Selasa, 11 Oktober 2011

Keadilan Dalam Pandangan Pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo (Bahan Diskusi dan Tugas Ilmu Negara Mahasiswa Fakultas Hukum UNTAN Ponianak Kalimantan Barat)


Keadilan Dalam Pandangan Pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo
(Bahan Diskusi dan Tugas Ilmu Negara Mahasiswa Fakultas Hukum UNTAN Ponianak Kalimantan Barat)

Oleh Turiman Fachturahman Nur

A. Latar Belakang Masalah
Saat ini dunia hukum Indonesia memasuki penyakit kronis, yaitu ‘Carut Marut, sedangkan pada tataran konstitusional UUD negara Indonesia menyatakan secara tegas Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, negara demokrasi dengan paham konstitusionlisme dan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, atau penulis sebut Negara Hukum yang demokrasi konstitusional berdasarkan Teokrasi sekaligus. Sebagai negara Hukum seharusnya hukum dijadikan panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping  kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia atau memberikan kemamfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.[1] Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan:
…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.[2]

Namun didalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah masalah krusial atau bisa dikatakan sedang mengalami penyakit pada tahan kronis, sehingga yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum hanya dijadikan alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan tujuan, atau mungkin para penegak hukum hanya memandang hukum sama dengan peraturan perundang-undangan tertulis, sedang disanubari masyarakat ada hukum yang tidak tertulis yang mereka sepakati, seharusnya para penstudi hukum dan penegak hukum memandanh hukum dengan konsep holistik atau sintesa antara hukum tertulis dan tak tertulis, atau dalam tataran Al-Qur’an mensinergikan ayat-ayat kauliyah (yang tertulis) dengan ayat-ayat kauniyah (yang ada pada alam semesta dan pada diri manusia) sehingga keduanya adalah menjadi sebuah kebenaran, sehingga kita manusia mengatakan maha benar Tuhan/Allah dengan segala firmanNya..
Demikian juga ketika kita melihat  hukum dan keadilan pada hakekatnya merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat.  Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan/stagnan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang selaras dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.[3]  Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.[4]
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang dikebiri oleh Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.[5]
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan. Isu umum  yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum. UUD (ujung-ujung duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan.
Pemikiran hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia  sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama pada tataran realitas. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
            Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.[6]
B. Masalah Pokok
1. Bagaimana pandangan pemikiran hukum progresif mengenai keadilan?
2. Bagaimana landasan konseptual  pemikiran hukum progresif?
C.Pandangan Hukum Progresif Mengenai Keadilan
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.[7]
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitasnya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.[8]
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.[9]
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.[10]
            Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[11]
            Merumuskan konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif  ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
            Bagaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.[12]
            Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
            Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.  Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.[13]
D.Landasan Konseptual Pemikiran hukum progresif
Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.[14]
            Kehadiran pemikiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
            Adalah keprihatinan Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi.
Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?.[15]
            Agenda besar gagasan pemikiran hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan pemikiran hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, pemikiran hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan pemikiran  hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
            Dengan demikian, gagasan pemikiran hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantive.
1. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
            Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
(pemikiran. penulis) Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).[16]

Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[17] Pemikiran hukum progresif  berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut pemikiran hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
            Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
            Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
            Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.[18]
           
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti  melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.[19]

Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah pemikiran hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma pemikiran hukum progresif  bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat konsep pemikiran hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.

A. Kesimpulan
Keadilan menurut pemikiran hukum progresif adalah keadilan subtantif. Keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban. Nilai-nilai keadilan tersebut berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai keadilan yang tekstual dan hitam putih yang memiliki makna terbatas. Bukan keadilan prosedur yang didapat melalui berbagai macam prosedur-prosedur yang terkadang mengaburkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.
            Kaburnya tujuan hukum di Indonesia memerlukan langkah-langkah berani untuk merubahnya. Salah satunya ialah dengan membumikan pemikiran hukum progresif. Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Pemikiran Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20, kemudian untuk memperkaya hasanah pemikiran progresif dari gagasan Satjipto Rahardjo berikut ini penulis lampirkan berbagai artikel/makalah yang berupaya menelusuri pemikiran hukum progresif Satjipto Rahardjo

Tugas Konstruktur Mahasiswa:
Mohon kepada mahasiswa yang mengikuti Ilmu negara kelas D reguler A dan B Fakultas Hukum UNTAN Pontianak dapat membaca dan menganalisis, kemudian berpendapat Apa, bagaimana dan mengapa pemikiran hukum saat ini harus bergeser kepemikiran hukum progresif, kaitkan dengan teori hukum dan negara dalam ilmu negara yang sudah saudara dapatkan selama ini ? Kumpulkan sebelum Mid Test dan merupakan tugas perorangan dikumpulkan oleh koordinator kelas dengan daftar nama dan ditanda tangani dengan tanda terima tugas dan dimohon tidak ada yang sama persis antara tugas yang yang satu dengan yang lain, jika ada yang sama persis 100 % nilainya tidak ada dan tidak ada jumlah halaman semakin banyak halaman semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 


Lampiran Makalah:
Menuju Pemikiran Hukum Progresif di Indonesia
Oleh: Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, SH.
A Pendahuluan
Memasuki situasi transisi dan perubahan yang sangat cepat saat ini, hukum Indonesia memiliki banyak catatan untuk dikaji. Satu yang hendak kita bicarakan pada bagian ini, yaitu pandangan seorang yang dapat disebut pakar yang selama ini senantiasa melihat hukum melalui cara pandang berbeda. Satjipto Rahardjo, barang kali bukan nama yang asing bagi kalangan praktisi dan akademisi hukum di Indonesia. Buah karyanya dalam berbagai tulisan telah memberikan nuansa baru bagi perkembangan hukum.
Ada beberapa alasan mengapa pemikiran beliau dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama, alasan paling logis, bahwa salah satu penulis memiliki kedekatan (hubungan intelektual) dengan beliau, sehingga cukup memudahkan untuk memetakan secara garis besar pemikiran beliau tentang hukum di Indonesia. Kedua, sejauh ini beberapa pemikir lain di bidang hukum sudah banyak diulas dalam beberapa buku, baik untuk tingkat dasar (pengantar) sampai tingkat lanjut tentang hukum Indonesia, sebut saja beberapa tulisan dan karya Mochtar Kusumahatmadja, Soerjono Soekanto dan lain-lain. Ketiga, orisinalitas pemikiran Satjipto Rahardjo mewakili konteks berpikir kontemporer atau postmodernis, sesuai dengan tujuan penyusunan buku ini, yaitu menyangkut perkembangan yang luar biasa pesat dalam ilmu dan hukum harus mengantisipasi perkembantgan tersebut. Keempat, substansi pemikiran yang diajukan mengarah kepada pembentukan teori hukum.
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science),(Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat logika social dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi pemikiran.
Satjipto Rahardjo merupakan salah satu pemikir hukum Indonesia yang cukup produktif. Prof. Tjip, begitu orang-orang menyebutnya, lebih terkenal (khususnya) di dunia akademis sebagai ‘Begawan Hukum’. Pemikirannya akan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. Ciri pemikirannya sesuai dengan perkembangan saat ini dapat dimasukan ke dalam pemikir kontemporer dalam ilmu hukum postmodernis sekaligus kritis.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebutnya sebagai ‘Pemikiran Hukum Progresif’, yaitu semacam refleksi dari perjalanan intelektualnya selama menjadi musafir ilmu. Tulisan yang ada dalam buku ini, hanya berupa sketsa kecil dan bisa jadi tidak dapat menggambarkan substansi, konsep dan pesan yang ada didalamnya. Karena fokusnya lebih kepada kutipan-kutipan dari pidato emeritusnya, juga beberapa diskusi di ruang kelas dan di ruang seminar, (khususnya dengan salah satu penulis buku ini), ketika mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Undip Semarang.
Meskipun demikian, sebagai sebuah tulisan berbentuk sketsa hal ini cukup representative, mengingat kedalam substansi yang dikemukakan dalam pidato emeritusnya dan juga materi diskusi. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bagunannya sebuah teori, yang dalam terminologi Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.

B. Profesi dan Ilmu
           Bagi Satjipto Rahardjo, lahirnya program Pascasarjana dalam pendidikan hukum di Indonesia, pada tahun 1980-an merupakan sebuah pembalikan paradigmatik (revolusioner) dalam dunia pendidikan hukum, sebagaimana dijelaskan, “Dikatakan sebagai revolusi, oleh karena sejak dibuka rechtshogeschool di jaman kolonial Belanda pada tahun 1922, maka Indonesia hanya mengenal program profesi saja. Maka sungguh revolusionerlah sifat atau kualitas perubahan pada pertengahan tahun 1980-an itu, mulai saat itu Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan profesi, melainkan juga keilmuan, khususnya dalam bidang hukum…”
Apalagi setelah dibukanya Program Doktor Ilmu Hukum, khususnya di UNDIP, maka lebih jelaslah kedudukan hukum sebagai objek ilmu, dan mengokohkan eksistensi tentang program keilmuan. Sehingga mereka yang hendak kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, tidak harus memiliki latar belakang formal SI Hukum. Konsekuensi yang muncul, bahwa para ilmuwan hukum akan diajak untuk menjelajah hukum secara luas yang intinya tidak lain adalah searching for truth (pencarian kebenaran). Inilah sebuah inti pemikiran beliau, bahwa setiap akademisi hukum memiliki kewajiban untuk upaya pencarian kebenaran. Pencarian kebenaran inilah sebenarnya disebutnya sebagai proses pemaknaan terhadap hukum, dan ini pula merupakan kesadaran visioner, bahwa tugas ilmuwan adalah mencerahkan masyarakat, sehingga dunia pendidikan memberikan kontribusi dan tidak melakukan pemborosan.
Selama ini, khususnya sebelum lahirnya S2-S3, pendidikan hukum lebih bersifat kepada apa yang disebutnya dengan Lawyers Law, atau Law for the lawyers atau Law for the professional, setiap orang dibawa dan diarahkan untuk menjadi seorang profesional, dan sisi buruknya muncul pandangan bahwa itulah satu-satunya kebenaran, bahwa hukum hanyalah ada dalam wilayah yang disebut dengan “logika hukum”. Pandangan ini kemudian berkembang lebih jauh bahkan mendominasi dan menghegemoni, sehingga setiap orang apabila berbicara hukum seolah-olah hanya wilayah “logika hukum”itulah kebenaran, di luar wilayah itu bukanlah hukum. Namun dengan munculnya pendidikan S2 dan S3, maka wilayah kebenaran (hukum) menjadi jauh lebih luas daripada gambaran hukum yang sudah direduksi menjadi sekedar Lawyers Law.
Untuk melihat lebih jelas persoalan diatas, Satjipto Raharjo memberikan gambaran tentang kajian dua domain pendidikan yang berbeda itu, dengan menjelaskan bahwa pendidikan hukum Profesional, dan pendidikan S2 dan S3, akan melihat hukum sebagai berikut;
ILMU HUKUM
Sebenar Ilmu
Ilmu Praktis
Science
Genuine Science: What is a law?
Credo: in search for the truth, the truth about law.
Pencarian, Pembebasan dan pencerahan.
Indefinitive; batas-batasnya kabur.
Orientasi: komunitas dunia ilmu.
Kesadaran: pencarian kebenaran meski pada saat yang sama kita tidak dapat menggenggam kebenaran tersebut.
Ilmu Hukum Positif; What should be considers as law?
a.   Praktis;
b.   Keterampilan/skill hukum positif;
c.                   Profesional Study; Lawyers Law-Law for the lawyers.
d.         Credo: “Rules and Logic”
e.          Concern: What to do?, How to do?
f.                   Mempertahankan hukum positif Final definitive.



C. Ilmu Hukum yang Selalu Bergeser
             Penjelasan lain yang berkaitan dengan persoala diatas, adalah sikap ilmuwan yang harus senantiasa menyikapi ilmu sebagai sesuatu yang terus berubah, bergerak dan mengalir, demikian pula ilmu hukum. Garis perbatasan Ilmu Hukum selalu bergeser sebagaimana dijelaskan,
“… Maka menjadi tidak mengherankan bahwa baris perbatasan ilmu pengetahuan selalu berubah, bergeser, lebih maju dan lebih maju ….”
Dengan mencontohkan pergeseran paradikmatik dalam ilmu fisika khususnya pemikitan Newton yang terkenal dan pada waktu itu menghegomoni para fisikawan kemudian digantikan oleh era baru dengan munculnya teori kuantum modern yang pada kenyataannya lebih mampu menjawab persoalan-persoalan fisika yang tidak terpecahkan sebelumnya. Harus diakui bahwa Fisika Newton telah memberikan jasa luar biasa besar terhadap persoalan-persoalan fisika yang bersifat makro, logis, terukur dan melihat hubungan sebab akibat (mekanis), namun tidak mampu menjawab persoalan mikro, yang bersifat relative, kabur, tidak pasti, namun lebih menyeluruh. Lahirnya teori kuantum modern yang memecahkan kebuntuan dari teori fisika Newton tersebut, selanjutnya merubah cara pandang ilmuwan tentang realitas alam semesta. Perubahan itu tentu saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya, namun hakekat utamanya jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada di tepi garis yang labil.
Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang disebutnya sebagai “pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik ini memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson melalui tulisannya yaitu Consilience; The Unity of Knowledge, membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa disiplin secara luas dan anggun”.
Menurutnya tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya kesamaan antara metode Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum yang analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology Newton) atau Hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu sistem yang tersusun logis, teratur dan tanpa cacat. Dengan munculnya teori kuantum, bahkan teori keos, imbasnya terasa sekali kepada perkembangan pemikiran hukum. Maka situasi atau yang selama ini teramalkan dalam konsep yang dijelaskan diatas (Kelsen dan Austin) menjadi tatanan yang tidak dapat diprediksi, acak, simpang siur, dan dramatis.
Gagasan fisika kuantum tersebut di atas dengan relativitasnya, membantu kita untuk tidak memutlakan gagasan dan nilai yang kita pegang, tidak ada di dunia ini yang mutlak, yang paling benar dan paling baik sendiri, yang mutlak hanya Allah. Pemutlakan terhadap kebenaran yang relatif di atas itu pada dasarnya akan merusak kreativitas. Bagi Satjipto Rahardjo, teori bukanlah harga mati, karena sejarah perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan itu semua sejak jaman Yunani hingga masa di era Postmodernini. Oleh karenanya ilmu hukum selalu berada pada suatu pijakan yang sangat labil dan atau selalu berubah (the changing frontier of science) dan ini pula yang disebutnya dengan “the state of the arts in science”. Oleh karena itu kalimat yang senantiasa muncul adalah ‘hukum selalu mengalami referendum’.
Bagi Satjipto Raharjo, berpikir teoretis bagi para ilmuwan hukum adalah mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu gagasan beliau lebih kepada bagaimana para ilmuwan hendaknya mengembangkan semangat untuk tetap menjaga cara berpikir yang demikian itu, karena melalui jalur tersebut akan membawa kita semua sampai kepada apa yang disebutnya dengan “The Formation of Theory” (membangun teori). Teori menurutnya adalah, Giving name-explanation, given new meaning. Para lmuwan hukum seharusnya mencoba berpikir kearah sana. Dan semua ilmuwan sangat terbuka/diundang untuk memasuki wilayah ini.
Teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum itu, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan yang tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang hukum. Misalnya saja lahirnya pemikiran positivistic dalam Ilmu Hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat positivistic yang saat itu tengah booming. Satjipto Rahardjo memberikan penjelasan tentang lahirnya sebuah teori dalam bagan sebagai berikut :
 




Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi; bergerak, dan proses pemaknaan baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total.

D. Kritik Terhadap Hukum Modern
Satu hal yang cukup penting dari gagasan Satjipto Rahardjo, adalah kritiknya terhadap dominasi hukum modern, yang telah mengerangkeng kecerdasan (berfikir) kebanyakan ilmuwan hukum di Indonesia. Sejak munculnya hukum modern, seluruh tatanan social yang ada mengalami perubahan luar biasa. Kemunculan hukum modern tidak terlepas dari munculnya negara modern. Negara bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat, dan pada saat yang sama kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial, sehingga seluruh yang ada dalam lingkup kekuasaan negara harus diberi label negara, undang-undang negara, peradilan negara, polisi negara, hakim negara dan seterusnya. Bagi hukum ini merupakan sebuah puncak perkembangan yang ujungnya berakhir pada dogmatisme hukum, liberalisme, kapitalisme, formalisme dan kodifikasi.
            Namun demikian Satjipto Rahardjo menjelaskan, bahwa memasuki akhir abad 20 dan awal abad 21, nampak sebuah perubahan yang cukup penting, yaitu dimulainya perlawanan terhadap dominasi atau kekuasaan negara tersebut. Dalam ilmu, pandangan ini muncul dan diusung oleh para pemikir post-modernis, sehingga dengan demikian sifat hegemonal dari Negara perlahan-lahan dibatasi, dan mulai muncul pluralisme dalam masyarakat, Negara tidak lagi absolute kekuasaannya. Muncullah apa yang disebut dengan kearifan-kearifan lokal, bahwa Negara ternyata bukan satu-satunya kebenaran. Inilah yang digambarkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai gambaran transformasi hukum yang mengalami “bifurcation” (pencabangan) dari corak hukum yang bersifat formalism, rasional dan bertumpu pada prosedur, namun di samping itu muncul pula apa pemikiran yang lebih mengedepankan substansial justice, sebagaimana dijelaskan,
“Disinilah hukum modern berada di persimpangan sebab antara keadilan sudah  diputuskan dan hukum sudah diterapkan terdapat perbedaan yang sangat besar. Wilayah keadilan tidak persis sama dengan wilayah hukum positif. Keadaan yang gawat tersebut tampil dengan menyolok pada waktu kita berbicara tentang “supremasi hukum”. Apakah yang kita maksud? Supremasi keadilan atau supremasi undang-undang? Keadaan persimpangan tersebut juga memunculkan pengertian-pengertian seperti “formal justice” atau “legal justice” di satu pihak dan “substansial justce” di pihak lain.
Inilah sebuah sketsa singkat pemikiran seorang yang selalu berada di jalan ilmu, upaya dan semangat yang dikembangkan dengan terus berusaha mencermati perubahan yang terjadi, khususnya di Indonesia, gagasan Satjipto Rahardjo tidak saja memperkaya khasanah pengetahuan hukum tetapi lebih dari itu memberikan sebuah keteladanan bahwa kewajiban bagi seorang ilmuwan adalah selalu bersikap rendah hati dan terbuka, serta memiliki semangat untuk senantiasa berada pada jalur pencarian, pembebasan dan pencerahan. Itulah pesan yang merupakan hakekat dari apa yang disebutnya “pemikiran hukum yang progresif”.

PARADIGMA HUKUM PROGRESIF;
ALTERNATIF PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA[20]

Oleh: M.shidqon pl [21]

A.   Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagai sebuah upaya penataan ekonomi sebuah negara dapat ditelusuri dalam kurun waktu yang lama. Bahkan pemikiran-pemikiran Adam Smith yang disusun sejak abad ke-18 masih dijadikan rujukan bagi pembangunan ekonomi saat ini, khususnya negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis. Tetapi dalam penyelenggaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II yang melantakkan sebagian besar negara, terutama negara-negara Eropa. Setelah Perang Dunia II itulah, Eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan untuk menata kembali perekonomiannya. Instrumen pembangunan (atau tepatnya rekonstruksi) ini adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.[22]
Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan setelah Perang Dunia II itu memiliki tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid, pertama, pembangunan dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata ekonomi tunggal dunia, dimana model ini mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Kedua, pembangunan juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang dianggap membahayakan kepentingan negara kapitalisme.[23]
Proyek pembangunan setelah Perang Dunia II sarat dengan capaian-capaian material dalam bidang ekonomi. Pembangunan dilukiskan sebagai sebuah proses menuju kemajuan material perekonomian, sehingga ukuran-ukuran keberhasilannya dilihat dari indikator semacam pertumbuhan akumulasi investasi dan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan karakteristik semacam itu, negara-negara yang memiliki akumulasi modal dan ketahanan ekonomi yang mapan, akan semakin melakukan ekspansi ekonomi ke tiap-tiap negara yang berada pada zona Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara yang secara ekonomi masih miskin, atau negara-negara yang sedang berkembang. Konsep pembangunan Dunia Ketiga tentunya memiliki tingkat harapan tersendiri dalam memenuhi sektor pembangunan ekonominya, sehingga tidak dapat disetarakan dengan negara adikuasa yang telah berkembang dalam segala aspek.
Bagi negara-negara Dunia Ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional; sementara negara-negara adikuasa persoalannya adalah bagaimana secara sistematis dapat melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.[24] Sehingga filsafat pembangunan seperti ini kerap disebut dengan istilah “fordisme”, yang merujuk kepada upaya terciptanya masyarakat dunia yang makmur berdasarkan maksimasi kegunaan tanpa batas, yang dibentuk melalui tiga elemen penting, yaitu rasionalitas, efesiensi, dan produksi/konsumsi massal.[25]
Tidak dapat dipungkiri filsafat pembangunan ekonomi Indonesia dalam pandangan dunia internasional, bahwa Indonesia menjadi perhitungan negara yang sedang berkembang serta identik dengan zona Dunia Ketiga. Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia era Orde Baru memang cukup banyak mendatangkan perubahan. Salah satu diantaranya adalah dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita nasional. Bila pada tahun 1969 pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$ 70, maka berkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6,5 persen per tahun, pada tahun 1995 angka itu telah meningkat menjadi sekitar US$ 880, atau sekitar Rp. 2 juta per orang per tahun. Sejalan perkembangan waktu pendapatan pada sektor pertanian, jasa dan industri semakin seimbang.[26]
Tetapi bila dikaji lebih jauh, perjalan pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru yang mengesankan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan secara berarti, namun pada prospek jangka panjang menyisakan tangisan dan penderitaan ekonomi secara sistemik. Hal ini dapat di lihat krisis moneter yang bergejolak pada tahun 1998, serta diikuti dengan instabilitas politik menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami krisis berkepanjangan, dan sampai hari ini dapat dirasakan dampak dari pembangunan ekonomi di bawah rezim Orde Baru. Salah satunya ialah, negara ini dipaksa melakukan penyesuaian dengan mekanisme pasar terhadap kenaikan harga minyak dunia. Tak heran ketika setiap waktu harga BBM (bahan bakar minyak) akan selalu naik, disamping Indonesia saat ini bukan lagi sebagai negara eksportir minyak, di lain hal sistem perekonomian yang masih terkesan hanya mengikuti poros mekanisme pasar, tanpa ada kontrol yang akuratif. Alhasil mental negara ini menjadi rapuh, kesenjagangan sosial makin terlihat tanpa batas, tingkat kriminalitas tiap tahun meningkat, serta yang lebih ironis lagi ketahanan pangan menjadi problem yang selalu menghantui.
Kemudian timbul suatu pertanyaan dimana peran hukum sebagai bentuk perwujudan instrumen regulasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia? Seharusnya hukum harus berperan untuk mengerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tol of social engineering). Artinya hukum dalam bidang kehidupan yang nyata harus lebih difungsikan sebagai sarana sosial kontrol dalam kehidupan masyarakat.[27] Jika asumsi pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya Indonesia disandarkan pada paradigma hukum progresif yang implementasinya responsif dan mendatangkan kemanfaatan sosial, tentunya alur berfikir pembangunan ekonomi Indonesia tidak serumit saat ini.
Tidak dapat dinafikan hukum progresif bukan instrumen ilmu ekonomi secara murni, akan tetapi prospek pembangunan ekonomi tentunya tidak terlepas dari mekanisme hukum dalam melakukan aktivitas ekonomi, yang hasil akhirnya dalam aspek hukum dapat memenuhi nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Maka paradigma hukum progresif dapat dijadikan batas apresiasi terhadap dinamika perkembangan arus globalisasi yang tidak saja terjadi pada sektor ekonomi dan tekhnologi, melainkan juga pada batas-batas tertentu, dan setiap negara terpaksa mengikuti arus globalisasi hukum sebagai bentuk penyesuaian terhadap pembangunan ekonomi melalui tujuan mekanisme pasar dan perdagangan internasional.

B.   Fungsi & Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah pancasila, yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan garis amanah konstitusi, maka makna pembangunan nasional harus mampu mereduksi nilai keseimbangan pada setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Sejak awal bangsa ini dihadapkan dengan tanggung jawab yang begitu besar, yaitu meneruskan perjuangan pasca penjajahan kolonialisme dalam bentuk pembangunan nasional pada setiap dimensi sosial masyarakat. Akan tetapi persoalannya apakah amanah yang mulia ini dapat begitu saja dijalankan dengan mudah. Mungkin hal ini tidak perlu dijawab, karena realitas kehidupan saat ini dapat menggambarkan potret Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional pasca merdeka dari penjajahan tahun 1945.
Setidaknya dapat dijelaskan secara umum ada beberapa tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi negara maju, yaitu tahap pertama, unifikasi dengan titik berat bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap kedua industrialisasi dengan fokus terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, kemudian tahap ketiga negara kesejahteraan dimana tugas negara terutama adalah perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.[28]
Dalam suatu negara program pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi semata, juga harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui, setidaknnya program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi hukum (the special development abilities of the lawyer).[29]
Stabilitas dan predictability adalah merupakan prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi. Predictability sangat berperan, terutama bagi negara-negara yang masyarakatnya baru memasuki hubungan-hubungan ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka. Sedangkan prasyarat stabilitas berarti hukum berpotensi dan dapat menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan akan tercermin dari proses hukum, persamaan dihadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan pemerintah, dan lain-lain akan mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan mencegah campur tangan pemerintah yang terlalu dominan.[30]
Sedangkan pendidikan dan pengembangan profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi.
Berbicara mengenai fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan ekonomi terhadap hukum atau sebaliknya, pendekatan hukum terhadap ekonomi, yang lazim dikenal dengan analisis ekonomi terhadap hukum. Salah satu contoh konkrit bahwa adanya elaborasi keilmuan antar dua displin ilmu ekonomi dan hukum, ialah daya paksa arus globalisasi ekonomi yang memaksa instrumen hukum sebagai regulasi mekanisme ekonomi menyesuaikan diri terhadap perkembangan internasional, hal ini sering disebut dengan globalisasi hukum.
Sehingga materi muatan berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif harus mengadopsi kaedah-kaedah dan diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi ekonomi baru.
Pendekatan hukum ekonomi bersifat dan menggunakan pendekatan-pendekatan transnasional dan interdisipliner, dengan mengkhususkan diri pada hubungan-hubungan antara masalah-masalah ekonomi dan sosial nasional dan regional serta internasional secara integral. Atau dengan perkataan lain, pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus selaras dengan arah dan kebijakan politik ekonomi pembangunan dan politik hukum pembangunan serta politik pembangunan masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik dan sistematik.[31]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum ekonomi (economic law) merupakan bidang hukum yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat dan kepentingan umum (public interest) sekaligus. Untuk itu pendekatan ekonomi terhadap hukum, akan menjadi salah satu cara agar tidak terjadi ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dalam dan antar negara dengan negara lainnya baik secara nasional, regional dan internasional.[32]
Maka fungsi dan peran hukum dalam pembangunan dalam tahap legislasi nasional dimasa mendatang perlu memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis.
Oleh karenanya ahli hukum yang terlibat sebagai pembuat undang-undang harus mampu memadukan studi hukum dengan disiplin ilmu lainnya secara komprehensif, agar tertib sosial bagi berfungsinya hukum karena terjadinya perubahan sosial dan tata pergaulan antar kelompok masyarakat, negara, antar negara, baik itu taraf nasional, regional dan internasional yang dalam prosesnya dapat berjalan secara responsif terhadap prinsip keseimbangan kepentingan pembangunan yang progresif.


C.   Arus Globalisasi & Masa Depan Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga
Revolusi industri dianggap sebagai tonggak lahirnya ekonomi global, yang tidak lagi memisahkan teori ekonomi sebagai acuan regulasi perekonomian negara. Teori ekonomi diposisikan hanya sebagai saksi perasan pemikiran sejarah yang dapat dilihat pada pasca Perang Dunia II dan berbagai keadaan yang berubah cepat, terutama dalam bidang perekonomian dunia yang menghilangkan sekat negara, bangsa serta kewilayahan. Revolusi teknologi informasi juga merupakan faktor pendukung utama perekonomian global atau biasa kita kenal dengan globalisasi.
Arus globalisasi juga memaksa peran pembangunan ekonomi Dunia Ketiga untuk lebih maju. Disamping itu, sumber daya alam yang dimiliki akan sangat berperan dalam melakukan pembangunan ekonomi, tinggal bagaimana manajemen sumber daya manusia yang dimiliki dapat melakukan pengelolaan terhadap aset produktif yang dapat mendukung pembangunan ekonomi setiap negara.
Fenomena arus globalisasi yang paling nyata, bagaimana negara-negara yang sedang berkembang pada Dunia Ketiga akan menjadi target kepentingan ekonomi negara adikuasa. Belum lagi, masalah ’gap’ (kesenjangan) yang semakin melebar antara negara-negara berkembang dan miskin dengan negara-negara maju maupun dengan Transnational Corporation (TNC). Upaya penghapusan kemiskinan (Poverty Alleviation) sebagaimana banyak dinyatakan secara retorik oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) kenyataannya hanyalah sikap mengelabuhi publik (kebohongan publik) secara terang-terangan, mengapa demikian? karena, dalam kenyataannya arah dan tujuan globalisasi dengan arah tujuan penghapusan kemiskinan sangatlah bertolak belakang, bukan saja bertolak belakang, tetapi juga berlawanan secara mendasar.[33]
Globalisasi adalah mengenai pembukaan pasar seluas luasnya di seluruh dunia melalui berbagai instrumen termasuk Bank Dunia, IMF, MNC, TNC, WTO, dan lembaga sejenis lainya, dan ”PASAR” tidak pernah memikirkan aspek sosial termasuk aspek perubahan pengaturan sumber daya manusia dan kecenderungannya justru hanya pada agenda penghapusan kemiskinan, penciptaan pasar untuk bagaimana menghasilkan profit dan profit, bukti paling jelas adalah liberalisasi sektor keuangan oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1980an yang kini menjadi sebab utama krisis ekonomi, pelarian modal keluar negeri, serta beban utang meningkat tajam dan volatilitas keuangan tidak berkesudahan yang membangkrutkan bangsa-bangsa negara berkembang dan miskin hanya dalam hitungan hari.[34]
Kemudian dari regulasi dan berbagai kenyataan  untuk memperjelas fakta permasalahan. Maka, berikut sederet masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga yang menjadi korban globalisasi hukum yang menyengsarakan, diantaranya Venezuela dengan krisis ekonominya yang terjadi akibat dari  masuknya kepentingan globalisasi dengan alasan pasar bebas dan ”TANGAN TUHAN” atas mekanisme pasar yang mengaturnya. Krisis Venezuela terjadi sebab salah satu produsen terbesar minyak dunia ini dikuasai oleh perusahaan minyak Amerika, dan negara-negara Eropa. Seharusnya negara yang memiliki jutaan bahkan milyaran barel minyak ini harus lebih sejahtera, ternyata 80% penduduknya adalah masyarakat miskin, dan Hugo Chaves berpendapat bahwa kemakmuran akan dapat tercapai apabila perusahaan minyak dikelola sendiri bukan dikelola oleh pihak asing.[35]
Tidak jauh dari Venezuela negara tetangganya Meksiko juga mengalami hal yang sama barang kali lebih parah, IMF dan Bank Dunia mengatur kemudahan investasi lewat penanaman modal asing 100% penguasaan dan monopoli HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Dalam hal ini terkait dengan perdagangan dunia, yaitu berupa memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk dan Hak Cipta, maka berbagai barang temuan dapat di kuasai siapa saja yang mendaftarkan terlebih dahulu, syaratnya merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif dan dapat diterapkan dalam industri (produksi massal). Sehingga teknologi dapat dikuasai terus menerus serta berbagai kemudahan untuk menguasai negara dalam berbagai sektor terutama barang publik. Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha disuatu negara akan semakin memperbesar (TNC) dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.[36]
Dinegara kita pun tidak jauh dari apa yang terjadi pada negara-negara sedang berkembang lainnya, memasuki dasawarsa 1980an kecenderungan ekonomi Indonesia semakin terintegrasi kepada ekonomi global. Perlu kita ketahui banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudian menghancurkan baik dari segi kedaulatan nasional, hukum, dan jutaan rakyat Indonesia. Krisis yang berlangsung hingga saat ini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi.
Kasus ini tidak pernah diakui IMF dan Bank Dunia, dan para ekonom liberal yang selalu menyalahkan kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), Bad Governance dan lainya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya, dan ada berbagai hal lain semacam liberalisasi ekonomi dan kapitalisme global yang dipraktikan di Indonesia sebagai agenda besar deregulasi pelicin globalisai.
Dari kegagalan dan dampak globalisasi  maka ada satu hal yang menjadi perhatian kita bersama yaitu, berupa runtuhlah  teori ekonomi sebab bila dilihat dari awal mulai globalisasi yang merupakan perasan dasar dari teori Adam Smith (5 Juni 1723-Juli 1790) dengan bukunya ”An Inquiry into the nature and couses of the wealth of nations” dan biasa disingkat dengan wealth of nation yang merupakan buku pertama tentang perekonomian modern dan merupakan dasar perdagangan bebas serta kapitalisme.[37]
Pendekatan yang dijelaskan arus globalisasi pada aspek pembangunan ekonomi Dunia Ketiga terkesan hanya menciptakan ruang eksploitasi tak terhenti. Serta akan menjadikan dunia matematis ekonomis dan tidak dapat pula menjelaskan sebagian dunia yang sudah global. Padahal sudah sama-sama kita ketahui ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial yang berangkat dari realitas sosial bukan fisika atau aljabar yang serba pasti ditambah dengan pandangan teori ekonomi yang kausalitas (sebab-akibat) misalnya, jika pemerintah menurunkan tingkat suku bunga dan berharap dapat merangsang perekonomian, dengan maksud bisnis dapat meminjam uang dan membuat investasi modal.
Sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya, globalisasi merupakan proyek normatif yang dibalut melalui teori ekonomi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat yang sesuai dengan logika pasar. Bangunan dasar globalisasi ini, menurut Bourdieu, tidak lebih sebagai sebuah fiksi matematika murni yang didasarkan pada sebuah abstraksi luhur mengenai realitas. Bentuk abstraksi ini dibangun  konsepsi rasionalitas yang bercorak individual. Rasionalitas individual, seperti halnya paradigma neoklasik, memandang individu-individu dalam rangka memaksimumkan utilitas mereka melalui pilihan sarana yang terbaik guna melayani tujuan-tujuan meraka. Dengan kata lain, individu-individu adalah unit-unit yang dapat mengambil keputusan sendiri secara rasional dan otonom[38]
Globalisasi merupakan sebuah tatanan rezim diskursif yang koheren, yang mampu megkonstruksi pemahaman sosial mengenai otoritas. Atas nama program pengetahuan ilmiah, globalisasi mengubah dirinya menjadi program politik untuk bertindak dan selanjutnya menerapkan makna hegemonik terhadap tatanan dunia. Sebagai proyek politik, globalisasi menuntun dunia untuk mencapai kesejahteraan universal berlandaskan pada utopia pasar bebas.
Singkatnya, globalisasi secara canggih mampu menggabungkan berbagai modal yang dikuasainya (ekonomi, politik, militer, sosial, dan pengetahuan tekhnologi) untuk kemudian membanguan kekuasaan dalam rangka memonopoli pemahaman atas kemajuan, pertumbuhan, dan kesejahteraan. Sehingga masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga hanya menjadi target pasar negara adikuasa melalui mekanisme pasar dan perdagangan internasional sebagai bentuk paket arus globalisasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga? Tentunya tulisan ini berangkat dari gagasan awal bahwa perlu adanya mekanisme hukum yang progresif dalam memetakan pembangunan ekonomi yang juga tidak mengeyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya disamping faktor ekonomi secara murni, perlu kiranya instrumen hukum sebagai regulasi dapat berfungsi lebih responsif terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam melakukan pembangunan ekonomi pada setiap negara, khususnya di Indonesia.

D.   Memahami Paradigma Hukum Progresif
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.[39] Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[40]
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[41] 
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia, kegagalan pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk kedalam poros mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi internasional tidak aneh ketika pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga minyak dunia yang melonjak naik secara drastis. Sehingga pemerintah melakukan pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN nasional.
Alasan-alasan diatas secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya kebijakan menaikkan harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah terlebih dahulu melakukan general chek up atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.[42] Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah positivisme hukum.
Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan.[43]
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi[44] secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.[45]
Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.[46]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogkan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari aturan tersebut.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatife.
Terakhir adalah, hukum  progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but experience.[47] 
Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut.

E.   Alternatif Pembangunan Ekonomi Progresif
Secara konstitusional sistem pembangunan ekonomi Indonesia didasarkan pada prinsip keseimbangan, kepastian dan keadilan yang kemudian semua itu dikelola dan diatur oleh negara. Dengan pemahaman seperti itu bahwa bangsa ini mempunyai cita-cita bersama untuk mendapatkan hak kedaulatan ekonomi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bertolak dari itu, hak kedaulatan ekonomi secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945 yang secara utuh dan menyeluruh dapat dijadikan orientasi sistem perekonomian Indonesia. Amanat konstitusi ini dapat dipahami tidak hanya dimaksudkan sebagai landasan yuridis sistem perekonomian Indonesia, melainkan sekaligus sebagai dasar bagi penyelenggaraan demokrasi pembangunan ekonomi Indonesia.
Ketika melihat konsep dasar dari Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 dalam kerangka hukum progresif, sejatinya masih berada pada optik sosiologis bahwa hukum diperuntukkan melayani kepentingan masyarakat. Seperti halnya yang disebutkan dalam amanat konstitusi tersebut “bahwa bumi, air dan kekayaan alam beserta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada hakikatnya gagasan ini adalah suatu proses memberi bentuk terhadap sejumlah keinginan hak kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan demikian yang lebih dikedepankan adalah membuat suatu bangunan perundang-undangan yang memiliki orientasi pada kebijakan pembangunan ekonomi dengan struktur rasional dan bertolak dari potret struktur social masyarakat. Paradigma yang demikian itu tentunya dalam menghadapi masalah, tanpa meninggalkan subjek akar rumput masalah.
Terlepas dari kejelasan bentuk serta tujuan sistem pembangunan ekonomi Indonesia tersebut, suatu hal kiranya perlu ditegaskan disini. Dengan ditetapkannya Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 sebagai konsep dasar tujuan dari pembangunan ekonomi Indonesia, hal itu tidak serta merta merupakan penolakan terhadap ketidakhadiran investor asing dengan melakukan aktivitas ekonomi melalui perusahaan yang tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akan tetapi persoalannya kehadiran perusahaan asing yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dimiliki, justru membuat Pasal 33 UUD 1945 ini tidak lagi memiliki legitimasi kedaulatan ekonomi kerakyatan. Karena antara mewujudkan cita-cita demokratisasi pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan berdasarkan amanat konstitusi, akan selalu bersitegang dengan realitas yang sampai sejauh ini perusahaan asing hanya mengeruk kekayaan alam kita, tanpa memberikan kontribusi secara seimbang dengan apa yang sudah menjadi hak bangsa ini. Tentu bangsa ini tidak selalu menutup mata, bagaimana bisa potret yang terjadi di papua, kekayaan alam yang berlimpah ruah, dan freport sebagai perusahaan asing dari Amerika Serikat yang melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam di papua hanya sekian persen saja hasil dari penambangan dapat dinikmati oleh rakyat papua. Terbukti fenomena busung lapar menjadi ancaman bagi rakyat papua, dan persoalan ini menjadi indikator kegagalan sistem pembangunan ekonomi saat ini.
Ilmu hukum progresif memperhatikan kesenjangan sosial yang terjadi dengan motif pembangunan ekonomi, dilakukan melalui sistem ekonomi neo-liberalisme. Di balik prinsip-prinsip dasar dari sistem ekonomi neo-liberalisme, terlihat jelas bahwa antara faktor kerakusan manusia sebagai embrio munculnya paham positivisme hukum pada sektor sistem ekonomi tersebut, sesungguhnya merupakan mata rantai yang terkait erat di antara satu dengan lainnya. Kehadiran globalisasi sebagai proses kapitalisasi ekonomi liberal, tidak lain berakar pada perilaku manusia individu yang mengumbar nafsu keserakahan duniawi, dan tidak segan-segan mengorbankan kepentingan masyarakat keseluruhan.[48]
Globalisasi telah memunculkan pembagian kekuasaan yang tidak merata dan tidak seimbang. Sebagian besar kekuasaan dalam pembuatan hukum maupun penegakan hukum berada di tangan para aktor globalisasi, sedangkan para pelaku ekonomi di negara-negara berkembang semakin memberikan tekanan ekonomi. Kondisi demikian itu memberikan bukti bahwa sistem perekonomian menjadi faktor pendorong terjadinya perlapisan sosial dalam skala global. Penumpukan kekuasaan di tangan para aktor globalisasi, berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber daya alam dalam masyarakat (dunia). Dengan terjadinya perlapisan sosial, maka hukum pun sulit mempertahankan netralitasnya. Di sinilah Friedman menunjukkan bahwa perlapisan sosial merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada substansi maupun pelaksanaannya dalam menjalankan sistem pembangunan ekonomi global maupun nasional.[49]
 Maka paradigma hukum progresif selalu mencerna perubahan yang terjadi dalam dinamika masyarakat. Dengan kualitas yang demikian itu, maka hukum progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat ilmu itu adalah mencari kebenaran. Setidaknya paradigma hukum progresif memberikan jalan dengan berupa alternatif di tengah-tengah degradasi orientasi sistem pembangunan ekonomi Indonesia saat ini. Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan secara mendasar dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia secara lebih berkeadilan, partisipatif dan berkesinambungan? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan tersebut. Untuk itu peranan negara dalam politik pembangunan ekonomi Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945, ditekankan pada segi membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur jalannya pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang yang memungkinkan dilakukannya penindasan rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
Agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang diasumsikan sebagai agenda pembanguanan ekonomi progresif, didasarkan atas upaya terus-menerus menciptakan demokratisasi modal dengan penuh keseimbangan, keadilan serta kepastian demi kesejahteraan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Setidaknya terdapat empat agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang perlu segera dilakukan. Keempat agenda pembangunan ekonomi progresif tersebut, pertama, desentralisasi penguasaan sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melanjutkan reformasi fiskal (pembaruan UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, UU Perpajakan, dan UU Pajak dan Retribusi Daerah). Dengan catatan kebijakan pembaruan formulasi ini merupakan refleksi dari amanat konstitusi Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945.[50] Kedua, pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Selama ini, penguasaan lahan pertanian secara berlebihan dilakukan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat dan atau petani berdasai sebagaimana terjadi pada era Orde Baru harus segera diakhiri.[51]
Ketiga, penciptaan struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya persaingan secara berkeadilan. Struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya persaingan secara berkeadilan merupakan satu-satunya institusi yang dapat diandalkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi ekonomi dan monopoli usaha di tangan segelintir pengusaha besar. Untuk itu, UU Anti Monopoli harus lebih diupayakan secara optimal agar dapat menjamin terwujudnya lingkungan usaha yang transparan dan kompetitif.[52] Kemudian yang keempat, penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif sebagai upaya untuk mempertahankan demokratisasi modal ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif ini juga diperlukan sebagai upaya untuk secara terus-menerus membentuk dana sosial bagi anggota masyarakat yang rentan. Dengan adanya sumber dana pasti bagi penyelenggaraan program perlindugan sosial maka tanggung jawab negara sebagai pemelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana yag diamanatkan oleh konstitusi akan dapat dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.[53]
Dari kenyataan tersebut, bahwa konsep alternatif pembangunan ekonomi kerakyatan dengan langkah progresif yang mencoba mencari penyelesaian terhadap krisis pembangunan ekonomi yang terus-menerus terjadi di Indonesia, tampaknya masih merupakan konsep pinggiran yang masih belum dijalankan sepenuhnya. Konsep ini masih harus di perjuangkan secara gigih, dan mungkin akan memakan waktu yang lama sebelum pada akhirnya dapat dijalankan secara efektif.
F.    Simpulan
Sebagai simpulan kiranya patut dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan yang mendasari keempat agenda gagasan alternatif pembangunan ekonomi progresif tersebut memang tidak didasarkan pada paradigma sistem ekonomi neo-liberalisme, melainkan melalui paradigma sistem ekonomi progresif. Artinya, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan konglomerasi, melainkan dilakukan pada kekuatan pemerintah daerah, mekanisme pasar berbasis kerakyatan, usaha-usaha pertanian rakyat dan sistem perpajakan yang progresif. Diatas fondasi sistem pembangunan ekonomi progresif itulah selanjutnya, bangunan ekonomi Indonesia yang adil, partisipatif, dan berkesinambungan akan ditegakkan.  

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis Memetakan Perekonomian Indonesia, Korupsi Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002.
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005.
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.
Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, 1989, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.
Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
_______________, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.
_______________, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
_______________, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
_______________, Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.
_______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, September 2005.
Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.


[1] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009  hlm.1
[2] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
[3] Op Cit, Sabian Usman, 219
[4] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,hlm. 373
[5] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
[6] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
[7] Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 345
[8] Lebih jauh Arman mengemukakan bahwa dalam menetapkan putusannya hakim memang harus mengedepankan rasa keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana dituntut sebagian orang agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak bersedia, melainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas.  Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 340
[9] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005, hlm.1
[10] Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm. 70
[11] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
[12] Ibid, hlm. 272
[13] Ibid, hlm. 276
[14] Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 368
[15] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 70
[16] Ibid, hlm. 72
[17] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm. 31
[18] Ibid, 74
[19] Ibid, 75
[20] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum & Pembangunan, yang diampu oleh Prof. Erman Rajagukguk, SH.LLM.Ph.D, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

[21] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum

[22] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis “Memetakan Perekonomian Indonesia”, Korupsi Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002 hlm 01.

[23] Ibid.
[24] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 hlm ix.

[25] Ibid.

[26] Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 hlm 19.
[27] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006 hlm 8.
[28] Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 127.

[29]  Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol. 9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157.

[30] Ibid.
[31] Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm 25.

[32] Ibid.                                                      
[33] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 46.

[34] Ibid.

[35] Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005 hlm 18.
[36] Ibid. Perjuangan melawan globalisasi di meksiko di mulai saat kaum pribumi Indian di Chiapas pada tahun 1994 dan bersamaan dengan penandatanganan NAFTA yang menurut kaum ZAPATISTA sebagai ”Hukuman Mati” bagi Indian dan hadiah bagi orang kaya. Perlawanan ini dilakukan sebab setelah IMF dan Bank Dunia masuk Meksiko, jumlah orang yang sangat miskin di daerah pinggiran meningkat sampai sepertiganya, setengah dari total populasi tidak memiliki akses kepada sumber-sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan dasar.

[37] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 56. Kemudian para pendukung teori ini seperti dilaporkan dalam laporan tahunan yayasan Russel yang merupakan sponsor banyak penelitian masalah kemasyarakatan menyatakan bahwa seorang ilmuwan ekonomi yang jengkel dengan kecendrungan ”myopic” dalam disiplin ilmunya, yaitu kebutuhan masyarakat yang memerlukan jawaban dan melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmu ekonomi datang dengan resep ekonomi teknis. Ketika dihadapkan dengan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang semakin luas yang diperlukan adalah pembenahan mekanisme pasar, seolah-olah mekanisme pasar dengan tidak adanya campur tangan pemerintah  persoalan akan selesai

[38] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis….Op.,Cit. hlm 28. Individu-individu menempati sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem di luarnya. Otonomisasi individu sebagai agregat rasional tidak membutuhkan karakter kolektif dalam dirinya sendiri. Karena individu-individu memiliki kebebasan penuh untuk menciptakan efisiensi dan kesejahteraan maksimum bagi dirinya sendiri. Globalisasi kurang lebih bersandar pada asumsi ini, di mana pencapaian maksimum individu diutamakan sementara karakter sosial yang mengitarinya diabaikan. Bagi Bourdieu, globalisasi dibentuk melalui teori ekonomi-politik murni yang teguh mempertahankan oposisi antara logika khas ekonomi, di mana kompetisi dijadikan syarat bagi tercapainya efektivitas dan logika sosial, dilain sisi, yang menekankan pada persoalan keadilan.

[39] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

[40] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.
[41] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

[42] Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, (stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”. Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.

[43] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, hlm 186.

[44] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 3-4.
[45] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.
[46] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.
[47] Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
[48] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 hlm 162.
[49] Ibid
[50] Revirsond Baswir, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.
[51] Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hasil dari pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan segenap hidup anggota keluarganya dari mengolah lahan pertanian. Ibid.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
»»  Baca Selengkapnya...