    serta    pengawasan    terhadap penerapanasas   serta   kode   etik   dan   kode perilaku ASN;
d. BKN,     berkaitan      dengan    kewenangan penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.
Berdasarkan  Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 jo Pasal  25 UU Nomor 5 Tahun 2014, tindakan pejabat BKN, dan KASN adalah merupakan tindakan Administrasi Pemerintahan yang merupakan bagian dari kewenangan administrasi Pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014.
28.Berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008, pada Pasal 132A, berbunyi : Ayat (1) : "Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah DILARANG (saya sengaja tulis pakai huruf besar pada kata 'dilarang') : a. melakukan mutasi pegawai; b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya".
29.Hal ini berarti, Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008, atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang: melakukan mutasi pegawai,pasal ini bukan diperuntukan kepada Kepala Daerah yang berakhir masa jabatan atau sudah berakhir dan pejabat bupati secara definitif  belum terpilih, tetapi diperuntukan untuk kepala daerah yang mengundurkan diri, karena mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
30.Berdasarkan doktrin/dogma HAN, menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, menentukan bahwa : “Hanya 2 (Dua) cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada orang lain. Jadi delegasi secara logis selalu didahului atribusi, sedangkan mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang, didalam mandat tidak terjadi pula perubahan wewenang apapun, namun yang ada hanyalah hubungan internal”. Dalam mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting oleh karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan wewenang tersebut seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum yaitu “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”
31.Selanjutnya Ridwan menyatakan, yakni: “Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu ke pejabat yang lain . tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris) semetara pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans, karena pada dasarnya penerima mandat tersebut bukan pihak lain dari pemberi mandat
32.Bagaimana doktrin HAN di atas tersebut dilihat dari konstruksi Hukum UU No 5 Tahun 2014?
Bahwa didalam UU ASN Nomor 5 Tahun  2014 paragraf 6 BAB VII KELEMBAGAAN, yang mengatur Wewenang KASN:

Pasal 32 (1) KASN berwenang:

      a. mengawasi   setiap   tahapan   proses   pengisian Jabatan Pimpinan     Tinggi    mulai   dari pembentukan panitia seleksi   instansi, pengumuman lowongan,  pelaksanaan  seleksi, pengusulan nama    calon,    penetapan,    dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
      b. mengawasi  dan  mengevaluasi  penerapan  asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
      c. meminta   informasi   dari   pegawai   ASN   dan masyarakat mengenai    laporan    pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
      d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
     e. meminta  klarifikasi  dan/ atau  dokumen  yang    diperlukan dari Instansi   Pemerintah   untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
    (2) Dalam     melakukan     pengawasan     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, KASN berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
    (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib ditindaklanjuti.

    Berdasarkan wewenang KASN pasal 32 huruf b secara hukum jelas, bahwa wewenang KASN mengawasi  dan  mengevaluasi  penerapan  asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN, jadi keberadaan, jadi ketika KSN mengeluarkan  surat sebagai tindakan administrasi negara adalah dalam rangka pengawasan dengan memberikan rekomendasi, sebagaimana dimaksud pasal 120 ayat 5 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan: (5) Rekomendasi  KASN  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3) dan ayat (4) bersifat mengikat.

E. Dilihat dari Sumber wewenang Pejabat Bupati berdasarkan doqma HAN
33. Sebagaimana doktrin HAN dari F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek diatas ada dua cara penggunaan wewenang, yaitu atribusi dan delegasi, dan delegasi adalah tidak berdiri sendiri tetapi harus didahului wewenang atribusi, untuk memperjelas analisis ini, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, mengacu pada
Pasal 1 angka 22 dan angka 23 menyatakan:
Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. (pasal 1 angka 22 UU Nomor 30 Tahun 2014)

Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. (Pasal 1 angka 23 UU Nomor 30 Tahun 2014)

34.Pertanyaannya bagaimana konstruksi hukum pelaksanaan wewenang atribusi dan delegasi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 ?
      Berdasarkan Pasal 12 (1) UU Nomor 30 tahun  2014 Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila: a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang; b. merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan. (3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Sedangkan pelaksanaan delegasi diatur pada Pasal 13 (1) UU No 30 tahun 2014 Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Delegasi apabila: a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
      Pertanyaan apa yang dimaksud dengan Keputusan Administrasi Negara dan tindakan administrasi negara adalah :
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. (Pasal 1 angka 7 UU Nomor  30 Tahun 2014
Pasal 87 Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

35. Bagaimana syarat sahnya sebuah keputusan ? dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, diatur secara normatif syarat sahnya keputusan yaitu pada Pasal 52:
Pasal 52 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur syarat sah Keputusan , yaitu, bahwa Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

36.Berdasarkan Pasal 52 UU Nomor 52 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014, maka menurut penulis Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara, harus dianalisis konstruksi hukumnya:
   1.Apakah Bersumber dari wewenang  Atribusi atau delegasi ?
      a. Sesuai konstruksi hukum menurut ahli adalah sumber wewenangnya adalah wewenang Atribusi, yakni pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang (pasal 1 angka 22 UU Nomor 30 Tahun 2014)
    Jadi secara HAN, bahwa ketika pejabat bupati diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dan dilantik,maka secara HAN pejabat bupati mendapatkan sumber wewenang atribusi, karena diberikan pemberian kewenangan berdasarkan Undang-Undang, oleh karena itu dalam mengambil Keputusan dan tindakan administrasi harus dibuat sesuai prosedur dan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

      b. Kemudian perlu dianalisis dari sifat keputusan dari pejabat bupati, karena menurut UU Nomor 30 Tahun 2014
           Pasal 54 (1) Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat:
a. konstitutif; atau
b. deklaratif.
(2) Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif
           Penjelasan Pasal 54 Ayat (1)
         a. Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat konstitutif” adalah Keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan.
         b. Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat deklaratif” adalah Keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif.
   c. Alasan secara yuridis normatif, karena harus melalui proses pembahasan ditingkat pejabat pemerintahan dalam hal ini melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil, pasal 16 menyatakan Ketua Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota adalah Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dengan anggota para pejabat eselon II, dan Sekretaris dijabat oleh pejabat eselon III yang membidangi kepegawaian.
         Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JABATAN STRUKTURAL
        (1). Untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah di setiap instansi dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan, selanjutnya disebut Baperjakat.
        (2)   Baperjakat terdiri dari:
a.  Baperjakat Instansi Pusat;
b.  Baperjakat Instansi Daerah Propinsi;
c.  Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota
(3)  Tugas pokok Baperjakat Instansi Pusat dan Baperjakat Instansi Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah.
     (5).    Disamping tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Baperjakat bertugas pula memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang dalam pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara dan pertimbangan perpanjangan batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural Eselon I dan Eselon II.
  37.Berdasarkan Dogma HAN, bahwa SYARAT SAH BERLAKUNYA KEPUTUSAN, ada dua syarat, yaitu
SYARAT FORMAL. YAITU:
1. PROSEDUR/CARA PEMBUATAN  KEPUTUSAN.
2. BENTUK KEPUTUSAN.
3.PEMBERITAHUAN KEPADA YANG BERSANGKUTAN.

Ad 1 PROSEDUR/CARA PEMBUATAN
     Artinya Beschikking dibuat berdasarkan prosedur yang telah ditentukan Oleh peraturan dasarnya.
     Misalnya pengangkatan PNS
Ad.2. BENTUK PENETAPAN
     Persoalan apakah suatu Beschikking harus diberi bentuk tertentu,   misalnya tertulis ataupun tidak tertulis, tergantung dari peraturan pokok yang menjadi dasar pengambilan keputusan.
Ad.3. PENYAMPAIAN KEPUTUSAN PADA YANG BERSANGKUTAN.
     Pada umumnya syarat berlakunya suatu keputusan harus disampaikan   kepada yang bersangkutan atau terkena keputusan.
     Pemberitahuan ini dapat dilakukan melalui penyerahan kepada yang bersangkutan, pengumuman melalui media massa, melalui surat yang tercatat dalam buku ekspedisi.

2. SYARAT MATERIIL
Instansi atau pejabat yang membuat harus memiliki kewenangan dalam jabatannya
1. Penetapan harus dibuat tanpa kekurangan yuridis.
     Artinya bahwa keputusan tersebut dibuat tidak boleh didasarkan pada paksaan (Dwang), Penipuan (bedrog) dan kekhilapan(dwaling)
2. Penetapan harus menuju sasaran/tujuan (doelmatig) yang tepat, sesuai dengan peraturan dasarnya.
Apabila suatu penetapan dibuat tidak sesuai dengan sasaran/tujuan sebagaimana diamanahkan oleh peraturan dasarnya, maka hal tersebut merupakan penyelewengan atau penyimpangan (detournement de pouvoir).
Akibat Hukum Keputusan yang tidak sah:
Penetapan yang tidak memenuhi syarat formal maupun material mempunyai akibat:
1.   Penetapan menjadi batal
2.   Penetapan dapat dibatalkan oleh Instansi yang membuat.
3.  Penetapan yang seharusnya disahkan oleh instansi atasan, menjadi tidak disahkan.
4.  Ada kemungkinan kekurangan dalam penetapan tidak mempunyai pengaruh mengenai sah berlakunya, malahan dengan perbaikan/ penambahan kekurangan diperkuat sah berlakunya.
5.  Apabila Keputusan diambil diluar kewenangan atau melampuai kewenangannya,maka Keputusan itu Batal demi Hukum.
Berdasarkan analisis di atas, menurut pendapat ahli jika pejabat bupati tidak secepatnya mencabut dan membatalkan 6 (enam ) Keputusan, karena diluar kewenangan Pejabat Bupati, maka dimungkinkan akan meningkat pembuktian penyalah gunaan kewenangan, karena menurut pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2014, bahwa berkaitan dengan Pembatasan Kewenangan Pasal 15 (1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh: a. masa atau tenggang waktu Wewenang; b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan c. cakupan bidang atau materi Wewenang. Dan menurut pandangan penulis tindakan yang dilakukan oleh pejabat Bupati dapat dikategorikan sebagai TINDAKAN ADMINISTRASI YANG MERUPAKAN TINDAKAN YANG MELAMPUAI BATAS KEWENANGAN YANG DIAMANATKAN DAN MELANGGAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
      Dengan argumentasi:
Pertama, Pejabat Bupati mendapat sumber kewenangannya adalah wewenang atribusi, yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN sebagai Pejabat yang Berwenang, yaitu  pejabat   yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan sebagai pejabat yang diangkat dan ditetapkan oleh Pejabat Administrasi, yaitu sebagai Pegawai  ASN  yang menduduki Jabatan   Administrasi   pada   instansi pemerintah, dalam hal ini instansi Pemerintah Daerah Kabupaten serta sebagai Pejabat   Fungsional, yaitu  Pegawai   ASN   yang menduduki Jabatan   Fungsional   pada  instansi pemerintah, maka terikat dengan sumpah atau janji jabatan, sebagaimana ditetapkan  oleh Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 pada BAB IV PELANTIKAN PENJABAT KEPALA DAERAH dalam Pasal 25 yang menyatakan (1) Penjabat kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji,(2) Pengucapan sumpah/janji dipandu oleh pejabat yang melantik, kemudian lapal sumpahnya berdasarkan secara mutatis mutandis sama dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana dimaksud  Pasal 29 yang menyataka, bahwa Ketentuan mengenai naskah dan pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dan pasal 11 berlaku secara mutatis mutandis terhadap naskah dan pengucapan sumpah/janji penjabat kepala daerah yang berbunyi (2)Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji, akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Kedua, Kemudian dengan sumpah tersebut ketika Pejabat Bupati, sebagai pejabat yang berwenang dalam  mengambil keputusan adminitrasi negara dan tindakan administrasi negara harus berdasarkan dasar hukum, khususnya dalam  melaksanakan   proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 13 UU Nomor  5 Tahun 2014) dan mematuhi larangan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, bahwa dalam hal pejabat bupati sebagai pejabat Kepala Daerah yang sumber wewenangnya atribusi sebagai pejabat administrasi atau sebagai Pegawai  ASN  yang menduduki Jabatan   Administrasi   pada   instansi pemerintah, dalam hal ini instansi Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Penyelenggaraan    kebijakan    dan    Manajemen    ASN berdasarkan pada asas antara lain: a.  kepastian hukum;  b. profesionalitas;  c.  proporsionalitas;  d.  keterpaduan; j.  Non diskriminatif; l.  keadilan dan kesetaraan; (pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 2014).
Keempat,  walaupun UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak dijadikan konsideran Keputusan, tetapi sesuai dengan sumpah pejabat bupati, diwajibkan harus patuh untuk memegang teguh Udang-Undang dan peraturannya, karena UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai hukum materiil Hukum Administrasi Negara atau  salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.(pasal 2 UU Nomor 30 Tahun 2014), oleh karena  itu pejabat bupati terikat secara hukum untuk menjalankan taat asas dalam  Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB (pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 2014) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Kelima, Bahwa ketika mengambil keputusan, sebagaimana diperintahkan Pasal 9 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014, yaitu Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakana.
Keenam, bahwa keputusan yang diambil harus memenuhi syarat sah sebuah keputusan sebagaimana diamanahkan Pasal 52 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 Syarat sahnya Keputusan meliputi: a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. dibuat sesuai prosedur; dan c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan. (2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB dan tidak boleh melampai kewenangan atau cakupan kewenangan, karena berdasarkan Pasal 15 (1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh: c. cakupan bidang atau materi Wewenang.
Ketujuh, Bahwa ketika tata usaha negara dalam mengambil keputusan,  kemudian melanggar peraturan perundang-undangan, maka Larangan dimaksud dapat menjurus kepada Penyalahgunaan Wewenang sebagaimana amanah  Pasal 17 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Kedelapan, ketika pejabat tata usaha negara mengambil keputusan melampaui kewenangan yang diamanahkan peraturan perundang-undangan sebagaiman dimaksud  Pasal 18 (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan kemudian Pasal 18 ayat  (2) yang menyatakan, bahwa: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
Kesembilan, Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014, bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:  tanpa dasar Kewenanganapabila terjadi kesalahan prosedur dan tidak memiliki dasar hukum terhadap kewenangan dan melanggar larangan peraturan perundang-undangan, maka secara hukum Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang dapat dicabut dan dibatalkan, jika tidak dicabut atau dibatalkan, maka dapat patut diduga sebagai penyalahgunaan kewenangan.

                                                                                    Pontianak,  11 Februari       2016
                            Tengku Mulia Dilaga Turiman  FN,SH,MHum









[1] Konsideran Menimbang UU Nomor 30 Tahun 2014
[2] Prajudi. A.S, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, lihat juga Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hal 20
»»  Baca Selengkapnya...