Jumat, 23 Mei 2014

ASPEK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM


MENGKRITISI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SECARA BERKESINAMBUNGAN

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

1. Pengertian Sumber Daya Alam
              Pertanyaan yang perlu diajukan apa yang dimaksud sumber daya alam? Sumber Daya Alam adalah semua bahan yang ditemukan manusia dalam alam yang dapat digunakan untuk kepentingan hidupnya. Bagi manusia, hakikat sumber daya alam sangat penting baik sumber daya alam yang berupa benda hidup (hayati) maupun yang berupa benda mati (non hayati). Kedua macam sumber daya alam tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Suatu negara yang banyak sumber daya alamnya maka negara tersebut akan menjadi negara yang kaya.
Pemanfaatan sumber daya alam ditentukan berdasarkan kegunaan sumber daya alam tersebut bagi manusia. Oleh karena itu, nilai suatu sumber daya alam juga ditentukan oleh nilai kemanfaatannya bagi manusia. Misalnya lahan pertanian yang subur dapat dijadikan daerah pertanian yang potensial.
Manusia (penduduk) suatu negara merupakan sumber daya bagi negara tersebut karena manusia dapat memberikan manfaat bagi negaranya, seperti tenaga kerja, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dapat meningkatkan ekonomi negara.

2. Penggolongan Sumber Daya alam
Sumber daya alam dapat digolongkan sebagai berikut.
a. Sumber Daya Alam Berdasarkan Asalnya
1) Sumber daya alam organik (biotik), yaitu sumber daya alam yang berasal dari kehidupan.
Contoh: batu bara, minyak bumi.
2) Sumber daya alam anorganik (abiotik), yaitu sumber daya alam yang bukan dari kehidupan.Contoh: timah, bauksit, besi, dan gas alam.

b. Sumber Daya Alam Berdasarkan Sifat Kelestariannya
1) Sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resource), yaitu
sumber daya alam yang tidak akan habis karena bagian-bagian yang telah terpakai dapat diganti dengan yang baru.
Contoh: udara, angin, tenaga air terjun, sinar matahari, tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
2) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources), yaitu sumber daya alam yang akan habis karena tidak dapat dibuat yang baru.
Contoh: timah, besi, bauksit, batu bara, dan minyak bumi.

c. Sumber Daya Alam Berdasarkan Pemanfaatannya
1) Sumber daya alam ruang, yaitu tempat yang diperlukan manusia dalam hidupnya. Makin besar kenaikan jumlah penduduk maka sumber daya alam ruang makin sempit dan sulit diperoleh. Ruang dalam hal ini dapat berarti ruang untuk areal peternakan, pertanian, perikanan, ruang tempat tinggal, ruang arena bermain anak-anak, dan sebagainya.
2) Sumber daya alam materi, yaitu bila yang dimanfaatkan oleh manusia adalah materi sumber daya alam itu sendiri.
Contoh: Mineral magnetit, hematit, limonit, siderit, dan pasir kuarsa
dapat dilebur menjadi besi/baja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, di antaranya untuk kerangka beton, kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
3) Sumber daya alam energi, yaitu energi yang terkandung dalam sumber daya alam. Bahan bakar minyak (bensin, solar, minyak tanah), batu bara, gas alam, dan kayu bakar merupakan sumber daya alam energi karena manusia menggunakan energinya untuk memasak, menggerakkan kendaraan, dan mesin industri.
4) Sumber daya alam hayati, yaitu sumber daya alam berbentuk makhluk hidup, yaitu hewan dan tumbuhan. Sumber daya alam tumbuh-tumbuhan disebut sumber daya alam nabati,
sedang kan sumber daya hewan disebut sumber daya hewani.

3.Permasalahan Yang  Dihadapi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam
Setelah kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagaimana tertuang pada Undang Undang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan sistem tata-kelola pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi pengelolaan wilayah secara nasional di Indonesia. Hal tersebut juga menimbulkan adanya perubahan sikap masyarakat dan berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana mereka berharap otonomi daerah dapat membangun dan merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam sehingga pemanfaatan sumberdaya alam benar­benar dapat mensejahterakan seluruh rakyat.
Realitasnya saat ini pengelolaan sumberdaya alam selama penerapan UU No 32 Tahun 2004 terakhir menunjukkan kenyataan bahwa telah banyak inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti otonomi daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di daerahnya masing-masing.
Terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat dan pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah masih minimnya pemahaman terhadap kepentingan seluruh komponen bangsa Indonesia atas sumberdaya alam dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan sebagai salah satu sumber penting pembiayaan pembangunan, sumber daya alam yang ada dewasa ini masih belum dirasakan manfaatnya secara nyata oleh sebagian besar masyarakat.
Pengelolaan sumber daya alam tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Selain itu lingkungan hidup juga menerima beban pencemaran yang tinggi akibat pemanfaatan sumber daya alam dan aktivitas manusia lainnya yang tidak memperhatikan pelestarian lingkungan.
Dalam konsepnya, otonomi daerah (sesuai UU 22/1999 dan penyempurnaannya pada UU 32/2004) secara eksplisit ataupun implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi (kesetaraan, kesejajaran, etika­egalitarianisme), keunggulan lokal, keberagaman, prinsip bottom-up, desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak politik masyarakat lokal, kemandirian dan kedaulatan sistem sosial-ekonomi lokal serta pembebasan dari segala bentuk ketergantungan sosial-politik pada semua pihak.
Dalam hal pengeloaan sumber daya alam, maka asas transparansi tata-pemerintahan, akuntabilitas publik dan pengelolaan sumberdaya alam juga menjadi salah satu maksud diundangkannya UU tersebut. Konsep otonomi daerah juga memberikan platform bagi sistem administrasi pembangunan yang memungkinkan setiap stakeholder mengaktualisasikan cita-cita pencapaian derajat keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang lebih baik (better and sustainable socio-economic standard of living), serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable natural resources and environment) secara aspiratif.
Realitasnya, bahwa pengelolaan sumberdaya alam selama ini menunjukkan kenyataan bahwa telah banyak inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti otonomi daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di daerahnya masing-masing. Namun inisiatif tersebut nampaknya belum merata ke seluruh daerah. Terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat dan pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah masih minimnya pemahaman terhadap kepentingan seluruh komponen bangsa Indonesia atas sumberdaya alam dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Selaras dengan semangat otonomi daerah yang muncul sejak 1999 membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut, dan berusaha menata kembali pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Arah pengelolaan yang hendak dicapai melalui visi baru tersebut sangat relevan untuk dikaji mengingat semakin menipisnya sumberdaya alam di Indonesia.
Identifikasi beberapa permasalahan pokok dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertama adalah keterbatasan data dan informasi dalam kuantitas maupun kualitasnya. Keterbatasan data dan informasi yang akurat berpengaruh pada kegiatan pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan hidup yang belum dapat berjalan dengan baik. Sementara itu, sistem pengelolaan informasi yang transparan juga belum melembaga dengan baik sehingga masyarakat belum mendapat akses terhadap data dan informasi secara memadai.  
Lebih lanjut, permasalahan pokok lainnya adalah kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Kondisi ini ditandai dengan maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, serta pertambangan tanpa izin. Permasalahan lain adalah belum jelasnya pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik (transgenik) yang mengancam keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia, serta permasalahan ketergantungan yang tinggi pada sumber daya fosil.
Pada sisi lain ternyata, tingkat kualitas lingkungan hidup di darat, air, dan udara secara keseluruhan masih rendah, seperti tingginya tingkat pencemaran lingkungan dari limbah industri baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta kegiatan transportasi dan rumah tangga baik berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) maupun non-B3.
Tingginya ketergantungan energi pada sumber daya fosil, merupakan permasalahan penting yang mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada kenaikan permukaan laut, perubahan iklim lokal dan pola curah hujan, serta terjadinya hujan asam; belum tergantikannya bahan perusak lapisan ozon (BPO) seperti chloro fluoro carbon (CFC), halon, dan metil bromida; serta kurangnya pemahaman dan penerapan Agenda 21 di tingkat nasional dan lokal.
Selanjutnya, prinsip keberlanjutan yang mengintegrasikan tiga aspek yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya belum diterapkan di berbagai sektor pembangunan baik di pusat maupun di daerah.
Biaya lingkungan belum dihitung secara komprehensif ke dalam biaya produksi, di lain pihak tidak diterapkannya sistem insentif bagi pemasaran produk yang akrab lingkungan (produk hijau). Hal ini mengakibatkan produk hijau tidak dapat bersaing, sementara di dalam negeri konsumen Indonesia dengan tingkat kemiskinan masih tinggi, tidak mempunyai pilihan untuk mengkonsumsi produk-produk hijau tersebut.
Program sukarela yang ditawarkan seperti ISO 14000 dan ekolabeling juga masih belum banyak diterapkan, bahkan dirasakan oleh industri bukan sebagai peningkatan efisiensi perusahaan.
Apa yang menjadi faktor terjadinya permasalahan-permasalahan tersebut diatas timbul antara lain karena faktor rendahnya kapasitas kelembagaan, faktor belum mantapnya peraturan perundangan, serta faktor lemahnya penataan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
Kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sejalan dengan otonomi daerah, masih belum sepenuhnya jelas, karena peraturan pelaksanaan yang merinci fungsi dan kewenangan Pemerintah Daerah belum lengkap. Selain itu, terdapat permasalahan dalam hal kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Pada sisi lain sementara itu, masih rendahnya akses masyarakat terhadap data dan informasi sumber daya alam berakibat pula pada terbatasnya peran serta  masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Lemahnya kontrol dan keterlibatan masyarakat, serta penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, juga merupakan masalah penting lain yang menyebabkan hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam menjadi terbatas dan sering menimbulkan konflik antar pelaku.

4.Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai
Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup seperti diuraikan diatas maka strategi kebijakan yang ditempuh adalah: (1) Mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ekonomi, ekologi dan sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam; (2) Menumbuhkan tanggung jawab sosial dan praktik ekoefisiensi di tingkat perusahaan dengan mengintegrasikan biaya lingkungan dan biaya sosial terhadap biaya produksi; (3) Menerapkan teknologi yang terbaik dan tersedia, termasuk teknologi tradisional untuk kegiatan konservasi, rehabilitasi sumber daya alam; (4) Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam, yang didukung oleh kepastian hukum atas kepemilikan dan pengelolaan; (5) Menata kelembagaan, termasuk pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap kepada pemerintah daerah; (6) Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang ada menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsip-prinsip keterpaduan, pengakuan hak-hak asasi manusia, serta keseimbangan ekologis, ekonomis, dan pengarusutamaan gender; (7) Melakukan reorientasi paradigma pembangunan yang mengakui hak-hak publik terhadap pengelolaan sumber daya alam; serta (8) Mendorong budaya yang berwawasan lingkungan melalui revitalisasi budaya lokal dan menumbuhkan etika lingkungan dalam pendidikan dan lingkungan masyarakat; (9) Mengembangkan pola kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dalam melaksanakan strategi kebijakan tersebut, langkah-langkah yang dilakukan mengacu pada  program-program pokok yang telah ditetapkan, yaitu: program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam; program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup; program penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup; dan program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
Program-program tersebut saling terkait satu sama lain dengan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi dengan kualitas lingkungan hidup yang semakin baik.
Sesuai dengan paradigma baru pengelolaan sumberdaya alam tersebut telah pula mendorong terbentuknya kebijakan makro pemerintah Indonesia dalam bentuk TAP MPR No: IX/2001 tentang pembaharuan dan pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumberdaya alam yang terbentuk dalam keputusan Majelis ini merupakan salah satu bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumberdaya alam Indonesia di bawah konsep pembangunan berkelanjutan.
Arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dalam TAP MPR No. IX/2001 ini dinyatakan sebagai berikut:
a.       Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang­undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor.
b.      Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.
c.       Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d.      Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.
e.       Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum.
f.       Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan.
g.      Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
TAP MPR NO. IX/MPR/2001 secara khusus memberikan mandat kepada DPR bersama Presiden untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan pengelolaan sumberdaya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua peraturan yang ada di bawahnya.
Berikut ini adalah peraturan perundang­undangan pengelolaan sumberdaya alam di bidang konservasi dalam konteks otonomi daerah.
1.        Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2.        Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
3.        Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
4.        Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan.
5.        Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keaneka-ragaman Hayati).
6.        Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
7.        Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
8.        Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
9.        UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
10.    Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1963 tentang Penyerahan Pengusahaan Hutan-hutan tertentu kepada Perusahaan Negara
11.    Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.
12.    Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
13.    Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
14.    Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.
15.    Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

5.Harapan Regulasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya disambut positif dan didukung banyak pihak. Disamping merupakan amanat konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan yang semakin mendesak dan menjadi jalan keluar bagi tantangan yang akan sulit diatasi jika penyelenggaraan kehidupan bernegara tetap dalam sistem yang sentralistik.
Terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
 Banyak pihak berharap pelaksanaan otonomi daerah akan membawa perubahan­perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Namun pelaksanaan otonomi daerah tidak seperti yang diharapkan, sehingga banyak pihak yang lalu memandang otonomi daerah sebagai pemberi dampak buruk terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Hal tersebut menurut Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) adanya pertentangan kebijakan pusat dan daerah yang salah satunya sebagai akibat tidak dilakukannya sinkronisasi UU sektor dengan UU otonomi daerah, (2) persepsi mengenai otonomi daerah yang beragam, dimana persepsi lembaga-lembaga pemerintah tidak cukup tepat memaknai pelaksanaan otonomi daerah, dan di sisi lain masyarakat tidak percaya terhadap apa yang dilakukan pemerintah, dan (3) kelemahan fungsi pemerintahan daerah terutama kelemahan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Akibat dari otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya alam dikemukakan oleh Nababan (2002) yang memandang bahwa otonomi daerah sebagai pendorong pengrusakan sumberdaya alam yang semakin meningkat serta pengrusakan sendi-sendi masyarakat adat yang umumnya berakar di wilayah pedesaan.
UU No. 32/2004 tentang pemerintah daerah dibentuk untuk mendukung dan menunjang penyelenggaraan otonomi daerah yang bertanggung jawab dan berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi. Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks otonomi daerah, dalam Pasal 10 UU ini dinyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di daerahnya. Adapun upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tersebut kiranya harus dilaksanakan dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup secara bertanggung jawab dan disesuaikan dengan potensi dan kenekaragaman daerah.
Hal ini menjadi mandat tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mampu membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di daerahnya dengan berorientasi pada potensi dan kemampuan daerah setempat. Namun mandat tersebut seringkali kurang diimplementasikan, sehingga Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten yang merupakan turunan dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah umumnya tidak menyebutkan secara eksplisit kewenangan desa dalam pengaturan sumberdaya alam.
Padahal PP No. 72/2005 menyebutkan secara jelas menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berhak melakukan identifikasi, pembahasan dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada desa, seperti kewenangan dibidang pertanian, pertambangan, dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan dan lingkungan hidup, perikanan, politik dalam negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan.
Namun dalam pengelolaan perlu juga memperhatikan hak-hak masyarakat adat, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 37 ayat 5 bahwa pemanfaatan hutan adat adalah segala bentuk usaha yang menggunakan hutan adat untuk dimanfaatkan secara optimal. Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dikatakan bahwa peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan hasil guna. Konservasi sumber daya alam hayati (KSDAH) adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya tetap terpelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati.
Konservasi sumber daya alam hayati dapat dikatakan berhasil apabila dapat mewujudkan tiga sasaran konservasi, yaitu:
  • Perlindungan sistem penyangga kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.
  • Pengawetan sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat.
  • Pemanfaatan secara lestari, yaitu mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga menjamin kelestariannya.
Pada tataran ini, maka perlu ditempuh beberapa kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam hal ini kehutanan yang perlu diperhatikan ketika mengambil kebijakan pengelolaan sumber daya kehutanan, yakni :
1.  Penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan areal perkebunan.
2.      Penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan, dan penatagunaan kawasan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru.
3.      Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya.
4.   Penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru.
5.      Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai di dalamnya.
6.  Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan nasional, serta pola umum rehabilitasi lahan, konservasi tanah, dan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan, dan industri primer perkebunan.
7.    Penetapan kriteria dan standar tarif iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dana reboisasi, dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
8.    Penetapan kriteria dan standar produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan peredaran hasil hutan dan perkebunan termasuk perbenihan, pupuk dan pestisida tanaman kehutanan dan perkebunan.
9. Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan pemungutan hasil, pemanfaatan jasa lingkungan, pengusahaan pariwisata alam, pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna, lembaga konservasi dan usaha perkebunan.
10.  Penyelenggaraan izin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyeleng-garaan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam taman buru, termasuk daerah aliran sungai di dalamnya.
11. Penyelenggaraan izin usaha pemanfaatan hasil hutan produksi dan pengusahaan pariwisata alam lintas Propinsi.
12. Penetapan kriteria dan standar pengelolaan yang meliputi tata hutan dan rencana pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan, pengawasan dan pengendalian kawasan hutan dan areal perkebunan.
13.  Penetapan kriteria dan standar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari di bidang kehutanan dan perkebunan.
14. Penetapan norma, prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan satwa liar termasuk pembinaan habitat satwa migrasi jarak jauh.
15.  Penyelenggaraan izin pemanfaatan dan peredaran flora dan fauna yang dilindungi dan yang terdaftar dalam apendiks Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora.
16.  Penetapan kriteria dan standar dan penyelenggaraan pengamanan dan penanggulangan bencana pada kawasan hutan, dan areal perkebunan.

5.1. Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Tujuan program ini adalah untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap dan handal mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui kegiatan inventarisasi, evaluasi, valuasi, dan penguatan sistem informasi yang menjamin terbukanya akses masyarakat terhadap informasi yang ada.
Dalam pengembangan informasi lingkungan hidup diperlukan data yang akurat, konsisten, dan terkini. Disamping itu, demi kemudahan interpretasi dan pemahaman diperlukan standarisasi data yang dapat digunakan secara nasional. Untuk itu dalam tahun 2000 telah dikembangkan disain global basis data pengendalian pencemaran air, peta dasar lingkungan se-Indonesia, dan aplikasi profil lingkungan untuk media air.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut telah dihasilkan antara lain penyempurnaan data dan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, melalui pemanfaatan teknologi penginderaan jauh yang sangat berguna untuk pemantauan ekosistem bumi. Sejalan dengan itu, telah dilakukan pula peningkatan akses masyarakat terhadap informasi kegiatan dan kasus-kasus lingkungan melalui media internet yang didukung sistem layanan kesiagaan dan  tanggap darurat bencana lingkungan.
Untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan informasi lingkungan dilakukan penyusunan Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2000 (State of the Environment Report, SoER) sebagai salah satu pelaksanaan Agenda 21. Kegiatan lain yang dilakukan adalah upaya untuk mengembangkan Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah berdasarkan basis data setahun sebelumnya; pengembangan Pusat Layanan Informasi di kantor Bapedal, Jakarta, dan tiga kantor Bapedal Regional I; II; dan III, masing-masing berpusat di Pekanbaru, Denpasar, dan Makassar. Sedangkan untuk memperkaya dan mengelola berbagai jenis informasi lingkungan, dilaksanakan kegiatan untuk mendukung Pusat Layanan Informasi yang terdiri dari perpustakaan modern yang dilengkapi dengan koleksi sumber informasi dan sarana audio visual.
Selanjutnya, dalam kegiatan inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan hidup telah dilaksanakan inventarisasi seluruh hutan bakau di Jawa, Kalimantan Timur, NTB, Bali, Sulawesi Selatan, dan sebagian Irian Jaya; inventarisasi lahan potensi pertanian di NTB; inventarisasi areal lahan sawah di Sumatera, Sulawesi, Bali, NTB; serta inventarisasi terumbu karang di Sumatera Barat, Riau, dan wilayah Indonesia Timur (Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya). Disamping itu, juga telah dilakukan penyusunan neraca sumber daya alam daerah di 10 (sepuluh) Kabupaten di Kalimantan Selatan, dan penyusunan tata ruang wilayah Kabupaten Bangka.
Program Nasional Pemantauan Lingkungan Perairan Laut (Seawatch Indonesia) telah dilakukan dalam rangka mengumpulkan data-data lingkungan kelautan yang paling mendekati akurat khususnya untuk Teluk Jakarta, Masalembo, Batam, Belawan, dan Perairan Jepara. Sementara itu, potensi ikan sebagai sumber daya alam laut yang bisa pulih, potensi lestarinya diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun. Potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut jika dibatasi pada iso-depth 50 meter dan daerah yang aman dari gelombang, luasnya diperkirakan mencapai 1,9 juta ha. Sementara itu, dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusive Indonesia (ZEEI) sebesar 1,5 juta ton per tahun, saat ini baru sekitar 83 persen yang telah dimanfaatkan.
Untuk mengetahui potensi sumber daya hutan, pada tahun 2000 telah dilakukan rekalkulasi sumber daya hutan. Rekalkulasi dilakukan pada hutan produksi seluas 46,8 juta Ha atau 70,5 persen dari seluruh hutan produksi, serta hutan lindung dan konservasi seluas 29,8 juta Ha atau 55,14 persen dari seluruh hutan lindung dan konservasi. Dari hasil rekalkulasi tersebut terlihat bahwa kawasan hutan yang perlu direhabilitasi seluas 20,1 juta Ha, sedangkan lahan kritis di luar kawasan hutan adalah seluas 15,1 juta Ha.
Sementara itu, di bidang energi dan sumber daya mineral telah dilakukan pengembangan pelayanan informasi data spasial energi dan sumber daya mineral, serta membentuk sistem komunikasi data antara pusat dan daerah. Data terbaru dari hasil penyelidikan dan penelitian diinformasikan bahwa cadangan minyak bumi adalah 9,8 miliar barel, yang meliputi cadangan terbukti 5,2 miliar barel dan cadangan potensial 4,6 miliar barel. Sedangkan cadangan gas bumi adalah 158,26 triliun kaki kubik, yang meliputi cadangan terbukti 92,48 triliun kaki kubik dan cadangan potensial 65,78 triliun kaki kubik. Cadangan panas bumi tidak kurang dari 20 ribu Mwe. Cadangan tersebut termasuk yang berada di perairan laut yang tidak dapat pulih. 
Dalam pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informasi, dilakukan upaya untuk mendapatkan model atau metode pemanfaatan teknologi dirgantara untuk mendukung pelayanan teknis kepada masyarakat. Pada tahun 2000 dan 2001, telah dilakukan beberapa usaha antara lain adalah: peningkatan dan pengembangan kemampuan sistem penerima dan pengolah data satelit penginderaan jauh, melalui peningkatan kemampuan stasiun bumi satelit penginderaan jauh di Parepare dan Biak, sehingga stasiun-stasiun bumi tersebut dapat menyajikan data satelit penginderaan jauh dan informasi yang diturunkan dari data tersebut.

5.2. Program Peningkatan Efektivitas Pengelolaan, Konservasi, dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam
Program ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Dalam rangka pelaksanaan program ini, telah dilakukan kegiatan konservasi melalui pengelolaan kawasan konservasi darat dan laut. Sampai dengan April 2001, kawasan konservasi yang telah ditunjuk sebanyak 1.077 unit dengan luas keseluruhan sekitar 56,87 juta Ha, yang terdiri dari  Taman Nasional sebanyak 40 unit dengan luas 14,82 juta Ha; Cagar Alam sebanyak 173 unit dengan luas 2,67 juta Ha; Suaka Margasatwa sebanyak 50 unit dengan luas 3,62 juta Ha; Taman Wisata Alam sebanyak 92 unit dengan luas 973,89 ribu Ha; Taman Hutan Rakyat sebanyak 16 unit dengan luas 257,49 ribu Ha; Taman Buru sebanyak 14 unit dengan luas 239,39 ribu Ha; dan Hutan Lindung sebanyak 692 unit dengan luas 34,31 juta Ha.
Dalam rangka pengamanan kawasan konservasi lahan basah, selama tahun 2000 telah dilakukan sosialisasi penataan batas Taman Nasional Teluk Cendrawasih yang berada pada wilayah administratif Kabupaten Manokwari. Demikian pula upaya pelestarian keanekaragaman hayati darat dan laut, perlindungan ekosistem yang rentan terhadap kerusakan, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati terus dikembangkan. Untuk mendukung strategi tersebut beberapa propinsi telah menyusun strategi pengelolaan keanekaragaman hayati untuk wilayahnya.
Selanjutnya, beberapa langkah strategis juga telah dilakukan dalam rangka menanggulangi penebangan kayu ilegal dalam tahun 2000, yaitu melakukan operasi intelijen terhadap kegiatan penebangan kayu ilegal dan melaksanakan operasi represif di wilayah rawan penebangan dan peredaran hasil hutan ilegal secara terpadu, sampai dengan bulan Agustus 2001 telah ditangani 516 kasus dengan 360 tersangka, dan ditemukannya barang bukti yaitu sitaan 54,28 ribu meter kubik kayu olahan dan bulat serta temuan 26,86 ribu meter kubik kayu olahan dan bulat. Selanjutnya juga dilaksanakan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting
Demikian pula dalam penyelenggaraan Ministerial Conference on Forest Law Enforcement and Governance di Bali tanggal 11–13 September 2001, pertemuan tersebut  telah mengeluarkan deklarasi dan komitmen untuk memberantas penebangan liar, perdagangan kayu liar dan kejahatan kehutanan lainnya.
Disamping itu, juga telah dilakukan langkah preventif melalui pendekatan sosial budaya kepada masyarakat di sekitar hutan, dengan berbagai kegiatan seperti program hutan kemasyarakatan, padat karya, hutan rakyat, HPH bina desa, penempatan pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan Indonesia – Malaysia, dan patroli bersama secara rutin oleh aparat keamanan dan masyarakat. Penindakan hukum terhadap para pelaku penebangan kayu ilegal juga telah dilakukan. Dalam tahun 2000 telah dilakukan pengusutan terhadap 12 orang yang diduga kuat melakukan tindakan penebangan kayu ilegal di berbagai propinsi.
Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan tahun 2000 dan 2001 yang terjadi masing-masing mencakup areal seluas 29,6 ribu Ha dan 14,6 ribu Ha. Dalam rangka menanggulangi kebakaran hutan dan lahan tersebut, langkah-langkah yang telah dilakukan adalah: memberikan peringatan dini terhadap para pihak di wilayah rawan kebakaran yang sudah diaplikasikan di Kalimantan Timur; memantau dan mensosialisasikan data titik api melalui berbagai sarana komunikasi di Sumatera dan Kalimantan; meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan lahan serta antisipasi musim kemarau panjang melalui kampanye dan dialog; dan pemantapan brigade kebakaran hutan dengan dilengkapinya sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.
Disamping itu, pada tahun 2000 juga telah dilakukan pelatihan tenaga terampil pemadam kebakaran sebanyak 16.680 orang, instruktur nasional sebanyak 58 orang, dan master trainers sebanyak 305 orang. Dalam rangka pemenuhan sarana dan prasarana telah disediakan peralatan tangan, semi mekanik dan mekanik, dan dua unit fire fighting kits; pendirian stasiun penanggulangan kebakaran hutan di 10 lokasi Dinas Kehutanan dan di lima Taman Nasional yaitu Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Gunung Palung, dan di Taman Nasional Bukit 30. Selanjutnya, telah pula dilakukan penyempurnaan prosedur tetap Fire Suppression Mobilisation (FSM) di Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. 
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dilakukan melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman industri (HTI), penghijauan, serta pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Sampai dengan Juni 2001, kawasan hutan produksi untuk Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) telah mencapai 217 unit, dengan areal kerja seluas 8,64 juta Ha, yang terdiri dari HTI Pulp sebanyak 27 unit (4,85 juta Ha), HTI Kayu Perkakas sebanyak 89 unit (2,5 ribu Ha), HTI Trans sebanyak 68 unit (820,23 Ha) dan HTI campuran/perkebunan sebanyak 33 unit (450,69 Ha).
Selanjutnya, kegiatan penghijauan yang pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, dalam tahun 2000 dilakukan di 25 propinsi yang mencakup 220 Dati II. Hasil yang dilakukan meliputi penanaman input langsung 42,43 ribu Ha, pemeliharaan pertama 12,38 ribu Ha, penghijauan areal dampak 445,71 Ha, dan penghijauan swadaya 23,47 ribu Ha. Dalam rangka kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis tersebut juga telah dilakukan rehabilitasi hutan bakau yang rusak yang mencakup areal seluas 3,12 ribu Ha, dan bantuan bibit untuk areal dampak sebanyak 898 ribu batang; serta penyelenggaraan Kredit Usaha Tani Konservasi (KUK DAS). Dalam rangka pembangunan hutan kemasyarakatan telah dikeluarkan izin bagi kelompok masyarakat yang tergabung dalam wadah koperasi, sebanyak 19 koperasi dengan areal seluas 58,87 ribu Ha.
Untuk mendukung penyediaan pangan lokal dan pemanfaatan lahan-lahan kosong, telah dikembangkan hutan cadangan pangan di beberapa daerah. Dalam tahun 2000 pengembangan usaha hutan cadangan pangan dan tanaman obat dilakukan melalui penyediaan bibit siap tanam sebanyak 6,84 juta batang di 26 propinsi; pelaksanaan kegiatan pemanfaatan lahan dibawah tegakan hutan melalui usaha tani wanafarma seluas 4.950 Ha di 16 propinsi; dan pelaksanaan pelatihan kepada petani dibidang hutan cadangan pangan dan tanaman obat sebanyak 780 orang di 26 propinsi.
            Selanjutnya, kegiatan yang telah dilakukan berkaitan dengan keanekaragaman dan keamanan hayati di antaranya adalah penyiapan berbagai perangkat kebijakan dalam hal akses dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik, tindak lanjut protokol keamanan hayati (Cartagena Protocol) serta pengendalian invasi jenis asing ke Indonesia. Sejalan dengan itu, dalam tahun 2000 telah dilakukan penyusunan sejumlah peraturan, seperti: (1) Pedoman Teknis Pengendalian Pemanfaatan Spesies Hasil Rekayasa Genetik; (2) Pedoman Teknis Pengendalian dan Pemulihan Kerusakan Ekosistem Strategis; (3) Pedoman Teknis Pengendalian Penurunan dan Pemulihan Populasi Elang Jawa, Buaya dan Rusa; (4) Pedoman Teknis Pengendalian Penurunan dan Pemulihan Populasi Cendana, Tengkawang dan Bambu. Selanjutnya, telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa.       

5.3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, kegiatan industri perkotaan maupun domestik, serta transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan.
            Dalam upaya pengendalian pencemaran air telah dilakukan langkah-langkah koordinasi untuk menyusun Rencana Induk PROKASIH 2005; Pedoman Penyusunan Program Kerja Daerah PROKASIH 2005; masukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air; menyusun Panduan Kerja Teknis Kegiatan PROKASIH di daerah; dan memberikan dukungan dan bimbingan teknis ke 17 propinsi, terutama untuk pengolahan data.
Pada tahun 2000 telah diadakan kegiatan pemantauan ekosistem bumi khususnya kegiatan pemantauan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mencegah perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Kegiatan tersebut termasuk pemantauan kondisi terumbu karang di Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi; kondisi hutan bakau di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Dalam rangka penyelamatan lingkungan dari limbah radioaktif, telah diadakan upaya pengawasan langsung terhadap limbah radioaktif rumah sakit, fasilitas kesehatan dan industri, serta penyusunan data dasar pengawasan keselamatan radiasi.
Dalam rangka pengendalian pencemaran limbah domestik dan perkotaan serta limbah pertanian dan perkebunan telah dilakukan upaya memperbaiki konsep Pedoman Umum dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Evaluasi Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan, menyusun Pedoman Umum, Pedoman Pelaksanaan, Kriteria Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan di kawasan perkotaan; dan melakukan uji-coba sistem self-assesment untuk kota-kota Surabaya, Bukittinggi, Denpasar, Bogor, Balikpapan dan Samarinda terutama untuk Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan dalam program Adipura.
Selanjutnya, pengendalian pencemaran udara telah dilakukan peningkatan Program Langit Biru dari sumber bergerak (transportasi) dan tidak bergerak (industri). Pengurangan pencemaran timbal dari kendaraan bermotor terus diupayakan dan untuk wilayah DKI Jakarta pemasokan bensin tanpa timbal diberlakukan pada 1 Juli 2001 sedangkan untuk wilayah lainnya pada tahun 2003. Dalam upaya pengendalian pencemaran udara dari sumber tidak bergerak telah dilakukan pemantauan terhadap persyaratan teknis alat pengendalian pencemaran udara bagi industri, pengukuran mutu emisi cerobong industri dan pemantauan kualitas udara ambien di 10 kota besar. Selain itu juga memberi masukan teknis untuk rancangan baku mutu emisi untuk industri baru (minyak dan gas, pabrik pupuk fosfat, urea, amonium sulfat, asam fosfat serta majemuk-NPK), dan memberi masukan teknis untuk rancangan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Dalam kaitan dengan emisi gas rumah kaca, terdapat dokumen strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Gas Rumah Kaca terhadap lingkungan di Indonesia dan saat ini sedang dilakukan studi strategi nasional Clean Development Mechanism (CDM) serta alternatif-alternatif penggunaan bahan bakar selain fosil. Khusus deposisi asam telah dilakukan persiapan Jaringan Kerjasama Pemantauan Deposisi Asam Asia Timur (EANET=East Asia Network on Acid Deposition Monitoring). Untuk mengganti bahan perusak lapisan ozon (BPO) telah dimanfaatkan dana hibah dari Multilateral Fund (MF), dan terus dilakukan pengawasan penggunaan CFC tanpa izin. Sebagai bagian dari penerapan pembangunan berkelanjutan, Agenda 21 sektoral untuk bidang pertambangan, energi, permukiman dan pariwisata di tingkat nasional telah diluncurkan dan pada saat ini dalam proses sosialisasi. Beberapa daerah telah memiliki Agenda 21 lokal dan pemerintah terus melakukan bimbingan teknis penyusunan Agenda 21 ini.
Untuk mendukung upaya minimasi limbah telah dilakukan penggunaan prinsip-prinsip pencegahan melalui teknologi produksi bersih dan daur ulang. Penerapan produksi bersih telah dilakukan terutama untuk agroindustri melalui penyelenggaraan proyek percontohan di beberapa industri gula sebagai demo proyek, serta penyusunan buku panduan pelaksanaannya. Dalam rangka mendorong pemanfaatan limbah melalui daur ulang telah dilakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam kegiatan swakelola yang menerapkan prinsip 4R (reuse, recovery, reduce dan recycle).
Dalam hal pengintegrasian biaya lingkungan terhadap biaya produksi telah dilakukan kegiatan sosialisasi internalisasi aspek lingkungan dalam perdagangan terutama mengantisipasi diberlakukannya AFTA tahun 2003, penggunaan pendekatan instrumen ekonomi, berupa retribusi, pajak atau denda bagi penghasil limbah yang didasarkan pada prinsip pencemar bayar (poluter pays principle). Selain itu, juga sedang dilakukan kajian penerapan mekanisme instrumen pasar untuk mendukung penggunaan produk hijau.
           
5.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, mengembangkan kelembagaan serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan.
            Dalam aspek kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup tersebut, telah dilakukan pembentukan dan penguatan kelembagaan lingkungan daerah serta pengembangan mekanisme kelembagaan lingkungan hidup lintas sektoral. Hingga Agustus 2000 telah terbentuk 26 Bapedalda propinsi dan 163 Bapedalda kabupaten/kota. Kelembagaan Bapedalda propinsi telah diperkuat dengan laboratorium lingkungan yang telah diadakan di 26 propinsi. Selain itu telah dilakukan peningkatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan dan pendidikan sumber daya manusia aparatur pemerintah pengelola lingkungan hidup.
            Penyusunan rancangan undang-undang (RUU) pengelolaan sumber daya alam berikut perangkat peraturannya, pada saat ini telah sampai pada tahap penyelesaian Naskah Akademis. Untuk mendorong peran serta masyarakat dalam penyusunan RUU tersebut, sejak awal tahap inisiasi telah dikembangkan forum konsultasi publik baik secara nasional maupun lokal yang keseluruhannya akan diselesaikan dalam tahun 2001.
Demikian pula dalam penyusunan rancangan RUU Pengelolaan Kawasan Pesisir, pada saat ini sedang dalam proses konsultasi publik, dan untuk putaran pertama telah dilakukan di Balikpapan, Manado, dan Jakarta. Disamping itu, untuk melengkapi peraturan yang lebih operasional terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, telah dikeluarkan Keputusan Meneg LH Nomor 40, 41, dan 42 Tahun 2000 sebagai pedoman pelaksanaan di lapangan.
Selain itu, berkaitan dengan penebangan kayu ilegal maka telah diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting. Untuk melindungi kepunahan kayu ramin (gonystylus spp), telah dihentikan sementara kegiatan penebangan dan perdagangan kayu ramin, hal itu telah dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 127/Kpts-V/2001 tanggal 11 April 2001. Pedoman Umum Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional  yang dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah untuk membangun masyarakat yang berada di daerah penyangga, juga telah selesai disusun.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip keadilan dan penerapan disinsentif bagi penggunaan sumber daya hutan, telah dikembangkan  tarif Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) Progresif untuk areal HPH dengan luas lebih dari 100 ribu Ha.
Dalam rangka pelaksanaan program-program sukarela, seperti sistem manajemen dan kinerja lingkungan (ISO-14000 dan ekolabeling) bagi perusahaan industri dan jasa agar dapat bersaing di tingkat internasional, telah dilakukan penyusunan rancangan Pedoman Sertifikasi Ekolabel bagi lembaga sertifikasi, serta rancangan Pembentukan Komite Ekolabel Indonesia yang telah sampai pada tahap revisi di tingkat Badan Standardisasi Nasional. Dalam pengembangan system manajemen lingkungan telah dihimpun data dasar terhadap 71 perusahaan yang telah mendapat sertifikat ISO 14001, 12 lembaga sertifikasi ISO 14001 yang beroperasi di Indonesia, 30 personel auditor lingkungan baik yang bersertifikat maupun yang hanya mengikuti kursus terakreditasi. Disamping itu, telah dihimpun 116 SNI (Standar Nasional Indonesia) yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yakni SNI Udara, pengujian kualitas air sumber dan limbah cair, kesehatan dan keselamatan kerja, kecelakaan, alat kebakaran, perlindungan diri dan sampah, sistem manajemen lingkungan dan audit.
Berkaitan dengan penanganan kasus lingkungan hidup, pada saat ini telah dikelola dan diproses 500 pengaduan atau pelaporan kasus lingkungan dari masyarakat. Dari kasus-kasus tersebut telah ditindak-lanjuti sebanyak 80 persen diteruskan kepada daerah bersangkutan, dan sisanya ditangani oleh pusat. Di samping itu telah dilakukan penyusunan dan pembahasan berbagai pedoman penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan meliputi pembentukan lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan; pembentukan sekretariat lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan; pengangkatan dan pemberhentian arbiter dan mediator/pihak ketiga lainnya; serta pedoman tata cara permohonan pengaduan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan.
Sementara itu, untuk menekan kerugian negara yang disebabkan oleh pelanggaran kapal penangkap ikan asing yang berbendera Indonesia, maka telah dibentuk Tim Terpadu Penanggulangan Penyalahgunaan Perizinan Usaha Perikanan, yang keanggotaannya terdiri dari berbagai instansi. Selanjutnya, untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian kapal-kapal ikan juga telah direncanakan pengembangan Vessel Monitoring System/Monitoring Controlling and Surveillance (VMS/MCS). Dalam rangka kerjasama regional untuk pencegahan penangkapan ikan secara ilegal serta menegakkan ketaatan terhadap ketentuan pengelolaan perikanan serta sistem pelaporan, pada tanggal 1 Maret 2001, Indonesia telah ikut menyepakati International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.   

5.5. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam pelaksanaan program ini pada tahun 2000 adalah: peningkatan jumlah dan kualitas anggota masyarakat yang peduli dan mampu terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan; serta pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, adat, dan budaya.
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal telah diselenggarakan dan difasilitasi berbagai pelatihan untuk meningkatkan kepedulian lingkungan di kalangan masyarakat, seperti pelatihan pengendalian kerusakan hutan bakau bagi LSM dari 8 propinsi di Sumatera; serta pelatihan lingkungan hidup untuk para guru, mubaligh dan mubalighah di Riau dan Sulawesi. Disamping itu, juga telah disiapkan modul-modul pendidikan dan rencana pendidikan lingkungan hidup untuk 1.200 sekolah kejuruan negeri beserta kegiatan monitoring, evaluasi pelaksanaan, serta penyuluhan bagi guru-guru Sekolah Menengah Kejuruan.
Sejalan dengan upaya peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam bidang kehutanan telah dikembangkan kredit usaha hutan rakyat (KUHR) kepada masyarakat. Sampai tahun 2000 jumlah dana kredit yang telah disalurkan dalam rangka pengembangan hutan rakyat pola kemitraan sebesar Rp 107,6 milyar untuk areal seluas 46,7 ribu Ha dengan jumlah petani peserta sebanyak 45 ribu orang. Disamping itu, di beberapa daerah penyangga taman nasional telah dikembangkan program-program pemberdayaan masyarakat agar mereka mempunyai alternatif pendapatan yang diselaraskan dengan kelestarian kawasan konservasi yang ada.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kawasan konservasi, dilakukan kegiatan pengembangan bina cinta alam bagi para pemuda kader konservasi dengan tujuan agar mereka dapat menyampaikan pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kepada masyarakat. Pada tahun 2000 telah dilaksanakan pembentukan kader konservasi sebanyak 92 orang di Jawa Tengah dan Jawa Barat; kader konservasi tingkat pemula sebanyak 115 orang di Kepulauan Seribu dan Nusa Tenggara Barat; kader konservasi tingkat madya sebanyak 60 orang di Sulawesi Selatan; kader konservasi dan kelompok pecinta alam sebanyak 145 orang di Taman Nasional Ujung Kulon dan Nusa Tenggara Barat; pembinaan generasi muda Saka Wana Bakti sebanyak 40 orang di Sulawesi Selatan; pendidikan pembentukan kelompok Bina Wisata Alam di Pulau Datok sebanyak 30 orang di Taman Nasional Gunung Palung-Kalimantan Barat; pendidikan lingkungan bagi guru dan siswa SLTP dan SMU sebanyak 126 orang di Taman Nasional Gunung Palung-Kalimantan Barat.
Dalam pengembangan pola kemitraan dengan lembaga masyarakat dilakukan perintisan pola kemitraan usaha kecil dan menengah untuk memanfaatkan bahan baku dan produk ramah lingkungan, pengembangan kewirausahaan masyarakat rentan melalui introduksi kegiatan usaha ramah lingkungan dan pemanfaatan limbah pertanian dan hasil hutan non kayu, serta perumusan bahan-bahan kebijakan untuk perlindungan dan pemberdayaan masyarakat rentan khususnya Komunitas Adat Terpencil (KAT). Untuk mempertahankan kearifan tradisional dalam melestarikan lingkungan telah dilakukan inventarisasi dan dokumentasi dalam wujud buku "Bunga Rampai Kearifan Lingkungan" dari berbagai kategori masyarakat yaitu pesisir, pedalaman dan pertanian menetap. Untuk meningkatkan peran perempuan dan kesetaraan gender, upaya yang dilakukan adalah penyebarluasan informasi peran, hak, dan kesempatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kepada masyarakat lokal.

6.Tindak Lanjut yang Diperlukan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang sumber daya alam yang telah ditetapkan dan sekaligus mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi yang ditempuh diarahkan pada upaya: mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui; menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan; mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap; memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; serta memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu.
Strategi tersebut dijabarkan kedalam langkah-langkah tindak lanjut berupa program-program pembangunan yang berisikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun mendatang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain ditujukan untuk mendukung upaya pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui: penyempurnaan data potensi sumber daya alam; pembentukan mekanisme jaringan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah; pengembangan sistem informasi dan data monitoring kualitas lingkungan hidup yang sahih dan berkesinambungan; pengukuhan kawasan hutan dan penetapan kawasan-kawasan tertentu yang dilindungi.
Kegiatan penyempurnaan data dan informasi tersebut dibutuhkan untuk mendukung upaya peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam. Untuk itu diperlukan: penyusunan rencana pengelolaan sumber daya hutan dan air berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas dan tata ruang; penyediaan insentif untuk daerah konservasi sumber daya alam dan penyusunan peraturan disinsentif dalam bentuk tarif dan user fee bagi penggunaan sumber daya alam yang tidak terkendali; penyusunan mekanisme pemeliharaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan swasta; pemulihan lingkungan hidup yang kritis akibat kerusakan ekosistem.
            Dalam rangka mendukung program pencegahan dan pengendalian kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup akan dilakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan; pengembangan teknologi pengelolaan limbah rumah tangga dan komunal; pengembangan dan sosialisasi teknologi produksi bersih; pengendalian pencemaran air, tanah, dan udara; pengawasan dan pengelolaan keselamatan radiasi dan limbah nuklir.
            Dalam bidang penataan kelembagaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, akan dilakukan langkah-langkah  yang bertujuan untuk mendukung upaya: penetapan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; penyusunan Undang-undang dan perangkat hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; pembinaan terhadap industri yang menerapkan standar barang dan/atau jasa (ISO-14000, ekolabeling dan hutan lestari) agar dapat bersaing di pasar global; penegakan hukum yang tegas dan konsisten dalam kasus pelanggaran ketentuan AMDAL, eksploitasi sumber daya alam tanpa izin, dan perusakan sumber daya alam lainnya.
Sementara itu, peningkatan peranan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup harus terus ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan akan diarahkan kepada upaya: peningkatan dan pengakuan atas peran dan kepemilikan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; penyusunan pedoman mekanisme konsultasi publik dalam penetapan kebijakan dan peraturan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat lokal dalam pengawasan pengelolaan sumber daya alam dan pengendalian kualitas lingkungan hidup.

7.Stressing Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sebagai kita ketahui, bhawa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam  Sumber daya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tak terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk modal alam (natural resources stock), seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, dll. atau dalam bentuk komoditas seperti kayu, rotan, mineral dan gas bumi, ikan, dll. terdapat merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
            Berdasarkan data hutan tropis (tropical rain forest) Indonesia adalah terluas kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia (Kantor MENLH, 1990; Nurjaya, 1993). Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) terkaya di dunia, yang melipufi 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis repril, 65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis terumbuhan tropis (More, 1994). Garis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Perairan yang luas menyediakan wadah yang nyaman bagi pertumbuhan populasi ikan. Potensi maksimum perikanan laut Indonesia berkisar antara 6,7 sampai 7,7 metrik ton. Terumbu karang dengan 70 genus yang ada merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar di dunia (Choi & Hutagalung, 1998). Demikian pula, sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah, bauksit, dll. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara (Kantor MENLH, 2000; Bachriadi, 1998).
            Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang demikian itu dipahami pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi (economic growth development), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara (state revenue), maka pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam.
          Tentunya dalam tahap implementasi kebijakan, tentunya menimbulkan implikasi.  Implikasi yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan tetapi pasti menirnbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas,, sumberdaya alam, yang meliputi : (a) laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali; (b) sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh limbah industri; (c) sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi areal pertambakan; (d) kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya.
Lahan-lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi & Huiagalung, 1998; More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).
Realitas yang terjadi bahwa, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa negara juga menimbulkan implika sosial dan budaya yang cukup memperihatinkan. Banyak konflik mengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau pemegang konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Kemiskinan juga mewarnai kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat di mana berlangsung kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Demikian pula, berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal mengiringi praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama tiga dekade terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992; Reppeto & Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya, 2000).
             Jika kita dicermati secara substansial, persoalan-persoalan yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state-based resource management), mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia.
Cara pandang seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya, dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources loss)', dari segi sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas sumberdaya alam (ecological loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2000).
Berdasarkan perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari anutan cara pandang seperti di atas secara jelas dapat dicermati dari substansi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti undang-undang agraria (1960), undang-undang pertambangan (1967), undang-undang pengairan (1974), undang-undang perikanan (1985), undang-undang konservasi sumber daya alam hayati (1990), dan undang-undang kehutanan (1999), yang diproduk pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 3 dasa warsa terakhir ini.
             Kajian ini mencoba untuk mengkaji secara kritis karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum dalam pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip global pengelolaan sumberdaya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan hukum nasional untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001  tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam . 

8.Karakteristik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Sumber Daya Alam
    Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut:
  1. Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara;
  2. Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
  3. Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
  4. Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
  5. Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
  6. Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
    Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan membuat undang-undang baru dalam mengelola sumber daya alam, namun demikian, persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut:
  1. Pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);
  2. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemali; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif;
  3. Hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh;
  4. Ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas; dan
  5. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik  dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.
             Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsin penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti : konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.
            Oleh karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi mengancam keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good environmental governance, adalah membentuk undang-undang pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-pnnsip keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fiingsi sumber daya alam.
               Landasan konstitusional untuk mewujudkan agenda nasional membentuk undang-undang pengelolaan sumber daya alam pada dasarnya adalah :
  1. Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan .............".
  2. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal 6 yang pada pokoknya menyatakan: "Menugaskan kepada DPR RI bersama Presiden untuk mengatur pelaksanaan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR RI ini".
           
9.Prinsip –Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Alam
Seiring dengan berkembangnya isu hak asasi manusia, demokrasi,  lingkungan hidup, dan kesetaraan gender dalam pergaulan hidup dunia internasional, maka sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran pemenntah dan kalangan organisasi non pemerintah (ornop) di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, untuk meningkatkan manajemen pengeiolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
            Prinsip keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara berkelanjutan, agar dapat  memenuhi kepentingan pelestarian dan keberlanjutan fiugsi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dan   juga kepentingan inter-antar generasi maupun untuk keadilan gender.
            Prinsip demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus mengakomodasi kewenangan pengelolaan antar pusat dan daerah, akses informasi bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, partisipasi semua pihak terkait (stakeholders), transparansi dan tidak diskriminatif dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik (public acountability), koordinasi dan keterpaduan antar sektor, penyelesaian konflik secara bijaksana, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta pengakuan atas kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam pengelolaan sumber daya alam.
             Dalam kaitan ini, akses infonnasi (information access) memberi jaminan kepada masyarakat untuk memberi kepada dan menerima informasi dari pemerintah mengenai kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Transparansi (transparancy) memberi jaminan adanya keterbukaan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan serta membuka ruang bagi peningkatan partisipasi dan pengawasan publik dalam pengelolaan sumber daya alam. Partisipasi publik yang sejati (genuine public participation) memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengambil bagian secara aktif, mulai dari tahapan idenrifikasi dan inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai kegiatan evaluasi implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
            Akuntabilitas publik (public accountability) menegaskan pentingnya arti pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelola sumber daya alam kepada rakyat, khususnya pada tahapan perencanaan dan implementasi kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, atas segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Koordinasi dan keterpaduan antar sektor memberi ruang bagi pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi dengan saling memperhatikan kepentingan antar sektor, sehingga dapat dibangun hubungan dan kerjasama yang saling mendukung, dengan menempatkan kepentingan kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam di atas kepentingan sektoral.
           Desentralisasi    merujuk    pada    penyerahan    kewenangan    dan  tanggungjawab  pengelolaan  sumber  daya alam oleh pemerintah kepada daerah  otonom,  sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing daerah otonom.
Perlindungan hak-hak asasi manusia dan pengakuan atas kemajemukan hukum memberi jaminan bagi pengakuan dan perlindungan pemerintah atas hak-hak masyarakat adat/lokal serta kemajemukan sistem hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan, prinsip keberlanjutan fungsi sumber daya alam adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam, baik manfaat bagi negara maupun masyarakat secara seimbang dan proporsional serta manfaat bagi generasi sekarang dan mendatang secara berkelanjutan.
             Jika dicermati dari karakteristik peraruran perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat dikritisi bahwa prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil, demokratis, dan berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan diintegrasikan dalam kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber daya alam yang ada.
             Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan masih bercorak sentralisrik dengan mengacu pada manajemen yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management). mengedepankan pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi dengan mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan sumber daya alam demi pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic oriented), mengutamakan kepentingan pemodal-pemodal besar (capital oriented), hak-hak asasi masyarakat belum diakui dan dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak mengatur secara tegas mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber daya alam, dan juga mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 

10.Rekonstruksi Ulang UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
    UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa "seluruh bumi, air dan ruang angkasa lermasuk kekavaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan niang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan national".
              Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan, apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan kesalingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah membenkan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat 2 UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
               UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada safu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasai 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam (agraria) menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam (agrana) dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di pasal 15 bahwa "memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-liap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah. "
             Namun demikian, realitas selama ini  kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde reformasi ternyata masih  bercorak sentralistik dan telah menimbulkan dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real astate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah diterlantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu.
Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/Iokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
             UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
              Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dan kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dan rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal.
Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
                Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas. kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya agraria yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
            Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan. hak guna usaha. hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.
               UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara ricni tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemenntah daerah adalah pelaksanaan dan" tugas pembantuan.
    Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran srrategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.
              Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah.
UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA. 

Penutup.
             Indonesia adalah bagian dari komunitas global yang memiliki kewajiban untuk mengkonservasi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidupnya, selain untuk menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya alam bagi generasi sekarang maupun mendatang dan menjaga kelangsungan hidup bangsa, juga untuk menjaga kestabilan iklim dan keberlanjutan lingkungan global, seiring dengan runtutan perkembangan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang mengedepankan aspek-aspek keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan.
              Dengan demikian, kebijakan pengelolaan sumber daya alam perlu memperhatikan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip seperti berikut:
(1) Prinsip pertama : sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi;
(2) Prinsip kedua : sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan demokratis di kalangan inter maupun antar generasi dalam kesetaraan gender:
(3) Prinsip ketiga : pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam harus mampu memciptakan kohesivitas masvarakat di berbagai lapisan dan kelompok serta mampu melindungi dan mempertahankan eksistensi budaya lokal. termasuk sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal;
(4) Prinsip keetnpat : pengelolaan sumber daya alam hanis dilakukan dengan pendekatan sistem (ecosystem) untuk mencegah terjadinya praktik-praktik pengelolaan yang bersifat parsial, ego-sektoral atau ego-daerah, dan tidak terkoordinasi;
(5) Prinsip kelima : kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan sumher dava alam harus bersifat spesifik lokal ^dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem dan masyarakat setempat.
             Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain terkait dan saling mempengaruhi, sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dimaksudkan untuk menggapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan, sesuai dengan amanat Konstitusi 1945, dengan berbasis pada kemajemukan sosial-budaya dan keuruhan bangsa Indonesia. Inti dari prinsip-prinsip di atas : kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak berorientasi pada eksploitasi (use-oriented), tetapi mengacu pada kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya alam (sustainable resource-oriented); tidak bercorak sentralistik tetapi bersifat desentralisasi; ridak mengedepankan pendekatan sektoral tetapi menggunakan pendekatan holistik; memberi ruang bagi partisipasi pubjik; pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat; dan memberi ruang hidup bagi kebudayaan lokal termasuk kemajemukan hukum (legal pluralism) yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat.
              Dalam perspektif otonomi daerah, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam di atas mencerminkan adanya nuansa ke-otonomi-an masyarakat untuk mengelola sumber daya alam di daerah. Karena itu, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam esensi atau makna sesungguhnya dari kebijakan otonomi daerah seperti diatur dalam substansi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bukan hanya sekadar pengalihan wewenang urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi lebih dari itu adalah penyerahan otonomi pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat di daerah, terutama masyarakat adat/lokal sebagai manifestasi dari paradigma pengelolaan sumber daya yang berbasis masyarakat (community-hased resource management).
Dalam konteks ini, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berperan sebagai administrator dan fasilitator yang berkewajiban untuk :
1.      Mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup;
2.      Menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya aiam;
3.      Menghormati dan melindungi modal sosial (social capital), seperti etika sosiai, kearifan liugkungan, rehgi, sistem teknologi, maupun pranata-pranata sosial di kalangan masyarakat; dan
4.      Mengakui dan mengakomodasi adanya kemajemukan hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
             Dengan demikian, untuk mengakhiri atau setidak-tidaknya mengeliminasi praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan bernuansa fragmentaris, dalam rangka mewujudkan tata penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup yang baik (good environment governance), dan dalam konteks pembangunan hukum nasional, maka pertama-tama haras dilakukan perubahan paradigma politik hukum nasional yang semula bercorak sentralisme hukum (legal centralism) ke anutan ideologi pluralisme hukum (legal pluralism), sehingga memberi ruang secara proporsional bagi pengakuan terhadap kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat mengenai penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini karena :
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single   set  of state   institutions...........Legal pluralism is die fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and iti is a characteristic which can be predicted of a social group (Griffiths, 1986).
              Jika prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam seperti dimaksud pada uraian terdahulu diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka substansi peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus mengandung ciri-ciri seperti berikut:
  1. Orientasi pengelolaan ditujukan pada konservasi sumber daya alam (resources oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam bagi kepentingan inter dan antar generasi.
  2. Pendekatan yang digunakan bercorak komprehensif dan terintegrasi (komprehensif-integral), karena sumber daya alam merupakan satu kesatuan ekologi (ecosystem).
  3. Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam.
  4. Menganut ideologi pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat (community-based resource management).
  5. Menyediakan ruang bagi partisipasi publik yang sejati (genuine public participation) dan transparansi pembuatan kebijakan sebagai wujud demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam.
  6. Memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
  7. Menyerahkan wewenang pengelolaan sumber daya alam kepada daerah berdasarkan prinsip desentralisasi (decentralisation principle), sehingga pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah.
  8. Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pengelola sumber daya alam kepada publik (public accountability)
  9. Mengakui dan mengakomodasi secara utuh kemajemukan hukum (legal pluralism} pengelolaan sumber daya alam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
               Untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang adil, demokratis, dan berkelanjutan dengan karakteristik perundang-undangan yang mencerminkan prinsip-prinsip di atas, maka direkomendasikan tahapan-tahapan kegiatan akademik seperti berikut:
  1. Melakukan inventarisasi terhadap perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam;
  2. Melakukan kaji-ulang (review) atas perundang-undangan yang telah diinventarisasi dengan mengacu pada variabel-variabel keadilan, demokratis, dan berkelanjutan seperti diuraikan pada bagian terdahulu;
  3. Menyampaikan hasil kaji-ulang kepada pemerintah dan lembaga legislatif untuk melakukan revisi dan/atau penggantian terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan berkelanjutan;
  4. Menyusun background paper dan naskah akademik untuk penyusunan rancangan undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan stakeholders dari masyarakat adat, organisasi nonpemerintah, organisasi pelaku dunia usaha, pemerintah (daerah), dan perguruan tinggi;
  5. Menyampaikan naskah akademik dan rancangan undang-undang tersebut kepada pemerintah dan legislatif untuk memperoleh bahasan, persetujuan dan pengesahan inenjadi produk hukum nasional di bidang pengelolaan sumber daya alam.
  
DAFTAR PUSTAKA
Bachriadi, Diaiito (1998), Merana di Tengah Kelimpahan, Pelanggaran-pelanggaran HAM pada Industri Pertambangan di Indonesia, ELSAM, Jakarta.
Choi. Cong Kee dan Saut Hutagalung (1998), "Future Chalenge Fishiries Forum III : Country Report", Makalah dipresentasikan dalam Seminar The Role of Fisheries in The Second Long-Term Development Plan, Sukabumi, Indonesia.
Griffiths, John (1986), "What is Legal Pluralism", dalam Journal a/Legal Pluralism and i Unofficial Law No. 2471986, pp. 1-56.
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990), Laporan Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 1990, Jakarta.
Kantor   Menteri Negara Lingkungan Hidup (2001), Agenda 21 Sektoral, Agenda Pertambangan untuk Pengembangan Kualitas Hidup secara Berkelanjutan, Proyek Agenda 21 Sektoral Kerjasama Kantor MENLH dan UNDP, Jakarta.
Lynch. Owen J. and Kirk Talbott (1995), Balancing Act, Community-Based Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, World Resources Institute, USA.
More. White (1994), Tropical Rain Forest for The Fareast, Oxford University Press, USA.
Nurjaya. I Nyoman (Ed) (1993), Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta.
Nurjaya. I Nyoman (2000), "Proses Pemiskinan di Sektor Sumber Daya Alam; Perspektif Politik Hukum", dalam ICRAF & JAPAMA, Masyarakat Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam, Bogor.
Nurjaya. I Nyoman (2000), "Hukum Orang Rimbo Versus Hukum Negara : Kasus Tetumbang di Kawasan Hutan Bukit Dua Belas, Jambi", dalam E.K.M. Masinambow (Ed), Hukum dan Ksmajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 208-226.
Poffenberger, Mark (1990), Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in Southeast Asia, Ateneo de Manila University Press, The Philippines.
Poffenberger, Mark, Community and Forest Management in Southeast Asia, WG-CIFM, Berkeley, USA, 1999.


»»  Baca Selengkapnya...