Kamis, 26 Desember 2013

MEMAHAMI KONSEP KOORDINASI DALAM PEMERINTAHAN DAERAH

MEMAHAMI KONSEP KOORDINASI DALAM 
PEMERINTAHAN DAERAH

Oleh Turiman Fachturahman Nur

           Salah satu hal penting dalam kegiatan pemerintahan daerah adalah masalah koordinasi pemerintahap dan hal yang berpengaruh terhadap terlaksananya koordinasi adalah  kesiapan sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah dalam pelaksanaan wewenang dari Daerah merupakan suatu tuntutan profesionalitas aparatur pemerintah yang berarti memiliki kemampuan pelaksanaan tugas, adanya komitmen terhadap kualitas kerja, dedikasi terhadap kepentingan masyarakat sebagai pihak yang dilayani oleh pemerintah daerah.
           Pernyataan di atas selaras dengan pandangan Dr. M. Irfan Islamy bahwa  : Kalau kepentingan publik adalah sentral, maka menjadikan administrator publik sebagai profesional yang proaktif adalah mutlak, yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan responsibilitas obyektif dan subyektifnya serta meningkatkan aktualisasi dirinya. ( Dr. M. Irfan Islamy, 2000 : 12 ).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka menjadi sangat mendesak perlunya profesionalitas aparatur pemerintah daerah di samping kesiapan aspek lainnya dalam melaksanakan kewenangan pemerintah daerah, sehingga menarik untuk dikaji apakah dari aspek sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah telah siap melaksanakan paradigma baru penerapan otonomi daerah tersebut. Atau apa kriteria profesionalitas aparatur pemerintah daerah yang sangat didambakan semua orang, agar penyelenggaraan wewenang pemerintah daerah di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat memuaskan sesuai dengan pesan agenda reformasi.
           Untuk fokusnya tulisan ini membatasi pada aspek perubahan mendasar “sikap” dan “karakter” Aparatur Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Paradigma Baru Otonomi Daerah, sebagai salah satu cerminan kriteria profesionalisme dalam pelaksanaan wewenang pemerintah daerah, mengingat profesionalisme merupakan perwujudan sikap atau karakter seseorang.  Hal ini merujuk pernyataan David H. Maister : “Real professionalism is about attitudes, and perhaps even about character” ( Maister, David H., Internet, 1997 : 3 ).
            Pembahasan tentang aparatur pemerintah tidak terlepas dari bahasan peranan birokrasi pemerintah. Dapat dikatakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah apa dan bagaimana peranan birokrasi pemerintah.
Hakekat terdalam dari esensi pengertian birokrasi menurut teori Max Weber dalam karyanya “The theory of Economic and Social Organization”  pada dasarnya adalah sebagai sebuah organisasi yang disusun atas dasar rasionalitas, bermakna pengorganisasian yang tertib, teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang berdasarkan tata kerja atau prosedur kerja yang jelas.
            Dengan demikian makna birokrasi pada sektor pemerintahan mencakup bidang tugas yang sangat luas, kompleks dan melibatkan bentuk organisasi yang berskala besar dengan jumlah personil yang banyak untuk melaksanakan penyelenggaraan negara, pemerintahan, termasuk pelayananan umum dan pembangunan.   
Dengan lebih tegas lagi, bahwa peran birokrasi pemerintah dipandang sebagai yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan suatu negara, maupun untuk memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
            Pada kenyataan dalam praktek sering terdapat pandangan bahwa birokrasi pemerintah atau setiap berhubungan dengan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan suatu pelayanan menunjukkan gejala yang mengecewakan, berbelit-belit, lama, mahal dan tidak memuaskan termasuk kurangnya koordinasi. Mengapa terjadi demikian salah satu kelemahan adalah masalah koordinasi. Penyakit yang masih belum berkurang pada jajaran birokrasi yakni  jika terjadi “ego sektoral”
           Untuk memahami konsep koordinasi, berikut ini dipaparkan pengertin koordinasi Koordinasi. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksanaannya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (lendership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.  
Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda, agar kegiatan daripada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal, agar memperoleh hasil secara keseluruhan. Koordinasi terhadap sejumlah bagian-bagian yang besar pada setiap usaha yang luas daripada organisasi demikian pentingnya sehingga beberapa kalangan menempatkannya di dalam pusat analisis.
Koordinasi yang efektif adalah suatu keharusan untuk mencapai administrasi / manajemen yang baik dan merupakan tanggungjawab yang langsung dari pimpinan. Koordinasi dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan satu sama lain oleh karena itu satu sama lain saling mempengaruhi. Kepemimpinan yang efektif akan menjamin koordinasi yang baik sebab pemimpin berperan sebagai koordinator.
Menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85).
Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
          Pertanyaan yang diajukan apa yang menjadi Masalah – Masalah Dalam Koordinasi ? Jawaban atas pertanyaan ini dijawab dengan pernyataan, bahwa peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu:
1.      Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu;
2.      Perbedaan dalam orientasi waktu;
3.      Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi;
4.      Perbedaan dalam formalitas struktur.
Perbedaan di atas memberikan pemahaman tentang Tipe – Tipe Koordinasi, yakni: Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu: pertama, Koordinasi vertikal adalah  kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatauan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.  Kedua Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
          Berdasarka   kedua tipe koordinasi di atas, maka dapat ditelusuri Sifat – Sifat Koordinasi , yakni: Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu: (1) Koordinasi adalah dinamis bukan statis; (2) Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator  (manajer) dalam rangka mencapai sasaran; (3) Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.
          Pertanyaan yang diajukan jika demikian apa Syarat – Syarat Koordinasi, menurut Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: (1) Sense of cooperation (perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per-bagian bidang pekerjaan, bukan orang per-orang; (2) Rivalry, dalam perusahan-perusahan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai tujuan; (3) Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; (4) Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
           Dengan demikian sebuah konsep koordinasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Menurut Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. (2) Adanya proses (continues process). (3) Pengaturan secara teratur usaha kelompok. (4) Konsep kesatuan tindakan. (5) Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama.
          Pertanyaan bagaimana realitasnya apakah koordinasi sudah terlaksana atau hal apa yang berpengaruh terhadap pelaksanaan koordinasi ? Secara realitas dapat diamati, bahwa aparat birokrasi pemerintah sering juga  dianggap belum mampu menyesuaikan diri dengan modernisasi, perilakunya tidak inovatif dan sering pula melakukan korup. Kondisi ini semakin diperparah adanya kecenderungan dari birokrasi pemerintah yang menerapkan pola otokratik dan otoriter.
            Patut disadari, bahwa merubah pandangan ini tidaklah mudah, perlu adanya pembuktian pelaksanaan peran birokrasi pemerintah yang berpihak pada masyarakat yang dilayani dengan dilandasi semangat pembaharuan yang mendasar sebagai identitas baru birokrasi pemerintah.
            Pada era saat ini penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan paradigma baru otonomi daerah merupakan salah satu bagian pesan reformasi terhadap aktualisasi peran pemerintah daerah dalam penerapan fungsinya untuk memberikan pelayanan atas kepentingan masyarakat ( public interest ) dan menyelesaikan masalah – masalah dalam masyarakat ( public affairs ). Dua hal tersebut selaras dengan locus Administrasi Negara yang dikemukakan oleh Nicholas Hendry dalam bukunya “Public Administration and Public Affairs” sebagaimana dinyatakan oleh Dr.M. Irfan Islamy : ……. Focus administrasi negara adalah teori organisasi  ( organization theory ) dan ilmu management ( management science ) dan locusnya adalah kepentingan publik ( public interest ) dan masalah – masalah publik         ( public affairs ) ( 2000 : 8 ).
Pada satu sisi  kita ketahui bersama, bahwa kegiatan pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan publik dan masalah – masalah publik, kegiatan birokrasi pemerintah ( daerah ) juga melaksanakan kegiatan  lainnya  berupa kegiatan yang dapat mendatangkan hasil (funding outcomes), sehingga dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan kegiatan pelayanan publik. Misalnya melaksakan kegiatan pembangunan infra struktur dasar seperti jalan/jembatan/rumah sakit/gedung sekolah/kegiatan pelayananan bantuan penanggulangan korban bencana serta pelayanan umum lainnya untuk memenuhi kepentingan/masalah publik. Di sisi yang lain, bahwa pihak melaksanakan kegiatan membangun obyek wisata/mendirikan suatu BUMD dan lain sebagainya untuk mendapatkan hasil sebagai sumber pendapatan daerah untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan pelaksanaan wewenang dan kewajiban pemerintah daerah.
Dengan demikian pada tataran praktis  dapat dibedakan, kegiatan pelayanan publik oleh pemerintah  (daerah ) guna memberikan pelayanan pemenuhan kepentingan publik maupun masalah-masalah publik, tidak dimaksudkan untuk meningkatan pendapatan daerah. Sekalipun dimungkinkan terjadinya peningkatan sumber pendapatan daerah yang signifikan dengan kegiatan pelayanan publik tersebut. Saat ini ada kecenderungan di samping itu melakukan kegiatan sebagai usaha pemerintah ( daerah ) guna meningkatkan pendapatan daerah dengan mulai mencari alternatif perluasan sumber – sumber pendapatan dan pembiayaan pembangunan daerah, baik yang berasal dari potensi daerah, pasar modal di tingkat nasional maupun internasional, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah daerah membiayai pelaksanaan kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan paparan di atas dapat dipaparkan, bahwa ada perubahan sikap yang harus ditunjukkan oleh aparatur pemerintah daerah  dalam praktek sebagai penyelenggara pemerintahan, penyelenggara pelayanan umum dan pembangunan yaitu perubahan atau pembaharuan sikap dan karakter aparatur pemerintah yang berorientasi pada fungsi fundamental pemerintah dan sesuai dengan paradigma baru Administrasi Negara.
             Hal ini selaras dengan paradigma baru Administrasi Negara yaitu memandang Birokrasi Pemerintah tidak lagi hanya semata-mata melaksanakan Pelayanan Publik yaitu memenuhi kebutuhan barang dan jasa publik ( kepentingan publik ) serta memecahkan masalah – masalah publik, tetapi sekaligus sebagai pendorong dan fasilitator tumbuhnya partisipasi masyarakat.
             Artinya secara realistik, bahwa fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketidak mampuan birokrasi pemerintah ( di negara manapun ) untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan serta memecahkan masalah – masalah masyarakatnya tanpa keikutsertaan masyarakat sendiri. Dalam hubungan ini diperlukan pembaharuan pendekatan manajemen pemerintahan dalam mempraktekkan peran birokrasi pemerintah. Pandangan  David Osborne dan Ted Gaebler tokoh Reinventing Government yang dikutip dari “Etika Birokrasi”  ( Drs. Gering Supriyadi, MM, 1998 : 32 ) menyatakan, penyempurnaan dan pembaharuan manajemen pemerintahan dilakukan dengan penerapan beberapa prinsip sebagai berikut  :
1.      Catalytic Government :
Steering Rather Than Rowing (Mengemudi lebih baik dari pada Mendayung). Karena itu lepaskan pekerjaan pelaksanaan yang sekiranya dapat dikerjakan masyarakat, Pemerintah cukup melakukan pengaturan dan pengendalian.
2.      Community-Owned Government :
Empowring Rather Than Serving ( berikan wewenang kepada masyarakat ketimbang pemerintah yang melayani ). Apabila masyarakat  sudah mengatur sendiri, biarkan dan tingkatkan kemampuan untuk mengatur sendiri ( mem berdayakan masyarakat ) ketimbang tugas pelayanan seluruhnya dibebankan kepada Pemerintah.
3.      Competitive Government :
Injecting Competition into Service Delivery ( Lembaga – Lembaga  Pemerintah bersainglah dalam memberikan pelayanan). Antar Instansi Pemerintah hendaknya berlomba-lomba melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya dengan tanpamelupakan koordinasi antara mereka.
4.      Mission-Driven Government :
Transforming Rule – Driven Organizations       ( Organisasi yang melaksana- kan aturan, perlu diubah menjadi organisasi yang mempunyai Missi ). Karenanya buatlah organisasi yang mempunyai orientasi missi dan tinggalkan organisasi pelaksana yang orientasinya menjalankan tugas saja sesuai dengan aturan yang ada.
5.      Results Oriented Government :
Funding Outcomes, Not Inputs ( Biaya/Dana yang menghasilkan sesuatu, jangan sebaliknya – bukan sesuatu yang menghasilkan biaya /dana ).
6.      Customer-Driven Government :
Meeting the needs of the customer, not the bureaucracy ( Perhatikan kebutuhan pelanggan/masyarakat dan bukan kebutuhan Birokrasi ). Mengutamakan kepentingan masyarakat.
7.      Enterprising Government : Earning Rather than Spending ( mendapatkan biaya dan bukan memboroskan biaya) Karenanya mengutamakan mendapatkan uang ketimbang membelanjakannya.
8.      Antisipatory Government :
Prevention Rather Than Cure ( Mencegah lebih baik daripada mengobati ). Mengutamakan perencanaan dan peramalan supaya mengurangi resiko kegagalan dalam pelaksanaannya.
9.      Decentralized Government :
From Hierarchy to Participation and Teamwork  ( Jauhkan hierarkhi dan kembangkan partisipasi serta kerja Tim ). Hilangkan hambatan yang timbul pada hierarkhi melalui partisipasi dan Tim Kerja.
10.  Market Oriented Government :
Leveraging change through the market ( Perubahan sesuaikan dengan keadaan pasar). Lakukan perubahan sesuai yang dikehendaki pasar.

Penerapan sepuluh prinsip dalam pembaharuan manajemen pemerintahan harus tercermin dalam sikap aparatur pemerintah daerah di dalam pelaksanaan wewenang daerah. Perubahan ini membutuhkan waktu panjang, di samping perlu adanya Tiga Faktor penting yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pembaharuan tersebut, yaitu : Adanya Pemerintah yang Stabil / Sah – Demokrasi yang mantap dan Komitmen semua pihak mulai dari Pelaku Birokrasi – Pelaku Penyelenggara Negara sampai pada seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan pembaharuan tersebut.
            Dengan penerapan pembaharuan itu yang disesuaikan dengan kondisi internal pemerintah dan masyarakat di suatu daerah, diharapkan dapat mewujudkan Clean Government dan Good Governance yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan partisipasi  masyarakat.
                  Siapa yang melakukan koordinasi Pemerintahan di daerah pada tataran Provinsi bukankah tugas koordinasi, pembinaan dan pengawasan itu menjadi Tugas Gubernur berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan Pasal 37 ayat (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Ayat (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Kemudian Pasal 38 ayat (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;  c koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. Ayat (3) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.  Dan Peraturan Pemerintah yang dimaksud Pasal 38 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 adalah PP No 19 Tahun 2010, sebagaimana dinyatakan konsideran Menimbang PP No 19 Tahun 2004 : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.



KEPUSTAKAAN

Anonim. 1980. Fungsi Koordinasi dan Integrasi dalam Administrasi Negara, paper dalam seminar Efisiensi Administrasi Manajemen. Jakarta.
______. 2004. Undang- undang Otonomi Derah  Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Berikut Penjelasannya. Bandung: Penerbit Fermana.
______. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
______. 2006. PPRI Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Bandung: Fokusmedia.
Arikunto, Suharsmi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rhineka Cipta.
Care Internasional Indonesia. 2004. Pedoman Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa. Samarinda: Care Internasional Indonesia.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, Malayu. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Institute For Research and Empowerment. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Musanef. 2004. Manajemen Kepegawaian di Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.
Nawawi, H. Hadari. 2005.Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang:        IKIP Semarang Press.
Siagian, P. Sondang. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Simanjuntak, Hasurungan. 2000. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Efektivitas dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Subagyo, Joko. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukasmanto, dkk. 2004. Promosi Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Usman, Husaini dan Setiady Akbar, Purnomo. 2006. Metoodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Widjaja, HAW. 1996. Otonomi Desa. Jakarta: Rajawali Pers

Sumber Internet :
adimdamp.blogspot.com/2012/01/pengertian-koordinasi. html
http://vivitardyansah.blogspot.com/2011/01/pengertian-koordinasi.html
sobatbaru.blogspot.com/2010/12/pengertian-kepala-desa. html
Gering Supriyadi, Drs. MM., Etika Birokrasi, LAN – RI, 1998
Irfan Islamy, M. Dr., Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2000
Krishna D. Darumurti & Umbu Rauta, Otonomi Daerah – Perkembangan, Pemikiran dan Pelaksanaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000
Maister, David H., True Professionalism : The Courage to Care About Your People, Your Clients and Your Career,  Internet  – 1997 
M. Ryaas Rasyid, Reformasi Politik & Ekonomi, Widyapraja no. 30, Jakarta, 1998
Riggs, Fred, W, Administrasi Pembangunan, Sistem Administrasi dan Birokrasi, Jakarta, Rajawali, 1989
Soedjadi, F.X., Analisis Manajemen Modern, Jakarta, Gunung Agung, 1997
Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi, Konsep, Dimensi dan Strategi, Jakarta, Bumi Aksara, 1996
Susanto, H.M. Dr., Pengembangan SDM Pemerintahan Daerah, LAN RI, Jakarta, 2000
Thoha, Miftah, Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi, Bogor, Pusdiklat Depdikbud, 1995














»»  Baca Selengkapnya...