Senin, 15 Desember 2014

Riwayat Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara RI

Oleh: Anshari Dimyati, S.H., M.H.[1] 

 
Riuh rendah suara bergemuruh, di dalam gedung parlemen Belanda (Nederland), BinnenhofDen Haag, 23 Agustus 1949 silam. 63 tahun lalu, di gedung itu berlangsung upacara pembukaan resmi Konferensi Meja Bundar (KMB) atau Ronde Tafel Conferentie (RTF) untuk mewujudkan penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada Negara Federal, Republik Indonesia Serikat (RIS).

KMB merupakan momentum penting dan prestisius dalam sejarah Indonesia. Sebab, dalam ceremonial itu tampuk kedaulatan Indonesia sebagai sebuah Negara, diakui oleh masyarakat internasional (international community). Hadir kala itu, pihak yang bersepakat dalam perundingan politik untuk menentukan langkah ke depan Kepulauan Melayu (the Malay Archipelago)[2], wilayah Indonesia hari ini.

Perundingan dilakukan oleh tiga pihak, yaitu Kerajaan/Negara Belanda (Nederland), BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg)/Majelis Negara-negara Federal, dan RI (Republik Indonesia) dalam wilayah Yogyakarta. Ketika itu, delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen, sedangkan delegasi Republik Indonesia (RI) dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta, dan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II sebagai Ketua Majelis Negara-negara Federal. Hadir pula delegasi PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang dipimpin oleh Crittchlay.

Rupa sejarah tersebut, adalah ihwal penting untuk mencatat rekam jejak para pendiri negara Indonesia, hari ini. Jelas, Indonesia berdiri atas gagasan-gagasan konseptual founding fathers, seperti Sultan Hamid II, Soekarno, Moh. Hatta, Ide Anak Agung Gde Agung, Moh. Yamin, Sutan Sjahrir, Tengku Mansoer, dan tokoh lainnya pada masa (transisi kemerdekaan) itu. Mereka berperan penting dalam menentukan arah langkah Indonesia.

“Siapa yang menabur, ia yang menuai”.

Adagium ini agaknya tepat untuk menggambarkan situasi politik dan hukum di Indonesia, kala itu. Tak dapat dipungkiri bahwa setelah diakui keberadaannya oleh dunia Internasional, transisi berdirinya Indonesia kemudian menuai konflik pemikiran dalam menggagas bentuk negara. Konflik pemikiran tersebut lahir dari adanya ketidaksepahaman antara konsep “Negara Persatuan”/Federalism[3] dan konsep “Negara Kesatuan”/Unitarism[4].

Urgensi perbedaan pemikiran konseptual itu berlanjut dengan cara-cara berpolitik, yang tentu memiliki konsekuensi politik. Dan akhirnya ada yang menang dan ada yang kalah. Kelompok yang memegang tampuk kekuasaan, alias si pemenang, kemudian dengan gampang mengeluarkan kebijakan politik maupun kebijakan hukum terhadap lawan politik yang tidak sepaham.

Ini terjadi pada salah satu tokoh nasional Indonesia bernama Sultan Hamid II, seorang bapak bangsa asal Pontianak - Kalimantan Barat. Ia terkoyak dari puing-puing sejarah. Dulu, namanya terdengar seantero dunia, hari ini sedikit yang mengenalnya.

Sultan Hamid II adalah Sang Perancang Lambang Negara Indonesia, yaitu Burung Garuda (Elang Rajawali – Garuda Pancasila). Dan ia, adalah salah seorang pencetus Federalisme Indonesia, dalam konsep, bentuk, serta sistem Negara. Sultan Hamid II adalah seorang “Federalis 100%”.

Prinsip itulah yang kemudian membuatnya berbentur dengan kaum Unitaris, para penganut paham negara Kesatuan yang menginginkan adanya dominasi atau sentralisasi kekuasaan. Sedangkan di sisi lain, muncul paradoks sistem negara. Jelas, tercantum pada Sila ke-3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” (Federalisme), dan bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarisme).

Federalisme merupakan wacana pemikiran politik yang diusung Sultan Hamid II dalam kemerdekaan Indonesia.
Ide politik ini bertujuan menciptakan sistem negara yang mengandung makna keadilan dan kesejahteran, serta lebih mampu untuk memakmurkan rakyatnya. Pemerintahan wilayah sendiri yang otonom melalui independensi pengelolaan internal dari setiap negara-negara bagian yang ada melalui sistem federasi, dianggap lebih dapat menjawab berbagai macam persoalan.

Namun, pemikiran politik Sultan Hamid II itu tak lantas begitu saja dipahami oleh pihak lain yang berkepentingan terhadap makna kemerdekaan. Alih-alih dianggap menginginkan kerjasama dengan kaum serumpun, ia dianggap sebagai ‘pengkhianat’ dengan segala sikap dan pemikiran yang lebih elastis (tidak kaku) terhadap bangsa asing.
Sikap yang kontroversial dengan pemahaman politik yang diusungnya sangat bertentangan dengan kaum republiken (unitaris). Terdapat kontradiksi pemikiran, yang kemudian menuai konflik kepentingan, dan menjebaknya pada suatu konspirasi dan propaganda politik.

Kehidupan Sultan Hamid II memiliki dinamika yang berliku dan kontroversial pada kiprahnya di dunia politik dan kenegaraan. Namun, sisi lain “wajah prosesi politik negara” tak dapat dipandang sama, tanpa perspektif pembanding dan berimbang, untuk mengetahui kebenaran.

Besar peran Sultan Hamid II dalam menorehkan keberadaannya di mimbar Indonesia, tak dapat dipungkiri. Ia seorang Bapak Kalimantan Barat, pun Bapak Bangsa Indonesia yang berperan penting dalam menentukan Kedaulatan Indonesia (dalam skala Nasional dan Internasional). Ia, Sultan Hamid II, adalah Pahlawan Indonesia dan Pemersatu Bangsa Indonesia.



Sultan Hamid II adalah Sultan Ke-7 Kesultanan Pontianak (1945-1978), dengan gelar: Sri Paduka Duli Y.M. Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie. Dia adalah keturunan dari pendiri Negeri Pontianak (Kesultanan Pontianak) bernama Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie.

Sultan Hamid II dilahirkan di Pontianak pada 12 Juli 1913 M, bertepatan dengan 7 Sya’ban 1331 H, dari kedua orangtuanya, yaitu Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (ayah)/Sultan Ke-6 dan Syecha Jamilah Syarwani (ibu).
Sultan Hamid II sejak kecil hingga dewasa memperoleh pendidikan modern di berbagai tempat. Dia mulai belajar dari Sekolah Rendah Pertama di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung.

Kemudian Sultan Hamid II meneruskan studi lanjutan Sekolah Menengah pada Hogeere Burger School (HBS) di Bandung dan HBS V di Malang. Setelah tamat sekolah, pada 1932 dia melanjutkan pendidikannya pada tingkat Perguruan Tinggi di Technische Hooge School (THS), Fakultas: de Faculteit van Technische Wetenschap, Jurusan: de afdeeling der Weg en Waterbouw, di Bandung (THS kemudian hari berubah menjadi Institut Teknologi Bandung/ITB).

Pendidikan di THS hanya dijalani oleh Sultan Hamid II selama satu tahun. Dia lebih tertarik untuk masuk ke Akademi Militer di Belanda. Pada 1933, Sultan Hamid II berhasil lulus untuk mengikuti pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda, yang di tempuh sejak 1933 sampai 1938.

Pada 1938, Sultan Hamid II dilantik sebagai Perwira pada Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL) atau dapat disebut Kesatuan Tentara Hindia Belanda, dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karir Militer, Sultan Hamid II ditugaskan di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya. Dia sempat pula berperang melawan tentara Jepang di Balikpapan pada 1941. Kemudian pada 1942 hingga 1945, Sultan Hamid II sebagai Perwira KNIL di tangkap dan menjadi tawanan Jepang.

Sultan Hamid II memiliki seorang istri berkebangsaan Eropa (Negeri Belanda) kelahiran Surabaya, bernama Marie van Delden, anak dari Kapten van Delden. Mereka menikah di Malang pada 31 Mei 1938. Marie van Delden atau biasa juga disebut Dina van Delden kemudian diberikan gelar Ratu Mas Mahkota Didie Al-Qadrie, setelah Sultan Hamid II dinobatkan menjadi Sultan Ke-7 Kesultanan Pontianak pada 29 Oktober 1945.

Dari pernikahan tersebut, Sultan Hamid II dan Didie Al-Qadrie memiliki dua orang anak. Seorang anak wanita bernama Syarifah Zahra Al-Qadrie (Edith Denise Corry Al-Qadrie) yang lahir di Malang pada 26 Februari 1939, dan seorang anak laki-laki bernama Syarif Yusuf Al-Qadrie (Max Nico Al-Qadrie) yang lahir di Malang pada 11 Januari 1942.

Pada 1946, Sultan Hamid II yang merupakan seorang Perwira KNIL mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal (Generaal-Majoor) dalam Angkatan Darat Belanda. Itu adalah pangkat tertinggi yang berhasil diraih seorang putera bangsa Indonesia. Kala itu, usianya masih 33 tahun. Kemudian, pada tahun itu pula, Sultan Hamid II diangkat sebagai Ajudan Istimewa Ratu Kerajaan Belanda (Adjudant in Buitengewone Dienst van HM Koningin der Nederlander), yaitu Ratu Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau).

Bersama dengan negara kerajaan/kesultanan lain di Kalimantan Barat, pada 1946, Sultan Hamid II membentuk sebuah ikatan Federasi Negara bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB)[5] atau de Staat West Borneo atau West Borneo State. sebagai Daerah/Negara Otonom (negara yang tegak berdiri sendiri) yang terdiri dari dua belas kerajaan (swapraja) dan tiga neo swapraja. Sultan Hamid II kemudian menjadi Kepala Negara Kalimantan Barat (DIKB)[6] sejak 1947 sampai 1950. Ikatan Federasi di Kalimantan Barat itu juga memiliki hubungan persemakmuran dengan Kerajaan Belanda.

Sejak menjadi Opsir KNIL, Sultan Hamid II tak pernah memperhatikan persoalan politik di Hindia Belanda, hingga ketika menjadi kepala negara kemudian, muncul keinginannya untuk berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka, pun begitu pula keinginan rakyatnya.

Tak hanya di Kalimantan Barat, Sultan Hamid II juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), atau Perhimpunan Musyawarah Negara-negara Federal[7], bersama sejumlah tokoh politik negara-negara atau daerah-daerah otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali. BFO ini lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 27 Mei 1948. Gagasan pembentukan BFO berasal dari inisiatif Mr. Ide Anak Agung Gde Agung yang merupakan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT).
Salah satu tujuan pembentukan BFO adalah untuk menghilangkan kesan bahwa keberadaan negara-negara bagian atau daerah otonom, bukan semata-mata merupakan ide dari Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di kawasan yang kemudian disebut Indonesia, tetapi memang berdasarkan kemauan sendiri.

Selain itu, pembentukan BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik antara Negara Republik Indonesia (NRI), yang diproklamirkan oleh Soekarno dan M. Hatta pada 17 Agustus 1945 di Batavia[8], dengan Belanda yang melakukan aneksasi atas Batavia dan beberapa daerah lain di Jawa sebagai daerah Koloni Belanda.
Telah dilakukan beberapa perundingan di antara kedua belah pihak pada 1946 hingga 1948, namun perundingan-perundingan tersebut tak mencapai titik temu. Kemudian, BFO berusaha menjembatani kepentingan NRI maupun Belanda, yang selanjutnya tercapai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).

Pada 1949, Sultan Hamid II terpilih sebagai Ketua BFO berdasarkan pemilihan oleh negara-negara anggota. Pemilihan Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO dilangsungkan setelah ketua sebelumnya, Mr. Tengku Bahriun, meninggal dunia. Mr. Tengku Bahriun adalah ketua pertama setelah terbentuknya BFO pada 1948. Dia berasal dari Negara Sumatera Timur (NST).

Sultan Hamid II tertarik untuk bekerjasama dan membentuk gerakan persatuan bangsa-bangsa serumpun. Kemudian, bersama Kepala-kepala Negara yang tergabung di dalam BFO, Sultan Hamid II mendatangi Soekarno dan Hatta yang sedang diasingkan di Muntok, Pulau Bangka, oleh Belanda akibat agresi militer Belanda ke II di Yogyakarta.

Sultan Hamid II dan koleganya di BFO kemudian bersepakat dengan NRI untuk melanjutkan pembicaraan tentang persatuan tersebut yang diberi nama Konferensi Inter Indonesia (KII). Konferensi Inter Indonesia, yang sebetulnya merupakan momentum terpenting dari Pembentukan dan Persatuan Bangsa, berlangsung dalam dua tahap; pertama di Istana Kepresidenan NRI di Yogyakarta pada 19-23 Juli 1949, dan kedua di eks Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila) di Jakarta pada 1 Juli hingga 2 Agustus 1949.

Dalam berpolitik dan memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa dan negara, Sultan Hamid II percaya bahwa Kepulauan Melayu (Indonesia saat ini) lebih tepat mempergunakan Sistem Federal dalam sistem ketatanegaraannya. Akan tetapi, ia memperoleh tentangan dari kaum Republiken (Unitaris) saat itu yang banyak berada di Pulau Jawa (terutama Yogyakarta) yang menginginkan dominasi sentralistik atau Sistem Kesatuan (Unitarisme).

Dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan ideologi yang diusungnya, Sultan Hamid II ikut aktif dalam perundingan-perundingan politik negara, seperti Perundingan Malino, Denpasar, Perhimpunan Musyawarah Federal (BFO), BFC, IJC, Konferensi Inter Indonesia (KII) 1 dan 2, Konferensi Meja Bundar (KMB) di Batavia maupun di Belanda.

“…maka usaha BFO, sejak lahirnya organisasi ini, ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagianbagiannya…,” demikian ungkap Sultan Hamid II dalam pidato pembukaan Konferensi Inter Indonesia yang digelar untuk menyamakan persepsi antara NRI dan BFO sebelum maju ke perundingan bersama pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Belanda.

Sebagai Ketua BFO, Sultan Hamid II kemudian memimpin Delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar, atau Ronde Tafel Conferentie, di Den Haag, Belanda, yang dilangsungkan pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi Meja Bundar tersebut adalah perundingan yang dihadiri oleh tiga pihak, yaitu Belanda, BFO, dan NRI.[9]

Hasil dari kesepakatan itu adalah Negara Belanda, Negara-negara Anggota BFO, dan Negara Republik Indonesia (NRI) sama-sama menyerahkan kedaulatan kepada sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).[10] Di dalam RIS, selain NRI, juga bergabung macam-macam negara yang sudah tergabung dalam BFO. Ketiga pihak ini menyepakati adanya pembentukan Uni Indonesia – Belanda, serta persemakmuran negara-negara otonom dengan Belanda.

Pengakuan dan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tersebut dilangsungkan pada 27 Desember 1949. Setelah dilakukan pemilihan, terpilihlah Soekarno sebagai Presiden RIS dan Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri. Oleh kepala negara, Sultan Hamid II kemudian ditunjuk menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949 sampai dengan 1950. Dengan surat Keputusan Presiden RIS No. 1 tahun 1949 tanggal 18 Desember 1949, Sultan Hamid II beserta tokoh lainnya juga ditunjuk sebagai salah satu Dewan Formatur Kabinet RIS.

Bersama tim perumus lain, Sultan Hamid II terlibat aktif dalam merancang Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dan dalam pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949, dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan Lambang Negara.
Kemudian, Presiden Soekarno menunjuk Sultan Hamid II yang menjabat sebagai Menteri Negara tersebut untuk menjadi koordinator tim perumusan lambang negara pada 1950. Dalam sidang kabinet pada 10 Januari 1950, dibentuklah sebuah panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Sultan Hamid II.

Panitia ini bertugas menyeleksi atau menilai usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan ke pemerintah. Di sini Muhammad Yamin menjadi ketua panitia, sementara anggotanya adalah Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Purbatjaraka. Dalam proses sayembara pembuatan lambang negara, banyak rancangan yang diajukan, tak terkecuali Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin yang juga mengajukan rancangan lambang negara buatannya masing-masing.

Dua karya terbaik akhirnya dipilih dan diajukan ke Panitia Lencana Negara, yakni rancangan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Akan tetapi, panitia menolak rancangan Muhammad Yamin. Alasannya, rancangan Yamin banyak mengandung unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh fasis Jepang.

Pemerintah akhirnya menerima Elang Rajawali - Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II dan menetapkannya sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.[11] Dalam perkembangannya, banyak masukan-masukan dari berbagai pihak terhadap lambang RIS yang baru itu. Beberapa kali perbaikan pun dilakukan oleh Sultan Hamid II sehingga menghasilkan Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang.

Dalam masa kerjanya yang singkat, dia berhasil menciptakan gambar burung garuda sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat, yang hingga hari ini lambang tersebut digunakan oleh Indonesia dalam bentuk lain, yakni Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI).

Namun, perjalanan perjuangan Sultan Hamid II berakhir tragis. Selang dua bulan kemudian, jabatan Sultan Hamid II sebagai menteri dicabut. Pada 5 April 1950, dia ditangkap saat berada di Hotel Des Indes di Jakarta oleh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata.

Sultan Hamid II dituduh sebagai pelaku utama atas perbuatan Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang menyerbu Tentara Nasional Indonesia (TNI) Divisi Siliwangi di Bandung pada 23 Januari 1950, dan berencana menyerbu Sidang Dewan Menteri RIS di Jakarta pada 24 Januari 1950. Tiga tahun kemudian dia diadili dan mendapat vonis hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun.

Namun, kasus yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II, sebetulnya tidak terbukti menurut hukum. Tuduhan tersebut hanyalah sebuah rekayasa politik dan konspirasi hukum yang dibuat oleh kolega kabinet negara atas sentiment politik-nya kepada Sultan Hamid II.[12]

Sebab, gerakan bawah tanah Kaum Republiken (Unitaris) untuk membubarkan Negara-negara Bagian (Negara Federal) semakin gencar. Dan mereka menganggap Sultan Hamid II sebagai pencetus Federalisme Indonesia dan Ketua BFO (Majelis Negara-negara Federal) adalah penghalang besar. Jelas, Sultan Hamid II menjadi korban politik atas arogansi negara, kala itu.

Ketika bebas pada 1958, Sultan Hamid II tak lagi berpolitik. Namun, empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Tuduhannya adalah melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC).

Dikabarkan, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung. Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh oposisi pemerintah dari negara yang sudah dipegang oleh kaum unitaris, terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI), dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir, begitu juga Sultan Hamid II yang notabene kawan lama Ide Anak Agung Gde Agung. Selama empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan. Dia baru dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir.

Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.

Selepas dari penjara tanpa proses peradilan tersebut, Sultan Hamid II beraktivitas di dunia bisnis sampai akhir hayatnya. Sejak 1967 hingga 1978, dia menjadi Presiden Komisaris di PT. Indonesia Air Transport. Pada 30 Maret 1978, pukul 18.15 WIB, Sultan Hamid II pun wafat di Jakarta. Sultan Pontianak ke-7 itu meninggal dunia ketika sedang melakukan sujud pada shalat maghrib-nya yang terakhir. Sultan Hamid II dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak, di Batu Layang, dengan Upacara Kebesaran Kesultanan Pontianak.


------------


[1] Anshari Dimyati lahir di Pontianak, Kalimantan Barat. Ia adalah seorang Konsultan Hukum dan pengamat Tata Hukum Indonesia. Pada 2012, ia menyelesaikan Tesis berjudul “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia” (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II), di Pascasarjana Fakultas Hukum (Magister Hukum) Universitas Indonesia, Jakarta. Saat ini, Anshari Dimyati menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Sultan Hamid II (General Chairman of Sultan Hamid II Foundation).

[2] Lihat: Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago, Harper & Brothers Publisher, Franklin Square, 1869

[3] Negara Federasi (bondstaat/federal/persatuan/serikat) adalah satu negara besar yang berfungsi sebagai pemerintahan keseluruhan dengan satu konstitusi federal, yang di dalamnya terdapat sejumlah negara bagian yang masing-masing memiliki konstitusinya sendiri-sendiri. Konstitusi federal mengatur batas-batas kewenangan keseluruhan (federal), sedangkan sisanya dianggap sebagai milik komunitas (negara bagian).

[4] Negara Kesatuan (eenheidsstaat/unitaris) adalah negara yang bersusun tunggal, di mana ada satu pemerintahan yang memegang kekuasaan untuk menjalankan semua urusan wilayah-wilayah. Bersusun tunggal berarti bahwa dalam negara hanya ada satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, satu undang- undang dasar, dan satu lembaga legislatif.

[5] Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) didirikan berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L. DIKB dibagi dalam 12 Swapraja, yaitu: Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang, dan 3 Neo Swapraja, yaitu: Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja Nanga Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.

[6] Pemerintahan DIKB berlaku efektif sejak 12 Mei 1947. Keberadaan DIKB diperkuat Residen Borneo Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 Nomor 161. Sebelumnya pada tahun 1948 telah keluar Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 Nomor 8 Staatblad Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa (Negara Otonom yang tegak berdiri sendiri, dengan status Persemakmuran dengan Kerajaan Belanda).

[7] Pada masa 1946 sampai 1949, berdiri 17 (tujuh belas) wilayah negara-negara atau daerah-daerah otonom di kawasan Indonesia. Negara dan atau Daerah Otonom tersebut adalah: Negara Indonesia Timur, dibentuk pada 24 Desember 1946; Negara Sumatera Timur, dibentuk pada 25 Desember 1947; Negara Madura, dibentuk pada 20 Februari 1948; Negara Pasundan, dibentuk pada 25 Februari 1948; Negara Sumatera Selatan, dibentuk pada 2 September 1948; Negara Jawa Timur, dibentuk pada 26 November 1948; Dayak Besar, ditetapkan pada 7 Desember 1946; Kalimantan Tenggara, ditetapkan pada 27 Maret 1947; Kalimantan Timur, ditetapkan pada 12 Mei 1947; Kalimantan Barat (DIKB / de Staat West Borneo), ditetapkan pada 12 Mei 1947; Bangka, ditetapkan pada 12 Juli 1947; Belitung, ditetapkan pada 12 Juli 1947; Riau, ditetapkan pada 12 Juli 1947; Banjar, ditetapkan pada 14 Januari 1948; Distrik Federal Batavia, ditetapkan pada 11 Agustus 1948; Jawa Tengah, ditetapkan pada 2 Maret 1949; Tapanuli (belum mendapat status Otonom).

[8] Negara Republik Indonesia (NRI) berdiri pada 17 Agustus 1945, dengan wilayah kekuasaan di Yogyakarta (semenjak bergabung Kerajaan Surakarta: 1 September 1945 dan Kerajaan Yogyakarta: 5 September 1945).

[9] Mr.W.A.Engelbrecht dan Mr.E.M.L.Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Voorlopige Grondwet Van de Republiek Indonesie/Kitab-kitab Undang-undang, Undang-undang dan Peraturan-peraturan serta Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, di terbitkan oleh Mr.W.A.Engelbrecht (Inleven Oud-Lid Van de Raad van Ned-Indie), Leiden-AW. Sijthoff's Uitgeversmij N.V., 1954, hal. 3020.

[10] Atas terbentuknya Negara Federal RIS, termaktub didalam Konstitusi RIS bahwa Negara-negara bagian di dalam Republik Indonesia Serikat adalah:
(1)   Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetujuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948, berkedudukan di Yogyakarta;
(2)   Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta; Negara Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan;
(3)   Satuan-satuan Kenegaraan yang tegak sendiri; yaitu: Jawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah Istimewa); Dayak Besar; Banjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur. (Uni Indonesia-Belanda/Persemakmuran)
Negara Bagian RIS diatas adalah negara bagian yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan dalam Konstitusi RIS dan lagi berikut daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian. (Kesemuanya diatur dalam Pasal 2 Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat), Keputusan Pres. RIS 31 Djanuari. 1950 Nr. 48. (c) Lembaran Negara 50–3)

[11] Lihat Tesis: Turiman Fachturrahman, Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan), 1999, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

[12] Lihat Tesis: Anshari Dimyati, Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; Suatu Analisis Yuridis Normatif Pada Studi Kasus Sultan Hamid II, 2012, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Lihat:
http://www.lenteratimur.com/sultan-hamid-ii-meneroka-akar-perkara-makar/
https://www.facebook.com/notes/sultan-hamid-ii/sultan-hamid-ii-antara-pergulatan-politik-hukum-dan-keadilan/424959267546034
http://www.scribd.com/doc/92578761/Sultan-Hamid-II-Antara-Pergulatan-Politik-Hukum-dan-Keadilan
»»  Baca Selengkapnya...