Selasa, 23 April 2013

MENGAGAS DAN MEMPERKUAT LEMBAGA PERWAKILAN INDONESIA DALAM USULAN PERUBAHAN KELIMA UUD 1945


MENGAGAS DAN MEMPERKUAT LEMBAGA PERWAKILAN INDONESIA DALAM PERUBAHAN KELIMA UUD NEGARA R.I. 1945
(Suatu Analisis Dari Sistem Tiga Kamar menjadi Dua Kamar
Berdasarkan Prinsip Bhinneka Tunggal Ika)

Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Blog: Rajawali Garuda Pancasila.
HP 08125695414

1.      Selaras dan seiring dengan dinamika kehidupan hukum dan kenegaraan, maka materi muatan konstitusi harus dapat menyesuaikan konteks kekinian dan masa depan. Oleh karena amandemen konstitusi dipandang tidak cukup hanya perubahan parsial, namun hendaknya merupakan sebuah konsep perbaikan yang lebih komprehensif dan berorientasi masa depan.
2.      Pada tataran demikian, maka perubahan konstitusi adalah keniscayaan zaman, serta perlunya dibuat perubahan yang lebih komprehensif. Ini artinya upaya penyempurnaan perubahan UUD Negara RI 1945 perlu didukung oleh sebuah dukungan mayoritas elit politik dan dukungan rakyat.
3.      Keniscayaan perubahan UUD dapat ditelusuri dari pandangan Franscois Venter yang berpendapat, bahwa konsep “Konstitusi” itu dinamis.Menurutnya, Konstitusi yang “final” tidak ada, karena konstitusi suatu negara itu bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri[1]. Sedangkan  John P Wheeler, Jr.terang-terangan berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah keniscayaan.[2]. Bahkan Romano Prodi menyatakan, “konstitusi yang tidak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah, karena “ia tidak bisa beradaptasi dengan realitas, padahal sebuah konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan realitas yang terus berubah”[3].
4.      Lebih tegas lagi menurut Brannon P Denning, sebuah mekanis amandemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin generasi generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif  menjalankan kekuasaan-kekuasaan mereka untuk memerintah.[4] Kemudian tidak juga berbeda , Thomas Jefferson menegaskan, bahwa hukum hukum dan lembaga-lembaga harus seiring dengan perkembangan pemikiran manusia. Ketika pemikiran manusia menjadi lebih maju, lebih terarahkan, ketika temuan-temuan baru dibuat, kebenaran-kebenaran baru ditemukan, dan sikap-sikap serta pendapat-pendapat berubah, sejalan dengan berubahnya situasi dan kondisi, maka lembaga-lembaga negara pun harus ikut maju agar tidak ketinggalan zaman.[5]
5.      Pada tataran Indonesia dan faktual Indonesia, bahwa perubahan hukum dasar tertulis, yaitu UUD negara bukanlah hanya persoalan menyempurnakan hukum dasar, tetapi materi muatan perubahan juga harus berpijak dengan fakta sejarah bangsa itu sendiri dan prinsip kenegaraan yang telah disepakati. Apalagi hal-hal yang berkaitan dengan  kondisi faktual dan fakta sejarah kehidupan kenegaraan.
6.      Berdasarkan berbagai pandangan di atas, maka perubahan UUD Neg RI 1945 untuk amandemen kelima adalah sebuah keniscayaan, mengapa demikian, karena menurut penulis ada tiga prinsip, yakni berkaitan dengan prinsip negara hukum (pasal 1 ayat 3), prinsip supremasi konstitusi (Pasal 1 ayat (2), dan yang ketiga adalah prinsip Bhinneka Tunggal Ika (pasal 36A).
7.      Berkaitan prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini, sebenarnya bisa dimainkan secara strategis oleh DPD RI, karena mewakili karakteristik daerah dan kepentingan yang berbeda dibanding dengan DPR, namun dapat diperjuangkan bersama dalam satu lembaga perwakilan sesuai dengan namanya Dewan Perwakilan Daerah.
8.      Kehadiran DPD RI sebenarnya dapat menjadi lembaga penyeimbang dan mengawal pelaksanaan otonomi daerah dan diharapkan mampu menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangan kesejahteraan daerah yang berkeadilan dan berkesetaraan. Pada tataran ini DPD RI dibentuk bertujuan untuk meningkatkan derajat keterwakilan daerah.
9.      Pada tataran sistem ketatanegaraan seharusnya DPD hadir sebagai kamar kedua di parlemen dan mewujudkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check and balance), namun pada tataran pratiknya, DPD pada fungsi legislatif tidak diberikan kewenangan yang seimbang.
10.  Menjelang satu dasar warsa perubaan UUD, DPD RI berpendapat, bahwa perlu adanya penataan kembali sistem ketatanegaraan meliputi semua cabang kekuasaan secara komprehensif dan tidak parsial dan ada 10 isu strategis yang tersisa pasca empat tahap perubahan UUD. Sepuluh isu strategis itu adalah memperkuat sistem presidensiil, memperkuat lembaga perwakilan, dibuka ruang bagi calon presiden perorangan, pemilahan pemilu nasional dan lokal, forum previllegeatum, optimalisasi peran Makamah Konstitusi, penambahan padsal HAM, penambahan bab komisi negara, penajaman bab tentang pendidikan dan perekonomian.
11.  Terhadap 10 isu strategis tersebut, yang terpenting dalam konstruksi hukum tata negara adalah Memperkuat Lembaga Perwakilan, karena esensi terpenting dari perubahan secara Sistem Ketatanegaraan Indonesia pada formatnya seharusnya harus mampu menjabarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam negara persatuan Indonesia.Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah Negara Indonesia berkehendak menganut dua kamar dalam lembaga perwakilan, jika jawaban ia, maka pertanyaan hukum tata negara selanjutnya adalah sistem bikameral yang bagaimanakah yang dianut dalam perubahan UUD 1945 ? Jika sudah sepaham permasalahan ini, maka perubahan kelima UUD Negara 1945 menjadi sesuatu yang urgen.
12.  Untuk membedah ini, maka perlu diajukan apa sebenarnya hakekat perwakilan yang ingin dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kedepan dalam konteks ketatanegaraan yang khas Indonesia?
13.  Fakta sejarah telah memaparkan kepada publik, bahwa perubahan ketiga UUD 1945 ternyata gagasan pembentukan DPD RI dalam rangka restrukturasi parlemen Indonesia menjadi dua kamar telah diadopsi. Fakta yuridis konstitusional dapat dilacak secara implisit namun tidak tegas  pada BAB II dengan judul BAB Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada Pasal 2 ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwkilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
14.  Jika Urgensi Perubahan UUD Neg 1945 kelima bertujuan untuk memperkuat lembaga perwakilan, yaitu ditujukan untuk meningkatkan kualitas kebijakan dari segi derajat keterwakilan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, maka diperlukan mekanisme check and balance antar kamar dalam fungsi lembaga perwakilan. Menurut penulis Pasal 2 ayat (1) harus direkonstruksi lebih dahulu.
15.  Rekonstruksi yang dimaksudkan adalah kita harus sepakat secara hukum tata negara apakah MPR  sebagaimana konstruksi hukum pasal 2 ayat (1) saat ini disepakati semata-mata sebagai forum belaka, sebagaimana subtansi pada pasal-pasal usulan perubahan kelima UUD 1945 yang diusulkan oleh DPD RI, karena menurut penulis belum ada rumusan teks hukum yang diusulkan oleh DPD RI terhadap rumusan pasal 2 ayat (1) UUD 1945, maka menurut penulis Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 harus ditegaskan lebih dahulu dengan rumusan :” Pasal 2 ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Forum bersama yang terdiri Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah “.
16.  Konstruksi hukum terhadap rumusan ini dimaksudkan kita ingin menegaskan, bahwa parlemen Indonesia menjadi dua Kamar dan secara eksplisit saat ini dapat terlacak dari teks hukum negara Pasal 20 UUD 1945 mengatur DPR dan Pasal 22 C dan Pasal 22D mengatur DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakekat kepentingan yang diwakili masing-masing. Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakyat, siapa yang dimaksudkan rakyat disini adalah Rakyat Indonesia oleh karena itu yang diwakili rakyat yang hidup didaerah-daerah yang sudah mengikuti pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang terpilih untuk menduduki kursi di DPR, dalam prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” DPR adalah mewakili prinsip Tunggal, yaitu satu kepentingan, yaitu kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sebagaimana sila keempat. Tetapi Dewan Perwakilan Daerah hakekatnya mewakili Daerah Otonom yang masing masing memiliki karakteristik yang beraneka ragam, oleh karena itu DPD itu mewakili prinsip Bhinneka atau mewakili persatuan Indonesia pada sila ketiga Pancasila.
17.  Fakta sejarah Soekarno pada tanggal 22 Juli 1958 memaknai Bhinneka Tunggal Ika itu adalah sebagai berikut :[6]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-­jenis tetapi tunggal.
Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.
Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial”
18.  Soekarno menyatakan Bhina Ika, Tunggal Ika, berjenis-jenis tetapi tunggal, maknanya bahwa walaupun masing masing Anggota DPD itu mewakili berjenis-jenis kepentingan daerah tetapi ketika duduk bersama dalam satu forum Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan DPR, maka mereka mewakili yang tunggal, yakni persatuan Indonesia.
19.  Pertanyaan akademisnya yang perlu diajukan adalah apa sebenarnya hermenuetika hukum[7] terhadap seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep lambang negara, apakah seperti yang dipahami saat ini berbeda-beda tetapi satu jua, transkrip Sultan Hamid II15 April 1967 menjawab perspeftif  tentang Bhinneka Tunggal Ika itu:[8]"……ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja  untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik" dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
20.  Berdasarkan transkrip Sultan Hamid II di atas, bahwa masuknya seloka Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar Rajawali Garuda Pancasila adalah sebuah kompromi terhadap pandangan kenegaraan antara paham federalis dengan paham Republik (Unitaris), sebagaimana kita ketahui Sultan Hamid II adalah tokoh federalisme sedangkan Soekarno adalah tokoh republik (Unitaris), jika kita menelusuri sejarah terbentuknya RIS, hal ini selaras, bahwa sejak awal penulisan sejarah (historiografi) identik dengan politik. Bahkan Sir John Seeley, sebagaimana dikutip Mark M.Krug, mengatakan “History is past politics” dan politik adalah sejarah masa kini. Persepsi ini terbentuk karena kenyataan bahwa sejarah dianggap atau diperlakukan sebagai sejarah raja-raja, sejarah timbul atau tenggelamnya para penguasa, sejarah naik dan turunnya dinasti-dinasti, sejarah bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik dan sebagainya.[9]
21.  Mengapa penulis penggunaan model hermenuetika hukum ketika menjelaskan makna seloka Bhinneka Tunggal Ika pada pita lambang negara Elang Rajawali –Garuda Pancasila di atas, karena pada intinya hermenuetik dimaknakan sebagai teori atau filsafat tentang interprestasi makna (Bleiher, 1980), atau sebagai suatu teori tentang aturan –aturan yang digunakan dalam egsegese (ilmu Tafsir) ataupun interpretasi  teks atau kumpulan tanda-tanda tertentu yang dipadang sebagai teks.[10]
22.  Secara etimologis, istilah hermeneutik mengandung tiga lapisan makna, yakni pertama, adanya suatu tanda, pesan, teks itu dari sebuah sumber tertentu. Tanda, pesan dan teks itu sendiri merupakan satu kesatuan yang terangkai dalam suatu pola tertentu, dan  ini diandaikan menyimpan makna dan intensi yang tersembunyi. Kedua adanya seorang perantara atau seorang penafsir untuk memberikan pemahaman terhadap tanda, pesan atau teks yang memiliki makna dan intensi tersembunyi tersebut. Ketiga, penafsir itu menyampaikan pemahamannya atau interprestasi mengenai makna dari tanda pesan atau  teks kepada kelompok pendengar tertentu.[11]
23.  Harus diakui bahwa perkembangan studi hukum dewasa ini telah berkembang  maju seiring dengan perubahan atau pergeseran perspektif atau cara pandang hukum tidak semata dilihat dan diberlakukan sebagai bangunan norma, melainkan lebih jauh dari sebuah institusi sosial yang menyatu dengan sekalian variabel sosial, budaya, politik dan ekonomi, dan lain sebagainya. Perubahan cara pandang itupun menuntut perubahan metode atau cara-cara yang ditempuh untuk memahami dan menjelaskan secara lebih memadai tentang apa yang kita sebut dengan hukum itu.[12]
24.  Dengan perkataan lain kehadiran metode hermenuetik dalam studi hukum juga sebetulnya juga salah satu alternatif untuk memahami dan menjelaskan hukum secara lebih memadai. Pada dasarnya kajian legal Hermenuetik (Hermanuetik Hukum) mencoba melihat hukum sebagai institusi yang didalam dirinya terkandung sejumlah tanda (simbol), pesan atau teks yang memiliki makna tertentu. Semula hermenuetik hukum hanya berkutat upaya pencarian makna-makna secara tekstual dari sebuah tanda, pesan atau teks-teks hukum, namun kini upaya pencarian makna hukum-hukum itu mulai menerobos masuk kedalam aspek-aspek yang berada dibalik tanda, pesan atau teks-teks hukum yang tampak kasatmata.
25.  Paparan kajian legal Hermenuetik (Hermanuetik Hukum) diatas jelas selaras ketika membaca secara hermenuetika hukum tentang Bhinneka Tunggal Ika, karena didalam Lambang Negara Indonesia, menurut  Soediman Kartohadiprojo dalam salah satu tulisan "Pancasila dan Hukum" menyatakan:
1.      "Lambang Negara adalah lambang dan lambang itu adalah sesuatu yang melambangkan sifat dari sesuatu; sedang negara adalah manusia. Jadi Lambang Negara kita tadi melambangkan sifat bangsa yang bernegara didalam negara itu Bangsa Indonesia.
2.      Didalam Lambang Negara ini kita jumpai Pancasila.      
                Lambang negara kita ini terdiri dari tiga bagian:
1.      Cendra sengkala
2.      Perisai Pan casila
3.      Seloka
 Candra sengkala, ini terdapat dalam " Burung Sakti Elang Rajawali yang bulu sayapnya 17 helai jumlahnya, bulu sayap kemudinya 8 helai, sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang tubuh 45 helai jumlahnya" ini melukiskan diproklamisikan Republik Indonesia. Perisai Pancasila Burung Elang Rajawali atau garuda ini dikalungi dengan perisai yang memuat didalamnya Pancasila. Ini berarti bahwa Republik Indonesia kita dijiwai oleh Pancasila.Burung Elang Rajawali atau Garuda dengan kalungnya ini menggemgam dalam cakarnya sebilah "papan" yang tak terpisahkan dari padanya yang memuat seloka "Bhinneka Tunggal Ika.Bhinneka Tunggal Ika, ini digengggam oleh sang burung, dan terdapat dibawahnya. Ibaratkan sebatang tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dibawah adalah akarnya. Akar adalah urat nadinya tumbuh-tumbuhan. Dari akar tumbuh-tumbuhan memperoleh sumber kehidupannya.
           Selain dari itu, akar adalah alat untuk menegakkan berdirinya tumbuh-tumbuhan. Demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan:
a.       sumber kehidupan Revolusi/Republik kita dengan Pancasila itu; jadi sumber kehidupan Pancasila pula.
b.      alat penegak Revolusi/Republik dan Pancasila[13]
26.     Berdasarkan pandangan Soediman Kartohadiprojo, menurut penulis ada dua hal, yaitu Pertama, (1) bahwa membahas Lambang Negara secara hermenutika hukum sebenarnya tiga bagian semiotika, yaitu Burung Elang Rajawali berdasarkan jumlah sayapnya melambangkan identitas negara atau candra sengkala tentang berdiri negara republik Indonesia (2) tentang semiotika Pancasila yang disimbolisasikan pada perisai Pancasila (3) tentang seloka Bhinneka Tunggal Ika, dan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun terbedakan secara semiotika hukum. Kedua, Istilah yang digunakan untuk menyebut lambang negara adalah Burung Sakti Elang Rajawali ini memberikan bukti sekali lagi, bahwa lambang negara kita bukan figur garuda dalam mitologi tetapi  sudah terjadi pergeseran semiotika, yaitu figur burung Elang Rajawali Pancasila.
27.     Pertanyaan secara hermenuetika hukum apakah artinya Bhinneka Tunggal Ika itu ? Jika menyitir kembali pandangan Muhammad Yamin yang menyatakan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika" artinya hampir sama dengan seloka bahasa latin: " Ex pluribus umum= Bersatu walaupun berbeda –beda.[14]
28.     Secara hermenuetika dengan arti  yang dilontarkan Muhammad Yamin diatas secara gramatikal mengingat akan salah satu arti dari awal kata be- ialah menunjukkan sesuatu yang aktif, maka bersatu mengandung arti, bahwa yang kemudian bersatu itu sebelumnya adalah terpisah satu sama lain. Kalau manusia, maka menurut pengertian ini manusia dilahirkan dan hidup terpisah satu sama lain, kemudian "bersatu" menjadi (hidup ber-) satu.
29.     Menelaah apa yang menjadi arti "Bhinneka Tunggal Ika" ini, patut memperhatikan, bahwa tiap-tiap kata yang kita pergunakan itu adalah untuk menunjukkan suatu maksud. Kadang-kadang dalam bahasa yang kita pergunakan itu tidak kata yang tepat untuk menunjukkan maksud kita.  Dalam tataran ini, maka kita mempergunakan suatu kata atau rangkaian kata-kata yang artinya menurut tata bahasa mendekati apa yang kita maksudkan. Untuk keperluan itu, maka kata atau rangkaian kata-kata itu harus diberi arti sesuai dengan tujuannya, dan tidak menurut tata bahasa.
30.     Dengan demikian dengan memberikan tempat pada seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara Indonesia sudah tentu dengan maksud dan tujuan yang tertentu, suatu maksud dan tujuan kira dapat dipisahkan dari makna umum, bahkan untuk menambah atau melengkapi maksud dan tujuan dari Lambang  keseluruhan, karena semiotika hukum, bahwa lambang itu adalah sesuatu untuk menunjukkan sifat sesuatu.
31.     Berkaitan dengan itu, berarti Lambang Negara Republik Indonesia tentunya untuk menunjukan sifat, isi jiwa negara Republik Indonesia, dan dengan begitu sifat, isi jiwa bangsa Indonesia, lebih mendalam, bahwa bagian lambang negara itu karena ditujukan pada manusia yang merupakan bangsa Indonesia, maka dengan demikian seloka Bhinneka Tunggal Ika yang ditempatkan pada Lambang Negara juga dimaksudkan untuk menunjukkan/mempresentasikan bagi isi jiwa bangsa Indonesia.
32.     Pertanyaanya adalah isi jiwa apakah dari Bangsa Indonesia yang hendak dipresentasikan dengan Bhinneka Tunggal Ika ? Melihat coraknya Pancasila, yang Bhinneka Tunggal Ika merupakan sumbernya, maka kiranya tidak jauh dari kebenaran kalau diambil kesimpulan, bahwa isi jiwa tentang tempatnya manusia, individu dalam pergaulan hidup manusia.
33.     Proposisi  yang selaras dengan paparan diatas berdasarkan paradigma pospostivisme yang berbasis spiritual, yaitu proposisi Ilahiah, sebagai berikut: "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silahaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".[15]Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadi kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal., Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[16]
34.     Proposisi ilahiah diatas adalah selaras dengan makna hermenuetika hukum, dari seloka Bhinneka Tunggal Ika, bahwa walaupun bangsa Indonesia itu berbeda-beda secara multi agama, multi suku, multi budaya dst tetapi sesungguhnya berasal dari satu diri, yaitu bangsa Indonesia, dan basis  terkecil dari suatu bangsa adalah keluarga, yaitu kesatuan, kelompok, pergaulan hidup manusia yang terdiri dari manusia yang berbeda-beda; ayah , ibu, anak-anak, ayah dan ibu berbeda dari anak dalam umurnya, ayah dan ibu berbeda satu sama lain dalam kelamin; pria dan wanita:pun anak-anak terdiri dari pria dan wanita; dan last but not least, diantar sekian banyak manusia yang hidup bersatu merupakan keluarga itu, bahkan andaikata terdapat diantaranya anak kembar, tidak ada yang sama kepribadianya. Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing" Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.[17]
35.     Secara hermenuetika hukum hal itu dapat dikemukakan, bahwa makna Bhinneka Tunggal Ika dalam hubungannya manusia Indonesia, yaitu persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan yang disimpulkan dalam pengertian "kekeluargaan", Jadi jika benar bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sumber dari Pancasila, maka menurut pandangan bangsa Indonesia atau menurut padangan bangsa Barat yang dilukiskan dengan "Men are created free and equal" , -Manusia dilahirkan bebas dan merdeka, yang satu terpisah dari lainnya sumber ini ditemukan kembali dalam seluruh lembaga kehidupan ketatanegaraan, hukum , dan sebagainya, maka kebenaran Bhinneka Tunggal Ika itu harus diketemukan kembali dalam pembacaan Pancasila secara hermenuetika hukum.
36.     Konstruksi fakta sejarah Bhinneka Tunggal Ika jika dikaitkan dengan konsep kenegaraan, maka secara lembaga perwakilan sebenarnya Indonesia dihadapkan pada pilihan sistem bikameral dalam sistem ketatanegaraan,yakni sebagai yang disarankan oleh banyak kalangan ahli hukum politik dan hukum tata negara supaya dikembangkan menurut sistem  bikameral yang kuat (strong bicameral) dalam arti kedua kamar dilengkapi kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Usulan format seperti ini berkaitan erat dengan penguatan Dewan Perwakilan Daerah. Namun pada kenyataannya bikameral yang diterapkan adalah mengarah pada sistem bikameral yang lemah (soft bicameral), pertanyaannya adalah terhadap dua format tersebut pada perubahan kelima ingin menganut yang sistem bikameral kategori yang mana ? Sebaiknya menurutv penulis Indonesia menganut sistem bikameral khas Indonesia.
37.     Pilihan ini menjadi penting ketika menempatkan DPD RI sebagai satu kamar pada parlemen di Indonesia, artinya pilihan itu perlu disepakati lebih dahulu oleh kalangan DPD RI dan DPR RI dalam satu forum. Jika kita cermati usulan teks hukum negara pada BAB Perubahan UUD (dalam usulan DPD) menjadi BAB XX Pasal 92 yang menyatakan:
Ayat (1) Usul perubahan pasal pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurang 1/3 dari jumlah 1/3 anggota Dewam Perwakilan Rakyat dan 1/3 dari Jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurang oleh 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat (4) Putusan untuk mengubah pasal –pasal Undang-Undang Dasar di;lakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya  lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota Dewan Perwakilan dan lima puluh persen ditambah satu dari seluruh Dewan Perwakilan Daerah dalam Forum majelis permusyawaratan rakyat.
38.  Konsep, bahwa MPR adalah Forum, maka Pasal 2 ayat (1) UUD Neg RI 1945 seharusnya juga diamandemen lebih ditegaskan oleh DPD, yakni dengan rumusan sbb:
BAB II
FORUM MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
Ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat  adalah forum bersama yang terdiri Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih  Lanjut dengan Undang-Undang.
Ayat (2) Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat Bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara.
Pasal 3
Ayat (1) Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebuah Forum yang mengagendakan sidang perubahan Undang-Undang Dasar yang diajukan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat 2 Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Forum yang mengagendakan sidang penetapan Undang-Undang Dasar yang telah disepakati perubahannya dalam sidang bersama  oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat (3) Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mengagendakan sidang untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden
Konstruksi Teks Hukum terhadap  perubahan di atas adalah selaras dengan format usulan pasal 19 dari DPD RI.
39.  Berkaitan dengan kekuasaan Legislatif sebagai pewujudan tehadap parlemen dua kamar, maka rumusan pasal 18 harus dirumuskan sebagai berikut:
Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan legislatif menurut Undang-Undang Dasar.
Kata “menurut Undang-Undang Dasar” adalah memperkuat, bahwa negara Indonesia menganut supremasi konstitusional. Hal ini agar selaras dengan Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu perwujudan kedaulatan Rakyat ditandai keberadaan lembaga perwakilan, yakni DPR dan DPD yang memegang kekuasaan legislatif menurut Undang-Undang Dasar. Mengapa demikian, karena Pasal 26 mengusulkan pola baru terhadap pembahasan rancangan Undang-Undang didalam legislatif dalam konteks effective bikameral dan mempertegas adanya dua kamar pada parlemen Indonesia.
40.  Klasul menurut Undang-Undang Dasar, adalah untuk mengunci dan memperkuat atau menegaskan, bahwa DPR dan DPD adalah lembaga legislatif yang sama-sama memegang kekuasaan legislatif menurut Undang-Undang Dasar dan menegaskan bahwa sistem lembaga perwakilan rakyat Indonesia menganut pola dua kamar yang effective, sehingga menjadi jelas, bahwa forum Majelis permusyawaratan rakyat merupakan joint session antara DPR dan DPD untuk melakukan tugas-tugas ketatanegaran dengan sistem konstitusionalisme.
41.  Mengapa perlunya ada klasul menurut “Undang-Undang Dasar “, karena konsensus untuk menjaminnya tegaknya konstitusionalisme pada umumnya yang dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan, yaitu :[18]
Pertama, Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general accceptance of the sama philosophy of goverment)
Kedua, Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of goverment)
Ketiga, Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of constitutions and procedures)
42.  Berkaitan dengan kesepakatan kedua dan ketiga adalah berkaitan dengan dengan dua hal yang mendasar ketika suatu negara merubah basis hukum dasar yang berkaitan dengan aturan main “The Rule of Law” ketatenegaraan, bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin. Bagi Indonesia telah tegas, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 dan menegaskan, bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti kesepakatan ketiga apabila menjadi penting bagi DPD RI, berarti kesepakatan perubahan itu berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ-organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
43.  Dengan demikian dengan adanya kesepakatan terhadap pilihan model parlemen Indonesia dan penegasan menjadi dua kamar harus diikuti penegasan isi konstitusi yang mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan struktur institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangkan kehidupan berkonstitusi (constitutional state). Artinya ketika kesepakatan utama, yakni perubahan penguatan lembaga perwakilan dirumuskan dalam sebuah agenda perubahan yang intinya mengarah pada prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan, maka struktur lembaga perwakilan harus jelas lenbih dahulu. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau lazim disebut sebagai prinsip “limited goverment”. Prinsip konstitusionalisme secara hukum tata negara isinya dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu (a) menentukan pembatasan-pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain dan (c) mengatur hubungan kekuasan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
44.  Paparan di atas secara analisis penulis ingin menyatakan, bahwa apabila perubahan kelima disepakati sebagai perubahan yang memperkuat lembaga perwakilan Indonesia dan bersepakat, bahwa saat ini sistem perlemen Indonesia bukan sistem bikameral tetapi trikameral, karena pertama, ternyata DPD sama sekali tidak berwenang mengambil keputusan apa-apa dibidang legislatif. Kedua rumusan Pasal 2 ayat (1) tidak mencerminkan sistem bikameral dan ketiga MPR juga mempunyai wewenang dan pimpinan atau institusi tersendiri, sehingga Prof Dr Jimly Asshididiqie berpendapat Indonesia sebenranya menganut tri kameral atau tiga kamar[19]. Oleh karena itu menurut penulis jika DPD RI ingin memperkuat sistem perwakilan, maka pasal 2 ayat (1) harus juga diamandemen.
45.  Mengapa harus ada rumusan pasal 2 ayat (1) dalam amademen kelima oleh DPD RI, karena dalam usulan beberapa pasal secara tegas menyatakan, bahwa MPR adalah Forum. Kemudian dalam naskah akademik usulan DPD RI menyatakan :[20]
     “Dibidang legislatif, MPR ditegaskan sebagai joint session, forum gabungan saat DPR dan DPD melakukan sidang bersama. Selanjutnya, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkan agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi harus disinkronkan dengan kewenangan yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknya ditingkat. Misalnya, dalam proses legislasi, jika kedepan ada amandemen konstitusi, maka DPD tidak hanyua sebatas memberi pertimbangan, tetapi turut memberikan suara untuk menentukan lolos tidaknya  RUU perubahan tersebut.Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan struktural terutama berhubungan dengan personal DPD. Proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD ysang saat ini ada dari tingkat UU ke tingkat konstitusi. Sehingga sistem parlemen Indonesia kedepan sebaiknya mengarah kepada sistem parlemen bikameral yang efekif, meski tidak mengarah kepada bikameral yang sama kuat (perfect bicameralsm) karena perfect berpotensi mengarah kepada kebuntuan proses politik.[21]  
46.  Dengan demikian penguatan lembaga perwakilan Indonesia dengan sistem parlemen bikameral efektif adalah dimaksud sebagai sistem bikameral yang khas Indonesia yang digali dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika, karena prinsip persatuan Indonesia pada sila ketiga sangat dibutuhkan, karena keragamana (Bhinneka) merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (United), tetapi tidak boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed). Karena itu, prinsip persatuan Indonesia tidak boleh diindetikan dengan kesatuan. Prinsip Persatuan juga tidak boleh dipersempit maknanya  atau diidentikan dengan pengertian kelembagaan bentuk negara kesatuan yang merupakan bangunan negara yang dibangun atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Arti Negara Kesatuan Republik Indonesia adfalah merupakan negara persatuan yang didalamnya berkembang suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antar daerah, dalam hal ini diwakili oleh DPD RI sebagai perwujudan kebhinnekaan, tetapi ketika duduk bersama dengan DPR adalah merupakan Tunggal, yakni persatuan Indonesia dalam kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Pontianak, 25 April 2013.
Turiman Fachturhamna Nur



[1] Franscois Venter, :”Contitution Making and the legitimacy of the Constitution in Antero Jyranki (ed), National constitutions in the Era of integration (1999), hlm .19.
[2] Jhon P.Wheeler, Jr,  Changing the fundemental Law dalam Jhon P Wheeler, Jr (ed), Salient Issues of Constitusional Revision, (1961), hlm 49
[3] Anthony Browne, Prodi Fears Sceptics  wil Neuter EU Constitution Vote 2004. http//www vote 2004.com/mediacentre/display, 17 April 2013
[4] Branon P.Denning. Means to Amend: Theories of Constitution Change, 65 : 156 Tennessee Law Review, hlm 160
[5] Jefrey Reiman, The Constitution, Right, and the Condition of legitoimacy dan alan S Rosenbaum (ed) Constitusionalsm: the Philosophiacal Dimension, 1988, hlm 127.
[6] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999
[7]Hermenuetika :berasal dari Bahasa Yunani, hermenuetika (penafsiran) Itu berarti hermenuetika adalah ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks dan ciri-cirinya, baik objektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi variasi historisnya) maupun subyektif (maksud ataupun kenhedak pengarang, lihat Anthon F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia , Genta Publishinh ,Yogyakarta, 2010. hlm xi.  Secara etimologi Hermeneutics atau hermeneia (Yunani) diartikan sebagai penafsiran/interprestasi sehingga merupakan sebuah proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju yang lebih jelas/kongkrit. Periksa Jazim Hamidi, Hermenuetika Hukum teori penemuan hukum baru dengan interpretasi teks, UII Pres.2005, Yogyakarta, hal 19-27-bandingkan dengan suatu "paradigma interpretative mencoba membebaskan kajian- kajian hukum dari otoriasme  para yuris positif yang elitis dengan strategi metodologinya mengajak para pengkaji hukum agar menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna atau pencari keadilan" Menurut Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan membuka Kembali, Cetakan Pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2004, halaman 81-82.
[8] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967.halaman 5
[9] Mark M.Krug  dalam Nur Huda, Islam Nusantara, Ar-RuzMedia, Yogyakarta, 2007, hal 26
[10] Ricoeur dalam Zumro Bestado Syamsuar, Pandangan Paul Recoer Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi atas Teori Kritis Masyarakat", Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta, Program Pascasarjana Ilmu Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004, hlm 347. Untuk memahami Hermenuetika dalam tataran filsafat dan hukum dapat dilihat, Richard E Palmerm, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interprestasi, Yogyakrat : cet II, 2005, Pustaka Pelajar, dan Gregory Ley, Hermenuetika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktek.2007.
[11] Ibid hlm 346.
[12] Karolus Kopong Medan, "Hermenuetik Hukum sebuah model Pemahaman Filosofis Peradilan dalam Membangun Harmonisasi Sosial" Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional "Legal Hermenuetik sebagai Alternatif Kajian Hukum", diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 24 November 2007.Hlm 2.
[13] Soediman Kartohadiprojo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia- Pancasila dan Hukum (kumpulan karangan), Jakarta /Bandung,  2009. halaman 97-98.
[14]  Muhammad Yamin, Sistem Filsafat Pancasila, Pen Khusus Kem Penerrangan RI No 40, halaman, 24
[15] Surah Al-Qur'an, An Nisaa (4) ayat 1.
[16] Surah Al-Quran, Al Hujuraat (49) ayat 13
[17] Surah Al-Quran,  Al Israa (Memperjalankan di malam hari) (17) ayat 84
[18] William G,Andrews, Constitutions and Contitutionalisme, Van Nostrad Company, New Jersey, 1968, hlam 12-13.
[19] Jimly Asshiddiqie, , Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK RI, 2004, hlm 150
[20] Naskah Amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2008. Hlm 6-7.
[21]Giovanoi Sartori, Conparative Constitutonal Engineering: An Inquiry into Structures, Incentive and Outcomes, 1997, hlm 188.
»»  Baca Selengkapnya...