Kamis, 12 November 2015

MEMAHAMI TEORI KEDAULATAN DALAM PERSPEKTIF ILMU NEGARA

MEMAHAMI TEORI KEDAULATAN DALAM  PERSPEKTIF ILMU NEGARA

Oleh:

Turiman Fachturahman Nur,SH,MH

Pengertian kdaulatan

   Menurut SOETOMO SH,. Kedaulatan adanya suatu pemerintah yang berkuasa di wilayahnya terhadap suatu wilayah dan segenap rakyatnya merupakan syarat mutlak bagi adanya Negara. Kedaulatan adalah sesuatu yang tertinggi dalam suatu Negara yang berlaku terhadap seluruh rakyat Negara itu.
        Menurut Dr. Ni’matul huda, SH. M.Hum Kata kedaulatan berasal dari kata soveringenty (bahasa ingris) souverinete (bahasa prancis), sovranus (bahasa latin). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata latin superanus yang berarti ‘’yang tertinggi’’. Sarjana-sarjana dari abad menenengah  lazim menggunakan pengertian-pengertian yang serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu summa potestas atau plenitude potestatis, yang berarti wewenang tertinggi dari suatu kesatuan politik.
        Menurut SOEHINO S.H, salah seorang sarjana yang pernah memberikan perumusan tentang kedaulatan, dan bagaimana sifat-sifat kedaulatan itu, adalah seorang sarjana prancis yang hidup pada abad ke  XVI yang bernam Jean Bodin. Beliau mengatakan bahwakedaulatan itu ialah kekuasan tertinggi untuk menentukan hokum dalam suatu Negara, yang sifatnya: tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat di bagi-bagi.
        Menurut MAX BOLI SABON S.H, menyatakan: Jean bodin seorang sarjana prancis pada abad XVI perna merumuskan pengertian kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hokum dalam suatu nagara yang sifatnya : unggal, abadi dan tidak dapat di bagi-bagi. Kendatipun perumusan jean bodin kini tidak dapat di laksanakan secara konsekuen, akan tetapi berkat pemikirannya itu maka ia mendapatkan julukan bapak kedailatan.
            Menurut Prof, Drs C.S.T KANSIL SHKedaulatan adalah kkusaan tertinggi dalam kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam Negara itu.
Mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, Istilah kedaulatan sendiri seringkali dijumpai atau ditemukan dalam berbagai macam pengertian, dan masing-masing memiliki perbedaan yang prinsipil. Misalnya pengertian kedaulatan apabila dimaknai dalam perspektif hukum Internasional lebih sering dipandang dalam konteks hubungan ekstern atau hubungan antar negara, sedangkan dalam perspektif hukum Tata Negara, pengertian dipandang dalam konteks hubunganintern yaitu hubungan negara ke dalam. Kedaulatan juga dipandang sebagai konsep mengenai kekuasan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pemaknaan kedaulatan seperti ini merupakan arti yang bersifat teknis ilmiah yaitu dengan mengidentikkannya dengan penyelanggaraan kegiatan bernegara. Ketika membicarakan mengenai kedaulatan dalam konteks penyelenggaraan negara maka muncullah suatu pertanyaan yaitu apa dan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan akhir dalam kegiatan kenegaraan atau dalam bentuk pertanyaan darimanakahkedaulatan itu berasal atau bersumber sehingga padanya melekat kekuasaan tertinggi tersebut. Dalam kajian ilmu hukum dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu  teori kedaulatan Tuhan,  teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, teori kedaulatan Negara,dan teori kedaulatanHukum.
        Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada warga negaranya, oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.
    Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara karena teorikekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari  itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori negara. Pemikiran tantangteori negara pun sudah dimulai sejak zaman romawi kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat, organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam pemenuhan kebutuhannya.
         Aristoteles yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani  mengatakan bahwa pada hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon). Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah. Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
           Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintahanya raja mengharapkan anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga merupakan hamba Tuhan.
            Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat duniawi. Dasar pemikiran ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya manusia hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan keadaan ini bahwa manusia yang satu merupakan srigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan manusia tersebut. Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil buahnya.
         Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa  di dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan yang baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”
       Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal uang. Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state of war).  Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.
         Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para warga negaranya.
            Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan keadaan aman dan bahagia.
            Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada akhirnya keadaan alamiah manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika setiap manusia tidak dapat lagi mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.
       Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap anggotanya  sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.  Penyerahan kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak sosial itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh.
       Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut dapat dibedakan atas Kedaulatan Tuhan,Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara,  kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut pada dasarnya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau bagian suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.


Berbagai Teori Kedaulatan

Pertama, Teori Kedaulatan Tuhan
Teori Kedaulatan Tuhan merupakan teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah, mengajarkan bahwa Negara dan pemerintah mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segala sesuatu (Causa Prima). Menurut teori Kedaulatan Tuhan, kekuasaan yang berasal dari tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh Negara terpilih, yang secara kodrati diterapkan-Nya menjadi pemimpin Negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa, misalnya para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda (Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selasi, singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus
Pelopor teori kedalulatan tuhan antara lain : Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl (1802-1861).
Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan Negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja atau pemerintah salalu benar, tidak mungkin salah.

Kedua, Teori Kedaulatan Raja

Dalam Abad Pertengahan Teori Kedaulatan Tuhan berkembang menjadi Teori Kedaulatan Raja, yang menggap bahwa raja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kekuasaan raja berada di atas konstitusi. Ia bahkan tidak perlu menaati hukum moral agama, justru karena statusnya sebagai representasi atau wakil Tuhan di dunia, maka pada saat itu kekuasaan raja berupa tirani bagi rakyatnya.
Peletak dasar utama teori ini adalah Niccolo Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, II Principle.  Ia mengajarkan bahwa Negara harus dipimpin oleh seoran Raja yang berkekuasaan mutlak. Sedangkn Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan Negara memang dipersonifikasikan dalam pribadi raja, namun raja tetap harus menghormati hukum kodrat, hukum antar bangsa, dan konstitusi kerajaan (leges imperii). Di Inggris, teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobes (1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk mengatur Negara dan menghindari homo homini lupus.

Ketiga Teori Kedaulatan Negara
Menurut teori Kedaulatan Negara, kekuasaan tertinggi terletak pada Negara. Sumber kedaulatan adalah Negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu Negara. Hokum dan konstitusi lahir menurut kehendak Negara, dan diabdikan kepada kepentingan Negara. Para penganut teori ini melaksanakan pemerintahan tiran, teristimewa melalui kepala Negara yang bertindak sebagai dictator.
Pengembangan teori Hegel menyebar di Negara-negara komunis. Peletak dasar teori antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F.Hegel (1770-1831), G.Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).


Kempat, Teori Kedaulatan Hukum
Berdasarkan pemikiran teori Kedaulatan Hukum, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintah. Etika normatif Negara yang menjadikan hukum sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hokum dan penyelenggaraan Negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori kedaulatan hukum antara lain : Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Daguit.  


Kelima, Teori Kedaulatan Rakyat atau Teori Demokrasi
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (teori ajaran demokrasi). Pemerintah harus menjalankan kehendak rakyat dan konstitusi menjamin hak asasi manusia.  

Beberapa pandangan pelopor teori kedaulatan Rakyat :
a.   JJ. Rousseau
JJ. Rousseau Menyatakan bahwa kedaulatan itu perwujudan dari kehendak umum dari suatu bangsa merdeka yang mengadakan perjanjian masyarakat (social contract).

b.   Johanes Althusius
Johanes Althusius menyatakan bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat.

c.   John Locke
John Locke menyatakan bahwa kekuasaan Negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurutnya, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban asasi kepada rakyat melalui peraturan perundang-undangan.

d.     Mostesquieu
Mostesquieu membagi kekuasaan Negara menjadi : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif (Trias Politica).


»»  Baca Selengkapnya...

Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia

Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia

Oleh: Turiman Fachturahman Nur ,SH,MH
 Prolog
            “Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini. Alangkah megahnya. Alangkah hebatnya dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, Garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila, demikian pidato Persiden Soekarno di Istana Negara, Jakata, 22 Juli 1958.  
  Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan Elang Rajawali-Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara terhitung 11 Februari 1950. Empat hari kemudian pada 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kali lambang negara tersebut kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, (sekarang Pertokoan Duta Merlin, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat). Inilah karya terbesar Sultan Hamid II yang ditugaskan secara khusus oleh Presiden Soekarno untuk merancang lambang negara republik Indonesia, setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio, terhitung 20 Desember 1949.
Dalam kaitan penetapan Lambang Negara tersebut dilaksanakan pameran di Hotel des Indes, Jakarta. Pameran itu digagas langsung Presiden Soekarno sebagai rasa puas yang teramat dalam dari Presiden terhadap proses pembuatan Lambang Negara Elang Rajawali - Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, Sultan Pontianak - Kalimantan Barat. Hotel des Indes dipilih sebagai tempat pameran karena pada masa itu dikenal sebagai hotel paling mewah dan bergengsi di Jakarta. Beroperasi mulai tahun 1856 sampai 1960 di Weltevreden, Batavia (Jakarta). Banyak peristiwa penting yang dilaksanakan di Hotel de Indes, antara lain sebagai tempat ditandatangani Perjanjian Roem -  Roijen, pada 7 Mei 1949.
Tanah lokasi Hotel des Indes pada mulanya dimiliki oleh Reinier de Klerk sejak tahun 1760. Tanah dan rumahnya dijual de Klerk kepada C. Postmans pada tahun 1774. Pada tahun 1824, tanah dan bangunan dibeli pemerintah untuk sekolah asrama putri. Pada tahun 1829, tanah dan bangunan di lokasi tersebut dibeli orang Perancis bernama Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel yang diberi nama Hotel de Provence.[1] Pada tahun 1845, putranya, Etienne Chaulan mengambil alih pengelolaan hotel tersebut dari tangan ayahnya.
            Di bawah manajemen Cornelis Denning Hoff, Hotel de Provence berganti nama menjadi Rotterdamsch Hotel pada tahun 1851, dan setahun kemudian (1852), dijual kepada orang Swiss bernama François Auguste Emile Wijss yang menikah dengan keponakan perempuan dari Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs mengganti nama hotel ini menjadii Hotel des Indes, atas usulan Douwes Dekker.
Pada tahun 1860, hotel ini dijual lagi kepada seorang Perancis bernama Louis George Cressonnier. Setelah Louis George Cressonnier meninggal pada tahun 1870, keluarganya menjual Hotel Des Indes kepada Theodoor Gallas. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang meperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas N.V Hotel des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen J.M. Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.
Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861, “Hotel des Indes sangat nyaman, setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte, dan makan malam mulai pukul enam, semuanya dengan harga per-hari yang pantas.” Salah seorang tamu yang selalu tinggal di hotel ini adalah Sultan Hamid II, Menteri Negara Zonder Portofolio RIS. Meskipun jabatannya seorang menteri Negara, Sultan Hamid II tidak menerima fasilitas layaknya seorang menteri seperti rumah dan kendaraan dinas.
John T. McCutcheon menulis, pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. John T. McCutcheon bercerita tentang kemewahan riijsttafel di hotel ini, “Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi.”
            Tempat bersejarah yang mempunyai kaitan erat dengan lambang Negara Garuda Pancasila itu kini tinggal sebuah nama. Pada tahun 1960 pemerintah Indonesia mengambil alih Hotel Des Indes, dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan Hotel Duta Indonesia (d/h: Hotel Des Indes) yang bersejarah itu dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Kementerian Luar Negeri
            Karena alasan politik, cukup lama Sultan Hamid II tidak diakui sebagai perancang Lambang Negara Indonesia (Elang Rajawali - Garuda Pancasila). Pengakuan resmi Pemerintah Republik Indonesia terhadap karya Sultan Hamid II sebagai Perancang Lambang Negara Indonesia, ditandai dengan langkah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Museum Konferensi Asia Afrika, di Bandung, Provinsi Jawa Barat, menerbitkan buku kecil berwarna yang meramu berbagai bahan dari penelitian tesis Turiman Fachturahman Nur dan dokumen yang berada di Yayasan Sultan Hamid II, ukuran 11 centimeter x 20 centimeter, setebal 48 halaman di awal tahun 2012. Di dalam buku saku itu, disebutkan dari berbagai rancangan yang dibuat, rancangan dibuat oleh Sultan Hamid II yang dipilih Presiden Soekarno sebagai Lambang Negara yang kemudian dikenal dengan Garuda Pancasila.
Penerbitan buku Sejarah Lambang Negara Indonesia, setelah digelar Diskusi Ilmiah di Sekretariat Negara, Jalan Veteran Nomor 17, Jakarta pada Rabu, 29 Februari 2012, yang dibuka oleh Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Lambock V Nahattand. Diskusi Ilmiah tersebut menghadirkan Tiga Narasumber (Pemateri). Narasumber pertama adalah Prof. DR. Dadan Wildan, M.Hum, yaitu sebagai Ketua Penyusun buku: Garuda Lambang Negara Republik Indonesia, Proses Penciptaan, Simbolisasi Makna, Serta Penggunaan Lambaga Negara.
Narasumber kedua adalah Turiman Fachturrahman Nur, S.H., M.H., Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak - Kalimantan Barat, dan Narasumber ketiga adalah Anshari Dimyati, S.H., M.H., Peneliti dari Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation), Jakarta. Diskusi Ilmiah tersebut dihadiri juga oleh Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, yaitu Max Yusuf Al-Qadrie yang sekarang bertindak sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation), Dekan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Prof. DR. H. Garuda Wiko, S.H., Msi, dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura DR. Firdaus, S.H., M.Msi
Dalam buku saku 48 halaman dicantumkan pula Biodata Panita Lambang Negara, yakni Sultan Hamid II, Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, M. A. Pellaupessy, Poerbatjaraka. Dilukiskan pula didalamnya detik-detik perancangan Lambang Negara di halaman 33. Sedangkan di halaman 37 – 42, dilansir kegiatan ulang tahun Lambang Negara Garuda Pancasila di Gedung Merdeka, Jakarta, satu tahun sebelumnya, yakni tepatnya pada Jum’at, 11 Februari 2011.
Masyarakat antusias menyaksikan kegiatan ulang tahun Garuda Pancasila yang digelar pada Jum’at, 11 Februari 2011 di Museum Gedung Konferensi Asia Afrika, Bandung. Pada halaman 38 ada foto tarian seorang laki-laki berkostum Suku Dayak memegang mandau di tangan kanan, perisai di tangan kiri, telanjang dada dan hiasan manik-manik serta bulu burung di kepala. Sementara di halaman 42, tampak Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation) Max Yusuf Al-Qadrie menghampiri Narasumber kegiatan ulang tahun ke-60 Lambang Negara Garuda Pancasila tahun 2011, yakni DR. Asvi Warman Adam, APU, Sejarawan senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Turiman Fachturrahman Nur, S.H., M.Hum., (Peneliti Lambang Negara dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura), hadir pula Hilarion Widyatmoko dan Nanang Rakhmat Hidayat.
            “Pameran Lambang Negara Garuda Pancasila di Gedung Pancasila oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia selama tiga pekan, 19 Juli - 14 Agustus 2012,  menjelaskan kaitan historis Lambang Negara Garuda dengan Gedung Pancasila, demikian Kepala Subdirektorat Isu Aktual dan Strategis Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Eni Hartati sebagaimana dilansir Detik.com, 26 Juli 2012. Pameran digelar di Gedung Pancasila, Jalan Pejambon, Jakarta, dibuka secara resmi oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Budi Bowoleksono, Kamis, 19 Juli 2012. 
Ketika membuka pameran, Budi Bowoleksono menekankan tujuan penyelenggaraan pameran ini sebagai bagian dari upaya mengajak masyarakat umum lebih mengenal lingkungan Kementerian Luar Negeri, terutama Gedung Pancasila yang dibangun pada 1830, serta fungsinya pada masa sekarang. Sejarah lahirnya Lambang Negara Burung Garuda Pancasila, yang juga terkait dengan perjalanan sejarah Gedung Pancasila, tentu penting untuk melengkapi pemahaman mengenai gedung ini.
            Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Abdurrahman Mohammad Fachir, menyampaikan bahwa pameran menampilkan 20 panel yang menjelaskan proses perancangan lambang negara, serta biografi para perancang lambang negara; antara lain Sultan Hamid II, Muhammad Yamin, dan Ki Hajar Dewantara. Selama pameran diputar film dokumenter mengenai proses awal kegiatan perancangan lambang negara ini.
            Ada empat pihak yang paling berperan dalam memperkuat bukti sejarah bahwa Sultan Hamid II sebagai Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Pertama, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation) yang juga seorang Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II yaitu Max Yusuf Al-Qadrie yang masih sangat rapi menyimpan Data dan Dokumen-dokumen pendukung peninggalan almarhum Sultan Hamid II. Kedua, Solichin Salam, seorang Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta, yang mendapat dokumen penting dari Sultan Hamid II. Sultan Hamid II meminta Solichin Salam agar bahan yang dikirim dapat dipublikasikan di Harian Berita Buana. Djangan pasang lambang negara di rumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara gambar rantjangan saja,” tulis surat Sultan Hamid II kepada Solichim Salam di Jakarta, 15 April 1967.
            Sultan Hamid II di dalam suratnya kepada Solichin Salam, menyebutkan bahwa contoh gambar burung dari Kerajaan Sintang - Kalimantan Barat sebagai salah satu referensi selama perancangan. Kemudian pemuka masyarakat Suku Dayak dari Kalimantan Barat diundang Sultan Hamid II secara khusus ke Hotel Des Indes, Jakarta, yakni Burung yang dikenal dengan sebutan Panglima Burung, lalu Masuka Djanting dan J.C. Oevang Oeray. Khusus Kepala Burung Garuda Pancasila sekarang, menurut Sultan Hamid II, diilhami masukan dari Masuka Djanting, Panglima Burung dan J.C. Oevaang Oeray.
Ketiga, transkrip percakapan Sultan Hamid II dengan Tijo Wie Taj alias Mas Agung tahun 1974, agar hasil karyanya bisa diterbitkan di dalam bentuk buku, jika situasinya memang memungkinkan. Tijo Wie Taj adalah seorang pengusaha yang salah satu unit usahanya bergerak di bidang penerbitan buku.  Sultan Hamid II juga menyerahkan berbagai dokumen penting kepada Tijo Wie Taj tahun 1974.  Dokumen yang diserahkan kepada, Tijo Wie Taj berupa file proses perancangan lambang negara.
Keempat, Turiman Fachturrahman Nur, S.H., M.Hum, secara ilmiah membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah orang yang merancang Lambang Negara Garuda Pancasila, dengan memperlihatkan berbagai data otentik yang diperolehnya dari berbagai sumber. Di hadapan Tim Penguji Tesisnya: Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H., dan Prof. Dr. H. Azhary, S.H.
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura - Pontianak itu berhasil mempertahankan Tesis Master berjudul: Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba Jakarta Pusat, Rabu, 11 Agustus 1999. Tesis Turiman Fachturrahman tersebut merupakan kajian ilmiah pertama di Indonesia dalam bentuk Tesis tentang Sejarah Hukum penciptaan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, Menteri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).


Panitia Lambang Negara
            Selaku Menteri Negara, Sultan Hamid II teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila, divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah Koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ng. Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
            Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab”, untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Prijono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima Pemerintah (Eksekutif) dan Parlemen (Senat dan DPR) RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya Muhammad Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
            Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang yaitu Sultan Hamid II, dengan Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta[2], terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan antara mereka bertiga, untuk mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
            Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai Pancasila dan dianggap bersifat mitologis yang menyimpang dari kepercayaan umat Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia.
            Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang dan setelah melakukan perbandingan negara-negara di dunia, sehingga tercipta bentuk Elang Rajawali - Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. A.G. Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan (DepHankam), Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS 11 Februari 1950.
            Ketika itu gambar bentuk kepala Elang Rajawali - Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II - Menteri Negara RIS.
            Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Elang Rajawali - Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas permintaan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Lambang Negara Indonesia
Sejak
11 Februari 1950 (RIS – Republik Indonesia Serikat)
Perisai
Di bagian tengah Elang Rajawali Garuda, melambangkan Pancasila, ideologi nasional Indonesia
Penopang
Elang Rajawali Garuda (penopang tunggal)
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika
Elemen
Jumlah bulu Elang Rajawali Garuda Pancasila melambangkan tanggal 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Republik Indonesia
Penggunaan
(a)               Lambang Negara (contoh pada Paspor dan dokumen resmi kenegaraan)
(b)              sebagai lambang kenegaraan dan ideologi nasional
(c)    Penggunaan resmi kenegaraan lainnya



Sudut Pandang Elang Rajawali Garuda
            Lambang negara Indonesia adalah Elang Rajawali - Garuda Pancasila, kemudian disingkat menjadi Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara Indonesia berbentuk burung Elang Rajawali Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Elang Rajawali Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Elang Rajawali Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Beraneka Ragam satu itu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS), 11 Februari 1950. PenggunaanLambang Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1958.
             Presiden Soekarno pernah menyitir tentang mitologi Garuda “Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauanmu.” Bait sajak karya Raden Mas Noto Soeroto dalam buku Wayang-liederen yang dikutip oleh Presiden Soekarno ketika diminta memberikan nama untuk maskapai penerbangan Indonesia.[3]  
               Menelusuri asal muasal istilah garuda di Indonesia akan membawa kita pada sekitar abad pertama masehi, ketika pelaut dan pedagang dari India Selatan mendarat di kepulauan Nusantara. Semenjak itu, pertukaran hasil bumi dan barang-barang mulai dilaksanakan. Asimilasi kebudayaan juga mulai terjadi, termasuk kesusastraan di dalamnya.
Dalam bidang kesusastraan, terdapat kisah-kisah dulu (purana) dengan kisah garuda di dalamnya. Lambat laun, masyarakat setempat membuat sendiri kisah garuda dalam bahasa turunan, Sanskerta yakni bahasa Kawi. Kisah itu dituangkan dalam teks kesusastraan awal, yakni kitab Adiparwa yang ditulis sekitar abad ke-10 Masehi.
Dalam kisah Adiparwa, garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari. Menururt mitologi Hindu, garuda merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu, sinar garuda sangat terang sehingga para dewa mengiranya Agni (Dewa Api) dan memujanya. Garuda sering dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor, dan moncong burung elang, tetapi tubuh, tangan, dan kaki manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan.
                Kitab Mahabharata dijelaskan bahwa garuda adalah keturunan dari Bangawan Kasyapa dan sang Winata. Ketika garuda lahir (menetas), ia mendapatkan ibunya, sang Winata, diperbudak Sang Kadru. Garuda harus mampu membawa Tirta Amerta ke hadapan Sang Kadru dan para naga untuk membebaskan ibunya. Dalam mitologi Buddha, tokoh garuda merupakan salah satu dari delapan golongan makhluk-makhluk naga langit, yaitu makhlul-makhluk hidup yang tidak tampak dengan mata biasa.
                Makhluk-makhluk itu bertugas untuk menjaga Buddha Dharma, atau agama Buddha, beserta para Buddha dan pemeluk-pemeluk agama Buddha. Garuda digambarkan memiliki bulu sayap yang dijalin dari intan dan berlian sehingga garuda itu juga dinamai “Burung yang sayap-sayapnya berwarna kuning keemasan, atau burung yang bersayap sangat menakjubkan”. Garuda juga digambarkan memiliki badan yang luar biasa besarnya. Dalam khasanah  peradaban Hindu kisah mitologi Garuda sebagai kendaraan Raja Air  Langga dapat dipaparkan sebagai berikut:[4]
                 “Sebelum Airlangga naik tahta dan menikahi Sri Sanggramawijaya, mertuanya yakni Raja Dharmawangsa diperintahkan para pujangga Kerajaan Kahuripan menyadur Kitab Mahabharata berbahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuno dalam 18 parwa. Kisah Dewa Wisnu menunggang Garuda diarcakan di Candi Belahan, Kabupaten Pasuruan; Jawa Timur. Dewa Wisnu menunggang Garuda itu sebagai penggambaran kebesaran Prabu Airlangga, putra asal Bali yang adil dan bijaksana dalam mengemban roda pemerintahan Kerajaan Kadiri atau Kahuripan, JawaTimur (1009-1042). Prabu Airlangga sendiri merupakan putra dari penguasa Bali Dwipa: Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Setelah mengembara ke Tanah Jawi sejak usia 16 tahun, Airlangga kemudian diambil menantu oleh Raja Kadiri, Dharmawangsa, saat dinikahkan dengan putrinya, Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadotunggadewi. Kemudian, Airlangga dinobatkan sebagai raja.  Sebagai Raja Kahuripan, Airlangga bukan saja memajukan bidang politik, sosial ekonomi teknologi, dan pertanian denan proyek monumentalnya berupa bendungan Waringin Sapta (Prasasti Kamalagyan). Namun, Raja Airlangga juga mencerdaskan rakyatnya, terutama di bidang. sastra dan budaya. Memajukan sektor sastra dan budaya ini, tidaklah aneh, karena rnertuanya yakni Darmawangsa. dulunya juga dikenal sebagai raja yang memperhatikan kehidupan sastra dan budaya. Atas perintah Dharmawangsa, para pujangga menyadur Kitab Mahabharata berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno dalam 18 parwa. Gubahan dalam bentuk seloka dan palawakya itu keadaanya disesuaikan dengan alam Indonesia, di antaranya Serat Adiparwa.
             Di zaman Raja Airlangga, hiduplah seorang pujangga kerajaan ternama, Empu Kanwa. Pujangga besar ini berhasil menggubah Kitab Arjunawiwaha dalam bentuk kakawin. Cerita yang dalam pewayangan dikenal dengan lakon Begawan Witaraga itu termuat di Serat Mahabharata dari India, episode Niwatakawacayuddhaparwa. Di Jawa, oleh Empu Kanwa, naskah itu digubah dalam bahasa Jawa Kuna berupa Serat Arjunawiwaha. Isi singkatnya seperti berikut. Sebagai golongan raksasa, Prabu Niwatakawaca, raja di Manimantaka, sudah mendapatkan istri seorang bidadari, Dewi Prabasini. Perkawinan ini sebenarnya menyalahi aturan. Tapi, Niwatakawaca alias Prabu Nirbita yang serakah masih menginginkan istri bidadari lagi. Dengan mengutus Sudirgapati, Niwatakawaca melamar Dewi Supraba di Kahyangan. Karena ditolak, Suralaya akan dijarah, sehingga Batara Indra perlu mencari jago di marcapada. Saat itu, Raden Arjuna, penengab Panca Pandawa, sedang bertapa di sebuah gunung atau Wukir Indrakila, dipanggil Begawan Ciptaning, memohon Dewa agar Yudhistira, sulung dari Panca Pandawa, bisa menjadi Raja Amerta kembali Di gua Witaraga, Arjuna bersemadi. Witaraga sendiri artinya suatu tempat untuk menahan hawa nafsu. Maka, Batara Indra mengutus tujuh bidadari untuk menggoda tapa Arjuna. Tujuh bidadari itu ada- lab Dewi Supraba, Tilotama, Warsiki, Surendra, Gagarmayang, Tunjungbiru, dan Lenglengmulat. Tetapi, bukannya Arjuna yang tergiur godaan asmara, melainkan justru para bidadari itu yang terbius kegantengan Arjuna. Baru setelah Batara Indra turun tangan sendiri di tengah hujan dengan menyamar sebagai Resi Padya, hati Arjuna menjadi luluh. Setelah menyanggupi permintaan resi untuk menjadi jago para dewa, Arjuna meneruskan tapanya. Saat itulah, Patih Mamangmurka, utusan Niwatakawaca, datang untuk menggagalkan semadi Arjuna. Begitu bangun dari tapanya, Arjuna membunuh penggodanya. Akibat semua itu, Arjuna memperoleh hadiah senjata Pasupati dan Batara Siwa. Hadiah lainnya, berupa langkap (perentang panah) dan makutha (mahkota). Ketika hendak pulang ke Amerta, utusan dewa memberi hadiah lagi kotang antrakusuma, trumpah pinatik manik nawa retna, dan nawala (surat) dan Batara Indra, agar Arjuna pergi ke Kahyangan karena diminta jasanya untuk membunuh Prabu Niwatakawaca. Dengan kotang dan terumpah itu, akhirnya Arjuna terbang menuju Kaindran untuk menjalankan tugas mengenyahkan keangkaramurkaan Niwatakawaca. Dengan menggunakan Seorang mata-mata bidadari yakni Dewi Supraba, Arjuna berhasil membunuh Niwatakawaca dengan mengarahkan panah Pasupati mengenai lidahnya. Dengan upacara kebesaran, sang pahlawan Arjuna akhirnya diarak ke Suralaya. Sebagai hadiahnya, Arjuna diberi dispensasi bermukim di surga selama lima tahun. Sebuah kisah legendaris tentang ketegaran seorang anak manusia dalam mengendalikan diri, tarak brata, berolah samadi, mesu budi mbesut raga, yang tak tergoyahkan oleh berbagai cobaan dan godaan. Arjunawiwaha bukan sekadar terjemahan dari gita bahasa Sanskerta, melainkan suatu gubahan baru yang menceritakan suatu peristiwa di dalam Mahabharata. Kakawin Arjunawiwaha rupanya mengibaratkan riwayat kehidupan Airlangga dengan permaisurinya, Sri Sangramnawijaya. Kakawin Arjunawiwaha ini digubah sang pujangga Empu Kanwa pada penobatan dan pernikahan Airlangga dengan Sangramawijaya, dan baru selesai tahun 942 Saka atau 1020 M. Pada akhir Kakawin Arjunawiwaha, tersebut nama pengarang dan tahunnya. “Sampun keketaning katharjuna wiwaha pan garanike, saksat tambayi empu kanwa tumaha metu-metu kakawin, bharantapan tehera ngharep samara katya pangiringi haji, Cri Airlangghya namostu sang penikelan tana hanganumata.” (Sudah digubah tetang cerita perkawinan Arjuna namanya, sebagai permulaan beliau Empu Kanwa mencoba mengeluarkan! menggubah kakawin, bingung/beliau oleh karena terus menghadapi kerja perkawinan mengiring Raja, Sri Airlangga, mudah-mudahan kesampaian sang diupacarai tak sedikit menganugerahi).  Isi Arjunawiwaha mengisahkan perjalanan spiritual Begawan Witaraga atau Mintaraga. Oleh sarjana Belanda, Prof Dr Krom, Arjunawiwaha karya Empu Kanwa ini dinilai bahasanya cukup baik, demikian pula rangkaian bait kidungnya. Tahun 1850, serat ini dicetak dalam aksara Jawa oleh Dr Friedderich. Tahun 1926, dicetak lagi dalam aksara Latin dengan salman bahasa BN, bahkan sebagian lagi diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh Prof Dr Poerbatjaraka.
               Atas jasanya memajukan bidang sastra dan budaya inilah, Raja Airlangga dimitoskan sebagai Dewa Wisnu yang menunggang Garuda. Wisnu dan Garuda sama-sama dipercayai sabagai tokoh yang kharismatik. Dewa Wisnu adalah juru selamat pelbagai persoalan dunia. Sedangkan Garuda dipandang sebagai makhluk kharismatik, karena Selain jadi kendaraan Dewa Wisnu, dalam mitologi Hindu, Garuda juga dianggap sebagai lambang pembebasan. Lambang pembebasan ini digambarkan dalam adegan Garudeya pada Adiparwa, yang membebaskan Dewi Kadru, ibunya, dan belenggu perbudakan.
             Selain Wisnu-Garuda didapatkan dalam manuskrip kuno, secara visual, kisah Wisnu menunggang Garuda (Garudeya) juga dijumpai dalam bentuk relief di Candi Dieng dan Candi Prambanan, di Jawa Tengab. Relief Garuda juga dipahatkan lengkap terdapat di Candi Sukuh, lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jateng, pada obelisk di bidang utara.
Di Jawa Timur pun, relief Garudeya bisa dijumpai di Candi Penataran (Blitar) dan Candi Kedaton. Dalam bentuk patung, dijumpai di Candi Kidal Tumpang Malang). Sedang visual Garudeya secara utuh dan berdiri sendiri sebagai arca Wisnu-Garuda, didapatkan di Candi (Petiran) Belahan, Gunung Penanggungan, Kab Pasuruan, Jatim. Arca ini melambangkan kejayaan Prabu Airlangga berdiri di atas punggung Garuda.

                Berdasarkan kisah di atas mitologi Garuda adalah sebagai lambang kebebasan, pada masa kedatangan Islam di Indonesia, garuda telah sampai pada akhir perjalanan, telah jauh dari keasliannya. Mulanya dia sebagai manifestasi Tuhan dan alat kepercayaan. Namun, ketika Islam datang, lambat laun garuda kehilangan kualitas ketuhanannya dan hanya menyisakan fungsi sakralnya sebagai pelindung dan kekuatan serta dijadikan lambang-lambang  kerajaan. Misalnya kerajaan Sintang di Kalimantan Barat yang erat kaitannya dengan kerajaan Hindu Majapahit.
             Setelah keberatan dan dikritisi serta ditolak oleh anggota Panitia Lambang Negara (Mohammadt Natsir) dalam rapat panitia lambang negara: 8 Februari 1950, maka Sultan Hamid II sebagai perancang gambar lambang negara kemudian memperbaiki hasil rancangan tahap pertama tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II:[5]
Akhirnya setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnja negara-negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir, ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti Negara Polandia jang sudah sejak ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja jelaskan di atas dalam kemeliterannya.
Karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangunan/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjarawan dan demikian seharusnya.
Selandjutnya gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr Mohammad Jamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima, 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada chalajak ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950.
            Walaupun demikian, ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung di belakang podium Parlemen Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawali tidak ‘berdjambul’ dan terlihat ‘gundul’. Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah[6], untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
Kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinya terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja.
           Tetapi menurut Paduka Jang Mulia, seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai. Selandjutnya meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjengkram pita/mendjadi ke arah depan pita agar tidak ‘terbalik’ dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip ‘djatidiri’ bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan “kesatuan’ dalam Negara RIS.
Mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika ‘bhinneka’ jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika ‘keikaan’ jang ditondjolkan itulah kesatuan repulbik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang Negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan ‘kesatuan’ haruslah dipegang teguh sebagai ‘djatidiri’ dan prinsip berbeda-beda pandangan tanpai satu djua’ e-pluribus unum’.
 Walaupun saja harus sudah pajah membuat sketsa kembali untuk pembetulan badan tjakar kaki itu, tetap saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang Negara RIS.  Karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan Bangsa Indonesia berdekatan dengan Burung Garuda dalam mitologi, kedua perisai ide Pantja-Sila ber-thawaf’’/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih.
           
            Setelah transisi Kemerdekaan Indonesia 1945 - 1949, disusul penyerahan dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara[7], M A Pellaupessy[8], Mohammad Natsir[9], dan R.M. Ng. Poerbatjacaraka[10] sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
            Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet Menteri Prijono[11] melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin[12]. Pada proses selanjutnya yang diterima Pemerintah (Eksekutif) dan Parlemen (Legislatif: Senat dan DPR) RIS adalah rancangan Sultan Hamid II, Elang Rajawali – Garuda Pancasila. Rancangan Lambang Negara buatan Muhammad Yamin (Lambang Banteng Matahari) ditolak, karena menyertakan sinar-sinar matahari yang telalu menampakkan pengaruh Jepang.
            Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II) dengan Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Elang Rajawali Garuda Pancasila, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
            Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Elang Rajawali - Garuda Pancasila. Kemudian disingkat menjadi Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. A.G. Pringgodigdo[13] dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan (DepHankam), Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.
            Ketika itu gambar bentuk kepala Elang Rajawali - Garuda Pancasila masih gunduldan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta, 15 Februari 1950[14].

Dilukis Ulang Pelukis Istana
            Presiden Soekarno terus ingin menyempurnakan bentuk Elang Rajawali Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Presiden Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan jambulpada kepala Elang Rajawali Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno kepada Sultan Hamid II. Alasan Soekarno meminta Sultan Hamid II untuk menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Negara Amerika Serikat (United States of America).
            Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Elang Rajawali Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan sebagai lambang negara Republik Indonesia. Desain lambang negara tidak berubah hingga dengan sekarang ini.
            Deskripsi gambar lambang Negara burung Elang Rajawali Garuda Pancasila yang dirancang Sultan Hamid II mempunyai arti filosofis sebagai berikut:
a.       Elang Rajawali Garuda Pancasila sendiri adalah Burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno hindu dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Dewa Wishnu yang menyerupai burung Elang Rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang Besar dan negara yang Kuat.
b.      Warna keemasan pada burung Elang Rajawali Garuda melambangkan Keagungan dan Kejayaan (Warna Kebesaran Bangsa Melayu, Indonesia).
c.       Elang Rajawali Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan Kekuatan dan Tenaga Pembangunan.
d.      Jumlah bulu Elang Rajawali Garuda Pancasila melambangkan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
17 (tujuh belas) helai bulu pada masing-masing sayap
8 (delapan) helai bulu pada ekor
19 (sembilan belas) helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
45 (empat puluh lima) helai bulu di leher
Perisai:
a.       Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
b.      Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
c.       Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera Negara Indonesia “Merah-Putih”. Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna dasar hitam.
d.      Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan Dasar Negara Pancasila.
Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut:
Arti Sila-sila dari Pancasila:
1.      Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam;
2.      Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah;
3.      Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih;
4.      Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai berlatar merah; dan
5.      Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika:
a.       Kedua cakar Elang Rajawali Garuda Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika berwarna hitam.
b.      Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata bhinnekaberarti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata tunggal berarti satu, kata ika berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan Beraneka Satu Itu, yang bermakna meskipun beraneka ragam tetapi pada hakikatnya tetap adalah bersatu (persatuan), bahwa di antara puspa ragam bangsa Indonesia adalah tetap bersatu. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan Bangsa dan Negara Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Aturan Penggunaan Lambang Negara
            Lambang negara diatur dalam UUD 1945 pasal 36A dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009 Nomor 109, TLN 5035). Sebelumnya lambang negara diatur dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958. Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:
1.      Warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai;
2.      Warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai;
3.      Warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda;
4.      Warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung;
5.      Warna alam untuk seluruh gambar lambang.
Lambang Negara wajib digunakan di:
a.       Dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
b.      Luar gedung atau kantor;
c.       Lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d.      Paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
e.       Uang logam dan uang kertas; atau
f.       Materai.
            Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a.       Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan,
b.      Gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.

Setiap orang dilarang:
1.      Mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
2.      Menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
3.      Membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara;
4.      dan menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-undang ini.
Lagu Garuda Pancasila
            Garuda Pancasila juga merupakan nama sebuah Lagu Nasional Indonesia yang lagu dan liriknya diciptakan oleh Sudharmono. Syair lagu Garuda Pancasila sebagai berikut.
Garuda Pancasila/
Akulah pendukungmu
/
Patriot proklamasi
/
Sedia berkorban untukmu
/
Pancasila dasar negara/
Rakyat adil makmur sentausa/
Pribadi bangsaku/
Ayo maju maju/
Ayo maju maju/
Ayo maju maju ***

Surat Sultan Hamid II
            Isi surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta, 15 April 1967, tentang: Sejarah Lambang Negara Indonesia, menjadi sangat membantu di dalam memperoleh pengakuan Republik Indonesia tahun 2012. Di dalam surat yang masih menggunakan ejaan lama, dan disalin sesuai aslinya oleh Max Yusuf Al-Qadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation), banyak diulas berbagai langkah yang mengilhami Sultan Hamid II selama merancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.
            Berikut petikan utuh surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta, 14 April 1967, sebagaimana termuat di halaman 6 sampai halaman 20 buku: Sejarah Lambang Negara Indonesia, terbitan Kementerian Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika, Jakarta, 2012, sebagai berikut:
Bung Solichin dan djuga kerabat saja!
            Djangan pasang lambang negara di rumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara rantjangan saja!
            Bersama ini perlu didjelaskan di sini berkenaan pertanjaan tentang file lambang negara jang saja buat sebagaimana saudara adjukan kepada saja, tanggal 13 April 1967.
            Sedjak awal saja selaku Menteri Negara RIS jang ditugaskan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk membuat gambar lambang negara sesuai perintah Konstitusi RIS 1949, pasal 3, Pemerintah menetapkan lambang negara, saja telah berupaja untuk mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol dalam peradaban bangsa Indonesia. Untuk  itulah kemudian saja dipertjajakan Paduka Jang Mulia merentjanakan – mempersiapkan lambang negara dan menjiapkan rentjana gedung parlemen/lihat pledooi saja pada Sidang Mahkamah Agung 1953[15], setelah memperhatikan berbagai hasil sajembara dari para pelukis jang memenuhi prinsip-prinsip hukum pembuatan lambang menurut semiologi untuk didjadikan sebagai lambang Negara RIS demikian pendjelasan Menteri Prijono, oleh karena itu saja selaku pribadi mempersiapkan gambar lambang negara dengan berkonsultasi seorang ahli lambang/semiologi berkebangsaan Perantjis jang kebetulan sahabat saja Saudara D. Ruhl Jr, dan beliau juga saja perkenalkan dengan Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara ketika RIS drkijst pertengahan Djanuari 1950, untuk memberikan masukan djuga.
            Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno memerintahkan kepada saja agar melambangkan ide Pantja-Sila ke dalam gambar pada lambang negara dan berkali-kali utjapan beliau kepada saja, tetapi pesan beliau djuga gambar itu haruslah mengangkat simbol-simbol jang ada pada peradaban bangsa Indonesia agar setara dan gambarnja seharmonis mungkin, seperti lambang-lambang negara besar lain di dunia, karena Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno jakinkan kepada saja, menurutnja karena saja pernah mengambil Jurusan Teknik Sipil satu tahun di T.H.S[16] Bandung, walaupun akhirnja saja tidak menjelesaikan kuliah itu, berhubung saja diterima di K.M.A Breda[17] Negeri Belanda.
            Terus-menerus beliau mejakinkan saja, bahwa pasti saja paham dalam hal ini menggambar struktur lambang. Untuk itu kemudian saja mengadjukan kepada Paduka Jang Mulia pada agenda sidang kedua Kabinet RIS tanggal 10 Januari 1950 untuk membentuk kepanitiaan teknis lambang negara RIS jang diketuai oleh Mr. M. Jamin, dan jang lain Ki Hadjar Dewantara (anggota), M.A. Pellaupesi (anggota), Moh. Natsir (anggota) dan R.M. Ng. Purbatjaraka (anggota). Kepanitiaan ini di bawah koordinator saja jang bertugas menjeleksi/ memilih usulan-usulan rantjangan lambang negara untuk dipilih dan diadjukan kepada Pemerintah untuk ditetapkan oleh Parlemen RIS setjepatnja, karena memang selama 5 tahun sedjak Negara RI merdeka, 17 Agustus 1945, sampai dengan terbentuknja RIS tahun 1949, belum ada memiliki lambang negara.
            Untuk memberikan pemikiran teknis saja selaku Menteri Negara Zonder portofolio RIS 1949 – 1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara meminta Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang negara.
            Untuk memberikan pemikiran teknis saja selaku Menteri Negara Zonder portofolio RIS 1949 – 1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara, meminta Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang di peradaban bangsa Indonesia, karena menurut Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara, beliau lebih mengetahui dan pernah mendjadi Ketua Panitia Lagu Indonesia Raja tahun 1945 bersama Mr. Jamin jang berkedudukan sekretaris umum, untuk itulah saja mengirim telegram kawat kepada Ki Hadjar Dewantara di Djogjakarta dan telah dibalas kepada saja 26 Djanuari 1950 jang intinja saja agar berkonsultasi kembali dengan Mr. M. Jamin mengenai hasil penjelidikan lambang-lambang dimaksud, kemudian berdasarkan hasil kesepakatan rapat Panitia Lambang Negara RIS, ada dua rentjana gambar rantjangan lambang negara jang dipersiapkan Panitia Lambang Negara ketika itu jang pertama dari saja sendiri dan kedua dari Mr. M. Jamin.
            Saja membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan oleh beliau dari beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk Burung Garuda jang berada di tjandi-tjandi di Djawa dengan luar Djawa.
            Karena setjara historis Kerajaan Sintang masih ada hubungan dengan Keradjaan Madjapahit, seperti di dalam Legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan Panglima Burung[18] mendjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes awal Februari 1950. Di samping itu, saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropa dan negara-negara Arab, serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung.
            Di samping itu, Mr. M. Jamin djuga mempersiapkan tersendiri lambang negara, walaupun demikian djuga beberapa hal beliau memberikan masukan kepada saja tentang makna bunga teratai, jang kemudian saja buat gambar untuk dasar dudukan burung garuda pada sketsa awal saja, karena menurut beliau itu djuga mitologi Bangsa Indonesia dari peradaban Agama Budha.
            Perlu saja jelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tetap untuk melambangkan ide Pantja-Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai jang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada tameng/perisai di tengahnja. Pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai jang dibuat Mr. M. Jamin, kemudian saja buat dua buah perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk melambangkan garis equator (khatulistiwa) di perisai itu.
            Walaupun demikian, saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol ide Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Tjahaja berbentuk bintang persegi lima atas masukan M. Natsir sebagai simbol ke-satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M. Ng. Purbatjaraka, jakni Pohon Astana jang menurut keterangannja pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan Istana sebagai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkankan sila ke-tiga, karena menurut beliau Pohon Astana memaknai simbol menjatunja rakjat dengan Astana itulah djuga hakekat Negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar Negara Proklamasi RI, 17 Agustus 1945. Oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus. Mengenai simbol ini inspirasinya saja ambil dari tanah Kalimantan (Borneo), jakni kalung dari Suku Dajak, demikian djuga untuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para Panglima Suku Dajak di Hotel Des Indes, awal Februari 1950 jang saja ajak ke Djakarta ketika itu.
            Salah satunja Panglima Burung, Masuka Djanting[19], J.C. Oevaang Oeraj[20], sahabat saja di DIKB, lambang lain kepala banteng, sebagai sila keempat ini, sumbangan sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat padi-kapas lambang sila-kelima sumbangan dari Ki Hadjar Dewantara sebagai perlambang ketersediaan sandang pangan dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di Hotel Des Indes jang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus saja tinggal sementara di Djakarta sebagai Menteri Negara RIS sampai dengan 5 April 1950, saja ditangkap atas Perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja ‘terseok’ dalam perdjalanan. Itu mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada Saudara Salam, mendjadi terang adanja.
            Saja putuskan tjiptaan pertama berbentuk figur burung Garuda jang memegang Pantja-Sila, seperti masukan Ki Hajar Dewantara jang diambil dari mitologi garuda pada peradaban Bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saja bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara, 8 Februari 1950, ternjata ditolak oleh anggota Panitia Lambang Negara RIS lain, karena ada keberatan dari M. Natsir ada tangan manusia jang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga keberatan anggota lain R. M. Ng. Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh helai, terus terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr. M. Jamin.
            Untuk itu saja mintakan dalam rapat, Mr. M. Jamin ketika itu mendjelaskan makna tudjuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk diubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai tjandra sengkala/identitas negara proklamasi 17 Agustus 1945 atas usulan M. A. Pellaupessy jang menurut beliau tak boleh dilupakan.
            Akhirnja setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnja negara-negara Arab, seperti Jaman, Irak, Iran, Mesir, ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti Negara Polandia jang sudah sejak ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja jelaskan di atas dalam kemeliterannja.
            Karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangunan/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjarawan dan demikian seharusnja.
            Selandjutnja gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr. Mohammad Jamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima, 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada chalajak ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950.
            Walaupun demikian, ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung di belakang podium Parlemen Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawali tidak ‘berdjambul’ dan terlihat ‘gundul’. Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah[21], untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
            Kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja.
            Tetapi menurut Paduka Jang Mulia, seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai. Selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjengkram pita/mendjadi ke arah depan pita agar tidak ‘terbalik’ dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip ‘djatidiri’ bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan “kesatuan’ dalam Negara RIS.
            Mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika ‘bhinneka’ jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika ‘keikaan’ jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang Negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan ‘kesatuan’ haruslah dipegang teguh sebagai ‘djati diri’ dan prinsip berbeda-beda pandangan tetapi satu djua e-pluribus unum’.
            Walaupun saja harus susah pajah membuat sketsa kembali untuk pembetulan badan tjakar kaki itu, tetap saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang Negara RIS.  Karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan Bangsa Indonesia berdekatan dengan Burung Garuda dalam mitologi, kedua perisai ide Pantja-Sila ber-thawaf’’/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna merah putih.
            Untuk itu saja meminta bantuan R. Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannnja semua tjengkeraman kakinja menghadap ke belakang telah diserahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Djogdjakarta.
            Kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok Negara RIS. Setelah itu sketsa transkrip/outwerp jang dilukis D. Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai Wapen Negara. Waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah, sang pelukis Istana/pelukis kesajangan Bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R. Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagu untuk membajar pelukis Dullah.
            Hasil lukisan Dullah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu saja lihat banjak warga bangsa memasang di rumah-rumah, sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Jang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna, serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggung djawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perentjanaan Lambang Negara RIS.
            Patut saja sedikit djelaskan, mengapa burung itu menoleh ke arah kanan, hal ini sebenarnja perlambang pandangan negara ke arah kebaikan ke depan, karena kanan dalam tradisi masjarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan. Demikian salam menoleh ke kanan ketika shalat orang Islam hukumannja wajib/fardhua’in. Untuk itu dengan terbentuknja RIS diharapkan bangsa ini bisa madju ke arah kemadjuan sebagai bangsa jang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Radjawali Garuda Pantja-Sila, karena saja menghargai latar belakang gambar jang saja tjiptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai Pantja-Sila, berubah mendjadi figur Burung Elang Radjawali jang dikalungkan perisai Pantja-Sila agar proses bangsa ini djangan melupakan peradaban bangsanja dari mana dia berasal/djangan sampai melupakan sedjarah puntjak-puntjak peradabannja, seperti pesan Paduka Jang Mulia.
            Jang unik dan penting untuk saja djelaskan, karena banyak jang menanjakan kepada saja, mengapa harus ada dua perisai pada perisai Pantja-Sila, sebenarnya saja hanja mendjabarkan ide Pantja-Sila dari Bung Karno, 1 Djuni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan, karena saja teringat pada pesan utjapan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja berkali-kali, jakni Lambang Negara haruslah bisa melambangkan ide Pantja-Sila. Mengenai ide Pantja-Sila itu terus terang saja banjak masukan dari pendjelasan Mr. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS ketika saja konsultasi terus-menerus pada waktu itu.
            Adanja dua lambang perisai besar di luar dan perisai jang ketjil di tengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam Panitia Sembilan Perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran pikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja-Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketuhanan Jang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju ke depan untuk membangun generasi-generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/berperikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua: kemanusiaan jang adil dan beradab.
            Setelah itu, membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja, baru membangun parlemen Negara RIS jang demokratis dalam permusjawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat,  karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Masa Esa.
            Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil di tengah saja masukkan simbol sila ke satu berbentuk Nur Tjahja Bintang bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang ‘berthawaf’/berlawanan arah djarum djam/’gilirbalik’ kata Bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja.
            Karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri kembali akar sedjarahnja dan mau ke mana arah Bangsa Indonesia ini dibawa ke depan, agar tidak kehilangan makna semangat dan ‘djatidiri’-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia di setiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak ‘thawaf’/gilirbalik kata Bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun ke depan perdjalanan Bangsa Indonesia jang kita tjintai ini.
            Perisai ide Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai di lehernja dengan tetap mentjengkeram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin dalam Negara RIS, namanja “Bhinneka Tunggal Ika” sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah diperdjuangkan bersama di KMB[22] 1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Juliana pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.
            Pertanjaan lain yang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh Sekretaris Pribadi saja sendiri, Max Jusuf Al-Qadrie, setelah keluarnja saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh Saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal di tengah perisai Pantja-Sila? Apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal Ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), Pontianak?
            Saja djawab hal ini sebenarnja ingin membanggakan/ menjimbolkan letak Negara RIS dilewati garis equator/khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di negeri kelahiran saja sendiri, Pontianak, jang didirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi Republik Indonesia merdeka dan Negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban, sahabat saja, seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi sebelum RIS, 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1945, agar kelak generasi mengetahui, gambar Lambang Negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr. Mohammad Jamin jang djuga berbentuk perisai hanja gambarannja ada sinar-sinar matahari.
            Falsafah ‘thawaf’ mengandung pesan, bahwa ide Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena berthawaf atau gilir balik menurut Bahasa Kalimantan, artinya membuat kembali membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai.
            Begitulah menurut Paduka Jang mulia Presiden Soekarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjundjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS, serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan ‘djatidiri’ bangsa/adanja pembangunan nation character building demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
            Saja sedjudjurnja hanja berupaja mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol jang ada di peradaban klasik bangsa Indonesia bersama anggota Panitia Lambang Negara itu sebenarnja semangat gotong-rojong lewat perentjanaan gambar Lambang Negara RIS sebagaimana ditugaskan kepada saja selaku Menteri Negara Zonder Portofolio. Karena memang tidak ada tugas lain untuk saja sebagai Menteri Selain merentjanakan lambang negara dan menjiapkan gedung parlemen RIS, saja berharap agar kelak bangsa ini ditjintai oleh kita semua bertekad untuk memadjukan-membangun bersama.
            Itulah jang dapat saja sumbangkan kepada bangsa ini jang ditjintai oleh kita, hanya sadja saja ‘ketjewa’ dengan kabar di luar jang menerka-nerka Mr. Mohammad Jamin jang membuat lambang Negara RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr. Mohammad Jamin jang pernah ditolak oleh Pemerintah dan Parlemen RIS ada di tangan Panitia lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir tahun 1966 saja selamatkan ke Istana Qadrijah, Pontianak.
            Kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal tahun 1967, saja titipkan kepada Nona K. Irawati, anak Sjamsuddin Sutan Makmur/pernah Menteri Penerangan periode 30 Djuni – 12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di Djalan Radio Dalam, Djakarta Selatan, tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr. Mohammad Jamin saja serahkan kepada Sekretaris Pribadi jang kebetulan tjutju saja, Max Jusuf Al-Qadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
            Sajapun tidak tau saat ini apakah ide Pantja-Sila itu hasil rumusan dari Mr Mohammad Jamin dalam Panitia Sembilan seperti jang berkembang di masjarakat seperti jang Saudara tanjakan kepada saja, karena terus-terang saja tidak mengikuti perkembangan di luar. Itu saja meminta Saudara sebagai Wartawan djuga menanjakan langsung kepada Mr Mohammad Hatta sebagai saksi sedjarah dalam ke Panitiaan Sembilan 1945, sebelum sedjarah ide Pantja-Sila itu dibelokkan atau ‘dipalsukan’ orang jang tidak bertanggjungdjawab.
            Dan saja berharap transkrip hasil wawantjara itu bisa dikirim kepada saja, sungguh berterimakasih kepada Saudara djika Saudara mau menanjakan hal ini kepada Mr. Mohammad Hatta.
            Pendjelasan lain atas file transkrip pembuatan gambar lambang negara jang saja buat ini sudah pernah saja djlelaskan kepada Sekretaris Pribadi saja, Max Jusuf Al-Qadrie. Dan pendjelasan ini hanya untuk melengkapi apa jang sudah didjelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 jang tidak memuat setjara djelas dan rintji pokok-pokok pikiran tentang lambang negara Radjawali Garuda Pantja-Sila dalam transkrip saja.
            Demikianlah djawaban saja atas pertanjaan Saudara Solichin Salam dan semoga mendjadi pendjelasan jang objektif mendjawab surat Saudara. Jikalau kurang djelas, harap Saudara berkundjung ke kediaman saja kembali setiap saat, terimakasih atas hal yang sudah dipertanjakan kepada saja mendjadikan sesuatu jang bermanfaat bagi bangsa jang ditjintai oleh kita.

Djakarta, 15 April 1967

Hamid

Disalin kembali sesuai aslinya oleh Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, tanggal 1 Djuni 1971
Max Yusuf Al-Qadrie (Cucu dan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II).
           




[2] Lihat: Tesis Turiman Fachturrahman Nur, berjudul: Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia; suatu Analisis Yuridis Normatif tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu, 11 Agustus 1999.
[3]Zaini Rakhman/pemerhati elang, penulis buku “Garuda, Mitos dan Faktanya di Indonesia”/Pikiran rakyat http://archive.blogspot.com/2012/09/kisah-sang-lambang-negara-burung-garuda
[4] Majalah Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat , Jl. Anggrek Neli Murni , Blok A No. 3 Slipi, Jakarta Barat, Putu Nugat, Jumat 15 Mei 2009 “Raja Airlangga  3 Saat Penobatan Airlangga,   Empu Kanwa Gubah Arjunawiwaha”, Jawaban dari email, sekretariat[at]parisada.org kepada peneliti, 10 November 2011.

[5]Transkrip Sultan Hamid II, kepada wartawan Solichin Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf  Al-Kadrie, 15 April 1967, halaman 4
[6] Dullah, adalah pelukis di Istana Kepresidenan selama Soekarno menjadi Presiden.
[7] Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
[8] M.A. Pellaupessy, kelak menjadi Menteri Penerangan, setelah Kabinet Mohammad Natsir dibentuk periode 6 September 1950 – 20 Maret 1951.
[9] Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), periode 6 September 1950 – 20 Maret 1951. Di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
[10] Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi (Lesya) Poerbatjaraka (lahir di Surakarta tahun 1884 – meninggal dunia di Jakarta tahun 1964 pada umur 80 tahun) adalah seorang Budayawan, Ilmuwan Jawa dan terutama Pakar Sastra Jawa Kuno.
[11] Prijono (lahir di Yogyakarta, 20 Juli 1905 – meninggal 6 Maret 1969 pada umur 63 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 1957 hingga tahun 1966.
[12] Mr Prof. Mohammad Yamin S.H. (lahir di Tawali, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia. 
[13] Prof. Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo adalah mantan Menteri Kehakiman Indonesia dari tanggal 21 Januari sampai 6 September 1950, menggantikan Prof. Mr. Soepomo.
[14] Kementerian Luar Negeri & Museum Konferensi Asia Afrika, Jakarta, 2012, Sejarah Lambang Negara Indonesia
[15] Dimaksudkan adalah materi Pledooi dibacakan Sultan Hamid II atas tuduhan makar di hadapan sidang Mahkamah Agung di Jakarta, 25 Maret 1953. Salinan utuh pledoi Sultan Hamid II, ada di hal. 162 – 189 buku: Peristiwa Sultan Hamid II, Djakarta, Persadja, 1953.
[16] T.H.S singkatan dari Technisch Hoogeschool yang sekarang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
[17] K.M.A singkatan dari: Koninklijk Militaire Academie yang berada di Kota Breda, Belanda. K.M.A Breda, adalah Akademi Militer milik Kerajaan Belanda.
[18] Panglima Burung, adalah tokoh Adat Suku Dayak asal Kecamatan Meliau, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Panglima Burung terlibat di dalam Perang Majang Desa Melawan Jepang. Peran Panglima Burung dalam berperang melawan Jepang, bisa dibaca di buku: Sejarah Perang Majang Desa Melawan Jepang, ditulis S. Jacobus E Frans L. BA, terbitan Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Kalimantan Barat tahun 1981.
[19] Masuka Djanting, anggota Dewan Pemerintahan Peralihan Kalimantan Barat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 17 Tahun 1956, tanggal 28 Agustus 1956.
[20] Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, anggota Badan Pemerintahan Harian Daerah Istimewa Kalimantan Barat (BPH DIKB), 1946 – 1949, anggota Badan Konstituante, 1956 – 1959 dan Gubernur Kalimantan Barat, 1960 – 1966.
[21] Dullah, adalah pelukis di Istana Kepresidenan selama Soekarno menjadi Presiden.
[22] K.M.B singkatan dari Konferensi Meja Bundar. Delegasi Republik Indonesia (RI), Badan Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) dan Kerajaan Belanda menggelar KMB di Den Haag, Belanda, 23 Agustus – 2 Nopember 1949. KMB menghasilkan Penyerahan dan Pengakuan Kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.
»»  Baca Selengkapnya...