Senin, 24 Juni 2013

NEGARA HARUS KELUAR DARI “JEBAKAN PAHAM LIBERALISME” Mengapa tak membuat “Arisan Nasional”


      NEGARA HARUS KELUAR DARI “JEBAKAN PAHAM LIBERALISME”
                            Mengapa tak membuat “Arisan Nasional”

Oleh; Turiman Fachturahman Nur
HP 08125695414
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

Negara “terjebak” Paham Ekonomi Liberal”
Sebuah catatan menarik dibalik kenaikan BBM 2013, yakni Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai pemerintah lebih menjaga citra di mata dunia Internasional dibanding memperhatikan nasib warganya. Hal ini diungkapkan setelah melihat data penyaluran dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 9,3 triliun.
Menurut Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi, dana BLSM jauh di bawah dana yang dibayarkan Indonesia pada lembaga moneter internasional (IMF) sebagai penyertaan modal sekitar Rp 38,1 triliun. Dana sebesar itu digunakan pemerintah untuk kenaikan kuota suara keanggotaan Indonesia di lembaga tersebut. "Pemerintah lebih peduli dan memberikan 'karpet merah' kepada IMF daripada orang-orang miskin," dalam keterangan tertulis yang diterima merdeka.com di Jakarta, Minggu (16/6).
Pemerintah melalui surat Menteri Keuangan kepada Gubernur BI Nomor S-303/MK.01/2012 tertanggal 12 april 2013, akan tetap membayar kenaikan kuota ke 14 ini. Saat Ini, pemerintah c.q. Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) sedang melakukan revisi PP No.1 tahun 1967, guna menjadi dasar hukum bagi bank sentral untuk melakukan pembayaran atas kenaikan kuota tersebut.
Pelaksanaan Revisi PP No.1 Tahun 1967 telah mendapat persetujuan presiden, sesuai dengan surat menteri sekretaris negara Nomor B-958/M.Sesneg/D-4/PU.02/07/2012 tanggal 23 Juli 2012 dan pernyataan BI  mengejutkan, bahwa "Pembayaran kouta ke 14 sebesar Rp 38,1 triliun akan dilakukan oleh BI dengan menggunakan cadangan devisa dan tidak akan membebani APBN,"
Pembayaran kepada IMF adalah anggaran siluman karena belum mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika hal ini tetap dilaksanakan, berarti pemerintah dinilai sengaja menginjak-injak hak budget DPR tanpa mau meminta persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Ini artinya "Pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingan IMF" Jika pembayaran itu tetap dilaksanakan, maka pemerintah sengaja menginjak-nginjak hak budget DPR. Sebab mereka tidak meminta persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Selain itu, pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingan IMF dan kegengsian semata dalam pergaulan internasional dengan mendapatkan kuota ke 14
Walaupun belum ada pembayaran melalui APBN, tetapi pemerintah melalui surat menteri keuangaan kepada Gubernur BI Nomor S-303/MK.01/2012 tertanggal 12 april 2013, akan tetap  membayar kenaikan kuota ke 14 ini. Dimana pembayaran kouta ke 14 sebesar Rp.38.1 Triliun akan dilakukan oleh BI dengan menggunakan cadangan divisa. Dan penggunaan cadangaan divisa untuk membayar sebesar Rp 38.1 Triliun kepada IMF. Menurut versi pemerintah tidak akan membebani APBN. Dan, saat ini pemerintah c.q. Kementerian keuangaan bekerjasama dengan BI sedang melakukan revisi PP No.1 tahun 1967, guna menjadi dasar hukum bagi BI untuk melakukan pembayaran atas kenaikan kuota tersebut. Pelaksanaan Revisi PP no.1 Tahun 1967 telah mendapat persetujuan presiden, sesuai dengan surat menteri sekretaris negara Nomor B-958/M.Sesneg/D-4/PU.02/07/2012 tanggal 23 Juli 2012.
Dari gambaran diatas, mengkonfirmasikan kepada publik bahwa pembayaran sebesar Rp.38.1 Triliun ke IMF adalah anggaran siluman karena belum mendapat persetujuan dari DPR. Kalau hal ini tetap dilaksanakan, berarti Pemerintah sengaja menginjak-injak hak budget DPR tanpa mau meminta persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Selanjut, pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingaan IMF, dan demi gaya gengsi-gengsian dalam pergaulan International hanya untuk mendapatkan kuota ke 14 saja  dan Negara dalam ha ini DPR dan Pemerintah elah “Terjebak paham Ekonomi Liberal”
Berdasarkan data Koalisi Anti Utang (KAU), dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), menyebutkan penyertaan modal pemerintah tidak hanya kepada IMF tapi juga kepada lembaga keuangan internasional yang lain, misalnya ADB, Bank Dunia. Penyertaan Modal Pemerintah Indonesia dalam rangka keanggotaan pada beberapa organisasi atau lembaga keuangan internasional atau regional baik yang telah disetor maupun yang masih dalam bentuk promissory notes.
Jumlah penyertaan modal pemerintah pada tahun 2010 mencapai Rp 34,65 triliun (LKPP 2010), meningkat sebesar Rp 840 miliar dalam satu tahun menjadi Rp 35,49 triliun (LKPP 2011), kemudian meningkat lagi sebesar Rp 1,21 triliun menjadi Rp 36,70 triliun (Juni 2012, LKPP semester I 2012). Dari total Rp 36,70 triliun pada tahun 2012, porsi penyertaan modal pemerintah kepada IMF merupakan yang terbesar sejumlah Rp 25,8 triliun.

 
 Pemerintah terpaksa “Mati Rasa”
Membaca  cerdasr tehadap penyertaan modal pemerintah Indonesia kepada IMF sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di lembaga tersebutRentetan peristiwa realita didalam kehidupan semakin nyata mendera siapa saja. peristiwa sosial ekonomi, lingkungan dan berbagai peristiwa politik kian merajai setiap detik sendi kehidupan yang lupa atau sengaja lupa dengan sebuah rasa.
Peristiwa kenaikan BBM akan berlnajut, dan harus dimaknai sebagai peristiwa dan carut marut yang menyentak terhadap keberadaan sosial ekonomi dan berbagai rentetan peristiwa lainnya seakan menjadi satu terkait situasi saat ini yang tanpaknya sudah mulai lupa atau sengaja lupa dengan sebuah gambaran tentang “mati rasa”. Persoalan ini muncul  sebuah “mati rasa” Pemerintah yang “harus terpaksa mengambil kebijakan yang sebenarnya telah menjebak dirinya sendiri, yaki  ketika rasa keadilan, kenyamanan, menjadi realita sosial saat ini. Keadaan sosial struku ekonomi masyarakat dengan bermacam ragam kondisi, persoalan dan janji-janji yang menyertai peristiwa politik semakin sering terjadi dan terus akan bergulir menjadi sekelumit beban kaum terpinggirkan dan kebanyakan masyarakat dikalangan “akar rumput”.
Menadi jelaslah, bahwa realitas sosial berbicara, kebijakan para petinggi terkadang banyak yang tidak berbanding lurus dengan makna keadilan social bagi seluruh rakat Indonesia. Coba perhatikan, berapa banyak masyarakat mengeluhkan, tidak mampu, tidak berdaya dan pasrah dengan keadaan yang terjadi. Melambunnya harga kebutuhan sehari-hari melonjak selangit dan semakin meroket bias dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hanya terbatas itukah, tertanyata tidak hanya itu, teriak, jerit tangis dan situasi yang tidak kunjung henti menerpa. Dimana letak sebuah rasa keadilan, demokrasi, kejujuran seakan tidak memiliki nilai lagi di negeri ini. Apapun yang diargumnetasi dan dengan dalih apapun dengan kenaikan harga BBM masih mencari korelasi antara kenaikan BBM dengan subsidi bantuan BLSM. Sebuah kesadaran kolektif menghujam, bahwa ternyata bantuaan tersebut tidaklah sebanding dengan kebutuhan masyarakat saat ini, uang Rp.150.000 dianggap tidak sebanding dengan harga dan kebutuhan saat ini. Bahkan, ada benarnya dari masyarakat mengatakan bahwa uang bantuan tersebut hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan hanya satu minggu saja. memang, kesannya dan pesan yang terkemas adalah pemerintah begitu baik dengan membantu masyarakat, namun sesungguhnya sebuah dilemma baru yang harus diterima terpaksa.  
Dibalik ini ada sebuah pertanyaan terselip dari fakta ini, pertanyaan yang seharusnya menjadi  renungan bersama:
Pertama, Saat ini “Negara”, tanpaknya, lupa dengan realita yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat. Bayangkan saja, bunyi dari sila ke lima Pancasila. “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, pertanyaannya benar sudah adil kah?. Dibagian Timur Indonesia “Seorang teman bergumam nun jauh dari Papua berkata; Uang BLSM sebesar Rp 150.000 bagi mereka hanya cukup untuk membeli gula-gula (jajanan anak mereka). “ Realita ini akan memunculkan kesadaran  kolektif, bahwa resiko bernegara dengan sentralistik, dan resiko jangkauan, jarak, sarana transportasi menjadi faktor mengapa harga begitu sangat mahal di wilayah-wilayah yang sulit di jangkau seperti di Papua, Kalimantan dan mungkin juga terjadi di daerah-daerah lainnya di tanah air. Apakah “luar Jawa harus menghidupi pulau Jawa”, karena selama ini menyetor kepusat eih besar, sedangkan yang dkembalikan diukur jumlah penduduk”. Pemberian subsidi BLSM juga terkesan memanjakan namun sejatinya sebagai sebuah senjata boomerang perang ketika pemerataan yang berhak mendapatkan subsidi malah luput dari bantuan tersebut.  Apaka ni juga sudah mematikan  rasa ! atau sudah adil kah ini?.
Kedua, Ada “penyakit” mata rasa” karena sengaja lupa dapat dikatakan hampir-hampir terjadi dan mungkin saja terjadi disemua lini pengambil keputusan. Mengapa demikian?. Lihat saja, kita “dihadapkan dengan realitas yang mati rasa”, betapa seringnya kita dipertontonkan dengan pola prilaku tatanan kehidupan yang mengelitik, menyeruak dan menjadi fenomena baru setiap hari. Ada sebuah perlombaan yang asat mata, yakni berlomba menjadi para penguasa dan menjadi wakil rakyat tidak kunjung henti dan selalu menjadi isu-isu terseksi di ranah politik Versus masyarakat yang semakin melarat, sekarat tidak berdaya karena situasi dan keadaan. Hal ini akan menimbulkan sebuah kesadaran kolektif “ada duit ada suara” atau “kami sipa menrima serangan  fajar” diaknitkan, karena janji untuk membela kaum akar rumput tinggal sebuah janji seakan hilang tidak berbekas dikala telah dan sudah duduk manis menjadi wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun di daerah. Ibarat teriakan dan jerit tangis seolah menjadi pribahasa anjing menggonggong kafilah berlalu. Ada lagi kesadaran kolektif yang “mati rasa dan terpaksa”, yakni bagi-bagi rejeki tidak halal tidak kunjung berhenti terjadi di setiap sudut, ruang terbuka dan tertutup, para penjelma penguasa tanpa ragu dan malu.
Ketiga, Secara semotika ada bahasa baru tentang “mati rasa” adalah siapa yang berkuasa dan siapa yang berjaya maka dia menguasai seluruh penjuru negeri. Ini juga akan menimbulkan kesadaran kolektif, yakni, penguasa begitu berjaya dengan segala kelimpahan, dengan segala harta dan tahta menggerus menjerumus kaum terpinggirkan, tetapi tak mampu melawan. Ada selogan yang sering menggema dan selalu menjadi tameng, mensejahterakan masyarakat, menyiapkan lapangan pekerjaan, memanfaatkan kekayaan alam untuk kemakmuran dan mengurangi angka kemiskinan serta memberdayakan masyarakat agar mandiri. Pertanyaannya benarkah seperti itu kah?. Bandingkan dengan cerita dan berita dan fakta yang ada, hamparan rimbunnya hutan berganti padang gersang, berubah dan di sulap menjadi berhektar-hektar perkebunan kelapa sawit dan selanjutnya juga pertambangan.
Argumenpun dibangun, ini semua untuk mensejahterakan, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan memberikan lapangan pekerjaan. Tetapi faktanya sesungguhnya, tidak sedikit masyarakat menjerit kesakitan, terhimpit dan terjepit dengan persoalan ini. Kelimpahan dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir saja, sisanya menjadi kuli di negeri sendiri. Jeritanpun terjadi dikala bencana tiba mendera, para penguasa sibuk dengan segala bantuan dan blusukan dan mencoba mencoba atau pura-pura mencari solusi. Demikian juga menjelang ingin mencalonkan menjadi petinggi para penguasa.
Matirasa itu dikemas dengan sederhana, bahwa jerih payah, upaya, langkah, solusi, fenomena dan realita terlampau menjadi sebuah pertentangan yang tidak ada akhir dikala semua tidak lagi selaras dan seiring sejalan. Apakah sudah semakin kendurnya nilai, penghargaan terhadap semua dan sesama, sudah semakin seringnya menelik  telinga rakyat, bahwa  umbar-umbar janji menjadi kekuasaan semu bagi realisasi bersama, keadilan dan pemerataan hanya terbatas pada elit-elit, kekurangan dan keterbatasan terus menerpa para rakyat jelata yang terus didera dan menderita, kebijakan menjadi harga mati dan membuat mati rasa bagi semua yang menderita dan sengsara.
Kondisi ini hampir sudah pasti, lupa atau sengaja lupa dan menjadi penyakit “matirasa” mengelilingi negeri ini. Masyarakat hanya berdoa semoga saja ada ada obat racikan baru bagi para semua yang lupa, sengaja lupa dengan penyakit “matirasa”, apakah konsep Negara ini perlu install ulang atau cukup dilakukan dengan anti virus “matirasa”.

Kebijakan Khas Indonesia untuk keluar dari jeratan Liberalisme
          Berita Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Premium naik Rp2.000 menjadi Rp6.500 per liter dan harga solar naik Rp1.000 menjadi Rp5.500 per liter.
         Seiring kenaikan ini pemerintah akan menyiapkan 15,5 juta kartu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Seperti yang dilansir media massa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Armida Alisjahbana akan membagikan 15,5 juta kartu tersebut ke rumah tangga yang mendapatkan dana kompensasi BBM.
          Kartu khusus ini akan dicetak dan dibagikan kepada semua masyarakat yang berhak mendapatkan dana kompensasi. Kartu ini akan digunakan untuk mendapatkan bantuan, baik Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Saat ini kartu pembagian kompensasi itu masih dalam proses percetakan dan akan dibagikan saat pemerintah mulai menyalurkan dana kompensasi.
          Siapakah yang menjadi koordinator keseluruhan dalam pembagian dana kompensasi ini, berdasarkan kewenangannya maka menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat (menko kesra). Program bantuan sosial ini akan terus berlanjut hingga 2014, kecuali program khusus seperti BLSM yang rencananya cukup dilaksanakan empat sampai lima bulan pascakenaikan harga BBM. Terkait dana kompensasi harga BBM, pemerintah mengusulkan dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini sebesar Rp30,1 triliun. Jumlah tersebut melonjak dari perkiraan semula yang hanya Rp20 triliun.
         Hingga saat ini, pemerintah sudah mendistribusikan 5 juta kartu perlindungan sosial dari 15,5 juta yang ditargetkan. Kartu itu, akan siap hingga akhir Juni mendatang dan pembagian dana tahap pertama akan selesai pada Juli mendatang.
         Bagaimana bagi warga apabila, warga terkait berhalangan hadir bisa diwakili oleh anggota keluarga dengan menunjukkan surat kuasa, KTP, kartu keluarga atau kartu domisili. Apabila terus berhalangan, pemerintah memberi waktu hingga tanggal 2 Desember 2013 untuk diambil jatahnya.
        Pemerintah begitu yakin, bahwa pembagian dana ini tidak akan terjadi penyimpangan seperti ada oknum yang mencoba mengambil dana BLSM lebih dari sekali. Ada kebijakan dengan melengkapi kartu dengan barcode, jadi akan terdata langsung jika diambil. Ia tidak bisa mengambil lebih dari hak-nya
       Inilah sebuah gambaran, bahwa “kebijakan yang tersentralisir” sehingga semua daerah provinsi, kabupaten/kota harus measakan apa yang diambil oleh “elit birokrasi pemerintah pusat”. Hanya menjadi kuatir, “kelas menengah dan akademisi cerdas akan berpikir ulang, atau timbul kesadaranh kolektif apakah kebijakan yang sentralistik ini sebuah resiko NKRI, karena ketakutan terhadap bentuk negara Republik Indonesia menjadi federal kembali”, masihkah para walikota/bupati atau gubernur yang dipilih oleh rakyat daerah berani melawan kebijakan “mati rasa” dari negara atau ikut-ikut matirasa.
          Mengapa tidak terpikirkan untuk membangun “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai salah satu wujud implementasi  sila kelima Pancasila, maka negara ini mengambil kebijakan untuk arisan nasional, setiap provinsi setor 2 milyar dan cabut undi untuk pertama kali di Istana negara dan seterusnya dipusatkan disatu provinsi dan dikaitkan dengan pameran produksi daerah ditempat provinsi yang menjadi tuan rumah arisan nasional dan setiap cabut undi  ada lima provinsi yang dapat dan buat aturan kebijakan oleh Presiden yang tegas, bahwa uang tersebut hanya diperuntukan membangun infra strukur daerah, diluar itu berarti tindakan “mengkhianati rakyat”, sehingga jiwa gotong royong terbangun, bahwa kita masih NKRI,  jika ada 33 Provinsi, maka bagi lima (5), maka lima tahun kebijakan arisan nasional ini diadakan ada sekian proyek infra strukur di daerah yang terbangun dari kebijakan “ndeso” ini, maka pikiran kolektif untuk mengatakan “ketidak adilan antara jawa dan luar jawa akan semakin redup. Jika di desa, di kota ada arisan masyarakat, mengapa negara tak bisa bikin “arisan nasional” untuk membangun negara ini sebagai  salah satu implementasi kongkrit sila kelima dari Pancasila  dan memperekat Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kebangsaan Indonesia, itulah makna persatuan Indonesia, bukan persatuan “mati rasa” untuk rakyat Indonesia.

»»  Baca Selengkapnya...

Minggu, 23 Juni 2013

PANCASILA SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011


PANCASILA SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA DAN  HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

            Untuk memberikan kesepahaman tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara, maka kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.
            Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
          Berdasarkan pernyataan di atas yang perlu dipahami adalah apakah yang dimaksud dengan materi muatan peraturan perundang-undangan ? Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.(Pasal 1 angka 13 UU Nomor 12 Tahun 2011). Dari jawaban atas pertanyaan di atas, maka perlu dipahami bersama apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan?
          Berdasarkan Pasal 4  UU No 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.  (Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011)
          Mengacu pada Pasal 4 di atas dibedakan antara undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011. Walaupun dibedakan keduanya namun secara bentuk dan materi muatan, maka undang-undang termasuk jenis peraturan perundang-undangan.
          Hal ini juga sejalan dengan pengertian peraturan perundangan-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkab oleh  Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun daerah, yang juga mengikat secara umum.
            Untuk memahami pernyataan, bahwa “sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Berikut ini pula dipahami, bahwa nilai nilai Pancasila secara normatif haruslah dihubungkan antara asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan dengan sila-sila dari Pancasila.
            Dengan kata lain klasul tersebut bisa dipahami melalui hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan atau pertanyaannya adalah apa hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan ? Sebagaimana diketahui, bahwa sila-sila Pancasila divisualisasikan secara semiotika hukum didalam lambang negara, yakni pada perisai Pancasila, maka diperlukan satu pemahaman terhadap pembacaan Pancasila sebagai cita hukum atau sebagai sumber segala sumber hukum negara berdasarkan lambang negara dengan pendekatan semiotika hukum.
             Berkaitan dengan ini teks hukum negara pada pasal 48  ayat (2) Undang-Undang Nomo 24 Tahun 2009, yang menyatakan “Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
            Terhadap konsep “berthawaf”  diatas penafsiran Sultan Hamid II  menyatakan : [1]
  ".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca NKRI) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima.
    Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan  makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral. [2]
  Mengapa Sultan Hamid II menggunakan konsep thawaf dalam membaca Pancasila,  Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [3]
     "... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
   Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid II menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[4]
      " ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah  menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni  membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja”.
   Kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang adil dan beradab disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat dan  pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
   Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara  sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan  Yang Maha Esa. Dengan kata lain  negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut  dasar  kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan  atau generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan  memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
 Jika sudah ada kesadaran akan hak dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia,  tentunya mendjadi kuat dan  pada langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
            Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [5]
            Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan  dengan konsep Pancasila dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini  Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan Pancasila berthawaf atau selaras dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II. Transformasinya pembacaan Pancasila berhawaf dapat menselaraskan dengan subtansi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya ketika penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), sebagaimana paparan berikut ini.
             Filsafat Hukum (Pancasila) dengan konsep pembacaan Pancasila "berthawaf" secara ontologi adalah  berdasarkan hukum alam/yang berbasis spiritualis menawarkan cara-cara untuk melengkapi pandangan ilmuwan hukum yang ada sebelumnya yang membaca Pancasila dengan konsep hirarkis piramida, dengan menunjukan cara baru bagaimana  sejarah, semiotika dan filsafat perkembangan pemikiran hukum dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun barangkali pada satu titik tertentu masih belum diperoleh titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa mendatang itulah ilmuwan perlu merekonstruksi konsep-konsep yang ditawarkan dalam tataran keilmuan, termasuk didalamnya ilmu hukum dan sekaligus termasuklah didalamnya adalah ilmu hukum tata negara Indonesia.
              Pada tataran yang demikian itu, maka model pembacaan Pancasila dengan konsep pembacaan melingkar dengan gerak yang berlawanan dengan arah jarum jam  atau gerakan “berthawaf” berdasarkan semiotika pada perisai Pancasila dalam lambang negara Republik Indonesia adalah selaras dengan analisis sejarah hukum dan analisis semiotika hukum yang kemudian disebut sebagai konsep semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan lambang negara Republik Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II  atau selaras dengan pasal 48 UU No 24 Tahun 2009.
            Adapun rumusannya adalah Sila Kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa merupakan sila yang menjadi basis utama yang menerangi/nur cahaya keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara bangsa–bangsa di dunia. Semangat Ketuhanan Yang  Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 
               Dalam wadah negara, rakyatnya adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka dalam kehidupan kenegaraan, berbangsa dan bermasyarakat tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang, karena setiap warga negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan dilembagakan melalui sistem perwakilan, karena kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dalam bingkai negara hukum dan pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah konsep negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha  Esa (pasal 29 ayat (1) UUD Neg RI 1945) yang berkedaulatan rakyat menurut paham konstitusionalisme (Pasal 1 ayat (2) UUD Neg RI 1945)  dalam wadah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD Neg RI 1945) berdasarkan Pancasila (Alinea Keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945) yang menjunjung tinggi nilai-nilai relegiositas yang berasal dari sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat universal (asmaul husna) yang diupayakan oleh manusia yang beraneka ragam suku bangsa tetapi berasal dari diri yang satu atau satu diri, yaitu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.(Qur’an Al Hujurat (49) ayat (13) dan Surah ke 4 Anisa ayat (1) atau dalam bahasa semiotika lambang negara adalah Bhinneka Tunggal Ika. Bhina Ika, Tunggal Ika, Beranekaragam itu dan satu itu beraneka ragam. Keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman.
              Adapun konsepnya secara epistemologinya adalah sebagai berikut, bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan cahaya dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu ilmu perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf  j Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara dan asas ini secara semiotika hukum tetap menjadi basis sentral, oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan ditengah perisai merah putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna hitam sebagai warna alam dan Sila I yang dilambang dengan cahaya dibagian tengah berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
              Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila.  Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f  Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h  Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya  bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
           Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semnagat demokrasi untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang bersifat Progresif  haruslah taat kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
              Kemudian Sila I menjadi  cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang  Nomor  12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i  Undang- Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum..
             Dengan demikian pada tataran perencanaan penyusunan UndangUndang dalam prolegnas sebagai skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam kerangka sistem hukum nasional[6] berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya Penempatan Pancasila sebagai cita hukum dengan menempatkan Pancasila merupakan sumber segala  sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat dan sekaligus menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga materi muatan Peraturan perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang konsep pembacaan selaras dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009), yaitu pembacaan Pancasila dengan logosentrisme berthawaf.
              Konstruksi hukum, bahwa  Pancasila bukan hanya staatfundalmentalnorm (kaidah fundamental negara), sebagai cita hukum (rechtidee) yang dijadikan sumber segala sumber hukum negara yang keberadaannya tidak hanya diluar konstitusi negara (UUD Negara RI) 1945, tetapi menjadi bagian UUD Negara RI, 1945, sehingga Pancasila tidak menjadi mitos, terlalu abstrak dan tidak cair, sebagaimana Pembacaan Pancasila secara hirarkis piramida menurut pandangan Notonagoro dan dianut oleh para penstudi hukum di Indonesia ketika memberikan penafsiran filsafat hukum Pancasila.
               Konsep Pembacaan Pancasila secara hirarkis Piramida secara semiotika hukum harus diselaraskan dengan pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam Lambang Negara Republik Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009). Sedangkan Penjabaran Pancasila sebagai cita hukum atau Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara, dapat  dijabarkan atau diwujudkan secara semiotika hukum dengan menghubungkan dengan penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Artinya antara Pasal 2 jo Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 selaras dan korelasi yang jelas dengan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
             Untuk menerapkan konsep Pembacaan Pancasila “berthawaf” berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia kedalam pemetaan suatu undang-undang akan lebih mudah untuk memetakan materi muatannya dengan cara menstruktur pasal-pasal dalam sebuah Undang-Undang sesuai jenis peraturan perundang-undangan yang diperintahkan/imperatif ke dalam bentuk peraturan perundangan dari sisi penjabarannya, misalnya dari Undang-Undang ke bentuk peraturan presiden. Memang kelihatan tidak hirarkis sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi dengan bantuan model pembacaan Pancasila berthawaf bisa dilacak keberadaannya, karena selama ini dalam hukum tata negara, bahwa undang-undang harus dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi bisa saja keberadaan Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah dari  undang-undang, atau dari  peraturan pemerintah yang secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya (pasal 13 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011). Artinya bisa jadi dalam satu Undang-Undang bisa dipetakan sekian konsep pembacaan dengan struktur pola pembacaan Pancasila  “berthawaf”.
            Kemudian untuk memahami hirarki peraturan perundang-undangan, maka secara teks hukum negara, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksud dengan hirarki ? Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan pada penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
           Berdasarkan pengertian hirarki diatas, maka dimana pengaturan tentang hirarki peraturan perundang-undangan dirumuskan secara teks hukum negara ?
           Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
     g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
           Pertanyaan apakah  jenis peraturan perundangan hanya yang terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7 Ayat (1) saja ?  UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas menyatakan pada Pasal 8
 (1)      Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2)        Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
            Pasal  8 ayat (2) di atas  memberikan penegasan tentang kekuatan hukum  terhadap peraturan perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1), yakni pertama sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
            Pernyataan ini memberikan pemahaman, bahwa apabila didalam peraturan perundang-undangan apakah berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah  terdapat pasal yang teks normatifnya terdapat klasul, misalnya “lebih lanjut diatur atau ditetapkan dengan peraturan menteri”, maka keberadaan peraturan menteri tersebut mengikat secara hukum. Artinya keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apakah yang dimaksud peraturan menteri?, penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
          Yang menjadi persoalan dalam tataran pratek selama ini setelah terbitnya UU nomor 12 Tahun 2011 masih ada Ketetapan Menteri tetapi materi muatannya bersifat mengatur, bagaimana kekuatan hukumnya. Pasal 100 UU Nomor 12 menyatakan, bahwa Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
            Kemudian pada pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 kedua menyatakan atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya apa yang dimaksudkan berdasarkan kewenangan ? Penjelasan pasal 8 ayat (2) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
            Berkaitan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan peraturan kewenangan bukan berarti kewenangan yang lepas dari dasar hukumnya, karena didalam doktrin hukum administrasi negara dikenal namanya instrumen pemerintahan dan salah satunya adalah peraturan perundang-undangan. Selain itu adalah ketetapan Tata Usaha Negara, Peraturan Kebijakan. Rencana, Perizinan.
             Yang sering belum terbangun kesepahaman dipublik adalah peraturan kebijakan. Oleh karena itu untuk membangun kesepahaman perlu dipaparkan masalah ini. Mengapa demikian, karena keberadaan peraturan kebijakan secara hukum tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan  bebas dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freis ermessen.
             Secara bahasa Frei yang artinya bebas, tidak terikat, dan merdeka. Freis artinya, orang yang bebas, tidak terikat, merdeka. Ermesen artinya mempertimbangkan, menilai, memperkirakan. Pengertian Freis Ermessen, yakni kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yakni kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan kefektifan tercapainya suatu tujuan dan berpegang teguh pada ketentuan hukum.
           Penggunaan freis Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif) dan penggunaan freis Ermesen hanya ditujukan untuk kepentingan umum. Menurut  Indroharto, pembuatan peraturan kebijakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[7]
1.      Ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan.
2.      Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3.      Ia harus dipersiapkan dengan cermat, semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
4.      Isi dari kebijakan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
5.      Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan yang akan ditempuh harus jelas.
6.      Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum material artinya hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena  harus dihormati kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
       Berkaitan dengan enam hal diatas, maka sebenarnya diskresi yang berdasarkan konsep freis Emerssen tidak terlepas dari materi muatan peraturan perundangan-undangan yang akan dijadikan sumber wewenangnya.
       Untuk memahami sumber wewenang tersebut, maka perlu dikaitkan dengan materi muatan peraturan peraturan perundang-undangan sesuai dengan masing-masing jenis peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dijabarkan pada:
Pasal 10
(1)   Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a.  pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pada penjelasan pasal 10 Huruf c menyatakan: Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR
Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1)Huruf d, bahwa yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 12
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
           Materi muatan tidak  terlepas dari struktur masing-masing jenis peraturan perundang-undangan, oleh karena asas hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
        Jika kita menstruktur kembali  subtansi Pasal 7 ayat 1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
·         Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
·         UUD1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.
·         Setelah itu terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku kembali sampai dengan sekarang.
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
·         merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).
·         Pada masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
·         Contoh : TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000
c.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
·         yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
·         Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”
d.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
·         1)      Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
·         2)      Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
·         3)      DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
·         4)      Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Contoh: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
e.       Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f.       Peraturan Daerah Provinsi
·         Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
·         Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
            Kemudian dengan dikeluarkannya Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 produk hukum daerah dapat dikategorikan Pengaturan; dan Penetapan  (pasal 2) dan yang bersifat pengaturan terdiri dari Perda atau nama lainnya, Perkada; dan  Peraturan Bersama  KDH (pasal 3).
          Kemudian biasanya yang menjadi pertanyaan publik adalah bagaimana kedudukan surat edaran ? Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen Nomor 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.
          Selanjutnya dalam Permendagri  Nomor 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan :
  • Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
  • Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
  • Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.
    



[1] Transkrip Sultan Hamid II,  15 April 1967, op cit, halaman 7
[2] Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[3] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid halaman 7
[4] Transkrip Sultan Hamid II,  15 April 1967, ibid, halaman 8
[5] Hatta, Panitia Lima, 1980  dalam  Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[6] Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
[7] Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut hukum publik dan hukum Perdata, Jakarta, 1992, halaman 45-46.
»»  Baca Selengkapnya...