Selasa, 20 Maret 2012

PENDAPAT ANALISIS HUKUM TERHADAP KLASUL PENGHILANGAN KEWENANGAN DAN POSISI KEPALA DAERAH SEBAGAI PEJABAT PEMBINAAN KEPEGAWAIAN (PPK)


              PENDAPAT ANALISIS HUKUM TERHADAP KLASUL PENGHILANGAN  KEWENANGAN DAN  POSISI KEPALA DAERAH SEBAGAI PEJABAT PEMBINAAN KEPEGAWAIAN (PPK) DALAM RUU APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DAN POSISI SEKDA DALAM REVISI UU NOMOR 32 TAHUN 2004
OLEH : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR
EXPERT HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAERAH KAL-BAR

1.          Seperti sama-sama diketahui bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah disampaian oleh Pemerintah kepada DPR RI, dan saat ini DPR RI telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas RUU tersebut.
2.          Selain itu, saat ini DPR RI, melalui Komisi II, juga sedang membahas RUU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan menggantikan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
3.          Di dalam ketentuan kedua draf RUU tersebut terdapat permasalahan krusial berkenaan dengan kepegawaian yang selama ini menjadi kewenangan Bupati. Di dalam RUU tentang Pemerintah Daerah, terdapat ketentuan yang berbunyi: Sekretaris daerah bertindak selaku Pembina kepegawaian daerah yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan manajemen kepegawaian daerah”. Sedangkan pada draf RUU ASN, kewenangan Kepala Daerah sebagai Pembina Kepegawaian di Daerah dihilangkan sama sekali, karena adanya ketentuan yang menyatakan bahwa pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai ASN adalah Presiden yang dapat mendelegasikan sebagian kepada pejabat karir tertinggi di daerah, yang notabene adalah Sekretaris Daerah.
4.          Ketentuan ini jelas memangkas dan menghilangkan kewenangan Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang dialihkan kepada Sekretaris Daerah. Ketentuan ini sangat berpotensi memunculkan terjadinya “dualisme” dalam tubuh pemerintahan daerah, yang justru sangat rentan pula membuka celah terjadinya benturan, baik di internal kalangan pegawai sendiri maupun antara Bupati dengan sesama unsur penyelenggara pemerintahan di daerah (DPRD) dan pemangku kepentingan lainnya di masyarakat, terlebih dengan pemerintah propinsi (Gubernur dan SKPD propinsi).
5.          Hendaknya kita pahami bahwa Bupati dalam menjalankan jabatannya selaku kepala daerah dan pemerintahan perlu didukung dengan instrumen birokrasi yang dapat bekerjasama dengan baik agar keseluruhan program yang telah tersusun dalam rencana kegiatan dapat berjalan maksimal dan mencapai sasaran yang ditargetkan untuk percepatan pembangunan. Bupati menjabat didasarkan pada pemilihan umum kepala daerah oleh rakyat di daerah, sehingga Bupati harus memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat atas kinerjanya. Ini harus pula dijamin dengan dukungan kinerja aparatur di daerah. Ironisnya lagi, pengangkatan dan penggantian sekretaris daerah bukan merupakan kewenangan Bupati melainkan kewenangan Gubernur. Jika terjadi disharmonisasi akibat “dualisme” tersebut, kinerja pemerintah daerah menjadi kurang baik akan menimbulkan stagnansi dan persoalan baru yang bahkan justru berpotensi memunculkan instabilitas politik di daerah. Ketentuan ini bahkan berpotensi menjadikan posisi bupati akan ‘tersandera’ dengan kepentingan berbagai pihak.
6.          Patut kita kembalikan esensi jabatan bupati selaku kepala daerah  untuk mendapatkan kewenangan penuh dari ‘mandat’ yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan kepada daerah dan peraturan perundangan. Kewenangan inilah justru yang kemudian diberikan dan diserahkan atau dibagi kepada birokrasi sampai ke tingkat paling bawah yaitu pejabat kepala SKPD yang ada di tubuh pemerintahan, termasuk Sekretaris Daerah untuk menjalankan kewenangan yang diserahkan oleh rakyat kepada bupati agar dapat menjalankan pemerintahan dan pelayanan kepada rakyat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Maka ketentuan  di dalam draf kedua RUU tersebut tersebut secara materiil substansial sebenarnya sudah menyalahi dan merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip demokrasi sesuai konstitusi.   
7.          Hendaknya perubahan UU tentang Pemerintahan Daerah disusun dengan tetap berorientasi pada semangat untuk melakukan penyempurnaan saja atas berbagai ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Ini dimaksudkan untuk percepatan pelayanan dan harus mejadi solusi yang baik, dan bukan sebaliknya justru menjadi kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan persoalan pelik baru di daerah-daerah dan jauh dari tujuan dan semangat otonomi daerah dan desentralisasi itu sendiri.
8.          Terjadinya ‘politisasi birokrasi’ yang selalu digembar-gemborkan (secara berlebihan) oleh berbagai pihak tidaklah harus disikapi secara reaktif. Ini tidak dapat digeneralisasi, melainkan bersifat kasuistis saja dengan kadar yang berbeda-beda. Untuk itu seharusnya diselesaikan dengan langkah kasuistis juga. Langkah paling bijak dan baik adalah memaksimalkan dan mengatur secara tegas sanksi terhadap daerah bilamana terjadi ‘politisasi birokrasi’ secara nyata dengan ukuran-ukuran yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
9.          Apkasi berpendapat ketentuan ini bahkan semakin membuka celah persoalan politik yang lebih luas dan berdampak tidak baik bagi pembangunan suasana kondusif di daerah.Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan di atas, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) harus mengambil sikap terhadap ketentuan yang terdapat di dalam kedua draft RUU dimaksud.
10.       Mengingat  adanya  rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  Tentang Pemerintah Daerah  yang dikaitkan dengan RUU Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti UU No 8 Tahun 1974 jo UU UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu adanya klasul  penghapusan terhadap wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS yang melekat pada kepala daerah selaku Pejabat Pembinaan Kepegawaian (PPK), karena tak lama lagi  menyusul dengan akan adanya UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Saat ini RUU ASN sedang dalam penggodokan di Komisi II DPR RI.
11.       Adapun alasan politik yang digunakan oleh BKN, bahwa  "Posisi PPK yang selama ini dijabat pejabat politik akan menimbulkan persoalan tersendiri dalam manajemen kepegawaian. Namun ini akan dapat terselesaikan dengan adanya UU ASN bilamana sudah disahkan. Sebab PPK akan dijabat Sekda," sebagaimana diterangkan Kabag Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat di Jakarta, Rabu (14/3  2012).
12.       Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra, yaitu bahwa diakuinya, peralihan ini menimbulkan protes di kalangan kepala daerah. Mereka merasa tidak punya power sebagai pimpinan jika bawahannya (PNS) lebih takut kepada Sekda. "Memang hampir semua kepala daerah protes tentang hal ini. Mereka berpendapat, Sekda justru akan memanfaatkan posisinya sebagai PPK untuk mengendalikan PNS. Apalagi tak sedikit Sekda yang akhirnya mencalonkan diri sebagai kepala daerah,"
13.       Bahkan ada sebagian pengamat yang setuju seperti saat ini dan persetujuan tersebut dinyatakan dihadapan puluhan kepala daerah di hadapan sebagaimana disampaikan Wakil Menpan & RB Eko Prasojo meminta agar posisi PPK tetap berada di pejabat politik dan bukan karir. Salah satu pertimbangannya adalah KEPALA DAERAH tidak bisa lagi memberikan perintah kepada PNS. Sebab, PNS tidak akan tunduk perintah, maka pernyataan ini  menurut  APKABSI harus dicermati.
14.       Bahkan beberapa   KEPALA DAERAH  juga berpendapat, bila sekda yang menjadi PPK akan terjadi dualisme kepemimpinan. Lantaran PNS lebih bertanggung jawab kepada Sekda ketimbang kepada KEPALA DAERAH.
15.       Tetapi pada kesempatan lain terhadap hal ini, Wamenpan & RB Eko Prasojo mengatakan pada kesempatan lain menyatakan, bahwa, PPK harus dipegang pejabat karir agar jabatan PNS bisa berkesinambungan. Lantaran yang terjadi selama ini, karir PNS bisa mati tiba-tiba tergantung kedekatan dengan pimpinan daerah. Padahal, jenjang karir PNS itu harus naik seiring dengan bertambahnya kemampuan dan masa kerja pegawai bersangkutan.  PERNYATAAN INI  ANOMALI  atau TIDAK KONSISTEN adapun alasannya wamen dan RB Eko Prasojo, bahwa  "PNS itu merintis karir dari nol. Kalau kemudian dia tidak dekat dengan KEPALA DAERAH dan lantas dinonjobkan, yang dirugikan PNS-nya. Beda kalau Sekda yang menjadi PPK, karir PNS akan terjaga karena Sekda tidak gonta-ganti layaknya kada,"
16.       Terhadap pernyataan yang anomali diatas, maka APKABSI harus bias menstressing untuk mengeluarkan klasul pasal tersebut dari RUU ASN, jika tidak akan menimbulkan  penolakan besar-besaran oleh seluriuh bupati se Indonesia dan hal ini membahayakan bagi pemerintahan Presiden SBY.
17.       Klasul dimaksud adalah Ketentuan di Rancangan Undang-undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN) dan RUU revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menempatkan sekretaris daerah (sekda) sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan ini membuat gerah sejumlah bupati. Dengan aturan itu, peran KEPALA DAERAH yang selama ini menjadi PPK, menjadi terpangkas.  Alasan bupati, jika sekda menjadi PPK, kebijakan tersebut akan melemahkan posisi KEPALA DAERAH dan memberikan peluang bagi sekda untuk kepentingan politik, jika dia ikut maju dalam pemilukada.
18.       Pernyataan itu bisa kita  invenstigasi salah satunya pada pernyataan berikut ini "Kami keberatan kalau sekda diangkat jadi PPK. Nanti pegawainya lebih takut ke sekda daripada bupati/walikota. Sekda juga bisa menjadikan posisinya sebagai agenda politik," ujar Bupati Sumbawa Barat  Mala Rahman dalam sosialisasi reformasi birokrasi di Jakarta, Minggu (18/12 2010).  Senada itu, Bupati Pacitan Indartarto mengatakan, bila DPR dan pemerintah pusat tetap menjadikan sekda sebagai PPK di dalam RUU ASN, maka akan muncul dualisme kepemimpinan di daerah. "Kalau sekda berkuasa jadinya seperti matahari kembar. Pegawai pun tidak loyal ke kada dan ini sangat merugikan karena tidak bisa menegakkan aturan," ucapnya.
19.       Menanggapi keluhan itu,  Wakil Menpan-RB Eko Prasojo mengatakan, penempatan sekda sebagai PPK merupakan ide DPR RI. Ini lantaran KEPALA DAERAH merupakan jabatan politik dikhawatirkan akan mengarahkan PNS menjadi tidak netral.   "DPR berpikir agar PNS netral, PPK-nya harus pejabat karir tertinggi yaitu sekda," katanya. Namun, keberatan kada ini akan ditampung pemerintah untuk dirumuskan bersama dengan DPRI RI dalam pembahasan RUU ASN. "Masih akan dibahas lebih lanjut dalam RUU ASN, tentunya akan disesuaikan juga dengan revisi UU Pemda demikian pernyataan wamen. Terhadap pernyataan wamen jika benar klasul tersebut adalah ide DPR RI, maka harus ada gerakan APKABSI untuk melobi DPR RI  agar  ide tersebut  dikeluarkan dari RUU ASN dan  Revisi UU No 32 Tahun 2004.
20.       Analisis terhadap klasul tersebut  tidak selaras dengan konsep desentralisasi dan juga dengan esensi demokrasi di daerah, yaitu  bahwa semenjak pasca reformasi bergulir di Indonesia, salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah semakin sentralnya peran kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan. Sebagai contoh dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain memiliki tugas dan wewenang untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, kepala daerah juga memiliki tugas dan wewenang penting lain yakni :
a.      mengajukan rancangan Perda;
b.      menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
c.      menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
d.      mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
e.      mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
f.       melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengingat peran sentral kepala daerah pada era reformasi tersebut maka menjadi konsekuensi logis apabila cara atau sistem pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu strategis yang mendapat perhatian serius. Bahkan tidak kurang konstitusi hasil amandemen mengulas secara eksplisit masalah ini. Dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
21          Dasar  argumentasi berikutnya, bahwa KEPALA DAERAH juga mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan Aparatur Sipil Negara yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan Nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
22          Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan pegawai Aparatur Sipil Negara. Pegawai Aparatur Sipil Negara diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan pegawai Aparatur Sipil Negara.Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalu pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
23          Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, pegawai Aparatur Sipil Negara harus memiliki profesi dan manajemen Aparatur Sipil Negara yang berdasarkan pada asas merit atau perbandingan antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
24          Manajemen Aparatur Sipil Negara perlu diatur secara menyeluruh, dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur yang seragam meliputi penetapan kebutuhan dan pengendalian jumlah,  pengadaan, jabatan, pola karier, penggajian, tunjangan, kesejahteraan, dan penghargaan, sanksi dan pemberhentian, pensiun, dan perlindungan. Dengan adanya keseragaman, diharapkan akan tercipta penyelenggaraan manajemen Aparatur Sipil Negara yang memenuhi standar kualifikasi yang sama di seluruh Indonesia.
25          Pada tataran di atas  APKABSI setuju tetapi dengan memangkas KEWENANGAN an POSISI dKEPALA DAERAH  SEBAGAI PPK adalah  sebuah distorsi dan menciderai terhadap esensi demokrasi di daerah, karena bagaimanapun KEPALA DAERAH terpilih  ketika akan mewujudkan visi dan misi dalam RPJMD yang merupakan sinergisitas anatar visi dan misi kepala daerah terpilih dan visi dan misi masing SKPD. Yang selanjutnya kemudian diregulasi dalam  bentuk PERDA. Kemudian untuk menjabarkan itu maka KEPALA DAERAH terpilih mendelegasikan seluruh kewenangannya dalam pelaksanaaan kewajiban daerah  sebagaimana dimaksud pasal  25 UU No 32 Tahun 2004 (yang tidak berubah dalam revisi RUU nya), kepada seluruh jajarannya di aparatur penyelenggara pemerintah daerah mulai dari SEKDA dan seluruh paratur di SKPD , maka pada posisi ini menjadi penting KEPALA DAERAH sebagai PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian).
26          Kemudian apabila kewenangan dan posisi itu dialihkan kepada SEKDA maka kewenangan yang melekat  diposisi KEPALA  DAERAH terpilih dalam PILKADA terjadi DUALISME KEWENANGAN dan DISTORSI terhadap asas desentralisasi dan semangat demokrasi di daerah. Hal ini  akan meningkatkan friksi politik antara KEPALA DAERAH terpilih dalam PILKADA dengan SEKDA. Klasul ini semakin memperlemah manajemen pemerintahan di daerah yang menitik beratkan otonomi daerah pada kabupaten dan kota  sebagai  agenda reformasi yang dijamin secara konstitusional  dan TAP MPR.
27          Analisis berikutnya adalah bertentagan dengan  model manajemen modern berkaitan birokrasi modern, karenba dengan Pemerintahan Daerah atau Daerah Otonom adalah bagian dari pelaksanaan prinsip desentralisasi dalam suatu pemerintahan. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman yang baku tentang prinsip desentralisasi. Secara konseptual desentralisasi umumnya dipahami bersisi ganda: pertama, meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan nasional dan, kedua, mengaktualisasikan representasi lokalitas. Yang pertama biasa disebut dekonsentrasi dan yang kedua disebut devolusi (Smith, 1985:9). Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, aspek yang kedua itu yang disebut desentralisasi.
28          Sebagai suatu prinsip yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan modern, desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal. Melalui pelaksanaan prinsip ini, diharapkan akan berkembang suatu cara pengelolaan kewenangan dan sumberdaya, yang tidak hanya semakin memudahkan pelaksanaan aktivitas yang berlingkup nasional tetapi juga secara bersamaan secara nyata mengakomodasi aspirasi pada tingkat lokal. Selain itu, melalui pembentukan daerah otonom juga dapat diharapkan semakin berkembangnya kehidupan demokratis pada tingkat lokal. Dalam konteks ini, makna keberadaan pemerintahan daerah juga akan sangat berkaitan dengan efektivitas cara pemilihan kepala daerah.’
29          Pelbagai makna yang melekat dalam keberadaan pemerintahan daerah mencerminkan berbagai fungsi pemerintahan daerah, yang menurut Kjellberg (1995:40) dapat berupa beberapa hal sebagai berikut: Pertama, pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan nasional. Sebagai subsistem pemerintahan nasional, keberadaan suatu daerah otonom akan berkaitan dengan penyelenggaraan penegakan rule of law, redistribusi geografis, dan pengemudian ekonomi makro. Dalam penegakan rule of law, suatu daerah otonom berperan untuk menjamin agar hak-hak sipil bebas dari “penyalah-gunaan” oleh penguasa lokal, disamping untuk menjamin persyaratan agar produksi pelayanan umum oleh pejabat daerah bersifat efisien. Dengan peran untuk menjamin terselenggaranya redistribusi geografis, maka pemerintahan daerah bersifat instrumental untuk membingkai produksi dan distribusi kemanfaatan publik dan beban yang tak terhindarkan, yang ditujukan untuk mewujudkan keadilan di seluruh masyarakat. Sedangkan untuk pengemudian ekonomi makro, pemerintahan daerah atau daerah otonom berperan untuk menjamin agar setiap usaha untuk mengemudikan ekonomi nasional, termasuk melaksanakan setiap kebijakan untuk mengontrol permintaan agregat dan belanja konsumen, mensyaratkan intervensi pusat dalam keuangan lokal.
30          Kedua, pemerintahan daerah sebagai pengelola aspirasi lokal.  Daerah otonom merupakan suatu instrumen bagi teraktualisasinya nilai-nilai otonomi, partisipasi, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Berkaitan dengan nilai otonomi, suatu daerah otonom berperan untuk menjamin kebebasan komunitas lokal untuk membangun sesuai dengan preferensi mereka sendiri serta terbentuknya badan lokal sebagai subyek hukum (legal entity). Dalam hal nilai partisipasi, daerah otonom merupakan wahana utama untuk akses dan nutrisi masyarakat dalam masalah-masalah publik. Selain itu, daerah otonom juga berperan untuk menjamin agar partisipasi mendorong berkembangnya perasaan solidaritas dalam masyarakat. Selanjutnya, dalam hal nilai efisiensi, suatu daerah otonom berperan untuk menjamin agar badan-badan lokal yang dipilih menawarkan cara terefisien dalam menangani kesenjangan antara kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat; dan juga dalam produksi kemanfaatan publik, terutama dengan: memiliki pengetahuan yang dibutuhkan, cocok utk mengkordinasikan tindakan publik, dan berpotensi besar untuk menghubungkan isyu-isyu besar dan berbeda dalam masyarakat.
31          Ketiga, pemerintahan daerah sebagai wadah pendidikan politik masyarakat. Pemerintahan daerah atau daerah otonom menjadi instrumen untuk pengembangan pola peranan, komunikasi, dan kepemimpinan. Dalam pengembangan pola peranan, suatu daerah otonom mencerminkan gambaran stratifikasi sosial dan realitas aktivitasnya dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik lokal. Selain itu, kebijakan dan implementasinya yang berkaitan dengan persyaratan rekrutmen anggota badan politik lokal mempengaruhi pola peranan dalam masyarakat, dan membiasakan masyarakat untuk berproses dalam pola peranan tersebut. Dalam hal komunikasi, suatu daerah otonom melalui cara penetapan dan pelaksanaan peraturan dan kebijakan lokal mendidik masyarakat dalam pola komunikasi tertentu. Peran pemerintahan daerah atau daerah otonom sebagai pendidik, juga terkait dengan kenyataan bahwa kemampuan masyarakat berkomunikasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dimulai dari kemudahan akses mendapatkan informasi dari pemerintah daerah. Selanjutnya, dalam hal kepemimpinan, peran daerah otonom sebagai pendidik bermula dari kenyataan bahwa proses pemilihan pemimpin lokal yang senyatanya akan mendidik rakyat dalam memahami apakah kepemimpinan politik bersifat terpencar atau terpusat, dan apakah distribusi kekuasaan akan bersifat luas atau sempit.  Selain itu, peran sebagai pendidik juga diperkuat oleh kanyataan bahwa kepemimpinan lokal akan mempengaruhi berkembangnya masyarakat elitis atau masyarakat pluralis.
32          Sisi lain dari keberadaan suatu pemerintahan daerah atau daerah otonom adalah munculnya persoalan hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan nasional. Keberadaan daerah otonom sebagai subsistem pemerintahan nasional memunculkan dua institusi penyelenggara pemerintahan daerah, yakni institusi daerah dan institusi nasional. Lebih lanjut, keberadaan kedua institusi tersebut memunculkan aspek hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hubungan tersebut bersegi banyak, mulai dari distribusi fungsi sampai dengan kemudahan akses dan kemungkinan diskresi.
33          Jika membaca naskah akademik terhadap latarbelakang lahirnya RUU ASN ini menurut  analisis secara akademik dan pragmatis  adalah terlalu tendensius karena landasan yuridis dan landasan sosiologisnya hanya berangkat dari fakta kasus perkasus yang  kemudian digeneralisir sebenarnya dan hal ini tidak selaras dengan apa yang dimaksud dengan naskah akademik menuruit UU Nomor 12 tahun 2011 Tetang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Apabila hanya kasus, maka penyelesaiannya bukan parsial hanya dari kaca mata birokrtasi tetapi tidak dipertimbangan aspek demokrasi dan esenmsi otonomi daerah. Cukup saja dengan peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatasinya, misalnya UU KPK, sehingga terkesan RUU ASN adalah  “dipaksakan” untuk merubah system  atauhanya memenuhi  pesan BANK DUNIA serta terkesan PROYEK PENELITIAN YANG DISPONSORI BANK ASING, patut dicurigai ini adalah NEO LIBRALISME yang tidak selaras dengan cita hukum Indonesia; Pancasial sebagai sumber segara sumber hukum, negara. Hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan sebagai berikut dalam NASKAH AKADEMIK RUU ASN:
Landasan  Yuridis
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang PokokPokok Kepegawaian yang mengatur tentang manajemen kepegawaian Negara yang disusun berdasarkan kerangka pemikiran bahwa pegawai sebagai individu dan sebagai korp adalah bagian integral dari pemerintahan Negara. Karena itu setiap pegawai sipil dituntut agar memiliki loyalitas penuh kepada pemerintah Negara. Ketentuan seperti tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang semakin demokratis dan desentralistis, pemerintahan yang semakin terbuka, serta ekonomi yang semakin kompetitif.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sudah mengamanatkan pembentukan Komisi Kepegawaian Negara sebagai otoritas independen untuk menjaga profesionalitas, netralitas, dan apolitisasi SDM Aparatur Negara. Namun, karena berbagai kesibukan Pemerintah, 12 (dua belas) Tahun setelah diamanatkan oleh Undang-Undang, Komisi independen tersebut belum dibentuk. Sementara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi Negara semakin terkungkung oleh rutinitas dan kurang mampu menjadi pendorong reformasi aparatur negara. Reformasi birokrasi yang dilaksanakan oleh beberapa kementerian dan lembaga non kementerian sejak 2008 lebih merupakan inisiatif bottomup oleh para pimpinan kementerian tersebut, bukan karena adanya suatu kebijakan nasional reformasi aparatur Negara. Undang-Undang ini merupakan ketetapan pokokpokok bagi pengaturan manajemen kepegawaian bagi seluruh aparatur Negara yang mendapat gaji dari Negara, di samping secara khusus mengatur mengenai aparatur sipil Negara.
Sementara desentralisasi kepegawaian yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam perkembangannya telah dilaksanakan dengan semangat yang berbeda dan telah menyimpang dari semangat yang mendasari desentralisasi kepegawaian. Pembentukan PNS Daerah pada Undang-Undang tersebut pada esensinya adalah untuk mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah agar mampu menyesuaikan jumlah dan mutu pegawai daerah dengan fungsi dan tugas pemerintah daerah. Tapi dalam kenyataan, setelah pelaksanaan desentralisasi kepegawaian sejak Tahun 2000, dari 497 (empat ratus sembilan puluh tujuh) kabupaten dan kota dan 33 (tiga puluh tiga) provinsi, hampir tidak ada yang melaksanakan manajemen kepegawaian dengan semangat seperti yang diharapkan, yaitu mengangkat pegawai yang jumlah, komposisi dan kualifikasinya sesuai dengan beban tugas dan fungsi daerah. Sebaliknya, setiap tahun formasi calon PNS yang diberikan kepada kabupaten dan kota berjumlah 250 orang. Pada provinsi mungkin mencapai 2 (dua) kali jumlah tersebut.
  • Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Internasional Adgers, Norwegia (Kristiansen, 2009[1]) dan oleh Bank Dunia melalui proyek Decentralization Support Fund (2011[2]), menunjukkan adanya praktek jual beli formasi pegawai antara oknumoknum otoritas kepegawaian di Pusat dengan para pimpinan daerah. Formasi yang diperoleh dengan modal Rp510 juta per pegawai tersebut kemudian dijual oleh Pejabat Yang Berwenang di daerah dengan harga berlipatlipat lebih mahal, berkisar  antara Rp75 juta sampai dengan Rp150 juta tergantung dari jabatan. Praktek perdagangan calon pegawai ini selain bernilai sangat besar, sekitar Rp20 sampai 25 triliun per tahun, juga telah merusak sendi-sendi moralitas pegawai aparatur sipil Negara. Praktek perdagangan jabatan terjadi juga dalam pengisian posisi kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah dan pengisian posisi jabatan politik lokal
DEMIKIAN JUGA LANDASAN SOSIOLOGISNYA
      “Landasan Sosiologis
»»  Baca Selengkapnya...