Senin, 18 Mei 2015

SEJARAH KABUPATEN AMBAL DAN DINAMIKA DAERAH “URUT SEWU

SEJARAH  KABUPATEN AMBAL DAN DINAMIKA DAERAH “URUT SEWU
                                      (Sebuah Fakta Sejarah Yang Terabaikan)

Oleh: Turiman Fachtuhrahman Nur
(Kandidat Doktor UNISSULA Semarang, qitriaincenter@yahoo.co.id. HP 081310651414)

1.Sejarah Kabupaten Ambal  Dalam Catatan “Fakta Sejarah” Yang Terabaikan   
          Saya (Penulis) bukanlah  putra kelahiran asli Ambal, menulis deskripsi fakta sejarah ini adalah  saya hanya sekedar urun rembug, tetapi saya tertarik dengan Kecamatan Ambal yang unik, karena biyung (ibu) saya orang asli Ambal Jayan dan jawara yang menyebrang ke Borneo (Desa Jawa Tengah Kec Sei Ambawang Kalimantan Barat), yaitu Mbah Satirah Binti Dasuki keturunan Sutawijaya, Mbah ini yang jago silat Mbah Khasan Gendon yang juga memiliki ilmu kanuragan ilmu alif atau ilmu putih dan memang keilmuan ini sulit untuk dicerna akal sehat, tetapi nyata ada satu pesan yang saya pegang hari ini ”jasad ini calon bangkai jangan dibela, yang dibela itu qalbu yaitu kebersihan qalbu” makna jangan lihat casting atau kulit luar tetapi kedalam. Beliau adalah salah satu gadis semasanya  yang dibawa oleh tokoh Ambal Gondang Legi yaitu K.H. Khasan Gendon ke tanah Borneo (Kal Bar)  hanya dalam waktu 10 menit dengan “kapal” yang diberikan oleh Gusti Allah SWT alias “tampak kaki”, saya adalah konsultan hukum dan salah satu pembina pencak silat perguruan, atau menurut orang desa Gondang Legi mbah Gimun dinamakan “kunto”, sedangkan di Kal Bar: namanya adalah perguruan pencak silat “Wekasan Suprih Ngudi Tunggal”. Tulisan ini awalnya bertujuan menulis riwayat hidup K.H Khasan Gendon, tetapi dalam pemetaan ada sesuatu yang menarik dari Ambal. Apalagi keluarga besar saya ada diwilayah itu, ternyata saat ini ada mimpi besar masyarakat Ambal, agar menjadi sebuah Kabupaten Ambal seperti pernah dirintis K.R.A.H. Poerbanagara.  Kabupaten Ambal hanya berlangsung 44 tahun dari tahun 1828 – 1872.
           Untuk mengapresiasi juga saya angkat di dunia maya kesenian kepang pur di youtube ”Kesenian Kuda Lumping Ambal Unik” 21 Februari 2015, yang terabaikan pembinaannya.  Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah Kabupaten Ambal ada dalam fakta sejarah, jika ada kapan dan bagaimana deskripsinya dan bagaimana perjuangan rakyat untuk mewujudkan harapan para leluhur agar bisa menjadi “Kabupaten Ambal”. Tulisan ini adalah catatan sebulan penulis memetakan fakta sejarah lewat literatur dan empirik wawancara dan mengamati dinamika kehidupan masyarakat Kecamatan Ambal yang agak miris, tetapi juga ada setitik harapan cerah ternyata masih ada penerus dan pejuang-pejuang yang mimpi besar agar Kabupaten Ambal terwujud, tetapi sayang belum ada sinergisitas antar kecamatan dan desa di Kabupaten Kebumen khususnya di wilayah “urut sewubelum ada pemetaan yang komprehensif.
          Dalam catatan sejarah Kabupaten Ambal tak bisa dipisahkan dengan desa Ambal Resmi. Desa Ambal Resmi  adalah merupakan salah satu  desa  di  kecamatan Ambal, Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Dahulu daerah ini merupakan sebuah kadipaten selama kurang lebih 3,5 tahun. Kesenian tradisional yang khas daerah ini antara lain Kepang Pur (sejenis tarian kuda lumping ) lihat di youtube “Kesenian Kuda Lumping Unik Ambal” dan Janeng (sejenis musik rebana).
         Makanan khas yang terkenal dari daerah ini adalah Sate Ambal. Budaya lainnya adalah Enthak-Enthik (diadakan setiap bulan Maulid) dan Sabanan (diadakan setiap bulan Saban).
        Hampir semua budaya di daerah ini berhubungan dengan laut, karena Ambal terletak di daerah Urut Sewu (bibir pantai samudera Hindia). Idul Fitri di Ambal di rayakan selama hampir 2 minggu. Lomba pacuan kuda diadakan setiap tahun (terutama saat Idul Fitri).
        Wisata yang ada di daerah ini berupa wisata laut, pasar malam, hiburan ketoprak, dll.masih ada lagi makanan khas nya yaitu emping melinjo yang renyah dan gurih.. Selain Kapung Wetan, di Ambalresmi juga pedukuhan lain seperti Kapung Kulon, Alun-alun, Kebonan dan Manisjangan. Ada dua pemakaman besar yang cukup angker disebelah timur namanya Kranji dan di barat nama makamnya adalah Kalijo.
        Orang Ambal menyebut makam adalah "stono". Sebelum JLSS (jalur lintas selatan selatan) dibuka, Ambalresmi termasuk daerah yang terisolir. Jembatan Rowo dan Lukulo dibangun menjadikan jalan Daendels menjadi ramai, apalagi setiap Lebaran menjadi tambah ramai. Terakhir jalan tersebut menjadi jalan alternatif karena Jalur Purworejo Kebumen putus karena meluapnya sungai Butuh, Prembun, Kutoarjo.
         Pusat pemerintahan Ambalresmi bergeser setiap ada pergantian Kepala desa. Kapung Wetan yang letaknya di barat laut pasar Ambal menjadikan daerah paling favorit untuk dikunjungi. Konon dulu kabarnya banyak pendatang dari Mataram yang menetap di Ambalresmi, bahkan termasuk pada jamannya Diponegoro. Di salah satu bekas rumah dinas Bupati masih dijumpai peninggalan-peninggalan  Mataram.
         Ambalresmi juga menyimpan banyak pesona lainnya. Pantainya yang indah, gumuk pasir berjajar sepanjang pantai, menambah asrinya kawasan ini. Sate, emping melinjon dan emping budin, rempeyek undur undur pacuan kuda dan pantai menjadi sajian khas Ambalresmi.
         Potensi wisata begitu dahsyatnya mustinya dikelola dengan tepat. Pantai masih cukup gersang jika ditanami cemara udang ataupun pohon lain seperti ketapang boto dll pasti akan lebih adem. jalanan yang disana-sini rusak juga perlu perbaikan serius. Namun yang paling utama Bupati bekerja bersama tokoh masyarakat harus membuat grand design pantai Ambal mau dibawa kemana. Kalau perlu rencana besar jangka panjang. 30 tahun yang akan datang. Tentu tujuan akhirnya untuk kesejahteraan bersama
          Dalam catatan fakta sejarah Ambal- Kebumen dulu pernah menjadi pusat pemerintahan kabupaten. Ceritanya begini:  Pada masa perang Diponegoro, Ambal dan pantai pesisir selatan, yang dikenal dengan Urut Sewu, dikuasai berandalan kejam dan  menakutkan bernama Puja atau Gamawijaya.  Dia sangat terkenal hingga warga mulai dari Karangbolong hingga Kesultanan Yogyakarta mendengar namanya.
           Untuk menumpasnya pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara yang isinya: barang siapa yang mampu menangkap Puja akan mendapat hadiah besar. Ternyata tidak ada yang berani mengikuti sayembara itu.
           Pada zaman perang Diponegoro itu, Semedi, putra dari selir Hamengku Buwono III, mengungsi ke Kedu. Pangkatnya naik dari ordenans menjadi kolektur di Kebumen dengan nama Raden Ngabehi Mangunprawira.  Dia pemberani, dan berniat mengikuti sayembara itu. Dia kemudian berbicara dengan Lurah Desa Sijeruk, Wargantaka dan putranya Andaga.  Wargantaka dan Puja adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama berguru pada Gamawikangka.
Berkat kerjasama itu, rahasia kekuatan dan kelemahan Puja akhirnya bisa diketahui Mangunprawira. Wargantaka mendukung Mangunprawira menumpas penjahat tersebut. Puja pun terbunuh. Mangunprawira dipromosikan menjadi Bupati Ambal seumur hidup, dengan nama K.R.A.H. Poerbanagara.  Kabupaten Ambal hanya berlangsung 44 tahun dari tahun 1828 – 1872.


2.Bagaimana Diponegoro sampai di daerah “urut sewu” atau pantai selatan Ambal?
           Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menelusuri fakta sejarah perang Diponegoro terlebih dahulu. Perang Diponegoro dimulai pada tanggal 20 Juli 1825. Perlawanan rakyat yang gagah berani di Tegalrejo disambut oleh masyarakat luas di luar daerah tersebut.
Diponegoro Pengikut Pangeran kian hari kian banyak. Hal ini mengakibatkan Belanda semakin takut, terlebih setelah bergabungnya Kyai Maja, seorang ulama besar dari Maja (sebuah tempat di sebelah Barat Laut Surakarta). Kyai Maja kemudian menjadi penasehat Pangeran Diponegoro. Beliau wafat dalam pembuangan di Minahasa pada tanggal 20 Desember 1849 setelah sebelumnya dapat ditangkap oleh Belanda melalui muslihat liciknya.
            Kyai Maja ditangkap bersama putranya yang bernama Kyai Gazali, dan seorang saudara Beliau yang bernama Embah Sepuh Baderan. Selain Kyai Maja, pasukan Pangeran Diponogoro diperkuat oleh Sentot alias Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja.
            Sentot adalah cucu dari Sultan Hamengku Buwana I (dari jalur Ibu). Ayah Sentot bernama Raden Rangga Prawiradirja III, tewas dalam pertempuran karena menentang Gubernur Jenderal Daendels (Belanda).
            Keberanin Sentot sangat diakui Belanda. Hal ini dibuktikan dalam salah satu surat Belanda. Sentot ditangkap dengan akal licik Belanda pada tanggal 24 Oktober 1829 di Yogyakarta, lalu ia dibawa ke Jakarta dan kemudian diasingkan di Bengkulu. Sentot wafat dalam pembuangan di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855, kira-kira pukul 10 malam dalam usia kurang lebih 47 tahun.
Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya. Taktik ini membuat Belanda semakin gentar karena kemenangan besar selalu diperoleh Pangeran Diponogoro dan pasukannya. Dengan akal liciknya, Belanda kemudian berhasil menghasut Pemerintahan Kraton pada saat itu dengan menyebarkan berita bahwa Pangeran Dipanegara adalah penghianat dan pemberontak.
Beberapa Tokoh pembesar di kraton yang silau dengan iming-iming Belanda pun makin membuat sukses akal Belanda dalam mengalahkan Pangeran Diponegoro. Akhirnya karena situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan, Pangeran Diponegoro beserta pasukannya meninggalkan Mataram menuju ke arah barat.

2.1.Long March Pangeran Diponegoro dan Daerah Urut Sewu
Untuk membangkitkan semangat juang rakyat di berbagai penjuru, Pangeran Diponogoro mengadakan perjalanan dimulai dari kaki gunung Merapi sampai ke Pedalaman Banyumas. Dari Pekalongan utara, sampai ke pesisir selatan Bagelen.

2.1.1. Pos–Pos Pertahanan Pangeran  Diponogoro di Medan Pertempuran Barat
Dalam melakukan pertempuran, Pangeran Diponogoro  selalu berpindah-pindah dan mendirikan pos-pos pertahanan. Beliau menggunakan wilayah di Jalur Selatan sebagai petahanan utama karena di daerah itu banyak sekali kekuatan Belanda yang akan digunakan untuk membantu pasukan lain di sebelah timur. Dengan mematahkan kekuatan dari barat, kekuatan Belanda di timur (Mataram) akan mudah dikalahkan oleh pasukan yang berada di pos-pos pasukan Dipanogoro di sana.
Pertahanan Pangeran Diponegoro  di medan barat antara lain di Pekeongan, Kemit, Panjer, Merden, Ambal, Ngaran (Ungaran), Telaga (Wawar; Mirit), Gunung Persada, Linggis, Cengkawak, Kalibawang dan lain-lain.
Ketika Belanda yang mengetahui adanya kekuatan pasukan Pangeran Diponogoro di daerah tersebut, segera mendirikan pula pos-pos tandingan di daerah yang sama. Belanda membangun pos pertahanan tandingan di Pekeongan, Kemit dan Panjer (selesai 16 Juli 1828), di Merden (selesai 1 Agustus 1828). Dalam musim kemarau tahun 1828 dapat dikatakan di hampir seluruh daerah pertahanan Pangeran Dipanogoro telah berdiri pos pertahanan tandingan milik Belanda.
Selain mendirikan pos-pos tandingan, Belanda juga menggertak rakyat dengan membakar desa-desa yang dicurigai mendukung pejuangan Pangeran Diponegoro. Di desa Wanakrama, Belanda melakukan perampasan terhadap ternak rakyat.
Daerah gerilya pasukan Pangeran Diponegoro yang sangat terkenal kuat dan aktif oleh Belanda adalah di daerah Grogol.  Perlawanan di daerah ini  dipimpin oleh Dipanegara Anom (putra Pangeran Diponegoro), Imam Musbah, Mas Lurah, Pangeran Sumanegara, Pangeran Dipakusuma dan lain-lain. Dikarenakan begitu kuatnya pasukan Pangeran Dipanegoro di Grogol, akhirnya atas perintah Jenderal  De Kock, pasukan Belanda di bawah pimpinan  Mayor Van Gazen yang berada di pertahanan Bantulkarang dan pasukan pimpinan Letnan Kolonel Le Bron De Vexela yang berada di Kembangarum digerakkan menuju Grogol membantu Letnan Kolonel Ledel beserta pasukannya yang sebelumnya telah berada di daerah tersebut.
Belanda juga menggunakan pembesar-pembesar yang dianggap berpengaruh di daerah tersebut untuk membantu menyerang kekuatan Dipanegoro dan menghasut rakyatnya. Pembesar – pembesar tersebut antara lain Tumenggung Sindunegara (kemudian menjadi Bupati Roma) dan Tumenggung Arungbinang (Bupati Kebumen).
Pada tanggal 7 November  1828 Perlawanan rakyat di daerah Kemukus berkobar hebat. Sepasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Mess mencoba menggempur pasukan Dipanegoro di bawah pimpinan Tumenggung Mertanegara. Pasukan Kapten Mess dikepung oleh Pasukan Tumenggung Mertanegara. Kapten Mess beserta pasukan Belanda yang berhasil lolos dari kepungan di desa Kemukus tersebut berlarian menuju Banyumas. Kedudukan Belanda di Banyumas pun terancam. Pada pertempuran tersebut Pangeran Dipanegara berkedudukan di Karangduwur.

2.1.2 Periode Perundingan
Pada tanggal 31 Oktober 1828 diadakanlah perundingan antara pihak Pangeran Diponegoro yang diwakili oleh Kyai Maja dengan pihak Belanda di Mlangi. Perundingan tersebut gagal dan dilanjutkan perundingan yang kedua pada tanggal 5 November 1828 dimana pihak Belanda diwakili oleh Letnan Roeps, Letnan Kolonel Wiranegara, ulama-ulama dan patih-patih dari Yogyakarta dan Surakarta.
Perundingan dilakukan di daerah Pengasih. Perundingan ini pun gagal karena Kyai Maja tidak mendapat kekuasaan yang penuh dari Pangeran Dipanegoro. Dalam perundingan inilah, Kyai Maja ditangkap oleh Belanda. Ikut tertangkap pula kyai Tuku Maja, Kyai Baderan, Kyai Kasan Besari (kakak Kyai Maja), Pati Urawan, Tumenggung Pajang dan lain-lain. Belanda juga berhasil melucuti 50 laras senapan dan kurang lebih 300 pucuk tombak dari pasukan Kyai Maja yang ikut dalam perundingan tersebut. Kyai Maja dan tawanan lain kemudian diserahkan langsung kepada Jenderal De Kock di Klaten yang sengaja mengawasi langsung perundingan tersebut.
Setelah berbagai perundingan mengalami kegagalan, maka pada tanggal 10 April 1829 petempuran antara pasukan Diponegoro dan Belanda dimulai kembali. Untuk mempersempit gerak pasukan Diponegoro, pertahanan pasukan Belanda yang tadinya berada di Kalibawang, dimajukan ke desa Wadas.
Pasukan Belanda dipimpin oleh Kolonel Chocius, Overste Sollewijn, dan Mayor van Spengler. Pada saat itu posisi Pangeran Diponegoro berada di daerah Gowong. Pasukan Diponegoro D di bawah pimpinan Pangeran Sumanegara berusaha menyerang Grogol yang pada waktu itu telah behasil direbut Belanda. Pertempuran pada kurun tahun ini sangat luar biasa hingga Belanda mendatangkan bala bantuan dari luar Jawa seperti : Menado, Ambon, dan lain – lain. Semua didatangkan ke daerah pertempuran di barat.


2.1.3.Dukungan Kabupaten Roma (sekarang Kab KarangAnyar) terhadap Diponegoro
Pada saat terjadinya perang Diponogoro, Raden Tumenggung Kertanegara IV selaku bupati Roma saat itu bersama warganya ikut mendukung Pangeran Diponogoro. Kertanegara IV kemudian diberi gelar Senopati Banyakwide oleh Pangeran Diponogoro.
Pada tanggal 18 April 1829 Tumenggung Banyakwide tertangkap oleh Mayor Buschkens di Kemit. Meskipun Bupati Roma IV ini tertangkap oleh Belanda, perlawanan rakyat Roma terus berlangsung. Bahkan pasukan Belanda secara sekonyong-konyong diserang oleh pasukan rakyat di desa Candi.
Penyerangan mendadak ini mengakibatkan jatuhnya korban dipihak Belanda, sehingga desa Candi pun kemudian dibumihanguskan Belanda sebagai wujud kemarahan mereka, sekaligus untuk memberi peringatan pada rakyat yang mendukung Diponegoro.
Pada tanggal 31 Mei 1829 pertahanan Belanda di Merden diserang oleh pasukan Diponoegoro  di bawah pimpinan Kertapengalasan, Jayasenderga dan lain-lain. Belanda pun memperkuat pertahanan di kawasan selatan dimulai dari Kemiri, Bayam, Bandong, Glagah, Linggis, Wawar (Mirit), dan Petanahan.
Pada tanggal 14 Oktober 1829 sepasukan patroli Belanda yang dipimpin oleh Mayor Dudzeele menangkap Kanjeng Ratu Ageng (Ibu Pangeran Dipanegara) dan RA. Mertanegara (putri Sentot Prawiradirja yang menjadi isteri Basah Mertanegara) di daerah Karangwuni, timur Kretek (sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Rawakele).Peristiwa ini dilanjutkan dengan Perundingan Sentot Prawiradirja di Imogiri pada tanggal 17 Oktober 1829 yang berakhir dengan pernyataan Sentot untuk mengakhiri perlawanan terhadap Belanda.
Petempuran yang berlangsung lama dan berbagai tekanan terhadap beberapa pimpinan pasukan Pangeran Diponegoro ternyata mengakibatkan semakin berkurangnya kekuatan Dipanegara. Banyaknya tokoh yang menyerah kepada Belanda seperti : Pangeran Aria Suriakusuma (pada tanggal 1 November 1829) dan Kertapengalasan (pada pertengahan November 1829), Tumenggung Kasan Munadi dan lain-lain, digunakan Belanda untuk berhubungan dengan Diponegoro.
Pada suatu ketika pernah pula terjadi pertempuran di tepi jurang. Pasukan Pangeran Diponegoro disergap oleh Belanda. Bahkan Belanda berhasil merampas beberapa ekor kuda pasukan Dipanegara. Pangeran Dipanegara beserta beberapa kawannya berhasil meloloskan diri. Pangeran Dipanegara sempat jatuh sakit dan dirawat di hutan Bulugantung.
Beliau ditemani pengikut setianya bernama Rata dan Bantengwareng. Setelah sembuh, Beliau melanjutkan perjuangannya kembali. Sesampainya di hutan Laban, Pangeran Diponegoro kembali jatuh sakit. Bahkan tergolong lebih keras dari sakitnya yang sudah-sudah. Setelah sembuh, Beliau kembali melanjutkan perjuangannya di desa Kejawan. Di daerah tersebut Pangeran Diponegoro mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pasukan yang masih setia. Mereka datang dari Mataram antara lain: Mas Pengulu, Kyai Mlangi, Haji Imam Raji dan lain-lain.
Belanda dibuat panik dengan berita keberadaan Pangeran Diponogoro di berbagai tempat. Patroli pun lebih giat dilakukan. Pada tanggal 8 Januari 1830 Pangeran Dipakusuma (putra Pangeran Diponegoro) berhasil ditangkap Belanda. Dilanjutkan pada tanggal 18 Januari 1830 Patih Danuredja (Patih Perjuangan Pangeran Diponogoro  yang diangkat oleh rakyat) menyerahkan diri. Peristiwa beruntun ini semakin melemahkan kekuatan perjuangan pasukan Pangeran Diponogoro.


2.1.4.Pertemuan Pertama Pihak Belanda dengan Pangeran Diponegoro
Pada tanggal 16 Februari 1830, terjadilah petemuan yang pertama antara Pangeran Dipanegara dan wakil tentara Belanda yakni Kolonel Cleerens (mewakili Jenderal de Kock yang sedang berada di Batavia) di desa Roma Kamal, di sebelah utara Roma Jatinegara. Pangeran Diponegoro berada di Roma Kamal bersama Kyai Mohammad Syafi’i, penasehat Pangeran Diponegoro pasca penangkapan Kyai Maja. Kyai Mohammad Syafi’i sendiri adalah adik ipar Pangeran Diponegoro  (ia menikah dengan BRA. Maryam, adik Pangeran Diponegoro).
Pangeran Diponegoro menolak mengadakan perundingan dengan Kolonel Cleerens karena Beliau menganggap Kolonel tersebut tidak setingkat dengan Pangeran Dipanegoro sebagai pemimpin perang. Pangeran Diponegoro kemudian berpindah tempat di desa Kejawang, utara Soka, menunggu Jenderal De Kock kembali dari Batavia.
Pada tanggal 17 Februari 1830 untuk kedua kalinya Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro. Kali ini Beliau ditemui di desa Kejawang. Dengan alasan yang disampaikan Kolonel Cleerens akhirnya Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Jenderal De Kock di Magelang. Pangeran Diponegoro pun berangkat dari desa Kejawang beserta rombongan menuju Magelang.

2.1.5.Penangkapan Pangeran Diponegoro
Di sepanjang jalan menuju Magelang, Pangeran Diponegoro  disambut hikmat oleh dan hormat oleh rakyat. Pada tanggal 25 Februari 1830 Jenderal De Kock tergesa – gesa meninggalkan Batavia setelah mendengar kabar bahwa Kolonel Cleerens berhasil mengadakan perjanjian perundingan dengan Pangeran Diponegoro.
Pada tanggal 8 Maret 1830 jam 12 Siang betepatan di bulan Ramadhan, Pangeran Dipanegara bersama rombongan kurang lebih 800 orang memasuki kota Magelang. Beliau disambut dengan upacara kehormatan oleh  Jenderal De Kock beserta opsir-opsir Belanda seperti : Kolonel Cochius, Letnan Kolonel Roest dan lain-lain. Jenderal De Kock juga mempersembahkan kuda tunggangan yang bagus sekali kepada Pangeran Diponegoro sebagai tipu muslihat. Sebelum kedatangan Pangeran Diponegoro  di Magelang, ternyata Belanda telah menyebarkan berita palsu bahwa kepada rakyat bahwa kedatangan Pangeran Diponegoro  bukan untuk berunding melainkan untuk meyerahkan diri.
Kuda tunggangan pemberian Jenderal De Kock diserahkan oleh Tumenggung Mangunkusuma sebagai tanda persahabatan. Esok paginya Pangeran Diponegoro diberi uang F 5000 untuk membeli barang-barang keperluan Beliau. Belanda juga mengirimkan lagi dua ekor kuda tunggangan Pangeran Diponegoro  yang berhasil ditangkap ketika peperangan. Pangeran Dipanegoro dan putra-putranya juga diberi kain laken untuk pakaian. Untuk biaya-biaya selama bulan puasa Belanda memberikan uang lagi sebesar f 5000.
Perundingan akhirnya dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 28 Maret 1830 (2 Syawal Tahun Jimawal 1758). Pangeran Dipanegoro datang berkuda diiringi oleh beberapa putera Beliau, pengikut-pengikut setia dan sekitar 100 pasukan bersenjata pada pukul setengah delapan pagi. Pangeran Diponoeoro disambut oleh Jenderal De Kock.
Beliau bersama dengan Dipanegoro Muda (putra Beliau), RM. Jonad (putra Beliau), RM. Raab (putra Beliau), Basah Mertanegara dan Kyai Badaruddin. Pihak Belanda diwakili oleh jenderal De Kock, Residen Valck, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bahasa. Perundingan dilakukan di kamar kerja Jenderal De Kock. Letnan Kolonel yang lain mengawasi perundingan di kamar yang lain.
Inti dari Perundingan adalah Pangeran Diponegoro  tidak pernah sedikit pun berubah tekad untuk mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa.
Pangeran Diponegoro yang tadinya berniat kembali di kediaman Beliau di Meteseh dan akan melanjutkan perundingan keesokan harinya akhirnya ditangkap Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Du Perron pada pukul sepuluh pagi.
Tempat perundingan yang telah dikepung oleh Belanda membuat pasukan Dipanegoro tidak berdaya. Pangeran Diponegoro  kemudian dimasukkan ke dalam kereta Residen yang sudah disiapkan. Beliau kemudian secepatnya dibawa keluar dari Magelang menuju ke Ungaran dengan pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps. Dari benteng Belanda di Ungaran, Pangeran Diponegoro segera dibawa ke Semarang dan kemudian diangkut dengan kapal ke Batavia. Dari Batavia Beliau kemudian dibawa ke Makasar di Benteng Ujung Pandang. Akhirnya setelah menjadi tawanan yang terkurung di dalam Benteng Ujung Pandang selama 25 tahun lamanya, pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat pada usia 70 tahun.
Berikut salinan laporan berita kematian Pangeran Dipanegoro yang ditulis oleh pemerintah Belanda dalam Proses Verbal:

2.1.6. Fakta Sejarah Proses Verbal Pangeran Diponegoro
Pada hari ini,tanggal delapan Januari seribu delapan ratus lima puluh lima, kami yang bertanda tangan di bawah ini telah pergi bersama-sama keruangan yang terletak di dalam Fort Rotterdam dan dipergunakan untuk tempat tinggal tawanan negara Pangeran Dipanegara dan keluarga serta pengiringnya dan mendapati bahwa tawanan negara tersebut pada pagi hari ini pukul setengah tujuh telah wafat dan menurut pendapat perwira kesehatan yang juga menjadi panitia ini kewafatan itu disebabkan berkurangnya kekuatan akibat usia yang lanjut.
Demikian dibuat dalam rangkap empat untuk dipergunakan dimana perlu.

Anggota-anggota panitia
(tt.)
J.G. CRUDELBACH
Assisten – residen dan magistraat,
J. LION, mayoor – infanteri,
F.A.M. SCHMITZ, perwira kesehatan kelas satu.

Pada hari itu juga, atas permintaan Pangeran Diponegoro  sebelum Beliau wafat, jenazahnya dimakamkan di kampung Melayu di kota Makasar. Isteri Beliau beserta putra – putranya antara lain RM Kindar (25 tahun) dan M. Dul Kalbi (20 tahun) memutuskan untuk tidak pulang ke Jawa. Di kota Makasar, pangeran Diponegoro  meninggalkan seorang isteri bernama Ratnaningsih dan tujuh orang anak. Mereka kemudian diberi tanah dan rumah oleh Pemerintah Belanda.
        Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, maka tersingkirlah ganjalan penting pemerintahan kolonial. Ini kita mengerti, karena perang yang sudah berlangsung lima tahun telah menyedot biaya besar. Maka yang harus segera menyusul adalah pemberlakuan trantib.

2.1.7.Pasukan dan Pengikut setia Diponegoro masih leluasa bergerak dan Kabupaten Kebumen.
           Itulah yang membuat Belanda menempatkan dua bupati, yaitu untuk Kabupaten Puworejo dan Kabupaten Kebumen. Batas daerah Purworejo dan Yogyakarta adalah Pegunungan Menoreh, tanpa jalan sebagai sarana perhubungan, kecuali di bagian selatan dekat laut, daerah Urutsewu, yang masih merupakan bagian dari daerah Kasultanan Yogyakarta.
          Kabupaten Kebumen di sisi selatan berbatasan juga dengan Urutsewu, dan barat dengan Kabupaten Roma yang masuk Kasultanan Yogyakarta. Batasnya sangat tajam karena berupa sungai, K.Lukulo. Bupati Purworejo ialah KRAA Tjokronegoro I sedang Bupati Kebumen KRAA Aroeng Binang I, dua-duanya diambil Belanda dari Surakarta.
          Jika kita bertanya dari nama Purworejo kita dapat menyimpulkan bahwa kota itu baru, maknanya “yang paling dulu makmur”. Belanda membangun kota itu pada awal mereka menata keprajaan daerah Kedu Selatan bagian timur dan Purworejo dijadikan ibukota Keresidenan Bagelen. Itulah saat Bagelan muncul sebagai nama tempat kedudukan pemerintahan.
           Pada tahun 1901 Keresidenan Bagelen dihapus, dan Kabupaen Purworejo disatukan dengan daerah Kabupaten Wonosobo yang ada di utaranya. Kota Wonosobo juga dibangun Belanda di tempat yang bernama Ledok, semacam lembah, karena sekitarnya tinggi. Berapa pengamat menyatakan,bahwa  lingkungan yang umumnya berlereng curam itu rentan longsor dan pernah ada sepetak hutan yang bergerak. Dari sana muncul kata wanasaba, hutan melanglang. Karena Belanda menempatkan di sana pejabat yang berasal yang dikuasai—boleh jadi dari Solo sama halnya dengan Purworejo—dengan sendirinya kota itu lalu disebut Wonosobo. Maka terbentuklah Keresidenen Kedu dengan ibukota Magelang.
          Bentuk Keresidenan Kedu tampak aneh dan tidak ada jalan penghubung Purworejo dengan Ibukota Magelang. Bentuk itu tak lain adalah hasil “bagi-bagi daerah” dengan pihak yang ketika itu masih perlu diperhitungkan, Sultan Yogyakarta.
          Baru sekitar tahun 1920-an, jalan penghubung Purworejo-Magelang terwujud, setelah bagian tanjakan yang sangat tajam dapat diatasi dan sekarang dikenal dengan nama Margoyoso. Jalan besar lintas selatan menuju Yogyakarta lewat Wates rampung setelah jembatan baru melintasi Kali Bogowonto di dekat Cangkrep dibangun. Itu terjadi setelah 1930, pengamat sejarah menyatakan, bahwa hal ini adalah  karya insinyur Roosseno Soerjohadikoesoemo, salah seorang insinyur sipil Indonesia lulusan awal TH Bandung, Ia juga yang merencanakan jembatan Kali Serayu yang jauh lebih panjang. Sebelum jembatan Cangkrep ada, untuk menuju ke Yogyakarta dari Kedu Selatan, orang harus menyeberangi Kali Bogowonto dengan rakit di dekat Purwodadi.
          Pada zaman Perang Diponegoro, di barat Kebumen terdapat Kabupaten Roma dengan pusatnya di Jatinegara yang letaknya seperti telah disinggung di atas, di tempat pasar Gombong. Kata “roma'” berasal dari bahasa Sunda reuma, yang artinya ladang setelah hutan asli ditebang. Tak perlu heran kita, dari segi sejarah, daerah Roma yang semula Reuma masuk ke “barat”. Karena yang berkuasa dari “timur”, Mataram, maka nama Roma diucapkan “Romo”. Kabupaten (semula Kadipaten) Roma dibentuk pada tahun 1553 sebagai hasil penggabungan dua kadipaten, Kadipaten Pucang dengan pusatnya di timur Gombong dan Kadipaten Kaleng yang daerahnya di tepi pantai selatan. Nama Pucang kini hanya dikenal penduduk setempat; dan yang ada sekarang Desa Kedungpuji.
           Pada saat perang meletus, Bupati Roma dijabat K.R.T. Kertanegara IV (atau Kertonegoro jika kita menggunakan logat Timur). Bupati dengan rakyatnya berpihak pada Pangeran dan oleh Pangeran diangkat jadi senopati (panglima) dengan nama Banyak Widé. Dalam perkembangan selanjutnya, Bupati Banyak Wide disertai isteri bergerilya dengan berkuda di daerah Banyumas. Akhirnya mereka tertangkap Belanda dan diasingkan ke Ternate. Karena usia bertambah dan makin rentan, keluarga Banyak Wide mengajukan permohonan agar yang bersangkutan dapat kembali ke Jawa, dan diizinkan untuk bertempat tinggal di Pejagoan di barat Kebumen, di seberang Kali Lukulo. Ketika meninggal, jenazah dimakamkan di Pekuncen di utara Gombong.
           Setelah Bupati Banyak Wide tersingkir, Belanda mengangkat R.T. Sindoenegoro, bupati nayaka dari Yogyakarta untuk mengurus pemerintahan daerah Roma. Agar kewenanganya lebih luas, bupati diberi pangkat militer mayor. Pergolakan yang terus terjadi membuat Bupati R.T. Sindoenegoro keplayu (kabur atau 'hengkang', istilah Jepang dari zaman pendudukan) dan kembali ke Yogya. 

3.Fakta Sejarah Kabupaten Ambal Priode 1830-1872 (44 Tahun)
          Belanda memang tidak berdiam diri, tetapi terus melangkah. Selain Kabupaten Roma, atas dasar pertimbangan luas daerah Kedu Selatan di luar Purworejo dan Kebumen—yang dinilai sudah bisa dikelola—kemudian dibentuk Kabupaten Ambal yang mencakup daerah Urutsewu.
          Bentuk daerah kabupaten ini memang aneh, memanjang lebih dari 60 kilometer dengan lebar tak seberapa. Aneh bentuk tidak berarti justru baik dipandang dari segi lain, yaitu kepemerintahan. Oleh sebab itu, pusatnya, ibukota, ditempat di tengah, bagian yang agak lebar, berseberangan dengan Petanahan yang telah disinggung di atas.
           Selain masalah tenaga dan asal calon pejabat, ada gunanya kita mengetahui sejarah daerah yang bersangkutan. Sri Sultan berpendapat bahwa orang yang akan ditempatkan sebagai pimpinan kedua daerah itu sebaiknya R.M. Abdoeldjalil alias R.M. Djojoprono dan R.M. Semedi alias R.M. Mangoenprawiro. Kedua-duanya masih dalam tahanan. Belanda dapat menyetujuinya, tetapi sebelumnya mereka harus dijinakkan dan dipersiapkan untuk tugas mereka.
           Dengan istilah Inggris sekarang, debriefed dan conditioned. Mereka kemudian di”titipkan” pada bupati yang bertugas dalam kepemerintahan kolonial: R.M Mangoenprawiro diserahkan kepada Bupati Magelang, R. Adipati Danoeningrat, dan R.M. Djojoprono diserahkan kapada Bupati Purworejo, R. Adipati Tjokronegoro I. Yang penting, mereka jangan sampai menjalin hubungan dengan orang banyak.
           Setelah kelihatan dapat memenuhi apa yang diharapkan, R.M. Mangoenprawiro jadi pembantu kolektur (hulpcollecteur, pengumpul pajak) di Muntilan, dan R.M. Djojoprono jadi anggota Landraad (Pengadilan Negeri) Purworejo.
           Setelah dinilai ada kemajuan, jabatannya naik. R.M. Mangoenprawiro jadi collecteur di Kebumen, di bawah pengawasn Bupati Kebumen, R. Adipati Aroeng Binang I, sedang R.M.Djojoprono ketika jabatan beskal (fiscaal, sekarang jaksa) lowong, diangkat untuk menduduki tempat itu..
           Pascaperang, Kabupaten Roma masih tetap masuk wilayah Kasultanan Yogya, dengan pengawasan Belanda. Pimpinan pemerintahan umum adalah R.T.Sindoenegoro dibantu oleh Bupati Anom R.T. Koesoemoredjo yang mengurus pembangunan kembali desa yang rusak sebagai akibat perang dan perpajakan.
           Sekitar tahun 1839, di daerah Roma dan Ambal timbul huru-hara. Siapakah yang ada di belakangya? Tentu saja para mantan pengikut Pangeran Diponegoro. Sampai-sampai para bupati hengkang lagi. Agar trantib terjamin, Sri Sultan mengusulkan, bupati dua daerah itu dijabat oleh mantan pengikut Pangeran. Setelah para pemimpin gerakan tertangkap, R.M. Mangoenprawiro dijadikan wakil bupati di Ambal dan R.M. Djojoprono jadi wakil bupati di Roma. Karena dua daerah itu jadi aman, kedua orang itu selanjutnya ditetapkan jadi Bupati, R.M. Djojoprono untuk Kabupaten Roma dengan nama KRMAA Djojodiningrat dan R.M. Magoenprawiro dengan namaa KRMAA Poerbonegoro untuk Kabupaten Ambal. Kedekatan dua mantan ajudan Pangeran itu ternyata terus berlangsung. Dalam perkembangan sejarah, kawin-mawin terjadi di antara keturunan kedua-duanya sejak peringkat cucu.
          Mereka memerintah hingga saat mereka mundur, setelah melewati masa penuh gejolak. Bupati Karanganyar Djojodiningrat mengundurkan diri pada tahun 1868, karena hubungannya dengan asisten residen tidak lagi seperti semestinya, dan Bupati Ambal Poerbonegoro bertugas hingga wafat pada 7 Maret 1871.
          Maret tahun 1872, Kabupaten Ambal dihapus, disowak, afgeschaft, Pendopo dengan empat 'soko guru', tiang utamanya yang terbuat dari kayu jati mitu-tinggi yang sangat langka dipindah ke rumah kediaman Bupati Karanganyar. Bupati Poerbonegoro sempat memperoleh penghargaan bintang emas, dan barangnya kini disimpan oleh keturunannya.
             Sejarah Kedu Selatan mengenal dua tokoh itu sebagai tonggak awal 'aturan main baru'. Merekalah yang jadi jembatani masa peralihan, dari yang semula daerah kasultanan kemudian berubah jadi daerah 'gubermen' seperti daerah yang lain.
             Upaya pemerintahan Hindia Belanda dalam memutus ikatan antara pimpinan dan rakyat di dua daerah kabupaten baru itu tidak setengah-setengah Bagi keturunan dua bupati itu tidak lagi ada kesempatan untuk berkiprah di Karanganyar dan Ambal, apalagi mereka yang dianggap Belanda diehards, yaitu mereka yang tidak dapat diajak bekerja sama. Itu sebabnya, daripada mendapat kesulitan, para keturunan itu memilih menyingkir ke daerah lain, dan kalau perlu 'menutup buku' sejarahnya. Jika nama juga disoal, yaah, apa boleh buat, menggunakan nama lain. Belanda juga tahu, justru si kepala batu itu yang dapat memimpin karena merasa memiliki dignity, martabat.
             Nama RMAA Djojodiningrat dan RMAA Poerbonegoro tidak dapat dipisahkan dari pacificatie daerah yang pada saat ini merupakan bagian barat Kedu Selatan. Pacificatie adalah kata Belanda yang menunjuk kepada upaya mereka memberlakukan trantib (ketenteraman dan ketertiban) seusai Perang Diponegoro.
            Perang yang berlangsung antara tahun 1825—30 itu oleh Belanda disebut Java-oorlog (Perang Jawa), karena dianggap sebagai perlawanan terakhir orang Jawa terhadap upaya Belanda dalam memberlakukan kekuasaan mereka di negeri ini.
           Perang itu benar-benar telah menguras tenaga dan keuangan pemerintah Belanda, sehingga mereka terpaksa 'menjual' yang kemudian dikenal sebagai Pamanoekan-Tjiasem Landen, tanah partikelir Pamanoekan-Tjiasem yang sekarang jadi bagian dari daerah Kabupaten Subang di Jawa Barat. Di daerah Jawa Timur ada juga tanah yang 'dijual' (digadaikan) seperti itu untuk menutup kekurangan anggaran negara.
             Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan yang disebut Cultuurstelsel, undang-undang wajib tanam. Pokok-pangkalnya karena pemerintah sudah kepayahan menghadapi anggaran yang terus tekor. Menurut teori, jangan sampai tindakan itu membebani rakyat, karena hanya sepertiga lahan milik rakyat yang digunakan untuk keperluan tanam-paksa, dan itu dibebaskan dari pajak. Hasilnya dijual di pasar dunia. Pelaksanaannya diserahkan kepada para kepala yang pribumi. Kenyataannya, rakyat dipaksa membudidayakan tanaman yang hasilnya laku di pasar dunia. Sebagai akibatnya, penderitaan rakyat makin menjadi-jadi, tentu saja di mana-mana terjadi penyimpangan.
          Sejak tahun 1841, Kabupaten Roma berubah jadi Kabupaten Karanganjar, dan ibukotanya pindah dari Jatinegara ke Karanganyar yang baru dibangun. Ini berbeda dengan Kabupaten Ambal yang dibiarkan ada di daerah Urutsewu.
          Pertimbangan pemerintah jajahan sudah jelas karena melihat ke masa depan. Tidak jauh di barat Purworejo dibangun Ibukota Kabupaten Kutoarjo, disisipkan di antara Kebumen dan Purworejo, dengan daerahnya membujur utara-selatan, dan bagian selatannya mencakup Urutsewu, dan ibukotanya terletak tidak menyimpang dari jalur jalan raya penghubung antaribukota Kedu Selatan. R.M. Sarwits Poerboatmodjo, buyut Poerbonegoro masih sempat jadi Bupati Kutoardjo.
          Sama dengan Kabupaten Karaganjar, Kabupaten Kutoarjo dihapus ketika terjadi malaise. Kota Kutoarjo beruntung karena jadi persimpangan jalur rel keretapi lintas selatan Jawa, alih-alih Purworejo yang terletak menyimpang. Sewaktu pendudukan Jepang, jalur rel Kutoarjo-Purworejo dibongkar, tetapi dalam Pelita atas perintah Menteri Harjono Danutirto dipulihkan dengan alasan agar selain beban jalan raya berkurang—terutama waktu Lebaran—juga karena membludaknya pemudik dari arah barat.
          Jika kita menelusuri sumber sejarah kabupaten lain, seperti kabupaten Banyumas memang nama Ambal banyak disebut sebagai tempat berdiamnya sejumlah keturunan Majapahit. Namun sejauh ini belum ada bukti arkeologis yang menyertainya.
          Majapahit sendiri runtuh pada 1527 M pasca serbuan Demak. Mayoritas keturunan Majapahit -yang enggan bergabung dengan Demak- kemudian menyingkir ke Bali. Namun memang ada sebagian kecil komunitas Majapahit, yang telah berkembang sejak akhir abad ke-15, yang menempati wilayah barat nan terpencil seperti lereng Gunung Lawu. Disini komunitas pelarian itu mengembangkan budayanya sendiri yang cenderung flashback ke budaya prasejarah.
          Pendirian Candi Sukuh dan Candi Cetho, yang kini masuk wilayah Kabupaten Karanganyar, menunjukkan hal itu. Kedua candi memiliki bentuk punden berundak, dengan ragam hias sederhana dan dihiasi beberapa relief yang sangat vulgar menunjukkan phalus (alat kelamin laki-laki) dan wiwara (alat kelamin perempuan). Ini berbeda dengan tradisi Hindu yang menyimbolisasikan keduanya secara lebih halus sebagai lingga dan yoni.
         Ada sebuah lumpang batu (dengan corak prasejarah) yang pernah ditemukan di Ambal. Mungkinkah ini merupakan sisa peninggalan pelarian Majapahit? Bisa saja. Namun sejauh ini penyelidikan belum dilakukan.
         Ketika berdiri Kadipaten Panjer (pada 1642 M), sebenarnya kabupaten ini juga dikelilingi oleh kadipaten-kadipaten lainnya yang berdiri pada saat bersamaan maupun menyusul kemudian, seperti Kadipaten Kaleng (Puring), Kadipaten Kutowinangun, Kadipaten Karanganyar dan Kadipaten Ambal. Dalam Perkembangannya, Belanda kemudian menggabungkan Kaleng dan Karanganyar menjadi satu dengan nama regentschaap Karanganyar.
          Dan akirnya pada 31 Desember 1935, Gubernur Jenderal de Jonge memutuskan untuk menggabungkan empat regentschaap yakni Karanganyar, Kebumen, Kutowinangun dan Ambal menjadi satu wilayah yang disebut Kabupaten Kebumen. Keputusan ini berlaku efektif pada 1 Januari 1936
         Ada hal yang terabaikan dalam sejarah saat ini, yakni  makam Bupati Ambal, berikut ini hasil penelusurannya kondisi makam Alm.K.R.A.A. Poerbonegoro bupati Ambal I  dari keturunan trah Kolopaking babad alas Kebumen yang memimpin Kabupaten Ambal dari 1830-1872, kondisi saat ini kurang di perhatikan oleh Pemerintah daerah Kebumen, makam Alm K.R.A.A Poerbonegoro sebagai situs sejarah yang sangat mahal harganya, serta investasi wisata untuk ziarah dan studi sejarah ini belum sepenuhnya diperhatikan.
           Hasil wawancara penulis dengan juru junci makam K.R.A.A  Poerbonegoro,  merupakan Bupati 1 kabupaten bapak Slamet (59) 11 Februari 2015 mengatakan, ”Jalan ke lokasi belu beraspal, penerangan makam belum ada, tidak adanya kesejehteraan kepada juru kunci (penjaga makam), serta tidak adanya rumah juru kunci untuk melayani tamu yang hendak datang ke makam R.A.A Bapal Slamet bercerita,” Alm K.R.A.A  Poerbonegoro merupakan Bupati 1 kabupaten Ambal sebelum terbentuknya kabupaten Kebumen, dikala itu memimpin Kabupaten Ambal yang mempunyai wilayah dari dari timur Congot sampai Karangbolong yang sering terkenal nama urut sewu.
            Pada masa kepmimpinannya K.R.A.A Poerbonegoro adalah sosok Bupati yang berjuang keras melawan penjajah Belanda bersama rakyatnya melakukan perang gerilya diwilayah urut sewu daerah Kebumen selatan, ungkapnya” beliau  menyatakan, bahwa  “Saya sudah mulai tahun 1972 sebagai juru kunci, 4 turunan dari Eyang, Kakek, Mbah dan orang tuanya saya untuk menja makam ini, dulu pernah dikumpulkan Pemda kebumen, yang intinya akan di beri kesejahteraan atau gaji yang sepantas kepada penjaga juru kunci makam se kabupaten kebumen, tetapi sampai sekarang belum kunjung datang dan bahkan tidak ada berita akan di beri kesejahteraan,” bebernya’ “Walaupun tidak diperhatikan dari pemerintah, baik kabupaten, atau desa ini kami tetap melayani tamu jika ada  yang hendak berziarah, pada prinsipnya ini sebuah tugas saya turun temurun IV turunan penjaga dari mbah, kakek, bapak  dan saya sekarang ini. sebagai bentuk pengabdian dan merasa tanggungjawab atas konsdisi makam ini
          Jika kita menilik jumlah desa di Kecamatan Ambal
1.      Ambalkebrek,
2.      Ambalkliwonan
3.      Ambalresmi
4.      Ambarwinangun
5.      Banjarsari
6.      Benerkulon
7.      Benerwetan
8.      Blengorkulon
9.      Blengorwetan
11.  Entak
13.  Kaibon
16.  Kenoyojayan
17.  Kradenan
18.  Lajer
19.  Pagedangan
20.  Pasarsenen
21.  Peneket
23.  Prasutan
24.  Pucangan
25.  Sidorejo
26.  Sidoluhur
27.  Sidomukti
28.  Sidomulyo
29.  Singosari
30.  Sinungrejo
31.  Sumberjati
32.  Surobayan
             Sebuah wilayah yang cukup luas dan patut, atau layak dipersiapkan menjadi Kabupaten tersendiri seperti dalam sejarah Kabupaten Ambal selama 1830-1872 (44 tahun).
        
4.Sebuah Fenomena “mimpi Kabupaten Ambal”

4.1.Kadipaten Ambal dalam versi wayang golek
          Menurut hasil wawancara dengan dengan Dalang Basuki 7 Mei 2015 sebenarnya jika maujujur dan tak mengabaikan fakta sejarah secara semiotika kabupaten Ambal secara tersirat dan tersurat bisa diamati  melalui lakon wayang golek versi Ambal- Kebumen dulu pernah menjadi pusat pemerintahan kabupaten. Ceritanya begini: Pada masa perang Diponegoro, Ambal dan pantai pesisir selatan, yang dikenal dengan Urut Sewu, dikuasai berandalan kejam dan menakutkan bernama Puja atau Gamawijaya. Dia sangat terkenal hingga warga mulai dari Karangbolong hingga Kesultanan Yogyakarta mendengar namanya.Untuk menumpasnya pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara yang isinya: barang siapa yang mampu menangkap Puja akan mendapat hadiah besar. Ternyata tidak ada yang berani mengikuti sayembara itu.
         Pada zaman perang Diponegoro itu, Semedi, putra dari selir Hamengku Buwono III, mengungsi ke Kedu. Pangkatnya naik dari ordenans menjadi kolektur di Kebumen dengan nama Raden Ngabehi Mangunprawira. Dia pemberani, dan berniat mengikuti sayembara itu. Dia kemudian berbicara dengan Lurah Desa Sijeruk, Wargantaka dan putranya Andaga. Wargantaka dan Puja adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama berguru pada Gamawikangka.
         Berkat kerjasama itu, rahasia kekuatan dan kelemahan Puja akhirnya bisa diketahui Mangunprawira. Wargantaka mendukung Mangunprawira menumpas penjahat tersebut. Puja pun terbunuh. Mangunprawira dipromosikan menjadi Bupati Ambal seumur hidup, dengan nama K.R.A.H. Poerbanagara. Pada masa itu moyang saya diangkat menjadi Penghulu Kabupaten Ambal, namanya KH Yahya. Beliau adalah salah satu keturuan Brawijaya V.
        Kabupaten Ambal hanya berlangsung 44 tahun dari tahun 1828 – 1872. Setelah itu kabupaten Ambal dihapus dan dimasukkan ke dalam kabupaten Kebumen. Peninggalan pendopo kabupaten Ambal kemudian menjadi milik pribadi. Pada sekitar tahun 1940-an, kakek saya membeli bekas pendopo itu dengan cara dicicil dari gaji sebagai kepala sekolah SR (Sekolah Rakjat). Kemudian pada jaman perang kemerdekaan, sebagian rumah kakek saya itu dijadikan markas pejuang. Akibatnya bekas pendopo kabupaten itu dibom Belanda.
        Untuk menghindari dijadikan sasaran lagi maka masyarakat beramai-ramai membongkar pendopo itu. Tumpukan kayu jati bekas pendopo itu menumpuk di samping rumah utama yang tidak ikut dibongkar. Tapi ada sedikit masalah ketika membongkar pendopo itu, 4 soko guru (tiang utama) pendopo tidak bisa dibongkar, bahkan ketika hendak digotong ramai-ramai tidak ada yang kuat. Kemudian nenek saya memerintahkan membuat “sego rosulan”, semacam selamatan bersih desa. Setelah selamatan itu, 4 soko guru dicoba digotong beramai-ramai, tapi tiba-tiba keempat soko guru yang masih tegak berdiri itu melompat pindah ke samping rumah utama. Dan di tempat itu soko guru itu dengan mudah dibongkar seperti pilar-pilar yang lain. Dan setelah itu, mata kakek saya tiba-tiba menjadi buta. Dan sekarang bekas pendopo kabupaten Ambal sudah tidak ada bekasnya lagi.

4.2.Kasus Petanahan
          Setelah sekian lama dinanti, akhirnya muncul juga kesadaran masyarakat Ambal Resmi untuk berorganisasi dan bergerak bersama desa-desa lain di Urutsewu yang berjuang melawan ketidakadilan yang telah dialami bertahun-tahun. Entah sejak kapan mereka merencanakan, tapi yang jelas malam itu (Selasa, 9 September 2014) mereka, warga masyarakat yang sudah lelah merasakan penindasan, berkumpul di sebuah rumah sederhana untuk menyatukan sikap terhadap apa yang terjadi di desanya.
          Ambal Resmi adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Ambal, desa yang sangat beruntung karena mempunyai banyak keistimewaan dibanding desa-desa yang lain. Selain sebagai pusat kuliner “Sate Ambal” yang kondhang sampai kemana-mana, desa ini juga merupakan pusat wisata musiman lebaran dengan atraksi wisata pacuan kuda, pasar malam dan wisata pantai. Selain itu desa ini juga dikenal sebagai pusat kesenian tradisional, yaitu kethoprak dan wayang kulit, disamping juga merupakan situs sejarah karena merupakan bekas ibu kota Kadipaten Ambal.
          “Kemakmuran” Ambal Resmi ternyata tidak secara otomatis membawa kesejahteraan bagi warganya, terbukti bahwa sebagian masyarakat yang jumlahnya cukup banyak yang hidup dengan cara bertani di kawasan pesisir merasa gelisah karena didzolimi oleh penguasa. Pemagaran yang telah dilakukan oleh TNI AD atas restu kepala desa, tidak saja melukai hati para petani, tapi juga menjadi ancaman yang serius karena sewaktu-waktu mereka bisa kehilangan lahan pertaniannya.

4.5. Pemagaran di tanah Warga
Kurang lebih 6 bulan yang lalu, ketika TNI AD mensosialisasikan rencana pemagaran kawasan pesisir Urutsewu, masyarakat sudah menyampaikan penolakannya kepada kepala desa, akan tetapi diam-diam Kepala Desa Ambal Resmi, atas nama masyarakat, melayangkan surat “persetujuan bersyarat” kepada TNI AD, dan kemudian, ketika masyarakat mempertanyakan adanya kegiatan pemagaran di lahan-lahan mereka, dengan enteng Pak Kades menjawab “saya juga tidak tahu”.
Malam itu, ketika generasi tua dan muda berkumpul, terbukalah semua fakta tentang pemagaran dan tanah pesisir Urutsewu. Sebut saja Mbah Suto (75), dengan sangat meyakinkan beliau menceritakan bahwa dulu kepemilikan tanah masyarakat adalah sampai dengan pantai, terbukti bahwa akad jual beli pada waktu itu selalu menyebutkan bahwa batas sebelah selatan adalah banyuasin/pantai, “Rumiyin menawi sade siti nggih dumugi Banyuasin” tegasnya dengan berapi-api. Hal itu juga dibenarkan oleh Mbah Noyo (71) yang mengaku pernah melakukan transaksi jual beli tanah pesisir selatan dengan batas selatan laut.
Suasana diskusi malam itu begitu hangat meski angin yang menerobos jendela-jendela tak berdaun itu serasa menusuk tulang.
            Setelah generasi tua menyampaikan sejarah kepemilikan tanah dengan “bahasa dongeng,” generasi muda segera menimpali fakta yang mereka temukan seputar pemagaran. “Bagaimana mungkin pak lurah tidak tahu menahu tentang pemagaran jika beliau membuat surat persetujuan ini,” kata Thomas (nama samaran) seraya menunjukkan foto copy surat persetujuan pemagaran yang ditandatangani kades dan ketua BPD. “Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan?” tegasnya berapi-api, disambut kebingungan dari peserta rapat yang shock. 
           Songsong agung yang dipundi-pundi dan diposisikan sebagai ratu adil itu ternyata telah mengkhianati mereka, rakyat yang memberinya tahta. Dan, celetuk salah seorang pemuda yang polos memecah kesunyian, “Lurah kan dipilih rakyat, jadi rakyat kan atasannya lurah, ya dia harus nurut sama rakyat.”

4.6.Gerakan Bersemi di wilayah “urut sewu”
Diskusi berlanjut dengan merumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat untuk menyikapi pemagaran. Apalagi didengar kabar bahwa di wilayah Kecamatan Mirit BPN telah memproses pengajuan sertifikasi tanah pesisir oleh TNI-AD.
            Akhirnya, setelah diskusi panjang lebar dan ngalor ngidul diperoleh kesimpulan bahwa harus dibentuk organisasi di desa untuk mewadahi perjuangan dan segera merapatkan barisan dengan desa-desa lain di Urutsewu dalam wadah USB-FPPKS.
            Belajar dari sejarah perjuangan di Urutsewu, untuk menguatkan organisasi dan untuk menghilangkan ketergantungan pada seorang tokoh, maka organisasi dibentuk dengan menerapkan sistem kepemimpinan kolektif. Organisasi yang kemudian diberi nama GERAK BERSEMI (singkatan dari Gerakan Masyarakat Bersatu Membangun Ambal Resmi) ini dipimpin oleh dewan pimpinan yang berjumlah 3 orang. Dibentuk juga perangkat organisasi yang lain, yaitu sekretaris dan bendahara.
Agenda terdekat yang akan dilakukan organisasi ini adalah konsolidasi anggota, pengumpulan data dan informasi mengenai tanah pesisir selatan yang saat ini diklaim oleh TNI-AD sebagai “tanah Negara yang dikuasakan kepada TNI.” Di samping juga mengidentifikasi masalah-masalah lain yang dialami masyarakat dan penting untuk disikapi dan diselesaikan. Untuk itu telah dibentuk tim-tim kerja untuk masing-masing sub kegiatan.
Munculnya GERAK BERSEMI adalah bukti bahwa rakyatlah pemegang kebenaran, karena rakyat kecil ataupun tani kluthuk tidak akan mungkin bergerak jika tidak berpegang pada kebenaran dan benar-benar telah terinjak. Karena itu sudah saatnya pemerintah menunjukkan itikad baik untuk membela hak-hak rakyat, karena jika tidak maka hal ini akan menjadi bom waktu yang semakin lama daya ledaknya akan semakin besar dan dapat meledak sewaktu-waktu.

Bupati atau Juru Bicara TNI ?

Tanggapan FPPKS terhadap Surat Bupati ke Komisi Nasional No:590/6774
Pada alamat pengiriman Bupati menulis:
Kepada :
Yth. Ketua Komisi Nasional
Di JAKARTA


Tanggapan FPPKS:
Tak bisa diterima, penulisan alamat tujuan yang tidak lengkap, apalagi untuk sebuah lembaga sekelas Komisi Nasional HAM yang punya legalitas dan legitimasi tinggi.
Skema berikut ini:
- Isi Surat Bupati (dicetak miring)
- Tanggapan (petani) FPPKS

 Pada item selanjutnya Bupati menulis:
(1)               Latihan TNI di Urutsewu (wilayah di pantai selatan Jawa Tengah yang meliputi desa-desa di Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen) dilaksanakan sejak tahun 1937 memanfaatkan tanah Negara dengan lebar k.l 500 m dari air laut ke utara sepanjang k.l 22,5 km. Dengan status sebagai tanah Negara maka tidak melalui proses peminjaman dengan warga sekitar sebagaimana dimaksud dalam surat dari FPPKS kepada Komnas HAM

(2)               Tanggapan FPPKS:
Pelaksanaan latihan tahun 1937 itu jelas-jelas bukan latihan TNI, tetapi latihan tentara kolonial. Sehingga mewarisi tradisi tentara kolonial yang merugikan kehidupan petani, tak bisa dibenarkan bagi cita-cita negara yang telah merdeka.
Pernyataan tanah negara dengan lebar k.l 500 meter, jelas merupakan klaim sefihak yang selalu dibuat-buat dan dibawa-bawa sebagai dalih untuk melegitimasi batas semu mengenai tanah negara.
Karena fakta mengenai sejarah tanah di pesisir Urutsewu adalah apa yang dihasilkan dari Klangsiran Tanah pada tahun 1932, oleh pemerintah kolonial dengan partisipasi petani Urutsewu. Bukti yang berkaitan dengan batas tanah negara dan tanah rakyat adalah keberadaan Pal-Budheg; dan ditandai dengan kodevikasi Q222 untuk desa Setrojenar (Buluspesantren), Q216 untuk desa Entak (Ambal) dan Q215 untuk desa Kaibon (Ambal)
Catatan: Pal-Budheg dalam  idiom lokal adalah sebutan untuk patok batas tanah, sesuai dengan statement ”nDoro Klangsir” (petugas Agraria). Patok batas tanah ini di desa Entak (Kec.Ambal sebelah barat) disebut Pal-Keben, sedangkan di daerah Ambal timur, desa Kaibon, Kaibon Petangkuran, dst; disebut pal Tanggulasi.
 (3) Terkait dengan pengaduan perihal pemasangan patok oleh TNI dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Pada bulan Maret sampai dengan April 1998 dilaksanakan pengukuran batas tanah untuk daerah latihan dan ujicoba mulai dari muara sungai/kali Lukulo desa Ayamputih Kec. Buluspesantren sampai dengan muara sungai Wawar Desa Wiromartan Kec. Mirit dengan lebar k.l 500 meter dari air laut ke utara dan panjang k.l 22,5 Km dan ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan area Lapangan Tembak;

Tanggapan FPPKS:
3.a        Konteks pelaksanaan pengukuran 500 meter itu semata-mata merupakan kepentingan DislitbangAD dalam memenuhi kebutuhan untuk terutama ujicoba senjata alutista. Tetapi substansi yang melekat di dalam jarak 500 m itu adalah fakta mengenai kepemilikan tanah sejak turun temurun. Sehingga segala bentuk kegiatan terkait pengukuran 500 meter ini bukan secara otomatis merupakan proses mutasi dan/atau pengalihan hak kepemilikan atas tanah.
            Pemasangan patok pernah disebut oleh TNI sebagai penanda peringatan untuk saat latihan dan/atau uji coba senjata. Tetapi warga tidak percaya, karena jika untuk penanda (warning) maka cukup dengan pemasangan bendera merah seperti sebelumnya.

Di dalam item
 ”ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan Area Lapangan Tembak”konteksnya bukan persetujuan penyerahan dan/atau pengalihan status kepemilikan tanah; melainkan diketahui telah dilakukan pengukuran area untuk digunakan sebagai Lapangan Tembak.
Dengan kata lain, tandatangan Kepala Desa bukan merupakan persetujuan apalagi dijadikan legitimasi mutasi hak kepemilikan, tetapi konteksnya tetap dalam peminjaman area untuk latihan TNI dan area uji coba senjata.
             Pengukuran 500 meter, yang dilakukan belakangan, telah membuktikan bahwa ”sebenarnya” tanah negara itu bukan sejauh k.l 500 meter dari bibir pantai ke utara.
              Meskipun begitu, bagi TNI dapat dibiaskan maknanya, yakni dilakukan semata-mata untuk mencari legitimasi baru mengenai batas tanah negara; sebuah konspirasi yang memanipulasi fakta sejarah. Akan tetapi, sejatinya, batas tanah negara itu berada pada bukti sejarah, yakni keberadaan ”pal-budheg” sebagai fakta sejarah yang sebenar-benarnya dan yang semestinya.
  b.    Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor 340/XII/2006 tanggal 12 Desember 2006 perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah Berasengaja menyatakan bahwa berdasarkan musyawarah dan kesepakatan warga desa Setrojenar dengan TNI-AD …………….. pada 1 (satu) yaitu: “Masyarakat desa menyetujui dengan adanya tanah berasengaja digunakan untuk latihan dan ujicoba senjata oleh TNI-AD. Dan tidak menyangkut siapa pengelola serta apa status pengelola lokasi tersebut”; 
Tanggapan FPPKS:
3.b   Substansi sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Kades Setrojenar mengenai pemanfaatan tanah Bera sengaja untuk latihan TNI itu bukan berarti penghilangan dan/atau pengabaian terhadap hak kepemilikan yang melekat di atas tanah-tanah dalam zona Berasengaja.
             Persetujuan Kepala Desa, tidak bisa diklaim sebagai representasi persetujuan masyarakat (para) pemilik tanah. Harus dicatat pula bahwa persetujuan mengenai tanah ”berasengaja” itu digunakan untuk latihan dan uji coba senjata.

Menurut Mantan Kades Nur Hidayat, Penyebutan (surat Kades) ini sebagai manipulatif dan tidak sesuai dengan kenyataannya; karena yang sebenarnya merupakan “bantahan”, terkait dengan pembagian hasil bumi atas pemanfaatan tanah areal latihan, tetapi dalam item ini dinukil hanya sepotong saja; sehingga membiaskan substansi dan konteksnya.
             Secara historis, munculnya zona ”berasengaja” sebenarnya harus dilihat dengan 2 perspektif:
Pertama, merupakan manifestasi konsep ekologi masyarakat tradisi masa lalu di Urutsewu.
Kedua, oleh karena keterbatasan mobilitas tenaga sehingga zona itu masih ”sengaja diberakan” (belum dibudidayakan); akan tetapi juga semua ini dalam konteks pemenuhan kebutuhan tersediakannya area penggembalaan bagi ternak petani di desa-desa pesisir Urutsewu. Secara dialektis, perkembangan kebutuhan hidup seiring mekarnya jumlah populasi penduduk, maka zona Berasengaja yang di dalamnya melekat hak ulayat dan/atau hak kepemilikan petani setempat; zona ini dibudidayakan untuk pertanian, khususnya tanaman holtikultura.
          c. Surat Camat Buluspesantren Nomor 621.11/236 tanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada tanggal 8 November 2007 di pendopo Kec. Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar dan Brecong, Ketua BPD (3 desa), mantan Kades (2 orang) dan warga masyarakat dari 3 desa, yang intinya pada point 5 (lima) yaitu: ”TNI tidak akan mengklaim tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai tersebut sesuai aturan yang ada”;
            Tanggapan FPPKS:
 2.c: ”tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai”;
Bahwa di dalam 500 meter dari bibir pantai itu terdapat tanah rakyat yang disamping dari dahulu sudah merupakan”tanah pemajekan”
 sehingga terdata pula di Buku C Desa dan ber SPPT (dulu disebut ”pethuk”); juga merupakan warisan para leluhur. Ini menunjukkan bahwa secara historis dan hukum administrasi pertanahan, itu milik petani. Tetapi hak kepemilikan ini telah diabaikan oleh klaim sefihak tentang batas 500 m dari bibir pantai. Fakta lain terkait ”penetapan” 500 m ini adalah bukan dengan dasar hukum yang valid. Penetapan batas 500 m hanya didasarkan pada tradisi (baca: kebiasaan) tentara Kompeni; pun semua itu diragukan validitasnya.

Kesaksian warga menyebutkan, bahwa pada zaman fasisme Jepang pun; latihan kemiliteran dilakukan di selatan ”pal-budheg” dengan dibuat lorong dan kamuflase rumput
 ”gulung-gulung”. Makna dari testimoni ini adalah fasisme Jepang pun tahu ”hukum-hukum teritorial” yang telah jadi penetapan aturan sejak sebelumnya, yakni sejak paska Klangsiran Tanah tahun 1932; dimana batas ”tanah negara” adalah dari garis air hingga sejauh ”pal-budheg” saja; yakni sejauh k.l 200-230 meter.

Berdasarkan kesaksian lain, yakni Agus Suprapto, mantan anggota DPRD Kab. Kebumen; yang pernah melihat dokumen peta tanah pada Kantor BPN Jateng; tak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan BPN Kebumen yang dikonfirmasi pada agenda audiensi dengan DPRD Kab. Kebumen, 13 Desember 2007: bahwa sampai sekarang tak ada tanah TNI di Urutsewu dan belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.
             Kesaksian lainnya, Sugeng, Paryono, Nur Hidayat (Setrojenar), pada saat 
Musyawarah 8 November 2007 sebagaimana dimaksud dalam item (2.c) surat Bupati; fihak DislitbangAD (Alimudin) hanya menyosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang yang ada, di sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah negara atau ’tanah hankam” , tanpa menyebut UU apa yang mengatur itu.
Ini dipandang sebagai tindakan pembodohan dan pembohongan public dan semata-mata hanya mengacu pada kepentingan sefihak DislitbangAD.
Tetapi, yang jelas, tak semua pemilik tanah di zona 500 meter dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sejak dahulu hingga kini; belum pernah sekalipun tercapai kata sepakat maupun persetujuan dari masyarakat dalam berkali-kali musyawarah atau sosialisasi.


d. Patok dan peringatan kepada masyarakat yang letaknya berada di pinggir Jl.Diponegoro (JJLS) merupakan Ring Pengamanan terjauh sebagai tanda pemberitahuan oleh personel pengamanan supaya masyarakat tidak masuk melebihi jarak ......................... selanjutnya untuk menghindari anggapan dan pemahaman yang kurang tepat dari masyarakat /warga, sebagian besar patok itu sudah dilepas dan sebagian dicabut oleh masyarakat;
             Tanggapan FPPKS:
      2.d Tindakan pencabutan patok TNI oleh masyarakat, lebih karena perwujudan melindungi hak kepemilikan tanah rakyat yang terancam.
Disebut terancam karena memang paska tindakan ini muncul ancaman dari Panglima Kodam IV / Diponegoro waktu itu (SM,...) yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang merusak patok TNI, akan diambil tindakan tegas.
Apa makna dari ”ancaman” ini, adalah menggugah ingatan kolektif massa akan sejarah meletusnya Perang Diponegoro, dimana tentara Kumpeni melakukan pematokan tanah-tanah rakyat.
            Disamping ancaman ini, tengara patok sejauh ”ring Pengamanan I” 750 m dan bahkan “ring pengamanan lain” sejauh 1000 m; pada perkembangannya dijadikan dalih penguasaan dan/atau dalih yang mengarah pada kepemilikan DislitbangAD atas tanah di situ.
            Bukti dari sinyalement ini adalah ”konsideran” apa yang kemudian muncul dalam naskah Bantek ”Executive Summary” penyusunan Draft RaPerda RTRW yang pertama. Draft RaPerda ini dipaparkan di DPRD pada 13 Desember 2007 oleh Konsultan Teknis dari CV. Wisanggeni, Magelang. Dan saat itu, ditolak, baik oleh DPRD apalagi oleh petani Kebumen Selatan.
            Substansi dari Draft RaPerda RTRW-I adalah: rancangan penetapan kawasan Hankam/ TNI 1000 meter kali 22,5 Km. Juga bunyi fasal ”di kawasan Hankam tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan dan keamanan.
Betapa berbahayanya ”ruh” militerisme ini. Tetapi rupanya Bupati dan pejabat lembaga Negara lainnya tidak menyadarinya. Dan bahkan “lupa” dengan apa yang menjadi tuntutan petani dalam upaya-upaya hingga aksi demonstrasi massa sebelumnya.

e. Sebagai bukti jika tanah tersebut merupakan tanah warga (selain tanah berasengaja) yaitu pada saat Pemerintah Kabupaten Kebumen melaksanakan pembebasan tanah yang terkena Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) semua warga yang memiliki tanah tersebut mendapat ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Kebumen;

Tanggapan FPPKS:
      2.e Item ini tak lebih hanya upaya manipulatif dalam TNI-AD membangun opini yang seakan “pro-rakyat”. Diktum dalam kurung (selain tanah berasengaja) itu, harus dimaknai ke dalam 2 perkara: pertama, bahwa tanah berasengaja, pada dasarnya -secara histories- adalah “tanah rakyat” karena berada di utara “pal-budheg”. Kedua, bahwa -secara filosofis- “tanah berasengaja” adalah tanah rakyat yang sengaja diberakan, dalam makna, tidak dibudidayakan untuk pertanian; karena dua hal: sebagai ”sabuk hijau” konsep ekologi dalam masyarakat tradisi dan sebagai zona untuk penggembalaan ternak penduduk.
            Penjelasan ini mengandung “dualisme” dan tidak memiliki integritas. Faktanya pada awal penentuan trash jalan JJLS, Panglima Kodam IV/Diponegoro mengajukan permohonan pemberian ganti rugi pembebasan tanah TNI-AD kepada Gubernur Jateng sebagai Ketua Tim Pengadaan Tanah Provinsi. Artinya apa? TNI-AD berasumsi memiliki tanah di kawasan (Urutsewu) yang akan dijadikan trash JJLS. 


(3) Terkait dengan kerusakan tanaman pertanian milik petani dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.      Surat Camat Buluspesantren Nomor: 621.11/236 tanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI yang diralat/disusuli dengan Surat Camat Buluspesantren Nomor: 141/261 tanggal 1 Desember 2007 dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada tanggal 8 November 2007 di pendopo Kec. Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar dan Brecong, Ketua BPD 3 (tiga) desa, mantan Kades (2 orang) dan warga masyarakat dari 3 desa, yang intinya yaitu: ”Apabila pada saat terjadi pelatihan yang mengakibatkan kerusakan tanaman milik warga yang berada di luar tanah milik TNI yang 500 m dari bibir pantai agar diberikan ganti rugi kerusakan yang dikoordinir oleh Bpk. Kapt. Suseno , sedangkan kerusakan yang ada di wilayah 500 m tidak ada penggantian kalau terjadi/ menimpa tanaman atau benda di sekitar tempat latihan;
b.      Tanggapan FPPKS:
3.a Bahwa segala proses yang dilakukan, termasuk musyawarah, bersifat persetujuan pemakaian tanah (berasengaja, 500m) untuk latihan TNI. Hal ini tidak kemudian merupakan legitimasi pemakaian tanah dengan tujuan tersebut di atas dan menjadi dasar substansial dari kata tanah milik TNI yang 500 m, sehingga:
- tidak membedakan pengertian pemberian ganti rugi kerusakan tanaman di lokasi tertentu;
- kerusakan tanaman saat ada latihan bukan melulu yang diakibatkan langsung; tetapi akibat pelaksanaan latihan yang diikuti oleh larangan melakukan pekerjaan bagi petani (juga nelayan) jelas-jelas telah mengakibatkan kerusakan tanaman, terutama, pada saat harus merawat, menyiram serta penanggulangan di musim hama; tetapi lantaran ada latihan, tak bisa melakukan apa-apa..
- Disamping dampak kerusakan tanaman ini, kerugian petani (dan bahkan juga nelayan) yang tidak bekerja karena larangan selama ada latihan; tak pernah diperhitungkan.
 


b. Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor: ..... pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang Tanah Bera Sengaja menyatakan bahwa hasil musyawarah dan kesepakatan warga Desa Setrojenar dengan TNI-AD yang intinya dan tertuang pada point 3 (tiga) yaitu: “Jika sewaktu-waktu tanah tersebut tidak digunakan TNI untuk latihan , masyarakat berhak untuk menanam tanaman di lokasi tersebut dan apabila rusak akibat kegiatan latihan TNI masyarakat tidak berhak menuntut ganti rugi”;
       Tanggapan FPPKS:

- Nukilan atas Surat Kades Setrojenar ini diambil sepotong dan tidak secara keseluruhan, sehingga dapat dilihat konteksnya secara lebih obyektif.
- Substansi dari item ini cuma retorika untuk dalih dan tujuan menguasai tanah milik petani dan/atau tanah milik desa.
c.      Setiap TNI-AD selesai melaksanakan latihan menembak selalu dilakukan pembersihan lapangan maupun pengecekan tanaman masyarakat yang terkena dampak dari latihan, jika ada kerusakan tanaman sudah pasti dimusyawarahkan terhadap pemilik tanaman tentang kerugian. Hal tersebut sudah merupakan ketentuan dan aturan TNI setiap latihan;

d.      Tanggapan FPPKS:
- Pembersihan lapangan memang harus dilakukan; tetapi pernah terjadi kasus ditemukannya bom mortir bersirip di lahan pertanian. Lalu diambil dan dibawa pulang oleh anak-anak dan meledak di rumah penduduk yang mengakibatkan kematian 5 anak secara tragis;
-  Kerusakan tanaman tidak semata yang diakibatkan langsung dari pelaksanaan latihan, tetapi sebagai dampak tak langsung karena larangan melakukan kegiatan pertanian, sehingga tanaman holtikultura menjadi layu dan sebagian mati; terlebih ketika musim serangan hama.
4. Terkait dengan uji coba senjata berat berdasarkan keterangan dari pihak TNI-AD dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kegiatan uji coba yang dilaksanakan terutama penembakan dengan amunisis mulai dari caliber 5,56 mm sampai dengan radius maksimal bau yang masih terasa k.l 300 m sudah hilang terpecah angin sedang jarak dari pemukiman ke arah latihan k.l 800 m;

      Tanggapan FPPKS: 4.a Penting diketahui bahwa latihan uji coba senjata berat menimbulkan bukan cuma dampak lingkungan saat terjadi latihan; akan tetapi dan terutama paska latihan dengan jeda waktu tak terukur, di kemudian hari dilakukan pemusnahan sisa latihan. Disamping amunisi mortir sisa latihan yang ditanam di lahan pertanian dan jelas-jelas berbahaya. Melainkan juga tindakan pemusnahan sisa-sisa amunisi dan barang-barang lain dengan cara dibakar di lokasi sebelah barat jalan akses ke pantai dan bahkan pembakaran amunisi yang juga dilakukan di tempat terbuka, di jalan rintisan perkebunan holtikultura.
 b. Jenis rudal atau bom yang disebutkan oleh masyarakat, pengujian materiil ini bersifat menguji kemampuan terbang dan kecepatan meluncurnya badan roket dan tidak dilengkapi dengan hulu ledak sesuai perkiraan masyarakat, roket buatan PT. Dirgantara Indonesia hanya dilengkapi munisi caliber 90 mm menguji kemampuan ledakan yang ditembakkan ke tanggul atau gunungan kurang lebih 1.000 m;
      Tanggapan FPPKS:
       Perlu pengecekan terhadap amunisi (bom) mortir dengan kodevikasi 105 H HC SMOKE CTG M84C1; apakah berhulu ledak atau tidak.
Juga fakta penemuan bom sisa latihan TNI yang ditemukan anak desa Setrojenar, kemudian meledak dan menyebabkan kematian dengan cara yang tragis.

Substansi item b ini juga tidak secara jelas merupakan tanggapan atas pengaduan kami, sehingga jadi bias dan merupakan ”plintiran” masalah. Karena PT Dirgantara Indonesia, memang bukan “pabrik senjata”.
  c. Di setiap pelaksanaan latihan TNI-AD sebelumnya sudah dilaksanakan peninjauan medan terkandung maksud untuk mengetahui keadaan medan sehingga dapat menyesuaikan dengan medan yang sebenarnya untuk kendali sarana dan prasarana maupun senjata yang digunakan.

Demikian untuk menjadikan maklum.
        Bupati Kebumen; H. BUYAR WINARSO, SE
     Tanggapan FPPKS:
     - tanggapan untuk item yang bernada retorika ini, sudah cukup jelas tergambar pada tanggapan kami sebelumnya.

- Secara  keseluruhan  nampak bahwa dalam hal ini, Bupati Kebumen, yang relative masih baru menjabat; tidak paham persoalan kami dan tidak mau bicara terlebih dahulu kepada rakyat, khususnya petani Kebumen selatan yang merupakan kontributor amat signifikan dalam pemenangan bursa pemilukada lalu. Kini petani kecewa pada Bupati yang diketahui “cacat budaya”.

Sumber Buku:
  1. Brandes, J, BABAD TANAH JAWI Deel LI, 1900, Batavia: Albrecht Co, Martinus Nyhoff.
  2. De Graaf, H.J, HISTOGRAFI HINDIA BELANDA, Jakarta, Bhratara, 1971.
  3. P.J.F Louw, Kaarten En Teekeningen DE JAVA – OORLOG van 1825 – 1830, No. 2; Vestelijk Gedeelte van het Oorlogtoonel; Batavia; Topographisch Bureau 1897.
  4. M.D, Sagimun, Pahlawan Dipanegara Berjuang (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kunjung Padam), 1956, Jogjakarta, Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta MCMLVII.


SEJARAH CIKAL BAKAL KABUPATEN KEBUMEN

Oleh : Sayyid R. Ravie Ananda
                                           (sebuah sumber yang patut diapresiasi )
                                                                                                      
Pendahuluan
            Seperti halnya Daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai latar belakang kultur budaya dan sejarah yang berbeda-beda, Kabupetan Kabumen memiliki sejarah tersendiri yaitu berdiri Kabupaten Kebumen dimana maksud yang dikandung untuk memberikan rasa bangga dan memiliki bagi warga masyarakat Kabupaten Kebumen yang selanjutnya dapat menumbuh kembangkan potensi-potensi yang ada sehingga dapat memajukan pembangunan di segala bidang .
Sejarah awal mulanya adanya Kebumen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Mataram Islam. Hal ini disebabkan adanya beberapa keterkaitan peristiwa yang ada dan dialami Mataram membawa pengaruh bagi terbentuknya Kebumen yang masih didalam lingkup kerajaan Mataram. Di dalam Struktur kekuasaan Mataram lokasi kebumen termasuk di daerah Manca Negara Kulon ( wilayah Kademangan Karanglo ) dan masih dibawah Mataram.
Berdasarkan Perda Kab. Kebumen nomor 1 tahun 1990 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten kebumen dan beberapa sumber lainnya dapat diketahui latar belakang berdirinya Kabupaten kebumen antara lain ada beberapa versi yaitu :

Versi  I
Versi Pertama asal mula lahirnya Kebumen dilacak dari berdirinya Panjer . Menurut sejarahnya menurut sejarahnya, Panjer berasal dari tokoh yang bernama Ki Bagus Bodronolo.Pada waktu Sultan Agung menyerbu ke Batavia ia membantu menjadi prajurit menjadi pengawal pangan dan kemudian diangkat menjadi senopati. Ketika Panjer dijadikan menjadi kabupaten dengan bupatinya Ki Suwarno( dari Mataram ), Ki Bodronolo diangkat menjadi Ki Gede di Panjer Lembah ( Panjer Roma ) dengan gelar Ki Gede Panjer Roma I, Pengangakatan tersebut berkat jasanya menangkal serangan Belanda yang akan mendarat di Pantai Petanahan sedangkan anaknya Ki Kertosuto sebagai patihnya Bupati Suwarno.Demang Panjer Gunung, Adiknya Ki Hastrosuto membantu ayahnya di Panjer Roma, kemudian menyerahkan jabatannya kepada Ki Hastrosuto dan bergelar Ki Panjer Roma II. Tokoh ini sangat berjasa karena memberi tanah kepada Pangeran Bumidirja. yang terletak di utara Kelokan sungai Lukulo dan kemudian dijadikan padepokan yang amat terkenal. Kedatangan Kyai P Bumidirja menyebabkan kekhawatiran dan prasangka, maka dari itu beliau menyingkir ke desa Lundong sedang Ki panjer Roma II bersama Tumenggung Wongsonegoro Panjer gunung menghindar dari kejaran pihak Mataram. Sedangkan Ki Kertowongso dipaksa untuk taat kepada Mataram dan diserahi Penguasa dua Panjer, sebagai Ki Gede Panjer III yang kemudian bergelar Tumenggung Kolopaking I ( karena berjasa memberi kelapa aking pada Sunan Amangkurat I ). dari Veri I dapat disimpulkan bahwa lahirnya Kebumen mulai dari Panjer yaitu tanggal 26 Juni 1677.

Versi II
Sejarah Kabupaten Kebumen dimulai sejak Tumenggung Arung Binang I yang masa mudanya bernama JAKA SANGKRIP yang berdarah Mataram dan dititipkan kepada pamannya Demang Kutawinangun. Setelah dewasa lalu mencari ayahnya ke keraton Mataram dan setelah membuktikan keturunan Raja maka ia diangkat menjadi Mantri Gladag, kemudian sampai Bupati Nayaka dengan Gelar Hanggawangsa. setelah diambil menantu oleh Patih Surakarta kemudian diangkat menjadi Tumenggung Arung Binang I sampai dengan keturunannya yang Ke III sedangkan Arung Binang IV sampai ke VIII secara resmi menjadi Bupati Kebumen.

Versi III
Asal mula nama Kebumen adalah adanya tokoh KYAI. PANGERAN BUMIDIRJA. Beliau adalah bangsawan ulama dari Mataram, adik Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Ia dikenal sebagai penasihat raja, yang berani menyampaikan apa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah. Kyai P Bumidirjo sering memperingatkan raja bila sudah melanggar batas-batas keadilan dan kebenaran. Ia berpegang pada prinsip : agar raja adil dan bijaksana. Disamping itu juga ia sangat kasih dan sayang kepada rakyat kecil. Kyai P Bumidirjo memberanikan diri memperingatkan keponakannya, yaitu Sunan Amangkurat I. Karena sunan ini sudah melanggar paugeran keadilan dan bertindak keras dan kejam. Bahkan berkompromi dengan VOC (Belanda) dan memusuhi bangsawan ,ulama dan rakyatnya. Peringatan tersebut membuat kemarahan Sunan Amangkurat I dan direncanakan akan dibunuh, Karena menghalangi hukum qishos terhadap Kyai P Pekik dan keluarganya ( mertuanya sendiri ).
Untuk menghadapi hal itu, Kyai P Bumidirjo lebih baik pergi meloloskan diri dari kungkungan sunan Amangkurat I. Dalam perjalanan ia tidak memakai nama bangsawan , namun memakai nama Kyai Bumi saja. Kyai P Bumidirjo sampai ke Panjer dan mendapat hadiah tanah di sebelah utara kelok sungai Lukulo , pada tahun 1670. Pada tahun itu juga dibangun padepokan/pondok yang kemudian dikenal dengan nama daerah Ki bumi atau Ki-Bumi-An, menjadi KEBUMEN. Oleh karena itu bila lahirnya Kebumen diambil dari segi nama, maka versi Kyai Bumidirjo yang dapat dipakai dan mengingat latar belakang peristiwanya tanggal 26 Juni 1677.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah bahwa Kebumen berasal dari kata Bumi, nama sebutan bagi P Kyai Bumidirjo , mendapat awalan Ke dan akhiran an yang menyatakan tempat.
Hal itu berarti Kabumen mula mula adalah tempat tinggal P Bumidirjo.
Di dalam perjalanan sejarah Indonesia pada saat dipegang Pemerintah Hindia Belanda telah terjadi pasang surut dalam pengadaan dan pelaksanaan belanja negara , keadaan demikian memuncak sampai klimaksnya sekitar tahun 1930.
Salah satu perwujudan pengetatan anggaran belanja negara itu adalah penyederhanaan tata pemerintahan dengan penggabungan daerah-daerah Kabupaten (regentschaap) . Demikian pula halnya dengan Kabupaten Karanganyar dan Kebupaten Kebumen telah mengalami penggabungan menjadi satu daerah Kabupaten menjadi Kabupaten Kebumen.

Surat keputusan tentang penggabungan kedua daerah ini tercatat dalam lembaran negara Hindia Belanda tahun 1935 nomor 629. Dengan ditetapkannya Surat Keputusan tersebut maka Surat Keputusan terdahulu tanggal 21 juli 1929 nomor 253 artikel nomor 121 yang berisi penetapan daerah kabupaten Kebumen dinyatakan dicabut atau tidak berlaku lagi. Ketetapan baru tersebut telah mendapat persetujuan Majelis Hindia Belanda dan Perwakilan Rakyat (Volksraad).
Sebagai akibat ditetapkannya Surat Keputusan tersebut maka luas wilayah Kabupaten Kebumen yang baru yaitu : Kutowingun , Ambal , Karanganyar dan Kebumen. Dengan demikian Surat Keputusan Gubernur Jendral De Jonge Nomor 3 tertanggal 31 Desember 1935 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1936 dan sampai saat ini tidak berubah. Sampai sekarang Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, telah memiliki Tumenggung/Adipati/ Bupati sudah sampai 29 kali.
          Kabupatren Kebumen Letak Wilayah: 7°27’ - 7°50’ Lintang Selatan 109°33’- 109°50’ Bujur Timur. Batas Wilayah: Sebelah Timur; Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Sebelah Utara; Kabupaten Banjarnegara Sebelah Barat; Kabupaten Banyumas & Kabupaten Cilacap Sebelah Selatan; Samudera Indonesia. Luas Wilayah dan Penggunaan: Kabupaten Kebumen secara administratif terdiri dari 26 kecamatan dengan luas wilayah sebesar 128.111,50 Ha atau 1.281,115 Km2, dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, sedangkan sebagian besar merupakan dataran rendah. Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun 2010 tercatat 39.768,00 hektar atau sekitar 31,04% merupakan lahan sawah dan 88.343,50 hektar atau 68,96% lahan kering. Menurut sistem irigasinya, sebagian besar lahan sawah beririgasi teknis (50,34%), dan hampir seluruhnya dapat ditanami dua kali dalam setahun, beririgasi setengah teknis (9,23%), beririgasi sederhana (5,77%), beririgasi desa (2,65%) dan sebagian berupa sawah tadah hujan dan pasang surut (32,02%). Penggunaan lahan kering (bukan sawah) dibagi menjadi untuk lahan pertanian sebesar 42.799,50 hektar (48,45%) dan bukan untuk pertanian sebesar 45.544,00 hektar (51,55%). Lahan kering untuk pertanian terbagi menjadi untuk tegal/kebun seluas 27.629,00 hektar, ladang/huma seluas 745,00 hektar, perkebunan seluas 1.159,00 hektar, hutan rakyat seluas 3.011,00 hektar, tambak seluas 24,00 hektar, kolam seluas 53,50 hektar, padang penggembalaan seluas 33,00 hektar, sementara tidak diusahakan seluas 231,00 hektar, dan lainnya seluas 9.914,00 hektar. Sedangkan lahan kering bukan untuk pertanian digunakan untuk bangunan seluas 26.021,00 hektar, hutan negara seluas 16.861,00 hektar, rawa-rawa seluas 12,00 hektar serta lainnya seluas 2.650 hektar. Iklim Pada tahun 2010 curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Kebumen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tercatat curah hujan selama tahun 2010 sebesar 4.100,21 mm lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 2,127,00 mm dan hari hujan sebanyak 172 hari lebih sering dari tahun sebelumnya sebanyak 107 hari. Suhu terendah yang terpantau di stasiun pemantauan Wadaslintang pada bulan Juli dengan suhu sekitar 23,20°C dan tertinggi 34,00°C pada bulan Februari dan Maret. Rata-rata kelembaban udara setahun 84,08% dan rata-rata kecepatan angin 0,94 meter/detik. Sedangkan pada stasiun pemantauan Sempor suhu terendah 21,16°C terjadi pada bulan Desember dan tertinggi 33,50°C pada bulan Februari. Rata-rata kelembaban udara setahun 85,83% dan rata-rata kecepatan angin 1,59 meter/detik. 
         Sejarah  Seperti halnya Daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai latar belakang kultur budaya dan sejarah yang berbeda-beda, Kabupetan Kabumen memiliki sejarah tersendiri yaitu berdiri Kabupaten Kebumen dimana maksud yang dikandung untuk memberikan rasa bangga dan memiliki bagi warga masyarakat Kabupaten Kebumen yang selanjutnya dapat menumbuh kembangkan potensi-potensi yang ada sehingga dapat memajukan pembangunan di segala bidang . Sejarah awal mulanya adanya Kebumen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Mataram Islam. Hal ini disebabkan adanya beberapa keterkaitan peristiwa yang ada dan dialami Mataram membawa pengaruh bagi terbentuknya Kebumen yang masih didalam lingkup kerajaan Mataram.
           Di dalam Struktur kekuasaan Mataram lokasi kebumen termasuk di daerah Manca Negara Kulon (wilayah Kademangan Karanglo) dan masih dibawah Mataram. Berdasarkan Perda Kab. Kebumen nomor 1 tahun 1990 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten kebumen dan beberapa sumber lainnya dapat diketahui latar belakang berdirinya Kabupaten kebumen antara lain ada beberapa versi yaitu:  Versi I  Versi Pertama asal mula lahirnya Kebumen dilacak dari berdirinya Panjer.
           Menurut sejarahnya, Panjer berasal dari tokoh yang bernama Ki Bagus Bodronolo. Pada waktu Sultan Agung menyerbu ke Batavia ia membantu menjadi prajurit menjadi pengawal pangan dan kemudian diangkat menjadi senopati. Ketika Panjer dijadikan menjadi kabupaten dengan bupatinya Ki Suwarno (dari Mataram), Ki Bodronolo diangkat menjadi Ki Gede di Panjer Lembah (Panjer Roma) dengan gelar Ki Gede Panjer Roma I, Pengangakatan tersebut berkat jasanya menangkal serangan Belanda yang akan mendarat di Pantai Petanahan sedangkan anaknya Ki Kertosuto sebagai patihnya Bupati Suwarno. Demang Panjer Gunung, Adiknya Ki Hastrosuto membantu ayahnya di Panjer Roma, kemudian menyerahkan jabatannya kepada Ki Hastrosuto dan bergelar Ki Panjer Roma II. Tokoh ini sangat berjasa karena memberi tanah kepada Pangeran Bumidirja. yang terletak di utara Kelokan sungai Lukulo dan kemudian dijadikan padepokan yang amat terkenal. Kedatangan Kyai P Bumidirja menyebabkan kekhawatiran dan prasangka, maka dari itu beliau menyingkir ke desa Lundong sedang Ki panjer Roma II bersama Tumenggung Wongsonegoro Panjer gunung menghindar dari kejaran pihak Mataram. Sedangkan Ki Kertowongso dipaksa untuk taat kepada Mataram dan diserahi Penguasa dua Panjer, sebagai Ki Gede Panjer III yang kemudian bergelar Tumenggung Kolopaking I (karena berjasa memberi kelapa aking pada Sunan Amangkurat I). dari Versi I dapat disimpulkan bahwa lahirnya Kebumen mulai dari Panjer yaitu tanggal 26 Juni 1677.  Versi II  Sejarah Kabupaten Kebumen dimulai sejak Tumenggung Arung Binang I yang masa mudanya bernama JAKA SANGKRIP yang berdarah Mataram dan dititipkan kepada pamannya Demang Kutawinangun. Setelah dewasa lalu mencari ayahnya ke keraton Mataram dan setelah membuktikan keturunan Raja maka ia diangkat menjadi Mantri Gladag, kemudian sampai Bupati Nayaka dengan Gelar Hanggawangsa. setelah diambil menantu oleh Patih Surakarta kemudian diangkat menjadi Tumenggung Arung Binang I sampai dengan keturunannya yang Ke III sedangkan Arung Binang IV sampai ke VIII secara resmi menjadi Bupati Kebumen.  Versi III  Asal mula nama Kebumen adalah adanya tokoh KYAI PANGERAN BUMIDIRJA.
         Beliau adalah bangsawan ulama dari Mataram, adik Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Ia dikenal sebagai penasihat raja, yang berani menyampaikan apa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah. Kyai P. Bumidirjo sering memperingatkan raja bila sudah melanggar batas-batas keadilan dan kebenaran. Ia berpegang pada prinsip: agar raja adil dan bijaksana. Disamping itu juga ia sangat kasih dan sayang kepada rakyat kecil. Kyai P. Bumidirjo memberanikan diri memperingatkan keponakannya, yaitu Sunan Amangkurat I. Karena sunan ini sudah melanggar paugeran keadilan dan bertindak keras dan kejam. Bahkan berkompromi dengan VOC (Belanda) dan memusuhi bangsawan, ulama dan rakyatnya. Peringatan tersebut membuat kemarahan Sunan Amangkurat I dan direncanakan akan dibunuh, karena menghalangi hukum qishos terhadap Kyai P. Pekik dan keluarganya (mertuanya sendiri). Untuk menghadapi hal itu, Kyai P. Bumidirjo lebih baik pergi meloloskan diri dari kungkungan sunan Amangkurat I. Dalam perjalanan ia tidak memakai nama bangsawan, namun memakai nama Kyai Bumi saja. Kyai P. Bumidirjo sampai ke Panjer dan mendapat hadiah tanah di sebelah utara kelok sungai Lukulo, pada tahun 1670. Pada tahun itu juga dibangun padepokan/pondok yang kemudian dikenal dengan nama daerah Ki bumi atau Ki-Bumi-An, kemudian menjadi KEBUMEN. Oleh karena itu bila lahirnya Kebumen diambil dari segi nama, maka versi Kyai Bumidirjo yang dapat dipakai dan mengingat latar belakang peristiwanya tanggal 26 Juni 1677. Berdasarkan bukti-bukti sejarah bahwa Kebumen berasal dari kata Bumi, nama sebutan bagi Kyai P. Bumidirjo, mendapat awalan Ke dan akhiran an yang menyatakan tempat. Hal itu berarti Kabumen mula-mula adalah tempat tinggal P. Bumidirjo.
         Di dalam perjalanan sejarah Indonesia pada saat dipegang Pemerintah Hindia Belanda telah terjadi pasang surut dalam pengadaan dan pelaksanaan belanja negara, keadaan demikian memuncak sampai klimaksnya sekitar tahun 1930. Salah satu perwujudan pengetatan anggaran belanja negara itu adalah penyederhanaan tata pemerintahan dengan penggabungan daerah-daerah Kabupaten (regentschaap).
         Demikian pula halnya dengan Kabupaten Karanganyar dan Kebupaten Kebumen telah mengalami penggabungan menjadi satu daerah Kabupaten menjadi Kabupaten Kebumen. Surat keputusan tentang penggabungan kedua daerah ini tercatat dalam lembaran negara Hindia Belanda tahun 1935 nomor 629. Dengan ditetapkannya Surat Keputusan tersebut maka Surat Keputusan terdahulu tanggal 21 Juli 1929 nomor 253 artikel nomor 121 yang berisi penetapan daerah kabupaten Kebumen dinyatakan dicabut atau tidak berlaku lagi. Ketetapan baru tersebut telah mendapat persetujuan Majelis Hindia Belanda dan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Sebagai akibat ditetapkannya Surat Keputusan tersebut maka luas wilayah Kabupaten Kebumen yang baru yaitu: Kutowingun, Ambal, Karanganyar dan Kebumen. Dengan demikian Surat Keputusan Gubernur Jendral De Jonge Nomor 3 tertanggal 31 Desember 1935 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1936 dan sampai saat ini tidak berubah. Kabupaten Kebumen telah memiliki Tumenggung/Adipati/Bupati sampai dengan 29 kali (Sumber: Humas Kab. Kebumen).  Nama Tumenggung/Adipati/Bupati yang Pernah Memimpin Kebumen No. Nama Tahun Nama Daerah 1 Panembahan Bodronolo 1642-1657 Panjer 2 Hastrosuto 1657-1677 Panjer 3 Kalapaking I 1677-1710 Panjer 4 KRT.Kalapaking II 1710-1751 Panjer 5 KRT.Kalapaking III 1751-1790 Panjer 6 KRT.Kalapaking IV 1790-1833 Panjer 7 KRT. Arungbinang IV 1833-1861 Panjer 8 KRT. Arungbinang V 1861-1890 Kebumen 9 KRT. Arungbinang VI 1890-1908 Kebumen 10 KRT. Arungbinang VII 1908-1934 Kebumen 11 KRT. Arungbinang VIII 1934-1942 Kebumen 12 R. Prawotosoedibyo S. 1942-1945 Kebumen 13 KRT. Said Prawirosastro 1945-1947 Kebumen 14 RM. Soedjono 1947-1948 Kebumen 15 R.M. Istikno Sosrobusono 1948-1951 Kebumen 16 R.M. Slamet Projorahardjo 1951-1956 Kebumen 17 R. Projosudarto 1956-1961 Kebumen 18 R. Sudarmo Sumohardjo 1961-1963 Kebumen 19 R.M. Suharjo Notoprojo 1963-1964 Kebumen 20 DRS. R. Soetarjo Kolopaking 1964-1966 Kebumen 21 R. Suyitno 1966-1968 Kebumen 22 Mashud Mertosugondo 1968-1974 Kebumen 23 R. Soepeno Soerjodiprodjo 1974-1979 Kebumen 24 DRS. H. Dadiyono Yudoprayitno 1979-1984 Kebumen 25 Drs. Iswarto 1984-1985 Kebumen 26 H. M.C. Tohir 1985-1990 Kebumen 27 H.M. Amin Soedibyo 1990-1995 Kebumen 28 H.M. Amin Soedibyo 1995-2000 Kebumen 29 Dra. Rustriningsih, M.Si. 2000-2005 Kebumen 30 Dra. Rustriningsih, M.Si. 2005-2008 Kebumen 31 K.H. Nashiruddin Al Mansyur 2008-2010 Kebumen 32 H. Buyar Winarso, SE 2010- 2014.

Destinasi Pariwisata  Kabupaten Kebumen
Kebumen Tempat-tempat Wisata Kebumen Arung Jeram Padegolan, Kebumen  Wisata Arung Jeram Kebumen dimulai di Desa Sendang Dalem, Prembun, kawasan Waduk Wadas Lintang, dengan air yang jernih, sungai berkelok dengan batu-batu besar serta jeram yang membutuhkan ketrampilan,sampai titik akhir di Bendungan Pejengkolan.  Benteng Van Der Wijck Kebumen  Benteng Van Der Wijck Wisata Kebumen di Kota Gombong, 21 km dari Kota Kebumen, dengan luas 3607 m2 dua lantai bagian atas dan bawah, tinggi benteng 10 m, cerobong 3 m, dan terdapat 16 barak. Dibangun Belanda pada abad ke-18. Gua Jatijajar Gombong  Wisata Kebumen di kaki pegunungan kapur, 21 Km dari Gombong, dengan stalaktit dan stalagmit indah, panjang gua 250 m, seluruhnya sudah diterangi dengan lampu listrik, dihiasi rangkaian patung yang menggambarkan legenda Raden Kamandaka, serta empat buah mata air jernih. Di area ini ada Goa Intan, Goa Dempok, dan Pulau Kera. Tarif masuk bagi pengunjung cukup murah. Goa Jatijajar Gombong  Kabupaten Kebumen Gua Petruk Gombong  Wisata Kebumen di Dukuh Mandayana, Desa Candirenggo, 6 Km dari Gua Jatijajar, suara tetesan air kapur tak pernah henti.
         Stalaktitnya sangat indah, menyerupai Semar, bapak jenggot, anjing duduk serta, maaf, payudara wanita, yang bisa dijangkau tangan.  Kelenteng Kong Hwie Kiong Wisata Kebumen di Jln. Pramuka No. 41, Kebumen, dibangun oleh para pedagang Cina pada tahun 1898; pernah terbakar pada tahun 1947 dan dipugar kembali pada tahun 1969. Tuan rumahnya Thian Siang Seng Boo, Dewi Penguasa Laut.  Masjid Saka Tunggal Kebumen  Wisata Kebumen di Desa Pekuncen, Kec. Sempor, 15 km dari kota Gombong, yang diyakini merupakan masjid tertua di Kebumen; dibangun sekitar 1719 pada masa Adipati Mangkuprojo.  Pantai Logending Gombong  Pantai Karang Bolong Wisata Kebumen di Kec. Ayah, 9 Km dari Goa Jatijajar dengan tepian pantai luas yang dapat dinikmati dengan menyewa perahu menyusuri muara Sungai Bodo, serta menyaksikan keindahan matahari tenggelam.  Pantai Karangbolong Wisata Kebumen 40 km dari pusat kota, dengan pantai landai luas berpasir kelabu, ada Gua Karangbolong sepanjang 30 m, lebar 10 m dan tinggi 5 m berumur 15-30 juta tahun, sebagai tempat sarang burung walet.  Pantai Petanahan Kebumen  Wisata Kebumen di Desa Karanggadung, Kec Petanahan, 17 Km dari Kota Kebumen, dengan ombak pantai selatan yang besar dan berkejaran tanpa henti dengan suara debur ombak yang keras.  Pantai Tanjung Bata dan Pantai Menganti Kebumen  Wisata Kebumen yang berjarak sekitar 7 Km dari Pantai Ayah, dengan pasir putih, karang terjal menyerupai batu raksasa dan perbukitan; dicapai dengan berjalan kaki sejauh 3 Km dari lokasi parkir kendaraan.  Pantai Suwuk Kebumen  Wisata Kebumen ini berada di desa Suwuk Kecamatan Puring. Lokasi wisatanya bersebelahan dengan Pantai Karangbolong  Pemandian Air Panas Krakal  Obyek wisata ini dapat dikatakan sebagai Wisata Medis, karena orang yang datang ke tempat tersebut biasanya untuk berobat. Penyakit yang dapat diobati di sini khusus penyakit kulit.
         Kesenian Khas Kebumen  Kesenian tradisional dan kontemporer Kebumen yang eksis sampai saat ini dapat dibaca dibawah ini.  Calung Bambu Calung Kebumen menggunakan bambu, sama seperti daerah lain di Jawa. Bedanya dengan calung Sunda ialah kalau di Parahyangan instrumen calung dipegang menggantung di tangan, sedang di Kebumen dirangkai berjejer kesamping (direnteng) dan diletakan di lantai/panggung. Jumlah paguyuban calung di Kebumen mencapai 21 grup.  Campursari  Campursari termasuk musik kontemporer kolaborasi/ramuan dari gending jawa-keroncong-dangdut yang diaransmen sedemikian rupa sehingga lahir jenis musik baru dengan ritmik lebih dinamis namun masih memperlihatkan warna aslinya.
         Di Kebumen terdapat 28 grup yang eksis.  Dalang Jemblung  Dalang Jemblung adalah pertunjukan wayang yang seluruh dialog dan musiknya diganti dengan suara manusia yaitu oleh dalang dan para nayaganya. Mirip musik akapela (kalau orang Banyumas mengibaratkan seperti wong gemblung yang bicara/ngromed sendiri). Di sini tidak ada instrumen gamelan yang tersedia. Walau di daerah lain seperti di Banyumas dan Cilacap Dalang Jemblung juga ada, di Kebumen masih lebih dominan. Namun sayang, pertunjukan Dalang Jemblung sudah semakin langka.  Gebyak Cah Angon  Acara diadakan dalam rangka memperingati lahirnya Nabi Muhammad Saw. Waktu Pelaksanaan: Setiap tanggal 12 Maulud, Lokasi : Pantai Entak Desa Entak Kecamatan Ambal. 
            Ingkung Suran  Kegiatan Upacara adat selamatan dalam rangka memperingati tokoh ulama besar Jawa bernama Syech Ibrahim Asmoro Kondi. Pelaksanaannya pada bulan Syura/Muharam yang jatuh pada Jum’at Kliwon atau kalau tidak ada hari Jum’at Kliwon pada bulan itu, maka dilaksanakan pada hari Jum’at Pon. Peserta adalah warga Dusun Kuwarisan Kelurahan Panjer baik itu muslim, non muslim, penduduk asli maupun pendatang yang sudah menikah atau pernah menikah dan para keturunan yang ada di luar daerah. Dimana setiap tahun jumlah peserta meningkat. Tahun 1995 oleh MURI dijadikan Event Budaya Tumpengan dan Ingkung terbanyak se Indonesia yaitu 4557 buah. Waktu Pelaksanaan : Dilaksanakan pada setiap bulan Suro/Muharam. Lokasi : Masjid Banyumudal, Kewarisan, Panjer, Kelurahan Kebumen  Janeng  Musik Janeng atau Jamjaneng adalah musik tradisional asli Kabupaten Kebumen.  Kesenian Janeng adalah suatu bentuk perpaduan dari alat musik pukul tradisional yang syair-syairnya bernafaskan Islami.
          Kesenian Jamjaneng Sebenarnya kata Janeng diambil dari nama penemunya, yaitu Kyai Zamzani. Akan tetapi lidah orang Jawa lebih mudah untuk mengucapkan Jamjaneng, sehingga sampai sekarang musik ini tetap dikenal sebagai musik Jamjaneng, atau lebih akrab disebut Janeng. Pada awalnya musik Janeng hampir sama fungsinya dengan wayang kulit semasa zaman Walisongo, digunakan sebagai sarana dakwah agama Islam. Hal ini karena masyarakat zaman itu lebih mudah menerima pencerahan agama dalam bentuk hiburan. Sekarang musik Janeng lebih sering dimainkan sebagai sarana hiburan di acara-acara hajatan, misalnya perkawinan, khitanan, serta peringatan hari besar. Karena merupakan sarana dakwah Islam, kesenian Jamjaneng lebih menjurus ke syair-syair yang bernafaskan Islami. Syair dalam kesenian Janeng menggunakan bahasa Jawa. Namun tak semua lagu Jamjaneng merupakan lagu dakwah.  Kethoprak  Adalah seni pertunjukan khas Jawa, mirip kesenian tonil di daerah lain. Di Kebumen Kethoprak sangat digemari, paguyubannyapun mencapai 23 grup. 
         Kirab Pusaka  Tradisi dalam rangka melestarikan, menjaga dan merawat benda-benda pusaka peninggalan jaman Kerajaan. Waktu Pelaksanaan: Setiap bulan Muharam pada Jumat Kliwon. Lokasi : Kirab dari Desa Candi Karanganyar sampai dengan Rumah Sakit Medika desa Jatiluhur Karanganyar.  Kuda Lumping  Kuda Lumping pemecah rekor MURI Jenis Kesenian ini sangat merakyat di Kabupaten Kebumen. Puluhan kelompok grup kesenian kuda lumping terbentuk. Jumlah grup mencapai 95.
         Jumlah Grup Kesenian Kuda lumping merupakan yang terbanyak di Kabupaten Kebumen, bahkan dalam rangka menyambut Hari Jadi Kabupaten Kebumen Tahun 2008, Kabupaten Kebumen menciptakan kudalumping ukuran paling besar dan mendapatkan piagam rekor MURI kategori Kuda Lumping terbesar se Indonesia.  Lengger Tradisional dan Lengger Tari Lawet  Lengger tradisional adalah kesenian sindhen dan tari dengan iringan musik khas calung bambu. Sedang Lengger Tari Lawet adalah lengger kontemporer, diciptakan pada tahun 1995 oleh seniman Kebumen. Menceritakan tentang aktifitas burung lawet dalam mencari makan sampai kembali ke sarangnya. Diperagakan minimal 2 orang penari perempuan. Durasi 10 menit. Waktu Pelaksanaan: Dilaksanakan pada saat ada kegiatan untuk memeriahkan suatu acara/resepsi.
           Lokasi: Kabupaten Kebumen Pengundhuhan Sarang Burung Lawet Kegiatan pengunduhan (Indonesia: memetik/mengambil) sarang burung lawet dilakukan 4 kali dalam satu tahun, pelaksanaannya diawali dengan ritual doa, serta kesenian daerah berupa lengger, wayang kulit tanpa kelir di goa tiruan Pantai Karangbolong dengan lakon Rama Tambak. Waktu Pelaksanaan: Upacara dilaksanakan menggunakan kalender Jawa pada bulan kesembilan.
          Lokasi: Obyek wisata Pantai Karangbolong. Kesenian  Lengger terdiri dari 11 grup.  Pacuan Kuda Tradisional  Diadakan dalam  rangka memeriahkan acara Syawalan. Waktu Pelaksanaan : Satu minggu setelah Idul Fitri, lokasi : Pantai Ambal, Kecamatan Ambal Kebumen.  Rebana  Di daerah lain ada yang menyebut Genjringan, Slawatan, Hadrah dsb. Kesenian ini tumbuh di dekat pusat-pusat dawah Islam atau pesantren. Rebana biasanya digelar tanpa kendhang atau instrumen lainnya seperti pada Janeng. Di Kebumen ada 17 grup.  Wayang Kulit  Kesenian Wayang Kulit adalah kesenian yang menduduki rangking ke 2 dari keseluruhan jumlah kesenian yang ada di Kabupaten Kebumen. Dalang-dalangnya juga sudah terkenal di luar Kabupaten Kebumen. Di Kebumen terdapat 80 grup Grup Wayang Kulit termasuk karawitan/uyon-uyonnya.  Kuliner  Makanan Khas Kebumen dan Gombong yang dapat dinikmati atau sebagai oleh-oleh wisata sebenarnya cukup banyak macamnya, diantaranya: Soto Gombong dengan tambahan gethuk kunir, sate Ambal, mendhoan, peyek yutuk, jipang kacang, lanthing bumbu, serta hasil bumi bengkuang.   Kuliner Khas Kebumen dan Gombong
         Hotel di Kebumen 1.  Aman Hotel Kebumen Jl. Revolusi 88, Karanganyar, Kebumen. Telp 0287-551006, 551018 2.  Benteng Hotel di Kebumen Jl. Sapta Marga 100, Gombong Selatan, Kebumen. 0287-473460 3.  Candisari Hotel di Kebumen Jl. Raya Timur Km 2, Karanganyar, Kebumen. 0287-551336, 551337 4.  Dunia Hotel di Kebumen Jl. Pemuda 13 Gombong, Kebumen. 0287-471285 5.  Ganesha Hotel Kebumen Jl. Yos Sudarso 434, Gombong, Kebumen. 0287-471098 6.  Grafika Hotel Kebumen Jl. Yos Sudarso 565, Gombong,Kebumen. 0287-471552 7.  Graha Putra Hotel Kebumen Jl. Stasiun, Gombong, Kebumen. 0287-471066 8.  Istana Hotel Kebumen Jl. Yos Sudarso 559, Gombong, Kebumen. 0287-471484 9.  Lukulo Hotel di Kebumen Bocor Pasar Hewan, Kebumen. 0287-382966 10. Marsiwo Hotel di Kebumen Jl. Yos Sudarso 72, Gombong, Kebumen. 0287-471176 11. Nasional Hotel Kebumen Pemuda 63, Kebumen. 0287-381083 12. Patra Hotel Kebumen Pemuda 71, Kebumen. 0287-381520 13. Permata Hotel Kebumen Jl. Yos Sudarso 455, Gombong, Kebumen. 0287-471371 14. Puri Laras Hotel Kebumen Pemuda 109, Kebumen. 0287-385589 15. Pusaka Hotel Kebumen Pemuda 123, Kebumen. 0287-382227 16. Putera Hotel Kebumen Pemuda 27, Kebumen. 0287-382021 17. Sejahtera Hotel Kebumen Pemuda 114, Kebumen. 0287-381331 18. Slamet Hotel Kebumen Jl. Yos Sudarso 391, Gombong, Kebumen. 0287-473580 19. Trio Hotel di Kebumen Jl. Yos Sudarso 441, Gombong, Kebumen. 0287-471103
            Situs Panembahan yang ada di wilayah urut sewu. Kebumen banyak makam sejarah yang belum di ketahui oleh para pejabat maupun masyrkat pada umnya seperti yang terdapat makam-makam para adipati dan senopati agung dari kerajaan mataram belum diketahui khalayak umumdi desa klapasawit dukuh joho RT 03/02, buluspesantren kebumen
nama-nama yang tercantum adalah :

1. Mbah patra leksana/R. mas ngabei surantika/mbah soleh/R Joko purna
2. Wangsa dipa/kyai sawunggalih/syeh abdurrahman
3. Mbah soka pura/ kyai patah/kyai selo/kyai soka leksana/raden jaka umbaran
4. Mbah singayuda/kyai mataram/R. sancang yuda/ R. setro jenar
5. Mbah suliwarni/R. mas kalinyamat/ R. soka nata

Desa sidomukti ambal (dukuh daratan)
Syeh abdul qodir an-daratansyeh bledug jagung
Syeh Abdul Qodir An-Daratany, Daratan Sidomukti Ambal
Syeh Bledug Jagung, Daratan Sidomukti Ambal
Mbah Kyai Sodri, Daratan Sidomukti Ambal
Eyang Doro Bei, Kradenan Ambal
Di wilayah kebumen barat :
1. Panembahan Agung Kajoran, Kajoran, Karanggayam
2. Panembahan Eyang Sepuh Purnomo Sidik, Candi, Karanganyar
3. Panembahan Duryudana, Sempor
4. Panembahan Eyang Tumenggung Singa Taruna, Tresnorejo, Petanahan
5. Panembahan Eyang Tumenggung Singa Ndanu, Puring
6. Panembahan Eyang Tumenggung Carangnolo, Puring
7. Panembahan Eyang Tumenggung Wono Salam, Sekarteja, Adimulyo
8. Panembahan Eyang Dipawetjana, Sidomulyo, Adimulyo
9. Panembahan Eyang Sepuh Joko Puring, Puring
10. Syaikh Abbas, Dorowati, Klirong
11. Syaikh Pandan Arum, Karangreja, Petanahan
12. Panembahan Kalang Kadirja, Braja, Karangduwur, Petanahan
Daerah kebumen kota
1. syech bagus ‘ali (panggel, panjer, kebumen)
2. syech sirnoboyo (kuwarisan, panjer, kebumen)
3. syech gesing (gesing, adikarso, kebumen)
Di wilayah timur
Desa Ambal Resmi
Makam  Mbah Joko Resmi lor Pasar Ambal Resmi
Desa Mirit
Makam Mbah Lancing
BULUPITU; di Desa Tunjungseto Kutowinangun bukanlah makam, tapi petilasan, tempat bertapa Joko Sangkrib. Konon setelah semedi 72 hari, ia diberi senjata cemeti oleh Dewi Nawangwulan, bekal untuk mengabdi ke Kraton Mataram. Putra Demang Kutowinangun itu menjadi sakti dan karena prestasinya ia diberi jabatan menjadi Adipati Kebumen sebagai Arungbinang 1. Makanya ada yang mengisahkan, Dewi Nawangwulan itu “kekasih gelap” Joko .

Sumber:
 http://paguyuban-linggamas.blogspot.com wisata-kabupaten-kebumen diunduh 1 Mei 2015

Sumber Pustaka :
Sejarah Nasional Indonesia
Babad Kadhiri
Kidung Kejayaan Mataram
Babad Kebumen, R. Soemodidjojo



»»  Baca Selengkapnya...