Kamis, 08 Mei 2014

Paradigma Teks Hukum Negara Dalam Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah (Bagaimana Mengisi Jabatan Struktural di SKPD Pemerintah Daerah Secara Terbuka dan Tidak Diskriminatif Serta Partisipatif ?)


   Paradigma Teks Hukum Negara Dalam Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah
(Bagaimana Mengisi Jabatan Struktural di SKPD Pemerintah Daerah Secara Terbuka dan Tidak Diskriminatif Serta Partisipatif ?)

Oleh : Turiman Fachturahman Nur
HP 08125695414

I.  KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI
1          Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan bidang lainnya.
2           Sebagai wujud komitmen nasional untuk melakukan reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014. Makna reformasi birokrasi adalah: Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia; Pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad ke-21;
3             Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antarfungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit; Upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada, dan dengan upaya luar biasa; Upaya merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.
                Atas dasar makna tersebut, pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan dapat: Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; Menjadikan negara yang memiliki birokrasi yang bersih, mampu, dan melayani; Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; Meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi; Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
5            Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.
6.              Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya.
7.      Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.
8.      Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional.
9            Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia dari paradigma monolitik sentralistik ke paradigma demokrasi khususnya local democracy atau dari government yang menekankan pada otoritas ke governance yang bertumpu pada interaksi dan kompatibilitas (compatibility) di antara komponen-komponen yang ada, menuntut adanya perubahan dalam mindset kita, tidak saja di dalam formulasi kebijakan tetapi juga implementasinya (Utomo, 2006:83). Desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bingkai otonomi daerah merupakan peluang untuk melakukan reformasi pelayanan publik agar menjadi semakin berkualitas, serta dapat dinikmati oleh segala lapisan masyarakat.
               Kebijakan (policy) reformasi pelayanan publik itu haruslah diarahkan untuk mencermati dan membenahi berbagai kesalahan kebijakan di masa lalu maupun kebijakan yang berlaku sekarang serta mekanisme pengaturan kelembagaan yang ada (Wahab, 2000). Lebih spesifik, reformasi pelayanan publik itu harus menjangkau pula perubahan yang mendasar dalam rutinitas kerja administrasi, budaya birokrasi, dan prosedur kerja instansi/departemen guna memungkinkan dikembangkannya kepemimpinan yang berwatak kewirausahaan pada birokrasi publik (Schaehter, 1995: 534).
11. Hakikat otonomi daerah salah satunya adalah mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah otonom memiliki kewenangan yang luas yang sebelumnya berada di pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
12.  Di era globalisasi ini, tantangan yang dihadapi pemerintah dan pemerintah daerah semakin kompleks. Peningkatan mutu pelayanan publik harus terus dilakukan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Tuntutan politik yang berkembang di arus global sejak dasawarsa 1980-an memang menunjukkan bahwa pemberian pelayanan publik yang semakin baik pada sebagian besar rakyat merupakan salah satu tolok ukur bagi legitimasi kredibilitas dan sekaligus kapasitas politik pemerintah di mana pun. Penerapan Total Quality Management (TQM) merupakan salah satu upaya untuk menjawab tantangan tersebut (Sutopo & Suryanto, 2001:28). Standar-standar baku seperti berfokus pada pelanggan, obsesi terhadap mutu, kerjasama tim, perbaikan secara berkesinambungan serta adanya pendidikan dan pelatihan sebagai upaya belajar secara terus menerus adalah sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan publik.
13.  Dalam implementasi program-program pelayanan publik di bidang apapun, para administrator publik jelas tidak hanya dituntut untuk kian mampu bekerja secara lebih profesional, efisien, ekonomis dan efektif, tetapi juga mampu mengembangkan pendekatan-pendekatan yang lebih inovatif guna menjawab tantangan-tantangan baru yang timbul pada aras global yang, langsung atau tidak langsung, berpengaruh pada lingkungan tugasnya.
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini adalah penanganan bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahkan Untuk mendapatkan penghidupan yang layak di bidang kesehatan, amandemen kedua UUD 1945, Pasal 34 ayat (3) menetapkan : ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak”.
14.  Di era otonomi daerah amanat amandemen dimaksud, mempunyai makna penting bagi tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai sub sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap masyarakat, dan Pemerintah Daerah dituntut dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang layak, tanpa ada diskriminasi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Amanat ini harus diterjemahkan dan dijabarkan secara baik oleh sistem dan perangkat pemerintahan daerah. Untuk lebih menjamin penerapan hak-hak publik sebagaimana tersebut di atas, di era otonomi daerah UU No. 32 Tahun 2004 dalam Pasal 11, 13 dan 14 telah menjadikan penanganan bidang kesehatan sebagai urusan wajib/ tugas pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Merujuk Pasal 11 ayat (4), maka penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang layak dalam batas pelayanan minimal adalah merupakan tanggung jawab atau akuntabilitas yang harus diselenggarakan oleh daerah yang berpedoman pada PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Secara ringkas PP No. 65 Tahun 2005 memberikan rujukan bahwa SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal, terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar, baik Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota.
15.  Kaitannya dengan pelayanan kesehatan, maka SPM sangat dibutuhkan untuk menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di mana pun mereka berada. Oleh karena itu SPM merupakan bagian integral dari Pembangunan Kesehatan yang berkesinambungan, menyeluruh, terpadu sesuai Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional. Ini merupakan wujud keberpihakan pemerintah kepada kepentingan masyarakat serta jawaban dari tuntutan perkembangan global.
16.  Penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif menjadi tuntutan di era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan keterbatasan di segala bidang. Kenyataan tersebut menuntut profesionalisme sumber daya aparatur dalam pelaksanaan urusan pemerintahan. Yang terjadi saat ini profesionalisme yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud.
17.  Salah satu penyebab utamanya karena terjadi ketidaksesuaian antara kompetensi pegawai dengan jabatan yang didudukinya. Ketidaksesuaian itu disebabkan oleh komposisi keahlian atau keterampilan pegawai yang belum proporsional. Demikian pula, pendistribusian pegawai masih belum mengacu pada kebutuhan nyata organisasi, dalam arti belum didasarkan pada beban kerja organisasi. Menumpuknya pegawai di satu unit tanpa pekerjaan yang jelas dan kurangnya pegawai di unit lain merupakan kenyataan dari permasalahan tersebut. Di sisi lain pembentukan organisasi cenderung tidak berdasarkan kebutuhan nyata, dalam arti organisasi yang dibentuk terlalu besar sementara beban kerjanya kecil, sehingga pencapaian tujuan organisasi tidak efisien dan efektif.
18.  Dengan memperhatikan amanat reformasi birokrasi dan upaya nyata untuk meningkatkan kinerja aparatur maka beberapa daerah otonom berupaya menerapkan kebijakan promosi PNS atau pengisian lowongan jabatan berdasarkan merit sistem dan terbuka. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong PNS meningkatkan kapasitas, semangat yang kompetitif serta memberikan kesempatan yang sama (equity) kepada semua PNS untuk mengembangkan diri melalui jenjang-jenjang jabatan negeri utamanya jabatan struktural.
19.  Proses seleksi yang dilakukan secara obyektif akan menghasilkan unsur pimpinan yang berkompeten, responsif, memiliki kinerja dan integritas yang unggul, serta mampu merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya. Pada tahapan selanjutnya diharapkan akan terwujud peningkatan kinerja organisasi dan pelayanan kepada masyarakat selaku end user.
210  Secara normatif kebijakan promosi terbuka belum ada pedoman teknisnya dan relatif secara nasional merupakan kebijakan baru sehingga belum banyak instansi yang secara utuh melaksanakannya. Sehubungan dengan hal tersebut, agar kebijakan ini tepat dan dapat diterima oleh internal maupun eksternal birokrasi maka dalam perumusannya tetap memperhatikan kearifan lokal/budaya yang berlaku.
21.  Sehingga kebijakan promosi terbuka yang dikembangkan beberapa pemerintah daerah baik provinsi maupu kabupaten selain dilakukan melalui instrumen yang obyektif, melibatkan keaktifan PNS untuk berkompetisi juga mengedepankan kearifan lokal terutama penegasan bahwa jabatan adalah amanah/penugasan.
22.  Berdasarkan ketentuan normatif pembinaan karier PNS di dasarkan pada sistem karier dan prestasi kerja sehingga kebijakan promosi terbuka yang dilakukan Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota juga tetap mempertimbangkan kesinambungan karier PNS.
23.  Salah satu paradigma baru UU ASN (UU Nomor 5 Tahun 2014) adalah berkaitan dengan Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit, yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang poltik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umum, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN ini meliputi Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretariat jendral/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah/provinsi dan kabupaten/kota.
24.  Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing. “Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing,” bunyi Pasal 54 Ayat (4) UU ini. Manajemen PNS pada Instansi Pusat, menurut UU No. 5/2014 ini, dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
25.  Pasal 56 UU ini menegaskan, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan. Berdasarkan penyusunan kebutuhan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional. Adapun dalam hal pengadaan, ditegaskan Pasal 58 UU No.5/2014 ini, bahwa pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemeirntah, yang dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri PAN-RB. “Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS,” bunyi Pasal 58 Ayat (4) UU No. 5/2014 ini.
26.  Disebutkan dalam UU ini, setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS, dan setiap Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan.
27.   Berkaitan dengan Pangkat dan Jabatan Pasal 68 UU ini menegaskan, PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.\
28.  Penempatan pada jabatan disesuaikan dengan pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kulifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah, yang dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas. Sementara promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan. “Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi, yang dilakukan oleh Pejabat pembina Kepegawaian setelah mendapat pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah,” bunyi Pasal 72 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu.
29.   Berkaitan dengan Pasal 73 ayat (3) UU No 5 Tahun 2014 dalam kaitannya dengan salah satu proses dalam rangka percepatan reformasi birokrasi didaerah adalah terkait pengisian jabatan struktural di pemerintahan daerah, khususnya di daerah otonom Kabupaten/Kota.Pelaksanaan promosi karir PNS, penempatan PNS, Pemberhentian dan pengangkatan pejabat struktural selama ini masih dilakukan dengan mekanis badan pertimbangan jabatan dan pengangkatan (Baperjakat) yang ditetapkan oleh pembina kepegawaian daerah (Bupati/Walikota).Baperjakat ini diberikan kewenanangan untuk memberi pertimbangan kepada pembina kepegawaian terkait pengangkatan pejabat eselon II kebawah dan memberikan pertimbangan terhadap kenaikan pangkat PNS yang menduduki jabatan struktural. Berbagai problem muncul ketika penggantian dan pengangkatan pejabat struktural, penempatan PNS dan Promosi Karir PNS dilingkungan pemerintah daerah yang konon diwarnai nuansa politis dan berbagai kepentingan lainnya.
310.Agar terjaminnya kualitas dan obyektifitas hal tersebut, maka sangat diperlukan komitmen pemerintaha daerah untuk melakukan percepatan reformasi birokrasi didaerah, yakni salah satunya kebijakan daerah terkait mekanisme Promosi Jabatan Terbuka dan tidak diskriminatif atau lebih khusus dalam rangka promosi jabatan dan pengangkatan pejabat struktural secara terbuka, obyektif , berkualitas dan tidak diskriminatif dengan mengedepankan  merit system dan manajemen terbuka untuk mencapai “the right man on the right place”
31.  Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian sebagai dasar untuk  perancangan kebijakan daerah terkait mekanisme Promosi Jabatan Terbuka dan tidak diskriminatif

2.Identifikasi Permasalahan
            Patut disadari, bahwa  UU ASN merupakan produk hukum yang cukup kompleks dan membutuhkan penafsiran yang komprehensif.  Oleh karena itu dengan terbitnya UU ASN, yakni UU No 5 Tahun 2014 diharapkan.dalam penjabaran peraturan pelaksanaannya jangan sampai multitafsir, oleh karena itulah, dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar penafsiran UU ASN, yang nantinya termanifestasi dalam PP/Perpres-nya, tidak menjadi salah sasaran atau jauh dari harapan kolektif atas perubahan dalam manajemen SDM aparatur.
          Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kebijakan daerah terkait mekanisme Promosi Jabatan Terbuka dan tidak diskriminatif ? Untuk itu perlu dilakukan draf kebijakan daerah dengan  indikator sebagai berikut:
1.            Penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif menjadi tuntutan di era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan keterbatasan di segala bidang. Kenyataan tersebut menuntut profesionalisme sumber daya aparatur dalam pelaksanaan urusan pemerintahan. Yang terjadi saat ini profesionalisme yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud.
2.         Salah satu penyebab utamanya karena terjadi ketidaksesuaian antara kompetensi pegawai dengan jabatan yang didudukinya. Ketidaksesuaian itu disebabkan oleh komposisi keahlian atau keterampilan pegawai yang belum proporsional. Demikian pula, pendistribusian pegawai masih belum mengacu pada kebutuhan nyata organisasi, dalam arti belum didasarkan pada beban kerja organisasi. Menumpuknya pegawai di satu unit tanpa pekerjaan yang jelas dan kurangnya pegawai di unit lain merupakan kenyataan dari permasalahan tersebut. Di sisi lain pembentukan organisasi cenderung tidak berdasarkan kebutuhan nyata, dalam arti organisasi yang dibentuk terlalu besar sementara beban kerjanya kecil, sehingga pencapaian tujuan organisasi tidak efisien dan efektif.
3.         Dengan memperhatikan amanat reformasi birokrasi dan upaya nyata untuk meningkatkan kinerja aparatur maka beberapa daerah otonom berupaya menerapkan kebijakan promosi PNS atau pengisian lowongan jabatan berdasarkan merit sistem dan terbuka. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong PNS meningkatkan kapasitas, semangat yang kompetitif serta memberikan kesempatan yang sama (equity) kepada semua PNS untuk mengembangkan diri melalui jenjang-jenjang jabatan negeri utamanya jabatan struktural.
4.      Proses seleksi yang dilakukan secara obyektif akan menghasilkan unsur pimpinan yang berkompeten, responsif, memiliki kinerja dan integritas yang unggul, serta mampu merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya. Pada tahapan selanjutnya diharapkan akan terwujud peningkatan kinerja organisasi dan pelayanan kepada masyarakat selaku end user.
5.                  Secara normatif kebijakan promosi terbuka belum ada pedoman teknisnya dan relatif secara nasional merupakan kebijakan baru sehingga belum banyak instansi yang secara utuh melaksanakannya. Sehubungan dengan hal tersebut, agar kebijakan ini tepat dan dapat diterima oleh internal maupun eksternal birokrasi maka dalam perumusannya tetap memperhatikan kearifan lokal/budaya yang berlaku.
6.        Sehingga kebijakan promosi terbuka yang dikembangkan beberapa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten selain dilakukan melalui instrumen yang obyektif, melibatkan keaktifan PNS untuk berkompetisi juga mengedepankan kearifan lokal terutama penegasan bahwa jabatan adalah amanah/penugasan.
7.         Berdasarkan ketentuan normatif pembinaan karier PNS di dasarkan pada sistem karier dan prestasi kerja sehingga kebijakan promosi terbuka yang dilakukan Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota juga tetap mempertimbangkan kesinambungan karier PNS.
8.      Dengan indikator di atas dan mencermati hasil evaluasi beberapa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang telah melaksanakan promosi terbuka dan mempertimbangkan belum adanya petunjuk teknis, kesiapan PNS, instrumen seleksi, anggaran, pemetaan database kompetensi yang membutuhkan waktu serta untuk menjaga situasi dan kinerja birokrasi yang kondusif maka promosi terbuka di beberapa daerah  dilaksanakan secara bertahap, selektif dan terbuka serta Partisipatif
9.      Mencermati hasil evaluasi beberapa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang telah melaksanakan promosi terbuka dan mempertimbangkan belum adanya petunjuk teknis, kesiapan PNS, instrumen seleksi, anggaran, pemetaan database kompetensi yang membutuhkan waktu serta untuk menjaga situasi dan kinerja birokrasi yang kondusif maka promosi terbuka di beberapa daearah  dilaksanakan secara bertahap, selektif dan terbuka sebagai berikut :
a.      Bertahap
Mempertimbangkan jumlah jabatan struktural dan PNS di Pemerintah Daerah, maka promosi terbuka dilakukan secara bertahap berdasarkan skala prioritas. Untuk tahun 2013 sebagai upaya percepatan (quick wins) maka promosi terbuka akan dilaksanakan untuk jabatan midle manajer yaitu eselon III dan IV dengan model talent scouting. Jabatan struktural eselon III dan IV menjadi prioritas karena kondisi saat ini kekosongan jabatan di SKPD sudah cukup banyak dan memerlukan percepatan pengisiannya. Sedangkan untuk jabatan yang lainnya akan dilaksanakan pada tahapan berikutnya.

b.      Selektif
Ketentuan dasar dari promosi terbuka adalah untuk mengisi jabatan yang kosong dan merupakan jabatan yang bersifat strategis sehingga prosesnya dilakukan selektif melalui mutasi vertikal (promosi jabatan). Untuk mutasi dalam jabatan yang setara (mutasi horisontal) tidak dilakukan melalui promosi terbuka namun demikian dalam pertimbangan pengangkatannya tetap memperhatikan database yang terukur meliputi kompetensi (hasil assessment center), kinerja (e-kinerja), administrasi, kasus, kesehatan dll. Kebijakan promosi terbuka jabatan struktural eselon I dan II (top manager) yang kosong secara selektif akan dilakukan melalui pola one job one selection sedangkan jabatan eselon III dan IV (midle manager) akan dilakukan dengan melakukan pemetaan PNS potensial model talent scouting.
c.       Terbuka
Sesuai dengan amanat reformasi birokrasi penataan personil dilakukan secara terbuka, namun demikian pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan keterbukaan informasi publik yang diatur dalam Undang Undang nomor 14 tahun 2008.

   II.    ANALISIS JABATAN
1.      Arti Analisis Jabatan
Analisis jabatan mencakup kegiatan mengidentifikasi dan menggambarkan (dengan kata-kata) mengenai apa yang sedang terjadi dalam sebuah pekerjaan dan jabatan yang ada dalam sebuah organisasi.
1.1  Mengapa Analisis Jabatan Perlu Dilakukan?
Analisis jabatan adalah sebuah kegiatan atau proses manajemen yang paling sering dipahami secara keliru, dianggap rendah, dan seringkali dilaksanakan dengan asal-asalan. Richard L. Henderson,  Profesor si Amerika Serikat pun, di mana teknik-teknik manajemen modern banyak dikembangkan, kegiatan analisis jabatan ini baru dapat diperhatikan yang cukup besar dari manajemen, mahasiswa dan praktisi manajemen sumber daya manusia setelah diberlakukan Equal Employment Opporttunity Act (Undang-undang Anti Diskriminasi dalam Hubungan Kerja) yang cukup keras itu. Perusahaan yang menjadi khawatir rasa perlu sangan berhati-hati dalam menerapkan segala teknik dan metode dalam manajemen SDM. Terutama dalam proses seleksi untuk rekrutmen dan promosi, mereka merasa perlu mengundang semua keputusan mereka dengan data dan fakta yang pasti. Data dan fakta tentang sebuah pekerjaan termasuk persyaratannya harus dihasilkan melalui sebuah yang disebut Analisis Jabatan.
1.2  Bidang-bidang dalam Manajemen yang Dapat Memanfaatkan Hasil Analisis Jabatan
Bidang dan program yang mutlak perlu memanfaatkan hasil Analisis jabatan adalah sebagai berikut:
1.2.1    Rancangan Bangunan Organisasi dan Pekerjaan/Jabatan
Karena analisis jabatan juga meliputi pekerjaan penelitian atau audit atas lokasi tuga, pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab, jenjang komunikasidan pengawasan, maupun penentuan mana pekerjaan/tugas yang sifatnya core dan esensial dalam struktur organisasi.
1.2.2        Bimbingan dan Pengawasan
Hasil analisis jabatan yang disajikan dalam bentuk sebuah dokumen tertulis yang disebut ”Uraian Jabatan” (Job Description) akan membantu memperoleh gambaran yang jelas tentang apa kontribusi dari setiap pekerjaan / jabatan pada pencapaian tujuan organisasi.
1.2.3        Rekrutmen
Hasil analisis jabatan akan sangat membantu petugas rekrutmen dalam melaksanakan seleksi dengan tepat dan benar, sehingga hanya orang yang tepat yang akan diperoleh. Keluhan dan protes atau tuduhan bahwa proses seleksi penuh dengan  praktek nepotisme dan kecurangan, misalnya, akan jauh berkurang.
         1.2.4    Penilaian Prestasi Kerja
Analisis jabatan yang sempurna seharusnya mencakup standar prestasi yang harus dicapai oleh pemegang jabatan untuk setiap tugas dan tanggung jawab yang diambil bagian dari pekerjaan ini.
         1.2.5    Penggajian/Imbalan
Telah disinggung pada bagian awal bahwa sebagian terbesar perusahaan di Indonesia justru hanya melakukan analisis jabatan pada saat akan menata ulang sistem penggajian mereka. Analisis jabatan memang diperlukan karena hasilnya akan digunakan dalam proses penilaian jabatan ( Job Evaluation) untuk mengukur bobot dan nilai jabatan.
         1.2.6    Program-program lain
Masih ada progra-program lain dalam bidang manajemen SDM yang dapat memanfaatkan hasil analisis jabatan, antara lain: program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan penentuan kempatan kerja untuk panyandang cacat.

3.      Merencanakan Analisis Jabatan dan Tahap Pelaksanaannya
      Ada beberapa tahap yang perlu diikuti bila pelaksanaan Analisis Jabatan ingin dilaksanakan dengan benar dan sukses:
         3.1.         Tahap I – Tetapkan Tujuan Analisis jabatan Ini
Diatas telah disebutkan 7 kelompok bidang yang biasanya memerlukan analisis jabatan. Tetapkan mana dari 7 alternatif tersebut yang menjadi tujuan anda. Mungkin saja lebih darisatu. Langkah pertama ini perlu karena langkah-langkah berikutnya akan ditentukan oleh langkah ini.
         3.2.         Tahap II – Tetapkan Apa yang Dianalisis?
a)      Identitas pekerjaan/jabatan dalam struktur organisasi yang sekarang berlaku
b)      Tugas-tugas yang esensial
c)      Sumber daya yang dipercayakan/alokasikan pemegang jabatan ini
d)      Alur ”input-output
e)      Jenis, dimensi, dan lingkup keputusan
f)       Kompleksitas atau tingkat kesulitan dari pekerjaan ini
g)  Hubungan-hubungan (interaksi) yang harus dilakukan oleh pemegang jabatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
h)      Persyaratan jabatan
i)        Kondisi lingkungan kerja

         3.3.         Tahap III – Kumpulkan Informasi tentang Struktur Organisasi, Kegiatan Operasi, dan Arus Kerja
Untuk langkah ini dokumen yang perlu diperoleh adalah skema organisasi yang sekarang digunakan, Job Description yang ada, Skema Proses (Process Cbart)  maupun manual sistem dan prosedur yang ada. Andaikan dalam organisasi ini belum ada skema organisasi yang formal, maka harus dibuat skema sementara.
         3.4.          Tahap IV – Tetapan Metode yang Akan Digunakan
Ada 4 (empat) metode atau cara yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan data, fakta dan informasi tentang pekerjaan/jabatan dalam proses analisis jabatan. Empat metode atau cara tersebut adalah :
§  Job Questionnaire
§  Interview
§  Observasi di lapangan
§  The Work Log
§   
         3.5.          Tahap V – Implementasi Program dengan Mengikuti Langkah-langkah yang Benar
Langkah-langkah implementasi yangbenar antara lain mencakup kegiatan komunikasi untuk menjamin dukungan dan kerja sama penuh dari semua tingkatan dan memperkecil penolakan.
1. ”Kick-off Meeting” oleh pimpinan  puncak dengan semua unsur pimpinan organisasi.
2.    Pertemuan-pertemuan denga semua staf pada setiap unit kerja dipimpin oleh kepala unut kerja yang bersangkutan.
3.  Komunikasi tertulis untuk seluruh karyawan oleh pimpinan puncak, atau yang memberi wewenang, agar semua karyawan mengetahui.

III.    PERINGKAT JABATAN
1.      Bagaimana cara Melakukan Evaluasi Jabatan?
Banyak cara dan metode yang dapat digunakan untuk melaksanakan Evaluasi Jabatan. Ada sejumlah cara yang bersifat informal dan lebih kualitatif yang disebut juga sebagai cara yang ”non-analitis”  karena tidak memerlukan analisis jabatan dan pengkukuran dalam prosesnya. Ada pula sekelompok cara yang terdiri dari cara-cara yang lebih ”formal”, analitis dan kuantitatif yang biasanya digunakan oleh perusahaan besar terutama perusahaan internasional karena biasanya cukup tinggi.
        1.1  Menyusun  Peringkat Jabatan dengan metode Analisis dan Non Analitis
          .1. Metode Analitis
               Penerapan kelompok metode yang disebut metode ’analitis” atau ”semi ilmiah” dimulai dengan kegiatan memilih dan menetapkan faktor yang ada pada jabatan / pekerjaan atau terikat erat dengan yang akan dijadikan tolak ukur.
               Metode Analitis yang paling populer  adalah Rating/Factors assesment yang masih cukup sederhana dan metode sejenis yang lebih canggih seperti Hay, CRG, dan Bipers yang dikembangkan dan menjadi copy right lembaga konsultan yang mengembangkannya. Sebenarnya metode-metode yang dianggap canggih dandimiliki oleh beberapa perusahaan konsultan tersebut adalah pengembangan dari metode Points-Factors Rating.
        
         2   Cara-menggunakan metode Points-Factors Rating
      Untuk melaksanakan evaluasi jabatan dengan menggunakan metode Points-Factors Rating langkah berikut tindakan di bawah ini harus diikuti.
         1.   Langkah I – Membentuk Panitia Penilaian Jabatan
               Panitia penilaian jabatan ini harus disahkan dan diumumkan oleh Dewan Direksi dan terdiri dari maksimum 7 orang, minimum 5 orang, dan sebaiknya jumlahnya ganjil agar apabila terpaksa membuat keputusan melalui pemungutan suara tidak akan ada hasil ”seri”.
         2.   Langkah II – Memilih dan Menyetujui faktor yang akan Diukur
              Untuk memilih faktor-faktor tersebut biasanya digunakan kriteria di bawah ini:.
  •        Faktor yang dipilih harus dipahami danditerima oleh semua karyawan (dan juga Serikat pekerja, bila ada) 
  •       Faktor-faktor yang dipilih harus nyata-nyata berlaku ada pada pekerjaan/jabatan yang sedang dinilai.
  •       Faktor-faktor yang hanya berlaku atau terdapat pada dua atau beberapa pekerjaan juga tidak dapat digunakan untuk mengukur pekerjaan lain  karena tidak ada pembandingnya.
  •      Faktor-faktor yang dipilih tidak boleh mempunyai kemiripan satu sama lain yang pada dasarnya akang mengukur aspek yang sama.   
  Jumlah faktor sebainya dibatasi sampai jumlah minimum yang benar-benar perlu untuk membuat perbandingan yang baik di antara pekerjaan-pekerjaan.
    Bagi perusahaan yang jumlah karyawannya ratusan atau ribuan, dianjurkan untuk membagi karyawannya dalam berbagai kelompaok seperti : kelompok pabrik/operasional, kelompok kantor/administatif, krlompok profesional, dan lain-lain.
         3.Langkah III – Membuat Definisi untuk Setiap faktor yang Dipilih
               Para pakar misalnya sepakat menggunakan definisi di bawah ini untuk faktor-faktor yang dianggap universal:
  •        Tuntutan Mental (Mental Requirement) 
  •         Tuntutan Fisik (Physical Requirement) 
  •       Persyaratan Keterampilan (Skills Requirement
  •         Tanggung Jawab (Responsibility) 
  •      Kondisi ( Lingkungan) Kerja (Working Conditions)
  •  
      4. Langkah IV -  Membuat “Level” atau Gradasi dari Setiap faktor, Definisi, dan Points (Skor) untuk Setiap Level
         Contoh berikut adalah gradasi, definisi dan skor  yang dibuat oleh sebuah perusahaan yang menggunakan teknologi menengah untuk faktor ”Pendidikan”
        
      4.Metode Non-Analitis
Kelompok cara yang kedua terdiri dari cara-cara yang cukup sedarhana, murah biaya, tetapi meriah perdebadan dalam prosesnya. Kelompok metode yang sederhana dan ”murah-meriah” tersebut terdiri dari metode – metode sebagai berikut:
1.      Mengikuti ”Hierarki dalam Organisasi”
2.      Metode ”Forced Ranking” (Peringat Paksa/Konsensus)
3.      Metode Klasifikasi Jabatan
4.      Metode ”Factors Comparison
5.      Metode yang digunakan oleh Pegawai Negeri Sipil dan TNI

        5.Mengikuti ”Hierarki dalam Organisasi”
Teknik yang paling sederhana untuk menetapkan peringkat jabatan atas dasar ”bobot/nilai” jabatan itu adalah atas dasar ”Hierarki dalam Organisasi”.
Cara seperti ini biasanya digunakan oleh perusahaan milik negara (BUMN) walaupun ada sejumlah kecil perusahaan swasta juga menggunakannya. Struktur peringkat jabatan yang dihasilkan mungkin seperti  berikut :
         Peringkat Jabatan
         1.Direktur Utama
         2.Kepala Sub Direktorat
         3.Kepaka Biro
         4.Kepala Bagian
         5.Kepala Seksi
         6.Kepala Regu/Urusan
         7.Pelaksana
       
          6.  Metode ”Forced Ranking” (Peringat Paksa/Konsensus)
Yang dilakukan melalui metode ini adalah sejumlah kecil pejabat perusahaan organisasi dengan dimotori oleh pejabat pimpinan bagian sumber daya manusia menetapkan peringkat jabatan yang ada dalam struktur organisasi perusahaan. Pertama-tama, bagian sumber daya manusia harus menyiapkan daftar jabatan yang ada pada masing-masing departemen atau fungsi yang ada. Daftar ini harus dibuat secara acak yang artinya tidak menunjukanurutan hierarki atau tinggi rendahnya jabatan berdasarkan struktur organisasi yang sekarang. 

7.      Metode Klasifikasi Jabatan 
Metode ini merupakan sebuah kemajuan dari metode ”konsensus” karena dalam metode ini pertama-tama harus dibuat dulu kriteria untuk setiap ”kelas/klasifikasi jabatan” yang ditetapkan. Kriteria tersebut bersifat kualitatif dan negatif, serta menjelaskan secara ringkas semua karakteristik jabatan dan persyaratan yang harus dipenhi oleh para pemegang jabatan tersebut. Atas dasar kriteria tertulis tersebut, Kelompok Kerja”/Tim Penilai akan menilai semua jabatan yang terdaftar dan memasukannya ke dalam ”kelas yang dianggap ”pas” untuknya.

8.      Metode ”Factors Comparison
Dalam metode ini hal  pertama yang harus ditetapkan bukan ”kriteria” seperti dalam netode
klasifikasi jabatan seperti jumlah ”faktor” jabatan yang akan  diperbandingkan derajat berat
ringan atau mudah-sukarnya. Faktor-faktor yang dipilih biasanya tidak banyak, berkisar antara 4
dan 6 faktor yaitu:
§   Mental Requirements (Tuntutan terhadap mendal)
§   Skill Requirements (Tuntutan Keterampilan)
§   Physical Requirements (Tuntutan terhadap fisik/jasmani)
§   Lingkukangan fisik tempat kerja
§   Tanggung jawab

9.      Menyusun Rancangan Poin dan Level
         Cara-menggunakan metode Points-Factors Rating
Untuk melaksanakan evaluasi jabatan dengan menggunakan metode Points-Factors Rating langkah berikut tindakan di bawah ini harus diikuti.
         1.   Langkah I – Membentuk Panitia Penilaian Jabatan
Panitia penilaian jabatan ini harus disahkan dan diumumkan oleh Dewan Direksi dan terdiri  dari maksimum 7 orang, minimum 5 orang, dan sebaiknya jumlahnya ganjil agar apabila terpaksa membuat keputusan melalui pemungutan suara tidak akan ada hasil ”seri”.
         2.   Langkah II – Memilih dan Menyetujui faktor yang akan Diukur
         Untuk memilih faktor-faktor tersebut biasanya digunakan kriteria di bawah ini.
§  Faktor yang dipilih harus dipahami danditerima oleh semua karyawan (dan juga Serikat pekerja, bila ada)
§  Faktor-faktor yang dipilih harus nyata-nyata berlaku ada pada pekerjaan/jabatan yang sedang dinilai.
§  Faktor-faktor yang hanya berlaku atau terdapat pada dua atau beberapa pekerjaan juga tidak dapat digunakan untuk mengukur pekerjaan lain  karena tidak ada pembandingnya.
§  Faktor-faktor yang dipilih tidak boleh mempunyai kemiripan satu sama lain yang pada dasarnya akang mengukur aspek yang sama.
§  Jumlah faktor sebainya dibatasi sampai jumlah minimum yang benar-benar perlu untuk membuat perbandingan yang baik di antara pekerjaan-pekerjaan.
§  Bagi perusahaan yang jumlah karyawannya ratusan atau ribuan, dianjurkan untuk membagi karyawannya dalam berbagai kelompaok seperti : kelompok pabrik/operasional, kelompok kantor/administatif, krlompok profesional, dan lain-lain.
         3.Langkah III – Membuat Definisi untuk Setiap faktor yang Dipilih
            Para pakar misalnya sepakat menggunakan definisi di bawah ini untuk faktor-faktor yang dianggap universal:
o Tuntutan Mental (Mental Requirement)
o Tuntutan Fisik (Physical Requirement)
o Persyaratan Keterampilan (Skills Requirement)
o Tanggung Jawab (Responsibility)
o Kondisi (Lingkungan) Kerja (Working Conditions)
         4.            Langkah IV -  Membuat “Level” atau Gradasi dari Setiap faktor, Definisi, dan Points (Skor) untuk Setiap Level
               Contoh berikut adalah gradasi, definisi dan skor  yang dibuat oleh sebuah perusahaan yang menggunakan teknologi menengah untuk faktor ”Pendidikan”

10.  Faktor Pendidikan Formal Minimal
         Level Devinisi
1.  Pendidikan ”elementer” yang memungkinkannya mampu membaca dan menulis cukup baik, mampu melakukan perhitungan sederhana (aritbmetics). Dapat memahami instruksi sederhana yang bersifat rutin.
(sekor 10)
      2.SMTA atau sederajat, mampu melakukan perhitungan matematika dan ilmu ukur untuk memecahkan masalah sederhana. Dapat memahami ”manual standar” untuk menjalankan mesin, maanual tentang bagian mesin, dan instruksi lisan dan tertulis.
(sekor 20)
      3.Pendidikan D3 Teknik atau Politeknik atau Sekolah Magang 2-3 Tahun yang hanya menerima lulusan SMTA. Mampu membaca dan memahami ”Cetak Biru” alur proses dan manual yang cukup sulit.
(sekor 30)
         4.Pendidikan Tinggi Strata I atau Sederajat. Mampu menggunakan metode dan teknik yang lebih tinggi dalam memecahkan maslah yang berkaitan dengan pekerjaan termasuk matematika tinggi bila perlu. Memahami standard operating procedure dan mampu menulisnya.
(sekor 40)
         5.Pendidikan Strara 2 atau sederajat atau brever spesialisasi dan pendidikan profesi lanjutan dalam bidang yang relevan. Memecahkan masalah tanpa bantuan siapa pun.
(sekor 50)
CONTOH ALOKASI BOBOT DAN POINT (SEKOR)
UNTUK SETIAP FAKTOR
Faktor-faktor Jabatan
Alokasi Bobot (%)
Point Terendah
1. Pendidikan Dasar
12.5
25
2. Pengalaman
12.5
25
3. Kompleksitas Tugas
5
30
4. Analisis dan inovasi
15
30
5. Hubungan-hubungan
10
20
6. Supervisi/Bimbingan Teknis
17.5
35
7. Rekomendasi & Keputusan
17.5
35
8. Tersedianya arahan dan bimbingan
10
10



DAFTAR PUSTAKA
Aamodt, M. G., (2004). Applied Industrial/Organizational Psychology.  USA: Wadsworth, Inc.
Copithorne, K. (2001). Case Study of Competency-Based Performance Management System.  Thesis. Diakses tanggal 10 Oktober 2007.
Arnold, S.B. (2003). Leader Traits and Leadership Competencies Necessary During Organizational Change. Dissertation.  Diakses Tanggal 24 Maret 2007 dari Clarke, M. (2002).  A Grounded Theory Approach to Standard of Leadership Competency Framework Development. 
Gangani, N., McLean, G.N. & Braden, R.A. (2006).  A Competency-Based Human Resource Development Strategy.
Krueger, R.A., (1994). Focus Groups:  A Practical Guide for Applied Research.  California:  Sage Publication Inc.
Loma.  (1998).  LOMAs Competency Diary
McShane, S.L. & Glinow, M.A.V (2003).  Organizational Behavior.  New York: McGraw-Hill.
Moleong, L. J., (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Noe, R.A., Hollenbeck, J.R., Gerhart, B., Wright, P.M. (2004) Fundamentals of Human Resource Management.  Singapore: McGraw-Hill.
Oshins, M.L. (2002). Identifying a Competency Model for Hotel Managers. Dissertation.  Diakses Tanggal 23 Oktober dari
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Penerbit Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (PSP3) UI: Jakarta
Prihadi, S.F. (2004). Assessment Centre:  Identifikasi, Pengukuran dan   Pengembangan Kompetensi.  Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rivai, V., (2005). Performance Appraisal : Sistem Yang Tepat Untuk Menilai Kinerja Karyawan Dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Shermon, G. (2004).  Competency Based HRM. New Delhi: Tata McGraw Hill
Spencer, L.M. & Spencer, S.M. (1993). Competence at Work: Models for Superior Performance.  New York:  John Wiley & Sons, Inc
Schahter, Hindy Lauer, 1995. “Reinventing Government or Reinventing Ourselves Two Models For Improving Government”. Sutopo & Suryanto, Adi, 2001, Modul Prajab Gol. III : Pelayanan Prima, LAN-RI
Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Diakses tanggal 11 November 2007
Usman, H., & Akbar, P.S. (2003). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Utomo, Warsito, 2006, “Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Wood, R; Payne, T. (1998).  Competency Based Recruitment and selection: A Practical Guide.  New York: John Wiley & Sons, Inc
Wahab, Solichin Abdul, 2000, Makalah dalam Pengukuhan Guru Besar : “Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Governance”.



.
»»  Baca Selengkapnya...