Rabu, 14 Maret 2012

Analisis terhadap Kewenangan BPN dalam Perpektif Hukum Pertanahan


Analisis  terhadap Kewenangan BPN  dalam Perpektif Hukum Pertanahan

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

1   Quo Vadis Ideologi Populis Agraria
Berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor: Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif terhadap perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi hukum) masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya terbatas (budaya lokal)[1]. Secara formal selalu diupayakan untuk menyerasikan kedua orientasi tersebut, namun secara subtansi yang tercermin dari berbagai rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan belum tentu demikian.
Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasi-kannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah sangat memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat, bervariasi tingkat perkembangannya, mulai dari yang sangat maju sampai yang masih sangat sederhana, bahkan masih ada yang hidup di “alam bebas”.
Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara pemerintah dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin meningkatnya sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta. Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana tercatat dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh Inggris maupun Belanda.[2]
Berangkat dari kenyataan pada zaman kolonial, dan perbedaan antar wilayah, tingkat kepadatan penduduk, budaya agraris, sistem produksi, penguasaan teknologi, dan konsep hak atas tanah, maka setelah kemerdekaan pemerintah mencoba untuk merumuskan orientasi baru sebagai dasar politik hukum agraria/pertanahan Indonesia. Landasan politik hukum agraria Indonesia tersebut secara tegas dituangkan pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari ketentuan tersebut di atas, timbul pertanyaan yaitu bagaimana kekuasaan Negara itu dilaksanakan, sedangkan konstitusi tidak menjelaskan secara spesifik?. Konsekwensi vulgar yang dapat ditarik adalah penguasa Negara/pemerintah mendapat kesempatan luas untuk merumuskan Peraturan Perundang-undangan yang rinci mengenai pelaksanaan kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, penguasa negara berwenang menetapkannya melalui politik hukum dalam sejumlah undang-undang maupun peraturan pelaksana undang-undang [3].
Yang terpenting dalam hal ditetapkannya suatu peraturan ialah implikasi-implikasi atau ekses negatif yang muncul dari penerapan tersebut. Pertanyaannya ialah siapa yang paling diuntungkan dengan ditetapkannya suatu peraturan?. Pertanyaan ini menjadi penting mengingat proses pembentukan peraturan sangat tergantung dengan orientasi pemerintah, tingkat partisipasi politik masyarakat, pertarungan kepentingan, dan konfigurasi politik nasional maupun global.
Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia, ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960. Peraturan ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.
UUPA memuat perubahan-perubahan yang revolusioner, dalam arti perubahan yang terkandung di dalam materi muatannya bersifat mendasar dan fundamental terhadap stelsel hukum agraria warisan kolonial. Misalnya, penyatuan hukum agraria dengan jalan unifikasi, yang dilatarbelakangi oleh sifat dualisme hukum agraria yang berlaku sebelumnya sebagai warisan zaman kolonialisme. Namun, karena sebagian besar rakyat Indonesia masih dipengaruhi hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat dan bersandar pada hukum agama, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia.[4]
Pilihan ideologi politik sosialisme daripada UUPA dapat ditemukan dalam Pasal 5 dan Pasal 14 ayat (1) UUPA, sebagai berikut:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:”.

Kata-kata Sosialisme Indonesia juga ditemukan di dalam Penjelasan Umum UUPA. Penjelasan otentik Sosialisme Indonesia terdapat dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berentjana Tahapan Pertama 1961-1969, yang dirumuskan dengan:
Bahwa Pembangunan Nasional Semesta Berentjana adalah suatu pembangunan dalam masa peralihan, jang bersifat menjeluruh untuk menudju tertjapainja masjarakat – adil – dan – makmur – berdasarkan – Pantjasila atau Masjarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakjat:[5]

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa ideologi politik dari UUPA adalah Sosialisme Indonesia yang artinya disamakan dengan tatanan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sosialisme Indonesia tidak sama dengan sosialisme di negara-negara sosialis Barat, ia bersendikan pada keadilan, kerakyatan dan kesejahteraan. Ideologi politik sosialisme Indonesia selanjutnya direalisasikan menjadi konsepsi politik hukum politik hukum (politico-legal concept) berupa Hak Menguasai Negara (HMN).[6] Di bidang agraria, dalam Hukum Agraria Nasional, Hak Menguasai Negara merupakan hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun juga, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, sebagai berikut:
   Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Disimak dari ruh atau semangatnya, maka UUPA mengusung semangat reformasi agraria dengan strategi (Neo) populis, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan UUPA, yaitu:
(a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

(b) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan;

(c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. [7]

 Watak (Neo) populis dari UUPA juga dapat dibaca pada Pasal 13 UUPA yang pada intinya menyatakan, bahwa pengaturan dalam lapangan agraria merupakan usaha pemerintah untuk meninggikan produksi, kemakmuran rakyat, dan penerapan asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan dalam bidang agraria. Selain itu, pemerintah wajib mencegah adanya monopoli dari pihak swasta maupun usaha pemerintah atas penguasaan tanah, dengan batasan bahwa usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
            Menurut Noer Fauzi, strategi (Neo) populis menekankan pada satuan usaha keluarga, untuk itu penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar pada masyoritas keluarga tani, tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga. Dengan demikian produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani tersebut, walaupun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh negara. Hal inilah yang membedakannya dengan strategi kapitalis.[8]
Seiring dengan munculnya liberalisasi dalam bidang perdagangan yang ditandai dengan diberlakukannya secara global (globalisation)[9] kebijakan perdagangan bebas lewat suatu perjanjian perdagangan internasional. Tanah yang pada mulanya merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan rakyat Indonesia, saat ini hanya ditempatkan sebagai komoditas semata, padahal tanah tidak hanya mempunyai arti secara ekonomis (komoditas), tetapi juga mempunyai makna kultural, sosial, politis dan religious.

2. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan Konstitusional Pengelolaan Tanah

Politiknya agraria Indonesia dikonsepsikan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Lemaire, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch”[10] atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara.
Di dalam UUD 1945, ketentuan Pasal 33 tersebut di atasi ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan erat dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Sejalan dengan itu, Mohammad Hatta memaknai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:
Apabila kita pelajari pasal 33 UUD 1945, nyata-nyata bahwa masalah yang diurusnya ialah politik perkonomian Republik Indonesia”. Dalam bagian kedua dan ketiga daripada pasal 33 UUD disebut dikuasai oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Negara mempunyai kewajiban pula supaya penetapan UUD 1945, pasal 27 ayat 2 terlaksana, yaitu tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”[11]
Sehubungan dengan itu juga Mohammad Hatta dalam “Dasar Pre-advis kepada Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha lama” di tahun 1943, juga mengungkapkan bahwa:
Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya”.[12]

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan, sekaligus merupakan arah dan tujuan kebijakan pengelolaan tanah di Indonesia. “Ruh” dari Pasal 33 ayat (3) tersebut didasarkan pada semangat menciptakan keadilan sosial, yang meletakkan penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan publik pada negara. Ketentuan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat yang melaksanakan kehidupan bernegara di Indonesia. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa mandat yang diberikan kepada pemerintah itu melahirkan konsekuensi berupa kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan tanah, sehingga semua tanah yang berada diseluruh wilayah Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atas dasar konsep pemberian kuasa/mandat.
Pada awal kemerdekaan, rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian diimplementasikan melalui beberapa Peraturan Perundang-Undangan agraria yang bersifat ”parsial”, antara lain: UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, UU No. 13 Tahun 1948 tentang Penghapusan Hak-Hak Konversi, UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan sebagainya. Intinya peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan tujuan jangka pendek yaitu menghapuskan secara cepat lembaga-lembaga feodal dan lembaga-lembaga kolonial yang masih ada.
Barulah pada akhir tahun 1960 tepatnya tanggal 24 September 1960, pemerintah berhasil menetapkan suatu undang-undang Agraria Nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA memuat azas-azas dan ketentuan-ketentuan pokok Hukum Agraria Nasional yang sekaligus merupakan manifestasi cita-cita bangsa Indonesia untuk menghentikan hukum agraria kolonial, yang disusun berdasarkan sendi-sendi pemerintahan jajahan. Karena, perjuangan merombak struktur hukum agraria kolonial dan menyusun hukum agraria nasional tidak dapat dilepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia yang ingin melepaskan diri dari cengkraman dan pengaruh sisa-sisa sistem feodalisme dan kolonialisme.[13]
Kebulatan tekad tersebut dicantumkan dalam konsiderans menimbang UUPA, yang menyatakan bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.[14]
Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang menjadi landasan konstitusional penguasaan tanah ini (Pasal 33 ayat 3) diadopsi UUPA dan dimuat pada Pasal 2 ayat (1): “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Adanya penambahan kata-kata “ruang angkasa” pada Pasal 2 (1) UUPA, tidak berarti penambahan terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, penambahan tersebut hanya bersifat deklaratif, dan bukan konstitutif.69 Penambahan yang bersifat deklaratif merupakan penegasan bahwa ruang angkasa adalah bagian yang integral dari bumi dan air tersebut dan jika dikaitkan dengan doktrin wawasan nusantara maka Pasal 2 ayat (1) dari UUPA memberikan kejelasan yang mendalam tentang doktrin wawasan nusantara itu[15].
Selanjutnya mengenai hak menguasai negara yang merupakan politik hukum dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA juga memberikan penjelasan bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tidak perlu negara bertindak sebagai pemilik tanah dan lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertiannya adalah memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; (b) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.[16]
Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari Hak Menguasai dari Negara tersebut[17].
Landasan ideal ini, memandang tanah sebagai karunia Tuhan mempunyai sifat magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu:
1. nilai produksi,

2. nilai lokasi

3. nilai lingkungan

4. nilai social;

5. nilai politik; dan

6. nilai hukum.

Sumber daya alam berupa tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut di atas.
Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” merupakan cita-cita ideal yang menempatkan negara sebagai sentral yang mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai cita-cita ini prasyaratnya adalah adanya sebuah negara yang kuat, karena akan menjadi pusat dari segala hal, paling tidak dalam hal ini persoalan keagrariaan.[18]
Ide politik hukum hak menguasai daripada negara di dalam UUPA, beranjak dari Prasaran Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada pada Seminar Agraria dari Kementrian Agraria di Tretes bulan November tahun 1958, intinya Badan Pembuat undang-undang meminta saran dari akademisi mengenai dasar-dasar filosofis yang membenarkan kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria di seluruh wilayah negeri ini, yang dirumuskan dalam Bagian B angka 32:
Dalam mengadakan hubungan langsung antara negara dengan tanah, dapat dipilih tiga kemungkinan:
1.  Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privaat rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium.

2.  Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak negara adalah hak dominium juga dan disamping itu dapat juga digunakan istilah hak publique.

3.   Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat.

Apabila demikian, maka hak negara dapat berupa;

a. hak kommunes, kalau negara sebagai personafikasi yang memegang kekuasaan atas tanah, dan;

b.    hak emperium, apabila memegang kekuasaan tentang pemakaiannya tanah saja.

Hubungan yang tersebut pada no. 3, negara sebagai personafikasi rakyat bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau dari sudut perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk sosial juga dengan sifat perseorangan yang merupakan kesatuan daripada individu-individunya [19].
Konsep yang tersebut pada angka 2 di atas menjadi prinsip dari politik hukum UUPA. Jika ditelaah lebih mendalam, konsepsi negara menguasai ini, mengasumsikan “negara berdiri di atas kepentingan semua golongan [20] atau dalam istilah Kuntowijoyo “Negara Budiman”. Padahal, pada kenyataannya tidak demikian, karena negara merupakan organisasi kekuasaan yang sarat dengan sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan negara.
Berangkat dari tujuan pokok UUPA yang dirumuskan dalam penjelasannya, bahwa UUPA merupakan dasar berpijak bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal frame work), mempunyai peranan penting. Konflik peraturan perundang-undangan yang pada akhirnya secara signifikan, dapat menjadi pemicu timbulnya sengketa-sengketa tanah, tidak dapat dipisahkan dari pilihan terhadap politik hukum agraria. Sementara politik hukum agraria tidak bisa dilepaskan dari ideologi dan paradigma yang menopang struktur dan sistem sosial yang dianut negara tersebut.
Melalui politik hukum, dikaji hukum yang berlaku (ius constitutum), maupun yang memberikan arah pada pembangunan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), karena politik hukum merupakan disiplin yang mendasari aktifitas memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau model yang akan digunakan dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam rangka mencapai tujuan maupun untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang direncanakan.[21]
Menurut Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional, secara harfiah diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional bisa meliputi:
1.    Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten;

2.  Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;

3.   Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;

4.   Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakaan[22].

Keempat faktor tersebut di atas menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu constituendum.[23]
Konsepsi hukum tanah nasional dan ketentuan UUPA masih relevan untuk meluruskan pembangunan, karena ketentuan-ketentuan dalam UUPA merupakan penjabaran sila-sila Pancasila di bidang pertanahan. Demikian juga politik pertanahan nasional yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tetap relevan digunakan sebagai landasan untuk meluruskan pembangunan hukum agraria/pertanahan. Oleh karena itu, semangat dan visi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dapat dan harus digunakan juga untuk melindungi kepentingan nasional dalam menghadapi akibat arus globalisasi, terutama di bidang ekonomi yang berkarakter liberal-individualistik. Karakter yang liberal-individualistik tersebut tidak selaras dengan konsepsi Pancasila yang telah mendasari dan menjiwai pembangunan bangsa dan negara. Di bidang agraria, melalui UUPA sebenarnya sudah menyediakan rambu-rambu, agar perjalanan bangsa Indonesia bisa sampai pada tujuan yang kita cita-citakan.[24]

3. Desentralisasi atau Sentralisasi Wewenang Bidang Pertanahan

Legal issu yang dominan di bidang pertanahan adalah apakah urusan pemerintahan di bidang pertanahan wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam bentuk desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).[25]
Ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan turunan langsung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merumuskan:

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas menegaskan sikap, bahwa untuk mencapai ketentuan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945, negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik tanah dan yang lebih tepat adalah bertindak selaku badan penguasa. Sejalan dengan Penjelasan Umum angka II (2) UUPA; ”adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa”. Perkataan ”dikuasai” dalam ayat (2) pasal ini bukanlah berarti dimiliki. ”Dikuasai” berarti memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b.  menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan demikian kewenangan negara sebagai organisasi kekuasaan adalah ”mengatur” artinya membuat peraturan, dan ”menyelenggarakan” yang artinya melaksanakan (execution) penggunaan/peruntukkan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaan (maintenance) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Selain itu, arti dari ”menentukan dan mengatur” (huruf b) yaitu: menetapkan dan membuat peraturan-peraturan mengenai hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut.[26] Sedangkan, penjelasan dari Pasal 2 ayat (4) berkaitan dengan asas ekonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Jika argumentasi didasarkan pada Pasal 2 ayat (4), maka persoalan agraria merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah merupakan medebewind. Berdasarkan penafsiran otentik (authentieke atau officiele interpretatie) atau sesuai dengan tafsir yang dinyatakan dalam undang-undang itu sendiri, maka Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan; bahwa wewenang agraria dalam sistem UUPA ada pada pemerintahan pusat, dan pemerintahan daerah tidak boleh melakukan tindakan-tindakan di bidang agraria jika tidak ditunjuk ataupun dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat (asas medebewind).
Namun, jika argumentasinya didasarkan pada Pasal 14 UUPA, maka pengertian pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah menurut Pasal 2 ayat (4) di atas menjadi berbeda, karena Pasal 14 secara eksplisit memerintahkan otonomisasi di bidang agraria. Berdasarkan Pasal 14 UUPA, pemerintah pusat mempunyai kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sedangkan pemerintah daerah, berdasarkan rencana umum tersebut berwenang mengatur persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.[27]
Berdasarkan memori penjelasan UUPA, disebutkan bahwa perlu adanya suatu rencana ("planning") yang dimulai dari rencana umum ("national planning") yang kemudian dirinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa. Selanjutnya, mengingat akan corak perekonomian negara di kemudian hari dimana industri dan pertambangan menjadi penting, maka di samping perencanaan pertanian, industri dan pertambangan perlu diperhatikan. Sedangkan yang berkaitan dengan ayat (3) di atas mengenai pemerintah daerah dapat membentuk peraturan daerah, pengesahannya harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh pemerintah pusat.[28]
Jika ditafsirkan secara gramatikal atau interpretasi bahasa yang menekankan pada makna teks yang dinyatakan di dalam kaidah hukum, maka Pasal 14 UUPA tersebut memerintahkan, bahwa urusan-urusan bidang pertanahan yang berkaitan dengan regional planning yang meliputi persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerah, dapat dilaksanakan dengan asas desentralisasi sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing.
Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan daerah yang mengacu pada rencana umum (national planning) yang dibuat oleh pemerintah. Artinya pembuat undang-undang sadar bahwa perencanaan peruntukan dan penggunaan akan bumi, air serta ruang angkasa harus pula disesuaikan dengan kondisi geografis atau keadaan tertentu dari daerah masing-masing, untuk itulah pengaturannya di desentralisasikan kepada daerah.
Hal ini sejalan dengan salah satu alasan utama dari desentralisasi yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dalam bukunya ”General Theory of Law and State”, yang dinyatakan bahwa:
“…desentralisasi memberi kemungkinan pengaturan masalah yang sama secara berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda. Pertimbangan yang membuat perbedaan tata hukum nasional semacam itu lebih dikehendaki mungkin karena pertimbangan-pertimbangan geografis, nasional atau keagamaan. Semakin besar teritorial negara, dan semakin bervariasi kondisi-kondisi sosial, maka akan semakin diharuskan desentralisasi melalui pembagian teritorial.[29]

Berdasarkan uraian di atas, bahwa penyelenggaraan kewenangan di bidang pertanahan dapat dilaksanakan secara dekonsentrasi (yang merupakan penghalusan dari sentralisasi), medebewind atau asas pembantuan dan secara desentralisasi.
Kewenangan pertanahan yang dilaksanakan secara sentralisasi oleh pemerintahan pusat adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rencana umum (national planning) seperti pengaturan dan penetapan hukum tanah nasional yang meliputi perencanaan dan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind bukan otonomi.[30] Sedangkan desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan memerlukan suatu ketentuan perudang-undangan yang secara jelas mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mana pelaksanaan kebijakannya dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah.
Jika kita menengok kembali kepada UU No. 22 Tahun 1999 (sudah tidak berlaku lagi) dengan merujuk pada Pasal 2 dan 14 UUPA, sebenarnya telah selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini didasarkan pada Pasal 11 UU 22/1999 yang mengatur masalah desentralisasi, salah satunya bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk pengaturan penjabarannya berdasarkan Pasal 12, ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP), dalam hal ini PP No. 25 Tahun 2000. Meskipun demikian, dalam PP tersebut masih menyisahkan persoalan, dikarenakan dalam materi muatannya tidak menegaskan bentuk kewenangan yang didesentralisasikan tersebut. Inilah yang menjadi pangkal tolak kerancuan peraturan perundang-undangan bidang pertanahan yang dikeluarkan setelah tahun 2000.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, TLN Nomor 4437). Ketentuan Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa Urusan Wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi… meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; … k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. Pasal 14, menyatakan Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota…meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan ruang; … k. pelayanan pertanahan.
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, TLN Nomor 5068). Dalam Pasal 1 butir 22 disebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa HM, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Pasal 29 ayat (3) menyatakan bahwa tanah terlantar merupakan salah satu objek penyiapan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, TLN Nomor 5068). Pasal 29 ayat (4): Tanah terlantar dapat dialihfungsikan menjadi lahan Pertanian pangan Berkelanjutan, apabila: a. tanah tersebut diberikan hak atas tanahnya tetapi sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya; atau b. tanah tersebut selama 3 (tiga) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkan.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 29 UU tersebut, dinyatakan bahwa Untuk keperluan pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, sebagai Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pengambilalihan dapat dilakukan oleh Negara tanpa kompensasi dan selanjutnya dijadikan objek reforma agraria untuk didistribusikan kepada petani tanpa lahan atau berlahan sempit yang dapat memanfaatkannya untuk lahan pertanian Pangan Pokok. Sehubungan dengan itu, masyarakat berperan dalam pengawasan tanah terlantar dengan melaporkan pemanfaatan lahan yang dinilai diterlantarkan untuk diusulkan sebagai LCPPB.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan perlindungan dan pemberdayaan serta insentif yang sesuai kepada petani yang memiliki hak atas tanah yang ingin memanfaatkan tanahnya untuk pertanian Pangan Pokok, tetapi miskin dan memiliki keterbatasan akses terhadap factor-faktor produksi sehingga menelantarkan tanahnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah (Tambahan Lembaran Negara Tahun 1996 No. 58, TLN Nomor 3643). Tentang hapusnya sesuatu hak atas tanah, seperti diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e: HGU, Pasal 35 ayat (1) huruf: HGB, dan Pasal 55 ayat (1) huruf e: Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 45, TLN Nomor 4385). PP ini lahir untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. UU tersebut dalam perkembangannya berdasarkan ketentuapn Pasal 79 UU Nomor 26 Tahun 2007dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 PP tersebut, menyatakan bahwa Kebijakan Penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap: a. bidangbidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau belum terdfatar; b. tanah Negara; c. tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7 ayat (1) Terhadap tanah-tanah tersebut di atas, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan RTRW; ayat (2) Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap RTRW ditentukan berdasarkan pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (3) Pedoman, standar dan kriteria teknis tersebut, dijabarkan lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan kondisi wilayah masing-masing. Ayat (4) Penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW tidak dapat diperluas atau dikembangkan penggunaannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, TLN No.4737). Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Urusan wajib sebagaimana dimaksud dlam Pasal 6 meliputi: a. pendidikan; ….,; r. pertanahan; dstnya. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan sebagaimaa tercantum dalam Lampiran I meliputi: 1) Izin Lokasi; 2) Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum; 3) Penyelesaian Sengketa Tanah garapan; 4) Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan; 5). Penetapan Subjek dan Objek Redistribusi Tanah, serta ganti Kerugian tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absente; 6) Penetapan Tanah Ulayat; 7) Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong; 8) Ijin Membuka Tanah (tugas perbantuan/medebewind); 9). Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota.

4. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945

1. Aspek Historis
Sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD 45 sebanyak 4 (empat) kali, serta penempatan Penjelasan UUD 1945 tidak lagi sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945, sedangkan UUD 45 setelah amandemen tidak dilengkapi dengan penjelasan, sulit untuk menemukan dan menentukan dasar filosofi hukum, nilai-nilai, asas-asas, konsep-konsep yang dapat menjadi pegangan untuk melakukan analisis sinkronoisasi dan konsistensi suatu peraturan perundang-undangan dalam rangka menentukan ada tidaknya konflik peraturan perundang-undangan, teramasuk peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, karena setiap pasal dari peraturan perundang-undangan yang akan dianalisis menjadi sangat terbuka penafsirannya.
Walaupun penjelasan UUD 45 tidak lagi berkedudukan sebagai penafsiran otentik UUD 45, namun masih berperan signifikan untuk menggali hakikat Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusionil pengaturan hukum di bidang agraria, termasuk di bidang pertanahan. Bukankah pemahaman atas Pasal 33 UUD 1945 itu tidak cukup dilakukan hanya dengan membaca teks maupun penjelasan suatu peraturan perundang-undangan.
Untuk menelaah hakikat dalam rangka memperoleh pengertian maksud dari Undang-Undang Dasar suatu negara, maka suasana dan realitas objektif pada waktu Undang-Undang Dasar itu dirumuskan, termasuk aspek ideologi dari perancangnya yang tentunnya sedikit banyak mempengaruhi proses perumusannya, harus dimengerti terlebih dahulu.
Secara histories, perumusan Rancangan UUD 1945 dilakukan oleh Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang ditetapkan pada rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945. Tetapi, materi-materi pokok (dasar-dasar negara) dari rancangan UUD itu telah dibahas sejak tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang-sidang pertama BPUPKI, sampai kemudian ditetapkan menjadi UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 pada Rapat Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPKI).
Di dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang dibahas dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945, BAB mengenai kesejahteraan sosial ditempatkan pada BAB XIII Tentang Kesedjahteraan Sosial, dengan nomor Pasal 32, dan dirumuskan sebagai berikut:

(1) Perékonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan.

(2) Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oléh Pemerintah.

(3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oléh negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat.[31]

Rumusan Pasal 32 Rancangan UUD tersebut mencakup nilai-nilai yang terkandung di dalam dasar negara yaitu sistem kekeluargaan, yaitu suatu aliran pikiran yang menyatukan negara dengan seluruh rakyat, sesuai dengan pengertian negara sebagai suatu keluarga besar, yang mengatasi segala faham golongan danfaham perseorangan (kollektivisme) sebagaimana pikiran Soepomo (negara integralistik).
Selanjutnya Soekarno pada sidang pertama Dokuritu Zyunbi Tyoosakai juga membicarakan dasar kekeluargaan atau yang disebutnya gotong-royong yang merupakan dasar sistem, dan falsafah yang terkadung dalam Rancangan UUD. Setelah Rancangan UUD ini dibagikan dikalangan anggota, panitia penyusun Rancangan UUD ini banyak mendapat pertanyaan seputar dasar dan falsafah dari rancangan UUD tesebut. Misalnya, pertanyan-pertanyaan apa sebab undang-undang dasar yang kita rancang tidak memasukkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara, bahwa kitapun menghendaki di dalam UUD itu apa yang dinamakan “droits de l’homme et du citoyen” atau “rights of the citizen”.[32] Hal ini kemudian dijawab oleh Soekarno dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, lewat pidatonya yang menerangkan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:
“…Undang-undang Dasar dari pada negara-negara (Eropa dan Amérika) didasarkan atas dasar falsafah pikiran jang dikemukakan oléh revolutie Perantjis, jaitu individualisme dan liberalisme... Inilah jang mendjadi sumber malapetaka-malapetaka didunia ini…Tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat! Kita semua mengetahui bahwa faham atau dasar individulisme telah mendjadi sumber économisch liberalisme Adam Smith…jang sebenarnja tidak lain tidak bukan mendjalankan téori-téori ékonomi diatas dasar-dasar falsafah jang individualistis…Dengan adanja ékonomisch liberalisme, jang bersembojan: “laissez faire, laissez fasser”…, timbullah kapitalisme jang sehébat-hébatnja di negeri-negeri jang merdéka. Timbulah itu oléh karena ékonomisch liberalisme itu sistim jang memberi hak sepenuh-penuhnja kepada beberapa orang manusia sadja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama manusia jang lain. Inilah sebabnja suburnja kapitalisme dan imperialisme di Eropa dan Amérika itu”.…Dengan adanja imperialisme itulah, tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat, kita 350 tahun tidak merdéka…Nyata tuan-tuan njonja-njonja jang terhormat, bahwa dasar falsafah negara-negara Eropa dan Amérika itu adalah benar falsafah jang salah. Apakah kita hendak menuliskan dasar jang demikian itu dalam Undang-undang Dasar kita?[33].

Setelah Rancangan Undang-Undang Dasar di atas ditetapkan menjadi Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945), terdapat beberapa perubahan dan penambahan. Misalnya, Pasal 33 ayat (2), semula dirumuskan “Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oléh Pemerintah”, kata “dikuasai oleh Pemerintah” kemudian dirubah dengan “dikuasai oleh Negara”.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, banyak bermunculan pendapat-pendapat yang berupaya memaknai rumusan dari Pasal 33. Misalnya, Lemaire dalam bukunya“Het Recht in Indonesia”, memberikan makna bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch” atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Dikaji dari tempatnya di dalam UUD ketentuan ini ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini erat hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia[34].
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa di dalam rumusan Pasal 33 UUD 1945 terkandung nilai-nilai dan falsafah Negara. Jika dikonversikan dengan konsep-konsep yang diutarakan di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan sari dari tiga ayat yang dinaungi oleh Pasal 33. Pertama, yaitu; Kollektivitas atau dasar kesatuan dalam sebuah keluarga besar, konsep ini dirumuskan pada ayat (1) yaitu: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”. Kedua adalah Sosialisme yang merupakan turunan dari sistem ekonomi kekeluargaan dan antitesa daripada kapitalisme, dirumuskan dalam ayat (2) “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, dan Ketiga adalah Politik Agraria Nasional yang bertujuan menciptakan keadilan sosial lewat jalan meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini adalah sintesa dari ayat (1) dan (2), yang dirumuskan sebagai berikut: ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

2. Asas Kekeluargaan
Asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1), secara umum erat sekali hubungannya dengan teori “integralistik” atau “negara integralistik” yang dilontarkan oleh Soepomo dalam pidatonya pada sidang-sidang BPUPKI antara bulan Mei–Juni 1945 yang padat dengan agenda sidang BPUPKI untuk membahas dasar-dasar (falsafah) dan tujuan pembentukan negara.
Menurut Soepomo staatside dari UUD 1945 tidak didasarkan pada teori Trias Politica yang dikemukakan oleh Motesquieu. Soepomo tidak mau terjebak antara staatside yang didasarkan pada “Teori Individualistik” dan “Teori Golongan”. Pilihan Soepomo jatuh pada “Teori Integralistik”,[35] sebagaimana dikemukakan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel (filsuf abad 18 dan 19). Menurut Spinoza,[36] negara (the state) mestilah dibayangkan sebagai sebuah individu. Lebih tepatnya lagi, individu dari individu-individu (individual of indivduals) yang memiliki “tubuh” dan “jiwa” atau pikiran. Sebagaimana ditekankan olehnya, “in the political order the whole body of citizens must be thoughts of as equivalent or an individual in the state of nature”. Jadi, keseluruhan warga negara haruslah dilihat sebagai satu individu yang tidak terpisah, tetapi satu kesatuan yang bersatu jiwa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Soepomo:
“…struktur kerochanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakjat dan pemimpin-pemimpinnya…Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud dalam susunan tatanegaranya jang asli”[37]

Dengan demikian, inti dari teori integralistik adalah, negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan orang perorang atau golongan tertentu, akan tetapi negara harus menjamin kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, menurut teori integralistik negara diartikan sebagai susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat organis yang harmonis.
Secara khusus makna dari kalimat “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” adalah sebuah bangunan perusahaan yang berbentuk “koperasi”, sebagaimana yang disebutkan juga dalam Penjelasan Pasal 33 paragraf pertama. Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1957, hal ini ditegaskan kembali oleh Mohammad Hatta, bahwa “buah pikiran yang tertanam di dalam Pasal 33 UUD 1945 sekarang ini berasal dari saya sendiri, Sebab itu terimalah pernyataan saya, bahwa memang koperasilah yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.[38]
Dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat penafsiran “limitatief” dan penafsiran “enunciative”. Penafsiran limitatief, menganggap hal-hal yang disebutkan sebagai “gelimiteerd” atau terbatas pada hal itu saja, sedangkan penafsiran enunciative menganggap hal-hal yang disebutkan sebagai “enunciated” atau sekedar menerangkan, bahwa hal itulah yang dimaksudkan.
Dengan demikian, berdasarkan penafsiran limitatief, bahwa yang sesuai dengan azas kekeluargaan ialah hanya koperasi saja. Sedangkan menurut penafsiran enunciative, bahwa yang sesuai dengan azas kekeluargaan paling utama adalah koperasi, artinya koperasi hanya sebagai contoh tetapi sebagai contoh sebagai utama. Dengan demikian berdasarkan penafsiran enunciative, tetap dimungkinkan bangunan perusahaan selain koperasi yang juga sesuai dengan azas kekeluargaan ini.[39]
Berkaitan dengan penafsiran terhadap azas kekeluargaan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Asikin Kusuma Atmadja memaknai azas kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1), adalah: “menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan totaliterisme”. Menurutnya, jika liberalisme tidak dikendalikan, maka akan menjurus kepada anarchie, dan jika kekuasaan Pemerintah terlalu besar maka akan melahirkan totaliterisme[40].

3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara
Pasal 33 UUD 1945 dikenal sebagai ideologi politik ekonomi Indonesia [ayat (1) dan (2)], dengan “hak menguasai negara” sebagai konsep politik hukumnya (political legal concept). Sedangkan rumusan ayat (3)-nya merupakan arah dan tujuan politik ekonomi Indonesia yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria dirumuskan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Rumusan kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak Menguasai Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria terpusat pada kekuasaan yang begitu besar daripada negara.
Secara teoritik kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Dalam hal ini negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumber daya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia. Adapun kaitan hak penguasaan negara dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melahirkan kewajiban Negara untuk mengatur:
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.[41]

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukannya sendiri (eigensdaad).
Pembahasan mengenai makna kata-kata “dikuasai oleh negara” secara lebih mendalam dapat didekati dengan memahami pengertian-pengertian yang diberikan para ahli, antara lain:
a. Mohammad Hatta, dalam bukunya “Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33” memaknai dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.[42]
b. Muhammad Yamin, baginya perkataan “dikuasai oleh negara” tidaklah berarti dimiliki, diselenggarakan, atau diawasi, melainkan berarti diperlakukan dengan tindakan-tindakan yang berdasarkan pada kekuasaan tertinggi dalam tangan negara. Selain itu, menurutnya Pasal 33 ayat (3) melarang organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan ekonomi nasional. Walaupun “Sosialisme Indonesia” mengenal milik swasta perseorangan (privaatbezit; privaat eigendom) karena sesuai dengan kepribadian Indonesia dan tidak dilarang Pasal 33.98
c. Notonagoro, adalah salah seorang konseptor dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA), dan UUPA merupakan aturan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Notonagoro menyatakan pendapatnya tentang kata-kata “dikuasai oleh negara” dalam tema pokok “hak menguasai daripada negara” sebagai dasar baru hukum agraria di Indonesia. Menurut Notonagoro “untuk menentukan hakekat sifat hak menguasai tanah, kita harus mendasarkan diri menurut kedudukan hak menguasai tanah oleh negara itu dalam rangkaian kekuasaan negara pada umumnya”. Ia mendasarkan argumentasinya ini pada pandangan Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa, sebenarnya hak negara terhadap tanah ialah untuk mengatur dan sebagainya itu, tidak lain daripada kekuasaan negara terhadap segala sesuatu. Tanah merupakan suatu spesmen (hal khusus), jika dalam hal ini perlu diberi bentuk lain, maka sudah tentu tidak boleh mengurangi dan mengubah kedudukan negara terhadap segala sesuatu itu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa untuk menentukan hakikat sifat hak menguasai tanah, kita melihat kepada kekuasaan negara, yang tidak lain ialah membangun, mengusahakan memelihara dan mengatur hidup bersama. Khusus mengenai tanah berarti membangun mengusahakan, memelihara danmengatur segala sesuatu mengenai tanah. Dengan demikian dapatlah kita rumuskan hakikat dan sifat hak menguasai tanah itu, ialah: “dalam membangun, mengusahakan, memelihara dan mengatur tanah untuk kepentingan negara kepentingan umum, kepentingan rakyat sama dan membantu kepentingan perseorangan”.[43]
d. Sudargo Gautama, dalam menafsirkan hak menguasai negara mendasarkan argumentasinya pada pandangan yang melihat negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa). Oleh karenanya berdasarkan kwalitasnya itu, negara bertindak selaku Badan Penguasa. Pikirannya ini dipararelkan dengan susunan kata-kata dalam Pasal 33 ayat (3), yang diadopsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Dengan adanya pendirian semacam ini tidaklah diperlukan bagi negara untuk bekerja dengan pengertian milik, seperti halnya dengan teori domein. Artinya istilah “dikuasai” dalam ayat ini bukan berarti “dimiliki”. Istilah dikuasai ini berarti bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan daripada bangsa Indonesia, diberikan wewenang untuk mengatur sesuatu yang berkenaan dengan tanah.[44]

Pada perkembangan selanjutnya, perubahan ke empat UUD 1945 (2002) khususnya mengenai Pasal 33 telah mengalami pengembangan makna dari yang sebelumnya, walaupun tidak merubah tiga ayat yang asli, penambahan dua ayat terakhir pada Pasal 33 berimplikasi pada perubahan makna Pasal 33 secara keseluruhan. Belum lagi masalah Penjelasan dari UUD 1945 yang tidak lagi menjadi Penjelasan Otentik.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, juga berfungsi mengawal konstitusi (the guardian of costitution) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di samping untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dengan tidak adanya lagi penjelasan otentik terhadap UUD 1945, mengharuskan Mahkamah Konstitusi berperan untuk menafsirkan UUD 1945 apabila munculnya pertentangan norma antara undang-undang dengan UUD 1945. Dalam salah satu putusannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian atau makna dari kalimat “dikuasai oleh negara”, sebagai berikut:
“Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. …Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat[45].

Perlu dicermati kembali dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas yang menyatakan, bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata (konsepsi eigendom-pen), …”. Pendapat dari Mahkamah Konstitusi tersebut, telah mempersamakan pengertian negara dengan bangsa. Pemaknaan yang demikian merupakan pemaknaan yang keliru, karena pengertian negara tidak sama dengan pengertian bangsa. Negara itu sendiri adalah organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh bangsa agar tujuan berbangsa dapat dicapai. Selain itu, konsep eigendom tidak lahir dari struktur masyarakat yang komunalis, tetapi lahir dari masyarakat dengan tatatan individualis, liberalis, dan materialis.
Dilihat dari sudut sejarah, negara adalah produk dari budaya dari bangsa, dengan demikian, tidak secara otomatis hak-hak bangsa beralih menjadi hak negara. Dalam teori kenegaraan dikenal teori kontrak sosial yang terdiri dari perjanjian umum (volente de generalle) dan perjanjian khusus (volente de tour). Pada volente de generalle, perjanjian dibuat berbentuk perjanjian antar sesama (rakyat) untuk membentuk negara, sedangkan pada volente de tour adalah perjanjian yang berisikan seberapa besar kedaulatan/kekuasaan yang ada pada rakyat akan diserahkan kepada negara agar pemerintah sebagai organ negara dapat menyelenggarakan kewajibannya untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara sosio-yuridis tidaklah hapus akibat dibentuknya negara dan pemerintah yang bernama Indonesia[46]. Dengan demikian, konsepsi yang berhubungan dengan hak-hak agraria, termasuk hak atas tanah bersumber pada hukum yang hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan Indonesia (sebagai peculiar form of social life). Tatanan tersebut tidak mengenal konsepsi eigendom, namun mengenal konsepsi komunal yang dikenal dengan hak ulayat/hak ulaya, atau dengan sebutan lain.
Namun demikian, secara normatif tidak pernah ada kontrak sosial yang berisi penyerahan kekuasaan atas agraria/tanah dari rakyat kepada negara/pemerintah, yang sekarang dengan hak menguasai negara. Dalam praktiknya, hak menguasai negara cenderung ditafsirkan sebagai hak milik negara. Bahkan apabila dikaji dari sudut Pancasila, terutama sila ketiga: Persatuan Indonesia; dan semboyan Bhinnika Tunggal Ika, dapat ditafsirkan bahwa konsep kesatuan adalah konsep politik, sedangkan konsep pelaksanaan pemerintahan adalah konsep persatuan.
Dengan demikian, konsep eigendom yang dijadikan dasar dari hak menguasai negara oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan dalam konsepsi masyarakat (hak menguasai masyarakat adat), penguasa adat yang dapat disamakan dengan negara/pemerintah, tidak berkedudukan sebagai sebagai pemilik agraria. Penguasa adat adalah sebagai pemegang mandat untuk memanfaatkan agraria untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seangkan secara abstrak umum, pemilikan agraria tersebut tetap menjadi hak rakyat.
      Benar bahwa negara adalah organisasi seluruh rakyat Indonesia, namun tidak berarti bahwa negara memperoleh seluruh asset yang dimiliki Bangsa Indonesia, karena negara hanya merupakan salah satu unsur dari bangsa. Dengan demikian, konsep hak ulayat lebih tepat digunakan untuk menjadi acuan penafsiran bagi Hak Menguasai Negara, dibandingkan dengan hak eigendom.
Faham individualis yang menghasilkan konsep eigendom menempatkan negara dan rakyat pada dua posisi yang berhadapan dengan kedudukan yang sama, oleh karena itu lahir konsep “Staatdomein” untuk eigendom yang dimiliki oleh negara, dan konsep “eigendom” untuk hak yang dapat dimiliki oleh individu/rakyat. Dengan demikian, menggunakan konsep eigendom sebagai acuan untuk menafsirkan makna Hak Menguasai Negara adalah tidak tepat, dengan alasan:
a. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya eigendom yaitu faham individualis, liberalis, dan materialis, tidak sesuai dengan faham yang dianut Bangsa Indonesia, yaitu manusia sebagai mahkluk mono-dualis, komunal, dan gotong royong, serta magisch religius.
b. (Perlu ada ditegaskan) negara hanya berkedudukan sebagai lembaga yang memperoleh mandat untuk menguasai pada tingkatan tertinggi, namun tidak berkedudukan sebagai pemilik. Oleh karena itu, pemberian suatu hak atas agraria oleh negara/pemerintah kepada subjek hukum tertentu, harus dimaknakan sebagai pelaksanaan peran negara/pemerintah sebagai penerima/pemegang kuasa dari bangsa sebagai pemilik agraria, untuk memberikan suatu hak kepada subjek hukum tertentu.
c. Menafsirkan Menguasai Negara sebagai lembaga hukum yang lebih tinggi dari eigendom adalah bersifat destruktif, terlebih apabila yang berkuasa adalah rezim kapitalis.
    Pemaknaan “Hak Menguasai Negara” bukan berarti “Negara adalah pemilik agraria”saja sebagaimana pengertian-pengertian yang diberikan para ahli dapat memberikan dampak destruktif apabila pemerintah dikuasai oleh rezim kapitalis. Tentu akan lebih merusak lagi apabila “Hak Menguasai Negara” dimaknakan sebagai hak yang lebih tinggi dari eigendom.
     Walaupun harus diakui, bahwa konsep “Hak Menguasai Negara” mengacu pada pemikiran bahwa negara/pemerintahan diselenggarakan oleh rezim yang populis, atau dalam bahasa Kuntowijoyo “negara budiman”. Namun, tidak pernah dapat dipastikan bahwa rezim yang muncul dan berkuasa untuk melaksanakan pemerintahan adalah rezim populis. Jika konsep HMN diterapkan dibawah rezim yang populis, maka penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tetapi jika penyelenggara pemerintah dibawah rezim yang kapitalistik, maka penguasaan oleh negara akan didistribusikan kepada segelintir orang yang kuat secara ekonomi maupun politik, sehingga sangat potensial mempengaruhi rumusan berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 UUD 45, terutama peraturan perundang-undangan di bidang agraria/pertanahan, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.



»»  Baca Selengkapnya...