Senin, 28 September 2015

Materi Kedua: Filsafat Pancasila Mata Kuliah Pendidikan Kewarnegaraan (Pemahaman Hubungan Filsafat Pancasila dengan Filsafat Hukum Pancasila)

Materi Kedua:
Filsafat Pancasila
Mata Kuliah Pendidikan Kewarnegaraan
(Pemahaman Hubungan Filsafat Pancasila dengan
 Filsafat Hukum Pancasila)

                                                Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.      Pengertian Filsafat Pancasila
               Untuk memahami filsafat Pancasila, terlebih dahulu perlu diajukan pertanyaan apa yang dimaksud filsafat ? secara etimologi Filsafat adalah satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philein” yang artinya “cinta” dan “sophos” yang artinya “ hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom” (Nasotion, 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan.
               Filsafat menurut J. Greet adalah ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip mencari sebaab-mushababnya yang terdalam atau hekaket terdalam. Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati. 
                Ada dua pengertian filsafat, yaitu :
1.      Filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk.
2.      Filsafat sebagai ilmu atau metode dan filsafat sebagai pandangan hidup
Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup, dan dalam arti praktis. Ini berarti  Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia
          Jika demikian apa Pengertian Filsafat Pancasila ? menurut Ruslan Abdulgani, Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Mengapa pancasila dikatakan sebagai filsafat, hal itu karena pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat. Menurut NotonagoroFilsafat Pancasila ini memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat pancasila.
           Secara ontologikajian pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila pancasila. Menurut Notonagoro, hakikat dasar antologi pancasila adalah manusia, karena manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila pancasila.
           Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensi pancasila dijadikan dasar negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai pancasila yang merupakan kodrat manusia yang monodualis tersebut.
            Kajian epistemologi filsafat pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan adanya karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar antologinya. Oleh karena itu, dasar epistemologis pancasila sangat berkaitan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
             Sebagai suatu paham epistemologi, pancasila mendasarkan pandangannya bahwa imu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.
              Kajian Aksiologi filsafat pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan mengenai pancasila. Hal ini disebabkan karena sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Aksiologi pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai pancasila.
        Secara aksiologi, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai pancasila. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang mengakui, menghargai, menerima pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia.
              Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, pesatuan, kerakyatan dan yang terakhir keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan ini bertolak dari pandangan bahwa negara merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, di mana merupakan masyarakat hukum.

B.Karakteristik Pancasila
           Pertanyaan secara ilmiah adalah bagaimana karakteristik Pancasila sebagai filsafat? Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu :
(1) Karakteristik filsafat pancasila yang pertama yaitu sila-sila dalam pancasila merupakan satu kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dalam hal ini, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan merupakan pancasila.
(2) Karakteristik filsafat pancasila yang kedua ialah dalam susunan pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh sebagai berikut.
- Sila 1 mendasari, meliputi dan menjiwai sila 2, 3, 4 dan 5.
- Sila 2 didasari, diliputi, dijiwai sila 1 dan mendasari serta menjiwai sila 3, 4 dan 5.
- Sila 3 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari serta menjiwai sila 4 dan 5.
- Sila 4 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3, serta mendasari dan menjiwai sila 5.
- Sila 5 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3 dan 4.
(3) Karakteristik filsafat pancasila yang berikutnya, pancasila sebagai suatu substansi artinya unsur asli atau permanen atau primer pancasila sebagai suatu yang mandiri, dimana unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
(4) Karakteriktik filsafat pancasila yang terakhir yaitu pancasila sebagai suatu realita artinya ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam kehidupan sehari-hari.

C.Prinsip Prinsip Filsafat Pancasila
           Jika ditinjau dari kausa Aristoteles, Prinsip-prinsip pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1) Kausa Material yaitu sebab yang berhubungan dengan materi atau bahan. Dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
(2) Kausa Formalis ialah sebab yang berhubungan dengan bentuknya. Pancasila di dalam pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat formal (kebenaran formal).
(3) Kausa Efisiensi yaitu kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
(4) Kausa Finalis Ialah berhubungan dengan tujuannya, dimana tujuan yang diusulkannya pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka.
       Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi :
(1)   Tuhan yang berarti bahwa sebagai kausa prima.
(2)   Manusia berarti bahwa makhluk individu dan makhluk sosial.
(3)   Satu berarti bahwa kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
(4)   Rakyat yang berarti bahwa unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong.
(5)   Adil yang berarti bahwa memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Sumber : Buku dalam Penulisan Pengertian Filsafat Pancasila, Karakteristik Filsafat Pancasila dan Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila : Heri Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, 2010. Judul Buku : Cerdas, Kritis, Dan Aktif Berwarganegara (Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi). Erlangga : Jakarta.


C.Membaca Filsafat Pancasila Berdasarkan Perisai Pancasila Dalam Lambang Negara
            Pertanyaan adalah apa hakekat Pancasila dilihat dari filsafat hukum ?  Jawaban atas pertanyaan ini adalah hakekatnya mempertanyakan saat ini bagaimana kedudukan Pancasila secara hukum, karena dalam Pembukaan UUD Neg RI 1945 tidak dinyatakan dengan tegas nomenklatur Pancasila secara yuridis normatif. Jika kita baca alinea keempat pernyataan adalah sebagai berikut:
        “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah  Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah  Indonesia  dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian  abadi  dan  keadilan sosial, maka  disusunlah Kemerdekaan  Kebangsaan  Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan  Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan  rakyat  dengan  berdasar  kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang  adil  dan  beradab, Persatuan  Indonesia  dan  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat  kebijaksanaan  dalam Permusyawaratan/Perwakilan,  serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
           Secara teks hukum negara dalam alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 diatas hanya dinyatakan “dengan berdasar  kepada”, selanjutnya lima pernyataaan selanjutnya kemudian oleh Presiden Soekarno secara historis diberi nama PANCASILA. Namun apa kedudukan Pancasila dalam alinea keempat pembukaan tersebut,karena dalam kajian Pancasila berkembang nomenklatur yang dilekatkan dengan Pancasila, seperti Pancasila sebagai jiwa bangsa, Pancasila sebagai jatidiri bangsa, Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa, Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa.
           Untuk memahami kedudukan hukum Pancasila yang terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.
      Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
             Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa dalam tataran hukum Pancasila ditempatkan sebagai sumber segala sumber hukum negara. Pertanyaannya apa konsekuensi hukumnya dalam kehidupan kenegaraan atau dalam tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Konsekuensi hukumnya adalh semua materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
            Pertanyaannya adalah kedudukan Pancasila dalam pembukaan UUD Neg RI 1945 sebagai apa? Jika kita membaca secara cermat penjelasan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 jelas ada tiga pemaknaan dengan pernyataan berikut ini “Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara “ Jadi terjawab sudaj bahwa Pancasila yang terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 ada tiga konsepsional tentang Pancasila, yaitu (1) sebagai dasar negara, (2) sebagai Ideologi Negara dan (3) sebagai Filosofis Negara. Oleh karena itu menurut penulis pendidikan Pancasila di perguruan tinggi harus mengkaji secara ilmiah tiga konsepsional berkaitan tentang Pancasila.
           Bagi kalangan mahasiswa fakultas hukum tentunya ada pertanyaan kritis untuk mengetahui bagaimana memahami bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila?. Untuk itu penulis mengajukan pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam lambang negara, karena menurut Presiden Soekarno dalam Pidato tentang dikursus Pancasila di hadapan mahasiswa seluruh Indonesia  2 Juli 1958 di istanan negara menyatakan secara tegas sebagai berikut:
          Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.”
Berdasarkan pernyataan Presiden Soekarno jelas bahwa lambang negara saat ini adalah lambang negara yang bersendikan Pancasila, yakni secara semiotika hukum terdapat pada perisai Pancasila dan secara yuridis normatif ditegaskan pula didalam UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Pasal 48  ayat (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46  terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila
Jelaslah berdasarkan pasal 48 ayat (2) bahwa perisai yang terdapat dalam lambang negara yang didalamnya terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila. Dengan demikian secara ilmiah dan secara yuridis normatif, bahwa lambang negara kita Garuda Pancasila yang bersemoyan bhinneka Tunggal Ika (pasal 37 A UUD Neg RI 1945) adalah lambang yang mewujudkan dasar Pancasila, pertanyaannya adalah bagaimana membaca Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila sebagaimana dimaksud Pasal 48 UU Nomor 24 taun 2009 ? berikut ini kita paparkan secara komprehensif pembacaan Pancasila dengan menggunakan perisai Pancasila, kemudian dikaitkan dengan menjawab pertanyaan bagaimana materi muatan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila ? Kaitannya yang benar dan tepat adalah dengan mengkaitkan Pembacaan Pancasila berdasarkan perisai Pancasila dalam lambang negara dengan asas-asas materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan berikut ini.

D.Membaca Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila Dalam Lambang Negara
    Yang patut direnungkan dan diajukan pertanyaan kritis adalah bagaimana Semiotika Hukum Membaca Pancasila Berdasarkan Perisai Pancasila dan Makna Filosofis Pancasila Dalam Lambang Negara Elang Rajawali –Garuda Pancasila bagi Bangsa Indonesia saat ini dan kedepan ?  Pasal 48  UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan ayat (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46  terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai. Rumusan teks hukum pasal 48 diatas jika dibaca perisai Pancasila sebagai visualisasi ide Pancaila, maka  alurnya adalah melingkar berlawanan dengan arah jarum jam atau dalam bahasa Islam “berthawaf” atau  dalam bahasa Kalimantan “gilir balik”.
      Rumusan Pasal  48 di atas selaras dengan pernyataan  Sultan Hamid II  yang menyatakan:  "... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini. Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila : " ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah  menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni  membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja. (transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967) 
       Adapun konsepnya secara epistemologis adalah sebagai berikut, bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan Nur Cahaya dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara atau kehidupan hukum dan kenegaraan, yaitu ilmu perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf  j Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Asas ini secara semiotika hukum tetap menjadi basis sentral, oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan ditengah perisai merah putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna hitam sebagai warna alam dan Sila I yang dilambangkan dengan cahaya dibagian tengah berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
             Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila.  Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f  Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h  Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
     Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya  bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
      Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semangat demokrasi untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang bersifat Progresif  haruslah taat kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
           Kemudian Sila I menjadi  cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang  Nomor  12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i  Undang- Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Oleh karena itu simbolisasi Pancasila dalam perisai Pancasila dalam lambang negara adalah mewakili sinergisitas lima kecerdasan manusia Indonesia, dan harus diselaraskan dengan asas-asas pembentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
             Konsep Paradigma Pancasila Berthawaf di atas dapat dijelaskan secara epistemologi, bahwa Sila Ke satu menjadi Nur Cahaya yang menyinari keempat sila lainnya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai  simbol yang mewakili "God Spot" titik Tuhan/kecerdasan Spiritual/Spiritual Quentient (SQ) menerangi kepada manusia yang berprikemanusian yang adil dan beradab sebagai yang mewakili kecerdasan pancaindra/Artificial Quentient (EQ) dengan rumus 213 (melihat dahulu, berpikir baru berkata atau bertindak) bagi manusia-manusia yang menempati negara yang dinamakan negara kebangsaan Republik Indonesia yang menjunjung persatuan, yaitu Persatuan Indonesia, sebagai yang mewakili Kecerdasan Intelektual/Intelectual Quentient IQ dalam bingkai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan sebagai yang mewakili kecerdasan emosional/Emotional Quentinet EQ serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai kecerdasan keratifitas/Creatifitas Quentient CQ, sehingga ketika menjabarkan materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan, nilai Kemanusian, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Kesemua itu adalah sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ diwujudkan dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang  bersifat progresif, yakni yang baik dan taat asas dalam pembentukan materi  muatan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
             Berdasarkan konsep itu maka secara aksiologis (pilihan analisisnya) melalui sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ diwujudkan dalam membentuk peraturan perundang-undangan, sehingga asas peraturan perundang-undangan memenuhi konsep hukum yang bersifat progresif yang taat pada asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi : (1) Kejelasan tujuan (Pasal 5 dan penjelasan huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai .(2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (Pasal 5 dan penjelasan huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/Pejabat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang  (3) Kesuaian antara jenis dan materi muatan (Pasal 5 dan penjelasan huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan Perundang-undangannya. (4) Dapat dilaksanakan (Pasal 5 dan penjelasan huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut didalam masyarakat baik filosofis, Yuridis, maupun sosiologis. (5) Kedayaangunaan atau kehasilgunaan (Pasal 5 dan penjelasan huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. (6) Kejelasan rumusan (Pasal 5 dan penjelasan huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya.  (7) Keterbukaan (Pasal 5 dan penjelasan huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tetapi bagaimana cara bekerjanya atau mensinergikan SQ,AQ,IQ, EQ, CQ tersebut berikut ilustrasinya pola pikirnya.
          Secara konsepsional aksiologis dapat dipaparkan, bahwa para penstudi hukum maupun para penyelenggara negara dimungkinkan dengan paradigma  Pancasila berthawaf menggunakan dua alur pemikiran dalam membentuk hukum yang bersifat progresif yang pertama adalah pola pikir induksi yaitu  dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ 1) manusia melihat nomos atau fenomena yang ada di dalam masyarakat (fenomena sosial) melalui kecerdasan panca inderanya (AQ 2) rumusnya 213 (melihat dahulu, berpikir baru berbicara), kemudian ia berpikir dan melakukan analisis kajian hukum dengan kecerdasan intelektualnya. (IQ 3) Selanjutnya melakukan kotemplasi/perenungan dengan kecerdasan emosionalnya terhadap penomena yang terjadi, peristiwa hukum dan sosial dimasyarakat, misalnya (EQ 4) dengan memohon petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta  Manusia dan sunatullah Alam Semesta, kemudian ia mengacu kepada aturan-aturan yang dibuat oleh manusia (baca peraturan perundang-undangan).
    Selanjutnya dengan rasionalitas relegiositasnya mendapatkan pencerahan, karena mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional (SQ,IQ,EQ), akhirnya melakukan perwujudan dalam tindakan yang adil dan berkesadaran hukum serta memunculkan kreatifivitasnya dengan kecerdasan kretifivitasnya (CQ 5) sebagai amal ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kemanfaan sesama manusia dan menjaga alam semesta (lingkungannya). Kesemua itu adalah sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang  bersifat progresif. (yang baik dan taat asas untuk kebahagian manusia).
   Pada alur pola pikir yang kedua deduksi dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ A) melihat fenomena yang ada di alam semesta (fenomena alam) dengan kecerdasan pancaindranya (AQ B), kemudian melakukan perenungan terhadap sunatullah yang bekerja (kerangka hukum sebab akibat) dengan kecerdasaan emosionalnya (EQ C), kemudian berpikir dan melakukan analisis kajian hukum dengan kekuatan intelektualnya (IQ D) serta memohon petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta sunatullah pada Alam Semesta dan Manusia, kemudian ia mendapatkan pencerahan karena mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual (SQ, EQ.IQ) dan pada akhirnya melakukan perwujudan dalam tindakan yang adil dan berkesadaran hukum serta memunculkan kreatifivitasnya dengan kecerdasan kretifivitasnya (CQ E) sebagai amal ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kemanfaan sesama manusia dan menjaga alam semesta (lingkungannya). Kesemua itu adalah sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ  dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang  bersifat progresif. (yang baik dan taat asas untuk kebahagian manusia). 

E.Makna Sebenarnya “Bhinneka Tunggal Ika” dalam konsep kenegaraan
      Pentingnya keberagaman dalam  pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan, khususnya tentang lambang negara pasal 46 s/d pasal 50 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
      Saat ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak generasi muda yang tidak mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain karena lunturnya semangat tersebut, adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan fanatisme asal daerah. Bahkan yang memprihatinkan tak memahami makna filosofis perisai Pancasila dalam lambang negara dan juga tak kenal siapa perancang lambang negaranya ?
    Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an, keberagaman dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan negara dalam upaya mewujudkan cita-cita negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat heterogen, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah homogenitas absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak, kita harus belajar menerima dan menghargai pelbagai keberagaman, yakni pluralistik dan multikultural. Kalimat  itu hanya ada dipita yang dicengkram Elang Rajawali Garuda Pancasila, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi apakah makna terdalam dari Bhinneka Tunggal Ika didalam lambang negara itu ?
    Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 (dua ratus tiga puluh juta) jiwa yang tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia (Badan Pusat Statistik tahun 2010).  Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa tetapi juga keaneka ragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan.
   Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup yang beranekaragam. Demi persatuan dan kesatuan, keanekaragaman ini merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman suku bangsa dan budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan.
   Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “negara persatuan dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi individu diakui kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Kehidupan orang perorang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat diakui sebagai individu dan kolektivitas warga negara, terlepas dari ciri-ciri khusus yang dimiliki seseorang atau segolongan orang atas dasar kesukuan dan keagamaan dan lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang berbeda dari orang atau golongan lain dalam masyarakat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
  Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga negara karena kewargaannya. Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau cita negara yang bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya dalam Undang-Undang Dasar (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
  Dengan perkataan lain, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah pusat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
 Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah serta dasar negara Pancasila. Bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk dapat bersatu harus memiliki pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
   Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Negara Indonesia yang majemuk diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diartikan walapun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang beragam baik dari suku, agama, dan bangsa tetapi satu adalah bangsa Indonesia.
  Paparan kajian  legal Hermenuetik (Hermanuetik Hukum) diatas jelas selaras ketika membaca secara hermenuetika hukum tentang Bhinneka Tunggal Ika, karena didalam Lambang Negara Indonesia, menurut  Soediman Kartohadiprojo dalam salah satu tulisan "Pancasila dan Hukum" menyatakan:
1.             "Lambang Negara adalah lambang dan lambang itu adalah sesuatu yang melambangkan sifat dari sesuatu; sedang negara adalah manusia. Jadi Lambang Negara kita tadi melambangkan sifat bangsa yang bernegara didalam negara itu Bangsa Indonesia.
2.             Didalam Lambang Negara ini kita jumpai Pancasila.      
          Lambang negara kita ini terdiri dari tiga bagian:
1.      Cendra sengkala
2.      Perisai Pan casila
3.      Seloka
          Candra sengkala, ini terdapat dalam "Burung Sakti Elang Rajawali yang bulu sayapnya 17 helai jumlahnya, bulu sayap kemudinya 8 helai, sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang tubuh 45 helai jumlahnya" ini melukiskan diproklamisikan Republik Indonesia.
          Perisai Pancasila Burung Elang Rajawali atau garuda ini dikalungi dengan perisai yang memuat didalamnya Pancasila. Ini berarti bahwa Republik Indonesia kita dijiwai oleh Pancasila.
          Burung Elang Rajawali atau Garuda dengan kalungnya ini menggemgam dalam cakarnya sebilah "papan" yang tak terpisahkan dari padanya yang memuat seloka "Bhinneka Tunggal Ika"Bhinneka Tunggal Ika, ini digengggam oleh sang burung, dan terdapat dibawahnya. Ibaratkan sebatang tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dibawah adalah akarnya.
           Akar adalah urat nadinya tmbuh-tumbuhan. Dari akar tumbuh-tumbuhan memperoleh sumber kehidupannya. Selain dari itu, akar adalah alat untuk menegakkan berdirinya tumbuh-tumbuhan. Demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan:
a.    sumber kehidupan Revolusi/Republik kita dengan Pancasila itu; jadi sumber kehidupan Pancasila pula.
b.    alat penegak Revolusi/Republik dan Pancasila[1]
               Berdasarkan pandangan Soediman Kartohadiprojo, menurut penulis ada dua hal, yaitu Pertama, (1) bahwa membahas Lambang Negara secara hermenutika hukum sebenarnya tiga bagian semiotika, yaitu Burung Elang Rajawali berdasarkan jumlah sayapnya melambangkan identitas negara atau candra sengkala tentang berdiri negara republik Indonesia (2) tentang semiotika Pancasila yang disimbolisasikan pada perisai Pancasila (3) tentang seloka Bhinneka Tunggal Ika, dan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun terbedakan secara semiotika hukum. Kedua, Istilah yang digunakan untuk menyebut lambang negara adalah Burung Sakti Elang Rajawali ini memberikan bukti sekali lagi, bahwa lambang negara kita bukan figur garuda dalam mitologi tetapi  sudah terjadi pergeseran semiotika, yaitu figur burung Elang Rajawali Pancasila.
    Pertanyaan secara hermenuetika hukum apakah artinya Bhinneka Tunggal Ika itu ? Jika menyitir kembali pandangan Muhammad Yamin yang menyatakan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika" artinya hampir sama dengan seloka bahasa latin: " Ex pluribus umum= Bersatu walaupun berbeda –beda.[2]
     Secara hermenuetika dengan arti  yang dilontarkan Muhammad Yamin diatas secara gramatikal mengingat akan salah satu arti dari awal kata be- ialah menunjukkan sesuatu yang aktif, maka bersatu mengandung arti, bahwa yang kemudian bersatu itu sebelumnya adalah terpisah satu sama lain. Kalau manusia, maka menurut pengertian ini manusia dilahirkan dan hidup terpisah satu sama lain, kemudian "bersatu" menjadi (hidup ber-) satu.
  Menelaah apa yang menjadi arti "Bhinneka Tunggal Ika" ini, patut memperhatikan, bahwa tiap-tiap kata yang kita pergunakan itu adalah untuk menunjukkan suatu maksud. Kadang-kadang dalam bahasa yang kita pergunakan itu tidak kata yang tepat untuk menunjukkan maksud kita.  Dalam tataran ini, maka kita mempergunakan suatu kata atau rangkaian kata-kata yang artinya menurut tata bahasa mendekati apa yang kita maksudkan. Untuk keperluan itu, maka kata atau rangkaian kata-kata itu harus diberi arti sesuai dengan tujuannya, dan tidak menurut tata bahasa.
   Dengan demikian dengan memberikan tempat pada seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara Indonesia sudah tentu dengan maksud dan tujuan yang tertentu, suatu maksud dan tujuan kira dapat dipisahkan dari makna umum, bahkan untuk menambah atau melengkapi maksud dan tujuan dari Lambang  keseluruhan, karena semiotika hukum, bahwa lambang itu adalah sesuatu untuk menunjukkan sifat sesuatu.
    Berkaitan dengan itu, berarti Lambang Negara Republik Indonesia tentunya untuk menunjukan sifat, isi jiwa negara Republik Indonesia, dan dengan begitu sifat, isi jiwa bangsa Indonesia, lebih mendalam, bahwa bagian lambang negara itu karena ditujukan pada manusia yang merupakan bangsa Indonesia, maka dengan demikian seloka Bhinneka Tunggal Ika yang ditempatkan pada Lambang Negara juga dimaksudkan untuk menunjukkan/mempresentasikan bagi isi jiwa bangsa Indonesia.
  Pertanyaanya adalah isi jiwa apakah dari Bangsa Indonesia yang hendak dipresentasikan dengan Bhinneka Tunggal Ika ? Melihat coraknya Pancasila, yang Bhinneka Tunggal Ika merupakan sumbernya, maka kiranya tidak jauh dari kebenaran kalau diambil kesimpulan, bahwa isi jiwa tentang tempatnya manusia, individu dalam pergaulan hidup manusia.
Proposisi yang selaras dengan paparan diatas berdasarkan paradigma pospostivisme yang berbasis spiritual, yaitu proposisi Ilahiah, sebagai berikut:
    "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silahaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".[3]
                Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadi kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal., Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[4]
    Proposisi ilahiah diatas adalah selaras dengan makna hermenuetika hukum, dari seloka Bhinneka Tunggal Ika, bahwa walaupun bangsa Indonesia itu penuh keanekaragaman secara multi agama, multi suku, multi budaya dst tetapi sesungguhnya berasal dari satu diri, yaitu bangsa Indonesia, dan basis  terkecil dari suatu bangsa adalah keluarga, yaitu kesatuan, kelompok, pergaulan hidup manusia yang terdiri dari manusia yang berbeda-beda; ayah , ibu, anak-anak, ayah dan ibu berbeda dari anak dalam umurnya, ayah dan ibu berbeda satu sama lain dalam kelamin; pria dan wanita:pun anak-anak terdiri dari pria dan wanita; dan last but not least, diantar sekian banyak manusia yang hidup bersatu merupakan keluarga itu, bahkan andaikata terdapat diantaranya anak kembar, tidak ada yang sama kepribadianya. Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing" Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.[5]
     Secara hermenuetika hukum hal itu dapat dikemukakan, bahwa makna Bhinneka Tunggal Ika dalam hubungannya manusia Indonesia, yaitu Persatuan dalam keragaman; Keragaman Dalam persatuan yang disimpulkan dalam pengertian "kekeluargaan", Jadi jika benar bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sumber dari Pancasila, maka menurut pandangan bangsa Indonesia atau menurut pandangan bangsa Barat yang dilukiskan dengan "Men are created free and equal" , -Manusia dilahirkan bebas dan merdeka, yang satu terpisah dari lainnya sumber ini ditemukan kembali dalam seluruh lembaga kehidupan ketatanegaraan, hukum , dan sebagainya, maka kebenaran Bhinneka Tunggal Ika itu harus diketemukan kembali dalam pembacaan Pancasila secara hermenuetika hukum.
    Menurut penulis pembacaan hermenuetika hukum  Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif Pancasila  "Berthawaf" yaitu :
   "Sila Pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa", yang berarti bangsa Indonesia percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, Mengandung arti juga, seluruh alam  ciptaan-Nya ini adalah penuh dengan keanekaragaman, melainkan merupakan satu kesatuan, terdapat hubungan satu sama lainnya mewujudkan satu kesatuan Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan dan sila ini menyinari keempat sila lainnya dari  Pancasila, oleh itu  secara semiotika hukum Pancasila disimbolkan dengan dua perisai besar yang berisi simbolisasi  sila ke II,III,IV,dan V dan perisai kecil berisi simbolisasi sila ke I, maka perisai kecil ditengah merupakan inti bagi perisai besar Pancasila, artinya jika sila ke 1  hancur, maka akan berdampak besar terhadap perisai besar yang berisi prinsip ke Indonesiaan, oleh karena itu disimbolkan dengan warna merah putih.
    Sila Kedua dari Pancasila Kemanusian yang adil dan beradab, maknanya adalah bahwa kemanusian yang beraraskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya adalah manusia-manusia Indonesia yang mewujudkan sifat-sifat  Tuhan atau dalam tataran Islam mewujudkan As Ma'ul Husna dan salah satunya adalah Yang Maha Adil. Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan, artinya walaupun manusia berbeda agamanya, kebudayaannya dan adat istiadatnya, maka sifat-sifat Tuhan yang hendak diwujudkan adalah bersifat universal  (Logosentrime) yaitu: sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi tugas manusialah  mewujudkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa itu dalam kehidupan antar manusia Indonesia, seperti kasih sayang, keadilan, kebenaran.
     Sila Ketiga Persatuan Indonesia, adalah  negara yang  bangsanya terdiri dari Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya adalah satu, yaitu Bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa- negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1 UUD 1945) dan kemerdekaan negara Indonesia adalah  atas berkat rahmat   Allah  Yang Maha Kuasa dan didorong keinginan luhur  supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas (alinea 3 Pembukaan UUD 1945), itulah Negara Indonesia yang diharapkan anak-anak bangsanya bersatu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, maknanya, bahwa musyawarah itu memerlukan sekurang-kurang dua orang, ialah dua orang yang berlainan pendapat, Kalau tidak berlainan pendapat maka tidak mungkin terdapat musyawarah. Walaupun ada perbedaan tetapi  muaranya mencari kebulatan, kesatuan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan; Jadi  Persatuan  dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan. Prinsip inipun dicahayai oleh  sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa dalam mewujudkan sistem kerakyatan itulah Demokrasi Indonesia yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa (Demokrasi  di negara hukum yang Teokrasi).
  Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maknanya, bahwa apa yang dimusyawarahkan atau yang diputuskan dalam kesepakatan oleh perwakilan rakyat Indonesia semuanya itu adalah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
             Dengan demikian Sila Kesatu menyinari keempat sila lainnya arti Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi nur bagi manusia - manusia Indonesia yang relegius, kemudian manusia –manusia Indonesia bersatu membentuk persatuan Indonesia, dalam bentuk Negara Bangsa Indonesia yang berbentuk Republik Indonesia dengan menjalankan Kerakyatan atau demokrasi dalam negara hukum  versi Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang mewakili rakyat Indonesia, dan hasil musyawarah tersebut  diwakili oleh elemen rakyat Indonesia itu semua ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi sekuruh rakyat Indonesia, artinya secara hermenuetika hukum  dapat  dipaparkan sebagai berikut manusia-manusia Indonesia membentuk persatuan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia yang berdemokrasi Indonesia untuk menyepakati kesepakatan-kesepakatan hukum dalam berbagai bidang kehidupan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang disinari dan dibentengi serta berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa  yang secara semiotika hukum Pancasila dibaca secara berthawaf  mulai dari Sila Kesatu ke sila Kedua, ke sila Ketiga, ke sila Keempat, ke sila Kelima dan bergilir balik sila Kesatu  ke sila Keempat, ke sila Ketiga , ke sila Kedua, Ke sila Kelima





[1] Soediman Kartohadiprojo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia- Pancasila dan Hukum (kumpulan karangan), Jakarta /Bandung,  2009. halaman 97-98.
[2]  Muhammad Yamin, Sistem Filsafat Pancasila, Pen Khusus Kem Penerrangan RI No 40, halaman, 24
[3] Surah Al-Qur'an, An Nisaa (4) ayat 1.
[4] Surah Al-Quran, Al Hujuraat (49) ayat 13
[5] Surah Al-Quran,  Al Israa (Memperjalankan di malam hari) (17) ayat 84
»»  Baca Selengkapnya...