Jumat, 24 Juni 2011

KILAS BALIK SEJARAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT (DIKB) DAN PERAN SULTAN HAMID II

KILAS BALIK SEJARAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT (DIKB) DAN PERAN SULTAN HAMID II

Oleh Turiman Fachturahman Nur

DIKB dalam Tataran Sejarah Hukum Ketatanegaraan Indonesia”
         Demi kejujuran sejarah dan sikap serta kesadaran sejarah, berikut ini dipaparkan perjalanan sejarah hukum DIKB sampai berdirinya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat yang setiap tahun diperingati oleh Pemda Prov dan patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
          Sebagaimana pernah dikutip oleh proklamator kita Bung Karno dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris dalam bukunya “The Expansion Of England “History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event”, maknanya ialah “bahwa semua kejadian-lejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi” itu adalah logis dan terang Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama, tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi.
         Berikut ini dipaparkan fakta obyektif terhadap sejarah hukum DIKB dalam tataran ketataranegaraan Republik Indonesia, bahwa secara yuridis sebelum kemerdekaan bagaimana kedudukan wilayah Kalimantan, ternyata pada zaman pendudukan Jepang seluruh Kalimantan berada dibawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang, yaitu Borneo Meinseibu Cokan 1942 Agustus 1945 dan berpusat di Banjarmasin.
        Setelah empat belas bulan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”, sebelum pemulihan kedaulatan Para Raja atau Sultan mencatat “tinta emas” di bumi Khatulistiwa dengan semangat konsep “federalisme” daerah versi Sultan Hamid II atau sekarang dikenal sebagai semangat otonomi daerah dan atas dasar semangat itulah kemudian berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja, yakni 1. Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah, Swapraja Landak, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang dan Neo Swapraja, yaitu 1 Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja Nanga Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.
         Keputusan Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri beserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat yang terdiri dari 40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda. Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah Istimewa dengan wakilnya yaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer Rifai’i. Dalam menjalankan pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, yaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.
            Berdasarkan rangkaian ketatanegaraan tersebut di atas, maka tidak benar, bahwa Daerah Istimewa Kalimantan Barat merupakan hasil bentukan Pemerintah Belanda sebagaimana wacana para sejarahwan pusat, mengapa para Raja atau Sultan di Berneo Barat menggabungkan diri kedalam DIKB, karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut perjanjian Renville jadi ketika itu jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar RI 17 Agustus 1945 yang wilayahnya ketika itu hanya sebagian Jawa, Madura dan sebagian Sumatera bisa saja dan Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaran Serawak Kucing Malaysia Timur untuk menjadi negara bagian Malaysia, tetapi Sultan Hamid II tidak mau, itulah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang tak pernah terungkap dalam tataran sejarah negara ini, sama dengan sumbangsih Sultan Hamid II di KMB 1949 dan sumbangsih kepada negara sebagai Perancang Lambang Negara RI, 1950 yang disahkan sebagai lambang negara RIS 11 Februari 1950 dan sekarang menjadi lambang negara kesatuan Republik Indoensia berdasarkan Pasal 36 A UUD 1945 amendemen kedua tahun 2000 sebagaimana dijabarkan dalam pasal 50 UU No 24 tahun 2009 yang sebelumnya menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 6.
          Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Sultan Hamid II menjabat sebagai Ketua BFO yang mewakili daerah bagian/satuan kenegaraan (DIKB - Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar) dan negara bagian diluar RI 17 Agustus 1945 dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat, pertanyaan kepada sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II tidak pernah menanda tangani hasil KMB Den Haag di Belanda 27 Desember 1949, apakah secara hukum internasional Belanda mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta atau dikenal Republik Yogya, mengapa hal ini tidak diangkat sebagai jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” bagaimana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara yuridis negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ketika diwakili Mohammad Hatta, inilah fakta obyektif secara hukum ketatanegaraan mengenai keberadaan DIKB bagi RI dalam ini memperkuat Proklamasi 17 Agustus 1945, itulah yang dicatat oleh sejarah sebagaimana dinyatakan Mr Surjadi dalam pembelaan periksaaan Perkara Sultan Hamid II dalam Sidang MA tanggal  25 Maret 1953::” Sebagai telah diraikan Sultan Hamid II dalam pembelaannya tadi, ia dari permulaan ada BFO turut serta secara aktif dalam perjuangan mencapai kemerdakaan 100 % bagi nusa dan bangsa.
          Negara-negara bagian yang diciptakan oleh Pihak Belanda dengan maksud digunakan sebagai :”tegewicht” dan untuk melemahkan “Republik Yogya”, dalam gabungan B.F.O dibawah pimpinan Sultan Hamid II sebagai ketuanya, ternyata tidak merupakan lawan, akan tetapi menjadi kawan bagi Republik.
          Pada akhirnya yang berhadapan satu dengan lainnya ialah Republik Yogya dan B.F.O disatu pihak dan Belanda di lain pihak, sedangkan menurut rencana Belanda dengan dibentuknya Negara-negara bagian semestinya Republik Yogya disatu pihak dan Belanda dan negara-negara bagian di lain pihak. Keadaan itu tidak sedikit memperkuat perjuangan kita terhadap dunia internasional. Sebab dengan  demikian dunia internasional diconfronteer dengan persatuan yang kokoh kuat dari bangsa Indonesia.Kedua sayap, Republik Yogya dan B.F.O maju bersama-sama.
            Dengan penuh loyalitas dan kesungguhan hati Sultan Hamid II turut melaksanakan Konferensi Antar Indonesia, yang mencapai hasil yang sebaik-baik. Dengan tidak kurangnya loyalitas kepada nusa dan bangsa Sultan Hamid II telah turut serta dalam K.M,B untuk mencapai hasil maksimum dari Konferensi itu.
            Sebagai hasil konferensi Antar Indonesia dan K.M.B Negara Indonesia buat sementara dibentuk sebagai Negara Federal. Satu dan lainnya ditetapkan (vasteglegd) didalam UUD Sementara RIS 1949 yang telah disetujui oleh Republik dan B.F.O dan kemudian diratifikasi oleh Parlemen dari masing-masing Negara Bagian. Sampai ada pemilihan umum berdirinya dan hidupnya Negara-Negara Bagian dijamin U.U.D. sementara tadi sebagai ‘overtuigd Federalis” dan sebagai Kepala satuan kenegaraan dalam hal ini DIKB dan Sultan Hamid II mempunyai hasrat untuk melaksanakan UUD sementara itu dengan sebaik-baiknya dan mengharap demikian pula Negara Bagian yang lainnya.
           Akan tetapi apakah yang Sultan Hamid II lihat dan alami,  segera sesudah pengakuan kedaulatan ? (27 Desember 1949). Aliran yang menghendaki Negara Kesatuan dengan segera memulai dengan aksinya untuk menghapuskan Negara-negara bagian. Dengan jalan subersif atau dengan terang-terangan Pemerintah dan Negara-negara bagian disabotase dalam pekerjaannya. Disamping intansi-intansi Pemerintah Negara Bagian disana-sini tetap dipertahankan “schaduw bestuur’ yang diwaktu  gerilya dibentuk oleh Republik Yogya sebagai alat perjuangan untuk menghadapi Belanda. Dan Aliran ini merasa kuat untuk berbuat demikian dengan keyakinan, bahwa alat kekuatan negara tak akan menghalangi-halangi perbuatan mereka itu U.U.D. Sementara R.I.S dianggap sepi belaka oleh mereka (Buku Peristiwa Sultan Hamid II, Tahun 1953 Persaja, Jakarta, halaman 217-218)
           Mengapa demikian, sebagai fakta obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 1 dan penjelasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian bukan negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949 termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi DIKB Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi sekali lagi secara yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis sejarah DIKB yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di Borneo Barat atau Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.
           Jadi secara Hukum Tata Negara DIKB tidak pernah dibubarkan dan jika ketika itu ada demo di Kota Pontianak kepada Sultan Hamid II terhadap DIKB, kemudian hasil demo itu DIKB menjadi bubar adalah sebuah “kebohongan sejarah” secara yuridis ketatanegaraan, karena dengan berbagai demo yang dimotori anak-anak muda salah satunya almarhum Ibrahim Saleh, hal itu karena beda visi dan beda derajad pendidikan dan belum memahami mengapa Para Raja atau Sultan di Borneo Barat sepakat mendirikan DIKB yang didukung oleh Sultan Hamid II yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan Pontianak 1945-1976 dan sebagai Kepala Daerah DIKB jika saat sekarang sebagai Gubernur, karena berbagai kesultanan ketika itu di Kalimantan Barat masih eksis dan berjalan dan didukung oleh tokoh adat dan masyarakat adat, dan patut disadari Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan saat ini baru kita merasakan, lihatlah dan pembuktian sekian pemekaran Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat salah satu proposalnya, menyatakan, bahwa Daerah kami bekas Swapraja atau Neo Swapraja sebagai faktor historis yang nota bene adalah bekas wilayah DIKB, secara obyektif fakta hukum ini tidak pernah diangkat oleh sejarahwan Pusat.
         Alasan yang digunakan para pendemo Sultan Hamid II ketika berkunjung ke Pontianak adalah, karena Sultan Hamid II beristeri Belanda keponakan Yuliana, dan dianggap DIKB sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda, pertanyaannya untuk sejarahwan secara hukum tata negara, apakah secara yuridis DIKB yang didirikan oleh Para Raja atau Sultan Di Kalimantan Barat berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja dan kemudian diakui secara konstitussional pada Pasal 1 Konstitusi RIS 1949 adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda, ini adalah sangat naïf jika dipahami oleh sejarahwan tanpa melakukan analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaran Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara obyektif tentang DIKB, karena Konstitusi RIS 1949 merupakan hasil tindak lanjut pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 di K.M.B yang juga diterima oleh Republik Yogya.
         Secara obyektif desakan demo kepada Sultan Hamid II tentang DIKB dibubarkan, karena perbedaan visi antara kaum muda dimotori kepentingan politis yang tak mengerti pandangan Para Raja atau Sultan saat itu dan Pandangan dari Sultan Hamid II terhadap maksud didirikan DIKB, coba kita baca secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953, mengapa Pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat kepermukaan oleh sejarahwan, tulislah sejarah secara obyektif dengan fakta historis yuridis jika akan mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB, bangunlah fakta sejarah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis obyektif serta bukti sejaman.

Apakah DIKB “pernah bubar” secara Hukum Tata Negara?
         Untuk mengatasi “crucial point” atas desakan itu, maka berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, masing-masing nomor 234/R dan 235 baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun penjabat Kepala Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat yang berpangkat Residen, jadi tidak ada Pembubaran oleh Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena memang DIKB secara konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949.
         Selanjutnya untuk menampung ini Menteri Dalam Negeri RIS dengan surat Keputusan 24 Mei 1950 No B. Z 17/2/47 ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS, jadi DIKB status hukum belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Kontitusi RIS pasal 54, mengapa hal ini juga tidak diangkat oleh sejarahwan, bahkan menyatakan terlalu berani, menyatakan bahwa DIKB telah bubar, dari mana dasar hukumnya dari sisi Hukum Tata Negara, hati-hati seorang sejarahwan telah melakukan “kebohongan sejarah” dan melukai “suarahati” para leluhur yang nota bene para Raja dan Sultan di Kalimantan Barat yang bergabung di dalam DIKB ketika itu dan para keturunan telah membentuk ikatan persatuan para Raja se Indonesia/Nusantara, sejarahwan tersebut bisa diklaim telah melakukan “kebohongan sejarah DIKB” dan obyektiflah dalam menulis sejarah tanyakan kepada ahlinya jika tidak mengetahui, sebagai pesan Rasulullah SAW kepada para sahabat.
       Pada Tahun 1950 keluarlah Peraturan Pemerintah RIS No 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa seluruh Kalimantan kecuali Daerah Jajahan kerajaan Inggris menjadi satu daerah Provinsi administrative. Dengan demikian, secara Hukum Tata Negara Kalimantan Barat secara administrative merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan dibawah pemerintahan Gubernur yang berkedudukan di Banjarmasin dan berarti juga bahwa Kalimantan tanpa Kalimantan Barat yang berstatus DIKB yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari Daerah Bagian Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden RIS No 127 tanggal 24 Maret 1950, Banjar dengan Keputusan Presiden RIS No 13 Tanggal 4 April 1950, Dayak Besar dengan Keputusan Presiden RIS 138 tanggal 4 April 1950 dan Kota Waringin dengan Keputusan Presiden RIS No 140 Tanggal 4 April 1950 menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Yogyakarta dan Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai penjabat Pemerintah yang tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali Kalimantan Barat sebagai DIKB, dan kedudukan Residen di Pontianak bersama Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur, yaitu dibawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing sebagai Residen Koordinator.
         Pertanyaan untuk sejarahwan, apakah DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan Konstitusi RIS 1949, secara obyektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil demo ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar dan fakta hal inilah yang seharusnya direkonstruksi kembali oleh sejarahwan Kal-Bar dan sejarahwan pusat dengan pendekatan sejarah hukum agar lebih obyektif dan ilmiah .
          Perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang berbentuk negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, maka secara konstitusi DIKB sebagai Daerah Bagian RIS atau sebagai Kesatuan kenegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949 hapus, sedang hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah UUDS 1950, tetapi Residen tinggal di pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan, artinya para Pejabat dimasa DIKB berubah status sebagai pegawai atau Pejabat Pemerintah Negara Kesatuan dan Bapak Jimmi Ibrahim salah satunya.
           Dengan demikian DIKB yang pernah dirikan berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja menjadi hapus secara konstitusional, sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah dikembalikan kepada anggota-anggota federasi DIKB dan fakta hukumnya para Raja menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan Negara Kesatuan dibawah UUDS 1950.
          Pada tahun 1951, keluarlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 yang menyatakan, bahwa yang mencakup segala ketentuan pembagian secara administrative Daerah Kalimantan Barat atau DIKB, yang dahulu dikenal dengan “Residentie Westerafdeling van Berneo” dan menjadi Daerah Kalimantan Barat dibagi menjadi 6 enam Daerah Kabupaten administrative, yakni 1 Kabupaten Pontianak, 2 Kab Ketapang, 3, Kab Sambas, 4 Kabupaten Sintang, 5 Kabupaten Sanggau, 6 Kabupaten Kapuas Hulu dan sebuah daerah Kota Administratif Pontianak.
        Patut diketahui bahwa Sultan Hamid II ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Kepala Swapraja Pontianak dan baru diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri 2 September 1952 No Pem 66/25/6 dan surat dimaksud baru dikirim kepada Sultan Hamid II pada tanggal  2 Januari 1953 dan setelah itu pada 25 Februari 1953 perkara Sultan Hamid II mulai diperiksa oleh Mahkamah Agung Indonesia kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Sultan Hamid II”, oleh karena itu pemberhentian Sultan Hamid II sebagai Kepala Swapraja secara sepihak disinilah faktor politis telah mendahului proses pengadilan dan lebih faktual faktor politis, bahwa Sultan Hamid II disidang oleh Mahkamah Agung Indonesia dibawah UUDS 1950  sedangkan peristiwa Sultan Hamid II terjadi dibawah Konstitusi RIS 1949 dan yang digunakan adalah UU Darurat No 29 Tahun 1950 yang menjadi UU No 22 Tahun 1951 tanggal 3 Desember 1951 jadi berlaku surut sampai tanggal 27 Desember 1949 serta patut diketahui bahwa Sultan Hamid II tidak terbukti terlibat dengan Peristiwa Westerlling, karena dalam Putusan MA 8 April 1953 pada tuduhan primer dibebaskan disebabkan dimuka sidang pengadilan tidak memperoleh bukti butkti yang sah dan meyakinkan tentang kesalahan atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya dalam bagian primair dari surat tuntutan, oleh karena membebaskan beliau dari tuduhan tersebut, tetapi lihatlah sejarahwan pusat dan buku-buku sejarah selalu ditulis Sultan Hamid II terlibat dalam peristiwa Westerlling 23 Januari 1950 sedangkan beliau berada di Pontianak bersama Muhammad Hatta dan baru kembali ke Jakarta 24 Januari 1950 dan Sultan Hamid II dihukum atas pengakuannya sendiri sebagai manusia khilaf karena bermaksud menyerang Rapat Dewan Menteri 24 Januari 1950 dan bermaksud menyuruh menembak Sultan Hamengkubuwono IX karena kecewaannya dalam Kabinet RIS hanya diberikan jabatan Menteri Negara seharusnya menteri Pertahanan Keamanan tetapi sampai malam peristiwa tersebut tidak terjadi, tetapi dalam KHUP Belanda niat saja sudah dapat dihukum atau percobaan kejahatan, bandingkan dengan peristiwa  3 Juli 1946 M Yamin melakukan kudeta dan di hukum 4 tahun disinilah diskriminasi hukum terjadi, mengapa karena faktor politis, sebab Sultan Hamid II adalah sang federalis sejati dan Kepala Daerah Istimewa Kal-Bar yang ketika itu memiliki satu kompi tentara, yaitu “Kompi Dayak” yang telah dipersiapkan sebagai kekuatan inti yang akan bergabung dengan TNI ketika masuk ke Kal-Bar dan ketidak setujuan Sultan Hamid II terhadap pengiriman TNI ke Kal-Bar tanpa pemberitahuan kepada beliau selaku Kepala DIKB atau tanpa permisi lebih dahulu, sedangkan beliau sudah mempersiapkan penyambutan TNI ke Kal-Bar itu akan digabungkan dengan tentara KNIL sebagai kekuatan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat/A.P.R.IS yang di ada di Kal-Bar termasuk didalamnya kompi “Dayak” dan kekecewaan beliau atas demo yang digerakan oleh lawan-lawan politiknya, karena Sultan Hamid II berhaluan politik Masyumi M Natsir dan pejuang Federalisme sejati.
        Berdasarkan ketentuan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 di atas, maka Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bagian Provinsi Administratif Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak yang merupakan subordinee kepada Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin, Jadi secara Hukum Tata Negara Residen Kalimantan Barat di Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas sendiri, melainkan hanya melaksanakan tugas koordinator saja dengan sebutan “Residen Koordinator” dan hal ini tidak pernah diangkat sebagai fakta sejarah hukum DIKB.
        Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Pada Tahun 1953 keluarlah UU Darurat No 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953 yang mengacu atau berdasarkan UU No 2 Tahun 1948. UU Darurat tersebut pada Pasal 1 UU itu menyatakan, bahwa Daerah Provinsi Kalimantan yang bersifat administrative seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS No 21/1950 yaitu dimaksudkan disini adalah DIKB yang kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
        Pada Tanggal 7 Januari 1953 UU Darurat No 2 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Resmi Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Kemudian untuk melaksanakan UU Darurat No 2 Tahun 1953 Pemerintah RI mengeluarkan UU No 27 Tahun 1959 yang disyahkan pada tanggal 26 Juni 1959 dan patut diketahui, bahwa pada tahun 1956 sebelumnya daerah-daerah otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mencabut UU Darurat No 2 Tahun 1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara, bahwa UU No 25 Tahun 1956 ini memecah Provinsi Kalimantan menjadi 3 tiga Provinsi Otonom dan UU No 25 Tahun 1956 selalu menjadi konsideran hukum atau alas hukum pada angka 1 (satu) pembentukan PERDA sampai saat ini dan  wajib dicantumkan pada PERDA Provinsi Kal-Bar.
         Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan UU tersebut yang mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian secara “de jure” atau secara Hukum Tata Negara sejak pada tanggal 1 Januari 1957 atau secara yuridis formal Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi, oleh karena sangat tepat apabila HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat tepat pada tanggal 1 Januari setiap tahun, walaupun secara “de fakto” di Banjarmasin diselenggarakan timbang terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah Kalimantan Barat yang dahulu wilayah DIKB ini meliputi daerah swatantra Kabupaten Sambas, Pontianak sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat No 3 Tahun 1953 demikian yang dipaparkan pada risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh SENDAM XII/Tanjungpura.
        Mengacu pada paparan sejarah hukum ketetanegaraan DIKB sampai dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat, maka secara fakta hukum tata negara DIKB tidak pernah dibubarkan sampai dengan diberlakukan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950 dan kata lain keberadaan DIKB secara Konstitusional berdasarkan pasal 1 Konstitusi RIS 1949 tak pernah dibubarkan secara hukum tata negara, sampai dengan diberlakukan UUDS 1950 oleh Presiden Soekarno.
        Sekalilagi patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
         Itulah hikmah kearifan dan kesadaran sejarah. Pernyataan itu selaras dengan ungkapan bersayap, bahwa sejarah harus dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang besarlah yang mau menghargai sejarah bangsanya, “Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya” demikian yang dinyatakan Roeslan Abdul Gani, dalam buku “Arsip Dan Kesadaran Sejarah, 1979 halaman 2.
          Semoga Allah memberikan rahmat dan pembuktian nyata kepada siapa saja yang melakukan “kebohongan-Kebohongan sejarah”, dan ampunan dari Allah terbuka lebar bagi manusia dan semoga Para Raja atau Sultan yang pernah mengungkir tinta emas berdirinya Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB di bumi Khatulistiwa Kalimantan Barat mendapat balasan dan akhirnya pengamatan terhadap sikap dan perilaku seseorang tetaplah menjadi sesuatu yang belum pasti. Biarlah hal ini tetap menjadi misteri dan hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui niat para Raja atau Sultan ketika mendirikan DIKB yang ternyata saat ini banyak mengandung manfaat dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Kalimantan Barat, yaitu pengulangan sejarah DIKB dalam bentuk lain, yaitu Perjuangan Pemekaran berbagai Kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Barat kepada Pemerintah RI dengan mengulangi bekas swapraja dan neo swapraja DIKB yang berjumlah 12 Swapraja dan 3 Neo Swaprja, jadi kita berhak untuk melakukan pemekaran kabupaten menjadi 15 Kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, selamat berjuang DIKB dalam bentuk lain dan selamat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Kalimantan serta jangan sampai masyarakat Kalimantan menjadi penonton didaerahnya sendiri atas “kerakusan” kekuasaan mengeksploitasi sumber daya alam Kalimantan dan puncak kecewaan masyarakat adat dan elemen masyarakat Kalimantan yang tersadarkan dari “tidurnya” memuncak dan mengkristal, karena hanya dijadikan “penonton” terhadap terkurasnya bumi kekayaannya sendiri, jika ini yang terjadi bisa saja gerakan “Borneo Merdeka” yang hanya isu itu menjadi kenyataan sejarah dan “early warning” ini perlu segera disadari oleh para penyelenggara negara, bahwa Kalimantan adalah pulau harapan masa depan negara kesatuan Republik Indonesia, karena didalam kandungan bumi terdapat sumber daya alam yang belum tereksploitasi tetapi sudah terpetakan oleh para investor luar negeri, masihkah para pemimpin bangsa Indonesia berpikir kedepan atau masih terjebak dengan paradigma lama “Jawa Sentris” dan “rebutan pepesan kosong”dipusat kekuasaan, karena mengukur penentuan DAK hanya dari jumlah penduduk pulau Kalimantan sementara luas wilayah yang dibangun terabaikan potensinya tentulah dengan rumus seperti itu “pulau jawa mendapat kucuran DAK besar karena penduduknya padat, adil katalinokah itu ?” padahal dihadapan mereka ada pulau harapan masa depan Indonesia, yaitu “Borneo” yang membutuhkan percepatan pembangunan infra struktur dan peningkatan kesejahteraan rakyatnya, tetapi lihatlah “kekayaannya diangkut” keluar tanpa disadari masyarakat kalimantan dan jangan sampai yang diprediksi Sultan Hamid II benar ketika menyampaikan wasiat kepada masyarakat Kalimantan di Bandara Supadio sebelum berangkat ke Jakarta 23 Januari 1950, bahwa kita sebenarnya dimasa mendatang sedang “dijajah oleh bangsanya sendiri”.
    Sudah menjadi nasib Kalimantan Barat, selepas Sultan Hamid II ditahan hingga wafat tanpa kehormatan, DIKB kemudian dibubarkan pada penghujung tahun 1950. Kalimantan Barat statusnya hanya menjadi sebuah provinsi dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956. Hilang sudah cerita DIKB yang menjadi cita-cita Sultan Hamid II dan Para Raja, Sultan, Panembahan dan Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Kalimantan Barat. Apa yang didapat Kalimantan Barat sebagai Provinsi yang tidak memiliki keistimewaan?
Pengeksploitasian sumber daya alam (SDA) terjadi tanpa kendali, apalagi semasa rezim sentralistik. Hutan Kalimantan Barat mengalami deforestisasi yang mencengangkan sekaligus mencemaskan, sumber-sumber pertambangan di-eksploitasi, sungai-sungai besar tak lagi jernih, mercuri mencemari, penduduk negeri digusur demi perkebunan atas nama pembangunan. Tiada lagi kehormatan sebagai negeri yang pernah berjaya, tiada lagi marwah sebagai negeri yang berdikari, tiada lagi adat resam budaya yang terpelihara, peninggalan sejarah menjadi lapuk dimakan usia, hak ulayat sudah tidak dihargai lagi, masyarakat adat terpinggirkan.
       Apa beda Kalimantan Barat dengan Aceh, Yogyakarta dan Papua?! Perihal keistimewaan atau mungkin kekhususan, Kalimantan harusnya punya keistimewaan itu. Bedanya Kalimantan terutama Kalimantan Barat…meminjam istilah Melayu Pontianak ‘tak kuase jak’ untuk menagih itu. Kalimantan Barat selalu patuh dan menjadi anak baik di negeri ini, Kalimantan Barat belum berani fight menagih kembali haknya. Saking patuh dan penurutnya Kalimantan maka marwah tergadaikan. Padahal apa yang kurang yang disumbangkan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat untuk negeri ini, SDA yang dikeruk sampai Kalimantan tinggal tunggul dan ampas. Semoga di masa hadapan Borneo menjadi lebih baik!  (Penulis adalah Expert Hukum Tata Negara UNTAN dan pernah menulis Sejarah Hukum Lambang Negara RI sebagai Tesis UI, 1996).

»»  Baca Selengkapnya...

PERGESERAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT OLEH HUKUM NEGARA

PERGESERAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT OLEH HUKUM NEGARA

Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Abstrak
Dalam kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat mencatat bahwa hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum, termasuk didalam keberadaan masyarakat adat baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Tesis dari Artburthnot mengenai hal ini memang benar adanya. Ia mengatakan bahwa hukum adalah lubang tanpa dasar yang melahap segala sesuatu. Apa yang dikemukakannya menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah pranata maupun institusi memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi nasib seseorang, bahkan citra tentang bangsanya. Hukum sebagaimana dikemukakan di atas adalah hukum dalam arti luas, ia tidak hanya sekadar peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan khusus pembuat undang-undang atau dengan kata lain hukum bukan hanya sesuatu yang bersifat normatif. Hukum juga merupakan fenomena sosial yang terejawantahkan dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial. Melihat hukum dengan pandangan yang demikian berarti pembicaraan tentang hukum tidak akan terhenti ketika apa yang dinamakan nilai atau konsep dalam masyarakat atau bangsa atau negara tentang sisi kehidupan manusia telah terwujud secara konkrit dalam suatu undang-undang atau peraturan, akan tetapi pembicaraan itu akan terus berlangsung pasca undang-undang itu terbentuk dan diundangkan. Secara normatif pembicaraan tenang hukum akan selesai setelah diundangkannya suatu peraturan, padahal persoalannya tidak sampai di situ saja. Siapa yang diuntungkan dari peraturan itu, bagaimana pelaksanaannya, apa tanggapan masyarakat mengenai peraturan itu, apakah mempengaruhi individu dalam kehidupan masyarakat dan sebagainya. Ini merupakan pertanyaan yang tak bisa dijawab hanya dengan menggunakan pendekatan normatif belaka. Persoalan ini akan semakin rumit jika kita mengingat bahwa nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu terus berubah seiring dengan perkembangan jaman. Hukum yang ada sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang ada pada masa lalu akan out of date yang menyebabkan tak akan mampu menghadapi perubahan sosial itu. Persoalan yang timbul tidak akan berhenti hanya dengan mengganti undang-undang yang ada untuk mengakomodasi pergeseran nilai dan perubahan sosial itu karena apabila demikian, maka hukum (baik institusi, pranata maupun penegak hukumnya) hanya akan menjadi tukang jahit, tambal sulam. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat adat tidak dapat diakomodasi dengan undang-undang saja atau hukum negara, akan tetapi hukum (ahli hukum) secara teoritis harus dapat menjelaskan fenomena yang terjadi. Penjelasan secara teoritis inilah yang terkadang sulit dilakukan karena kita telah lama terkungkung dalam alam pikiran dogmatis dan positivistis yang mengembalikan segala sesuatunya hanya pada peraturan atau undang-undang atau hukum negara. Tulisan ini berupaya menjelaskan pergeseran masyarakat adat oleh hukum negara, bahwa ada anggapan jika sudah diatur oleh hukum negara segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat adat menjadi selesai, ternyata tidak fakta sosialnya, beberapa hasil penelitian telah membuktikan hal tersebut bahwa hukum negara menggeser keberadaan masyarakat adat.

Kata kunci: Masyarakat Adat, Istilah Masyarakat Adat Dalam Peraturan Perundangan dan berbagai konflik yang pada masyarakat adat.

A.Pergeseran secara sistimatis Hak-Hak Masyarakat Adat
Pendekatan pembangunan yang bersifat masif dan seragam tidak membawa dampak positif bagi masyarakat adat, karena umumnya disain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (mainstream) dalam masyarakat. Sebagai satu kesatuan sosial, masyarakat adat (MA) masuk dalam kategori masyarakat yang tidak diuntungkan dalam struktur masyarakat. Ketika mereka berbeda dalam arti budaya, identitas, sistem ekonomi, bahkan sistem politik dari kelompok dominan lainnya dalam masyarakat.
Masyarakat Adat seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu. Padahal sebagai warga negara Masyarakat Adat harus pula menikmati hak dan kewajiban yang adil dan sejajar dengan segmen masyarakat lainnya. Masyarakat Adat harus harus diberi keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta menolak perubahan yang berdampak negatif bagi penghidupannya. Konsep penentuan nasib sendiri ini (self determination) telah luas diterima dalam prinsip-prinsip intemasional, namun memang masih jauh dalam pelaksanaannya di Indonesia.
Ketika sebagian antropolog dan ekolog mengelompokkan mereka dalam kelompok pemburu-peramu, peladang berpindah (ulang-alik) dan petani menetap, maka ada kalangan lain (para Penstudi Hukum) yang mengelompokan mereka dari perspektif sosio-Yuridis ekologis. Pengelompokan ini bukanlah dimaksudkan untuk menyederhanakan keberagaman yang mereka miliki melainkan hanya untuk memudahkan kita untuk dapat memahami dan menghormati mereka, adapun pengelompokan tersebut adalah:
a. Kelompok pertama adalah, antara lain, kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan yang menempatkan diri sebagai “pertapa-bumi” yang percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat ‘terpilih’ yang bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat tentang bertani, berpakaian, pola makan mereka dll.
b. Kelompok kedua adalah, antara lain, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Suku Naga yang juga cukup ketat dalam memelihara dan menjalankan adat tetapi masih membuka ruang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan ‘komersil’ dengan dunia luar.
c. Kelompok ketiga adalah Masyarakat-masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, laut dll) dan mengembangkan sistem pengelolaan yang unik tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman kalau dibanding dengan Masyarakat Kanekes maupun Kasepuhan. Masuk dalam kelompok ini misalnya Masyarakat Adat Dayak dan Masyarakat Penan di Kalimantan, Masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Masyarakat Dani dan Masyarakat Deponsoro di Papua Barat, Masyarakat Krui di Lampung dan Masyarakat Kei maupun Masyarakat Haruku di Maluku. Pada umumnya mereka memiliki sistim pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa (menunjukkan tingginya ilmu pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan alam. Di Maluku dan Papua masyarakat adat yang tinggal di pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir memiliki sistem ‘sasi’ atau larangan memanen atau mengambil dari alam untuk waktu tertentu. Sasi ikan lompa di Pulau Haruku sangat terkenal sebagai satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon (sebelum kerusuhan terjadi) yang menunjukkan salah satu bentuk kearifan tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), maka siapapun tidak berhak untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika sasi dibuka lagi.
d. Kelompok keempat adalah mereka yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang selama ratusan tahun. Mereka yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini adalah, misalnya, masyarakat Melayu Deli yang bermukim di wilayah perkebunan tembakau di Sumatera Utara dan menyebut dirinya sebagai Rakyat Penunggu. Menyadari keragaman dari masyarakat adat, sesungguhnya masih banyak pengelompokan yang dapat dikembangkan termasuk, antara lain, untuk Masyarakat Punan dan Sama (Bajao) yang lebih cenderung hidup secara nomadik baik di hutan maupun di laut.

Dimensi lain dari hubungan masyarakat adat dan lingkungan adalah adanya kenyataan dimana sebagian masyarakat adat juga ikut bekerja bersama pihak-pihak yang mengembangkan kegiatan yang merusak lingkungan. Dalam hal ini ada individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pembabatan hutan dan penambangan skala besar baik sebagai karyawan maupun sebagai perorangan dan atau kelompok masyarakat yang tidak memiliki alternatif sumber pendapatan lain. Dalam konteks ini, sejauh kegiatan tersebut bukan merupakan keputusan kolektif dari masyarakat adat yang bersangkutan maka haruslah ditempatkan sebagai kegiatan dan tanggung jawab individual dari pelakunya. Sedangkan apabila kegiatan tersebut memang diputuskan sesuai adat mereka, maka haruslah diterima sebagai keputusan kelompok yang bersangkutan dan bukan merupakan tanggung jawab dari seluruh masyarakat adat.
Pengakuan pemerintah dan kelompok dominan terhadap Masyarakat Adat hanya sebatas, misalnya mengumpulkan simbol-simbol Masyarakat Adat dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami makna dan hubungan timbal-balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitar mereka. Atau cenderung ‘memuseum’kan Masyarakat Adat sebagai sekelompok manusia unik, atau memandang mereka sebagai orang terbelakang dan ‘memaksa' mereka untuk hidup dengan cara-cara modern, yang sialnya sangat berbias lagi-lagi pikiran kelompok dominan. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian dan ukir-ukiran) tetap dilestarikan sementara organisasi masyarakat adat dibiarkan merana.

B. Istilah Masyarakat Dalam Peraturan Perundang_undangan Yang Multitafsir
Secara historis Yuridis jika kita mencermati teks kenegaraan UUD 1945 dalam Bab VI, pada Pasal 18 UUD 1945 lengkapnya berbunyi : "Pembagian daerah Indonesia atas daerah daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pementahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa" (cetak tebal oleh penulis).
Secara historis yuridis dalam penjelasan Bab VI UUD 1945 dinyatakan bahwa "Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfhestrunde land-schappen dan Volksgemeen-schappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa (cetak tebal oleh penulis)". Kemudian dinyatakan pula "Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut (cetak tebal oleh penulis). Dari pemyataan di atas, dapat diartikan bahwa UUD 1945 mengandung pengakuan atas keberadaan ‘kesatuan-kesatuan politik tradisi' yang bersumber dari sistem budaya berbagai kelompok masyarakat yang tercakup di dalam teritorial Negara Republik Indonesia.
Pengakuan ini tentunya tidak hanya terbatas pada aspek wujud lembaganya saja, tetapi juga aspek-aspek struktur organisasi, mekanisme kerja, peraturan-peraturannya, serta berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan di atas.
Selain itu, karena susunan asli itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, maka perlakuan terhadapnya tentulah bersifat istimewa pula. Artinya, kesatuan-kesatuan teritorial dan sistem kelembagaan yang mengaturnya itu tidaklah dapat diperlakukan sama dengan daerah-daerah kesatuan teritorial lain yang tidak mengandung susunan asli dimaksud. Dengan kata lain, secara tersirat, pengaturan itu mengandung maksud adanya otonomi atau kedaulatan-dari susunan asli tersebut.
Hal ini diperkuat pula oleh pernyataan bahwa "Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut". Artinya, masyarakat dengan susunan riil itu memiliki wujud kelembagaan tatanan hak dan kewajiban yang khas, yang berbeda dengan wujud kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang berada di luar kesatuan daerah yang dimaksud. Karenanya, sesuatu aturan yang datang dari luar ‘susunan asli' itu tidaklah relevan diberlakukan di dalarn tatanan ‘susunan asli' tertentu. Kalaupun aturan-aturan baru tersebut ingin dibedakukan ke dalam tatanan 'susunan asli' itu, pemberlakuan itu mestilah atas izin warga ‘susunan asli' itu sendiri. Hal ini sangat manusiawi sifatnya, karena, betapapun, aturan-aturan baru itu adalah sesuatu yang asing bagi warga masyarakat ‘susunan asli'. Proses pengambilan keputusan untuk dapat atau tidaknya pelaksanaan aturan-aturan baru yang berasal dari ‘susunan asli’ tersebut mestilah diatur oleh undang-undang khusus yang memang mengatur permasalahan ini.
Pasal 5 UUPA 1960 juga memberikan pengakuan bahwa "Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,..." Walaupun kemudian dipagari dengan "sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional .. sosialisme Indonesia ... unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama". Pasal 6 UU No. 10 Tahun. 1992 memberikan dasar hak penduduk yang meliputi:
1. hak penduduk sebagai diri pdbadi yang meliputi hak untuk membentuk keluarga, hak mengembangkan kualitas diri dan kualitas hidupnya, ...
2. hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku kehidupan budayanya;
3. hak penduduk sebagai warga negara yang meliputi pengakuan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya;
4. hak penduduk sebagai himpunan kuantitas yang meliputi hak untuk diperhitungkan dalam kebijaksanaan perkembangan kependudukan dan pernbangunan keluarga sejahtera.
Namun, pengakuan yang termuat dalam undang-undang di atas tidak menetes dalam praktik sehari-hari. Kondisi keseharian ini juga ditunjang dengan peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung semangat yang tertuang dalam peraturan di atas. Ironisnya kedua macam peraturan perundang-undangan ini masih terus berlaku.
Padahal amandemen UUD 1945 kedua dan ketiga mulai mengakui hak-hak masyarakat adat (yang terkadang disebut sebagai masyarakat hukum adat, di pasal lain sebagai masyarakat tradisional). Serta Sidang Tahunan MPR bulan Nopember lalu telah menetapkan Tap. No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang antara lain dalam pasal 4 menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Namun disadari bahwa jarak antara TAP MPR RI ini dengan rasa keadilan yang hidup di hati penduduk rakyat masih cukup jauh. Kesenjangan hanya ini dapat diperdekat dengan usaha sungguh-sungguh untuk “mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya”, memperbaharui kelembagaan dan program yang nyata dan dapat menjawab permasalahan kemiskinan, konflik, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan ekosistem.
Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, termasuk masyarakat adat, seharusnya dijadikan paradigma acuan dalam menerjemahkan penghormatan hak-hak asasi masyarakat adat dan pelestarian lingkungan sebagai jawaban atas permasalahan selama ini terjadi. Ibarat ratusan perpustakaan yang sedang terbakar, demikian kondisi masyarakat adat kita dengan kekayaan pengetahuan mereka dalam mengelola serta hidup dengan lingkungan secara bersahabat. Selagi belum terlambat, mari segera kita selamatkan. Tanpa ada perubahan paradigmatis dan pembenahan atas berbagai peraturan perundangan, kelembagaan dan program yang terkait maka amandemen UUD 1945 dan pengesahan Tap IX/MPR-RI/2001 hanyalah tirai asap lain atas impunity, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang sistematik.
Pada sisi lain Pemerintah Indonesia secara hukum telah meratifikasi perjanjian Internasional; yaitu pengesahan pembentukan WTO (World Trade Organization) melalui UU No. 7 Thn. 1994, Konvensi Keanekaragaman Hayati dengan UU No. 5 Tahun 1994. Sementara kesadaran masyarakat adat dunia akan perlunya penentuan nasib sendiri (self determination) semakin lama semakin kuat. Sebut saja International Alliance of the Indigenous Tribal Peoples of the Tropical forests dan Beijing Declaration of Indigenous Women.
Meski dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengakui keberadaan masyarakat adat nusantara, namun masih meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sangat multiinterpretasi . Hal tersebut dapat dilihat pada UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. UUD 1945 Pasal 28I ayat (3) menyebutkan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, kemudian dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat 3 menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada kedua pasal tersebut ternyata menggunakan terminologi yang berbeda dan tidak konsisten, yaitu "masyarakat hukum adat” (Pasal 18B) dan “masyarakat tradisional” (Pasal 28I). Lebih lanjut, penggunaan kondisi “perkembangan zaman dan peradaban” sebagai syarat penghormatan yang dilakukan, tanpa penjelasan, menjadi hal yang potensial mengundang perdebatan untuk diimplementasikan.
Lebih lanjut, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6, ayat (1) “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”. ayat (2) “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.
Secara tegas pasal tersebut mengakui dan memberikan perlindungan atas masyarakat hukum adat serta identitas budaya sebagai bentuk penerapan hak asasi manusia. Ternyata lagi-lagi pasal tersebut sangat tergantung atas “political will” dari pemerintah untuk menindaklanjuti pada tingkat operasional di lapangan.
Saafroedin Bahar mengidentifikasi terjadinya pelanggaran hak masyarakat adat yang bersifat sistemik dan struktural, dalam arti bahwa akar pelanggaran tersebut justru bersumber dari inkonsistensi peraturan perundang-undangan negara atau kebijakan pemerintah sendiri.
Akibat dari keseluruhan tindakan pemerintah tersebut dengan beralas hukum positif yang ada merupakan indikasi penyebab terjadinya “kemiskinan” yang dialami oleh masyarakat adat nusantara. Indikasi tersebut seharusnya memancing pembuktian kebenaran dugaan itu, apakah memang berlaku demikian atau sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, sekaligus menuntut tanggung jawab pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang efektif dan implementatif dalam pengakuan dan perlindungan atas masyarakat adat nusantara beserta hak-hak yang dimilikinya sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Salah satu definisi masyarakat adat dirumuskan oleh Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat :
”...kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”. Definisi tersebut paling tidak dapat digunakan sebagai kerangka kerja mengidentifikasi masyarakat adat yang ada di Indonesia, walaupun masih membuka peluang untuk perdebatan lebih lanjut".

Secara faktual kemiskinan menjadi salah satu potret dari keberadaan masyarakat adat nusantara, meski hal ini dapat saja menimbulkan pendapat pro dan kontra. Jumlah dan keragaman yang relatif besar dari masyarakat adat nusantara menjadi suatu kondisi yang tidak mudah untuk menetapkan makna ”kemiskinan”.
Kriteria seperti apa yang dapat diterima untuk merujuk kondisi ”miskin” bagi masyarakat adat nusantara memerlukan suatu pendekatan dan pemikiran tersendiri yang implementatif. Bisa saja masyarakat adat nusantara tersebut melakukan penolakan atas ”tuduhan” tersebut. Ukuran kepemilikan materi tidak dapat digunakan secara luas bagi berbagai karakteristik masyarakat adat nusantara di Indonesia.
Apa yang terjadi selama ini terhadap masyarakat adat nusantara merupakan bentuk diskriminasi yang merujuk pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, yang langsung ataupun tidak tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Memahami diskriminasi dapat dijelaskan kaitannya dengan prasangka, kalau prasangka masih meliputi sikap, keyakinan, atau predisposisi untuk bertindak, maka diskriminasi mengarah pada tindakan nyata. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki sikap prasangka sangat kuat akibat tekanan tertenu, misal tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Jika prasangka peduli pada sikap atau keyakinan tertentu, maka diskriminasi mengacu pada perilaku tertentu.
Prasangka dan diskriminasi merupakan ”lingkaran setan” (the vicious cycle). Keduanya saling menguatkan; selama ada prasangka, di sana akan ada diskriminasi. Dalam konteks pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat maka boleh jadi telah terbentuk prasangka terhadap masyarakat adat nusantara oleh pemerintah. Wacana yang berkembang tentang kesadaran identitas etnis – yang bisa merujuk kepada masyarakat adat tertentu - dianggap berpotensi mengancam integrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prasangka itulah yang akhirnya melahirkan diskriminasi terhadap masyarakat adat nusantara. Fenomena itu dapat digambarkan (Safitri, 2002:3), "This ethnic diversity is understood as an asset of cultural riches supporting state unity, which is reflected in the national slogan, Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity. During the New Orde period, tunggal ika (unity)- which usually was understood as unified, standarized effor- was more strongly emphasized than bhinneka (diversity). Many effort were made to limit the expression of ethnic identity through policies and programs on development emphasizing uniformity. Raising ethnic identity was considered dangerous to state unity. Politics to eliminate ethnic identity could be seen in the Suharto policy on deactivation of so-called SARA (Suku, Agama, Ras dan Antara Golongan, meaning ethnic group, religion, race, and group-based interest) in institution and sociopolitical interaction. The anti-SARA politic were parallel to efforts to unify sociopolitical life. The government’t unified name for every community’s territory was desa, a Javanese term for territory, although all other ethnic communities had their own names to indicate their territory".
Yang lebih menyedihkan adalah diskriminasi tersebut mengakibatkan perampasan hak pengelolaan dan pemanfaatan dari masyarakat adat atas sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat adat itu sendiri.
Ada hal yang menarik untuk memahami sesuatu sebagai hak, bahwa hak berhubungan dengan nilai, harga, dan martabat suatu hal. Semua yang bernilai, berharga, dan bermartabat menuntut dari manusia sikap dan perlakuan yang sepadan dengan nilai, harga dan martabat itu. Nilai menuntut apresiasi yang layak. Nilai mengungkapkan satu relasi bipolar, relasi antar kutub objektif dan kutub subjektif. Kutub objektif berkaitan dengan kualitas yang melekat pada objek, sementara kutub subjektif berhubungan dengan apresiasi subjek yang sepadan dengan kualitas objek. Hak berhubungan dengan mutu dan martabat objek tertentu, sementara penghargaan terhadap hak adalah sikap yang patut diberikan subjek ketika berhadapan dengan kualitas itu.
Dalam konteks pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat nusantara hendaknya dapat disadari bahwa keadaan faktual dari masyarakat adat nusantara memerlukan bantuan dan perlindungan untuk memperjuangkan hak-hak yang selama ini dilanggar. Kesadaran yang tumbuh sekarang di kalangan masyarakat adat nusantara jangan dilihat sebagai suatu gerakan yang mengancam integritas bangsa Indonesia. Lebih dalam gerakan tersebut hendaknya dilihat sebagai upaya warga negara (sendiri) untuk mendapatkan hak-hak yang memang menjadi miliknya.
Sebagai kelompok yang telah lama mengalami penindasan oleh penguasa masyarakat adat sudah selayaknya mendapatkan kembali keberhakannya atas hak-hak mereka yang berbeda dengan kelompok lainnya. Perlindungan dan perlakuan yang lebih sangat perlu diadakan demi pemenuhan hak-hak mereka. Hal ini perlu menarik perhatian pihak Pemerintah dan setiap kalangan bekerja sama menentukannya.
Para pendiri negara-bangsa Indonesia sudah sejak semula menyadari bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk. Semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” menunjukkan penghormatan filosofis bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman yang dimilikinya. Oleh karena itu, mendasarkan pada kenyataan tersebut perlu menjadi pemikiran utama untuk mengembangkan pandangan multikultur untuk memahami keragaman masyarakat adat nusantara di Indonesia. Multikulturisme merupakan ”ideologi” dari sebuah masyarakat multikultur , yaitu masyarakat yang tersusun oleh keragaman etnik karena dukungan keragaman etnik atau kebudayaan dalam arti luas. Sejak awal, ideologi multikulturalisme itu diartikan sebagai suatu bentuk respek yang bersifat mutual dari satu etnik kepada etnik lain, misalnya memberikan keleluasan agar etnik lain dapat mengekspresikan budaya etniknya, dan ekspresi tersebut merupakan salah satu kontribusi penting bagi pengembangan budaya suatu bangsa.
Pentingnya mencermati pandangan dari Thomas Jefferson tentang mayoritas antara lain diungkapkan gagasan mayoritas dalam kekuasaan harus diimbangi kemungkinan membiarkan kaum minoritas untuk turut serta menjalankan kekuasaan melalui partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Hal ini wajar karena mereka juga bagian dari dari bangsa. Dengan kata lain, kekuasaan negara di suatu negara yang situasinya mayoritas dan minoritas akan berbeda secara ekstrim, dan karena itu untuk mengatasinya dibutuhkan proses akomodasi yang dituangkan ke dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan yang diharapkan dapat menjamin hak-hak kaum minoritas.
Kesadaran itu dikaitkan dengan pandangan dari Jack Donnely tentang pelaksanaan HAM pada suatu pemerintahan bahwa seperangkat hak asasi manusia dapat dilihat sebagai suatu patokan mengenai legitimasi politik. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia misalnya, tampil sebagai ”suatu patokan pencapaian untuk semua orang dari segala bangsa”. Sejauh pemerintah-pemerintah melindungi hak-hak asasi manusia, maka mereka (pemerintah-pemerintah) itu legitim.
Kerumitan persoalan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan masyarakat, seperti yang kita rasakan sekarang, dapat dijelaskan melalui adanya gejala pluralisme hukum dalam masyarakat. Penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang majemuk menuntut pembentukan hukum plural secara konkrit dan kontekstual bagi upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai sejahtera secara jujur dan sebagaimana adanya.
Dalam perkembangan sosial dan politik terakhir menunjukkan terjadi pemanfaatan kondisi masyarakat adat nusantara yang ditangkap oleh ADB bahwa “many cases show how the local elite dominate the existing system anda manipulate the community identity for their own interest”. Lagi-lagi masih terdapat pihak yang memanfaatkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi masyarakat adat nusantara dalam perjuangan hak-haknya. Hal seperti ini pula yang menghambat terlaksananya pengakuan dan pemulihan hak-hak masyarakat adat nusantara di Indonesia.
Yash Ghai dalam artikelnya Human Rights and Governance: The Asia Debate mengidentifikasi dalam konteks pemerintahan di Asia pada umumnya melakukan penghancuran atas banyak komunitas (termasuk di antaranya masyarakat adat - penulis) atas nama pembangunan ataupun stabilitas negara. Hal ini menggambarkan lemahnya posisi masyarakat adat, bahkan itu terjadi di tingkat internasional, ketika harus berhadapan vis-à-vis dengan pemerintah yang berkuasa. Walaupun belum terdapat pemahaman yang seragam atas konsep masyarakat adat nusantara namun keberadaannya tidak dapat diabaikan. Kelemahan yang terutama adalah tidak adanya data yang akurat terhadap keberadaan masyarakat adat nusantara menjadi suatu kesulitan tersendiri.
Pada hakekatnya penghormatan hak asasi manusia merupakan cakupan nilai moral, bukan hanya menjadi produk-produk hukum legal yang mengikat. Pemahaman serupa ini perlu dikemukakan seluas mungkin kepada publik dan masyarakat luas, dan menjadi perhatian dan kepedulian semua pihak secara konsisten.
Perlakuan dan penempatan masyarakat adat secara proposional dalam tatanan kehidupan bernegara secara bermartabat merupakan langkah strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia yang utuh. Hal ini juga berarti menghindari terjadinya pelanggaran HAM horisontal dan vertikal, terutama terkait dengan masyarakat adat. Reformasi yang kini sedang bergulir tidak akan pernah mencapai tatanan politik yang menghormati hak asasi manusia dan demokrasi apabila eksistensi dan aspirasi masyarakat adat tidak terakomodasikan di dalamnya. Upaya ”penyeragaman” yang dilakukan selama ini oleh regim pemerintah merupakan hal yang bertentangan secara alamiah dan menjadi bentuk pelanggaran hak asasi manusia, atas nama individu maupun kelompok.
Pengurasan kekayaan alam dan sumber daya ekonomi yang ”seharusnya” dimiliki oleh masyarakat adat nusantara merupakan kesalahan yang harus segera diperbaiki, dan jangan dilakukan lagi. Kemiskinan yang tampak pada kebanyakan masyarakat adat nusantara merupakan resultante dari ”kebijakan negara”, atau lebih tegas regim pemerintah, yang mengingkari keberagaman budaya dari masyarakat adat nusantara. Upaya penyeragaman struktur dan kultur yang secara nyata merupakan realitas masyarakat Indonesia sekaligus menjadi bagian dari akar masalah potensi konflik, baik yang ”berada di bawah sekam” ataupun telah ”meledak” mencari bentuknya. Celakanya, regim pemerintah saat ini pun tidak juga mau belajar dari kejadian yang telah maupun sedang berlangsung.
Memahami Indonesia dalam konteks multikultur merupakan upaya konkrit melihat Indonesia masa depan. Perlu gerakan politik luas yang mengedepankan pandangan Indonesia secara multikultur, yang mengurangi munculnya prasangka-prasangka atas masyarakat adat nusantara, tanpa mengorbankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan adalah suatu kewajaran dalam kehidupan kebangsaan yang dinamis, sepertinya Bangsa Indonesia masih terus bergerak mencari ”bentuk” bangsa yang lebih nyaman, dan sejahtera.

C. Masyarakat Adat dalam Wacana Nasional dan berbagai konflik yang terjadi
Telah menjadi kesepakatan bersama di era reformasi yang tertuang dalam paradigma baru Departemen Kehutanan dan Perkebunan dimana UU Pokok Kehutanan No 5 tahun 1967 dipandang sudah tidak cocok lagi dimasa sekarang, sehingga perlu direvisi dengan memberikan peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Dengan di revisinya UUPK No 5 tahun 1967 dengan UUK Nomor 41 tahun 1999 maka akan ada perubahan PP dan SK sesuai dengan komiment yang telah tertuang dalam UUK baru tersebut. Dari wacana yang ada terlihat akan ada PP tersendiri yang mengatur tentang Pengelolaan Hutan Adat, tetapi sampai makalah ini ditulis PP tersebut tak kunjung terbit.
Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tanggal 15-16 Maret 1999, masyarakat hukum adat se Indonesia menuntut adanya pengakuan terhadap kawasan masyarakat adat dan keinginan membangun konsep-konsep dan pemikiran yang mandiri dalam pengelolaan hutan.
Pada lokakarya Keberadaan Hutan Adat oleh Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan di Jakarta tanggal 25 Maret 1999 disimpulkan perlu adanya bentuk pengakuan terhadap keberadaan hutan adat dan hak pengelolaannya oleh masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan kehutanan.
Roundtable Discussion tentang Pemulihan Ha-hak Masyarakat Adat diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ELSAM di Jakarta tanggal 24 Maret 1999 sepakat bahwa kepentingan masyarakat adat harus diakomodasi dalam rumusan Undang Undang, Peraturan dan pelaksanaannya.
Berikut ini beberapa contoh kasus konflik didalam kawasan hutan pada fungsi hutan dan areal yang berbeda-beda antara lain;
1. Konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional Rawa Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi (Bediona dkk,1999)

Dalam Sejarah Sulawesi Tenggara, Masyarakat Adat Moronene merupakan suku asli tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, disamping orang Tolaki dan Mekongga. lihat pula konflik-konflik masyarakat adat yang terjadi pada Kawasan Konservasi lain misal tulisan Giay, 1999 draft III, konflik Masyarakat Adat Depapre pada Kawasan Cagar Alam Cyclops, Irian Jaya; WWF-1998 konflik Masyarakat Adat Dayak Kenyah di Sungai Bahau pada Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur, 1998; Jaelani, 1999 draft III, Konflik Masyarakat Adat Siberut pada Taman Nasional Siberut, Sumatera Barat; DTE No 36 Feb 1998 & KOMPAS 1999 Konflik Masyarakat Adat Katu pada Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah ditengahi dengan Surat Keputusan Kepala Taman Nasional dengan mengakui bahwa Masyarakat Adat Katu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Taman Nasional Lore Lindu dan membolehkan Masyarakat Adat Katu tetap tinggal dan memanfaatkan sumber daya hutan yanga ada di dalam Taman Nasional pada wilayah adatnya seluas 1178 ha.
Masyarakat adat Moronene menyebar di 6 kecamatan. Masyarakat Adat Moronene di Kecamatan Rumbia yang terbagi atas 11 tobu (wilayah adat). Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan sebutan Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di HukaEka,Lampopala dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain perkampungan lahan digunakan untukkebun, lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun jati, tambak bersama pada muara-muara sungai, kuburan dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi meninggalkan tanah leluhurnya karena ganguan keamanan oleh gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar pada kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan.
Akses masyarakat adat tersebut atas kebun dan usaha tani serta padang pengembalaan telah mulai dibatasi dengan ditetapkanya sebagai Taman Buru pada tahun 1972. Pada tahun 1980 wilayah tersebut menjadi calon Taman Nasional dan pada tahun 1990 ditunjuk sebagai Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses pengambil-alihan lahan di dalam kawasan hutan tersebut berlangsung tanpa melalui proses musyawarah.
Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan atas hak-hak adatnya dilakuakn sejak tahun 1987 dengan menulis surat secara berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta Pimpro TN. Kesepakatan lisan dengan Tim Gabungan Pemda TK II yang diketuai oleh KakanSospol tgl 16 Desember 1997 disepakati, bahwa masyarakat tetap tinggal dikampungnya dan memanfaatkan hasil kebun dan hutan sebagaimana biasanya sambil menunggu pembicaraan dengan pimpinan.
Usaha-usaha negosiasi damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam mempertahankan hak adatnya dijawab dengan intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung serta kebun mereka di HukaEna dan Lampopala secara berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998) 12 hari setelah kesepakatan lisan tersebut dilakukan. Penahanan terhadap 12 masyarakat adat dilakukan tanpa penjelasan tentang status dan alasan penahannya dan tanpa proses hukum yang jelas. Penahan tidak dikuti dengan proses penyidikan yang jelas sampai berminggu-minggu. Ke 12 tahanan telah mendekam berbulan- bulan di dalam tahan Polres Buton sampai dengan persidangan 27 April 1999, masih berstatus tahanan, terpisah jauh dari keluarga dan kerabatnya yang tinggal terpencar dalam suasana ketakutan dan tidak menentu di Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Konflik ini bagi
Masyarakat Adat Moronene semakin memperparah keadaan ekonominya dan juga mengembalikan trauma yang telah mereka alami secara berulang ulang pada tahun 1952,1953,1960,1998. Kasus ini merupakan salah satu contoh kasus tentang bagaimana cara pandang birokrasi pemerintah terhadap masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan berkenaan dengan pengelolaan kawasan konservasi, dan menunjukkan bahwa masyarakat adat masih dilihat sebagi ancaman terhadap kelestarian kawasan dan ditindak seakan akan mereka bukan sesama manusia.
2.Konflik Masyarakat Adat Dayak Simpang, Kalimantan Barat pada Hutan Produksi Terbatas (Kanyan 1999 )
Disadur dari Laudjeng & Ramlah 1999 draft III, pada konflik Masyarakat Adat Pakava di Sulawesi Tengah dengan HPH di Kawasan Hutan Produksi; Dalip & Priyana , 1999 konflik masyarakat adat Benung dengan HPH PT.TD ;Kalimantan Review no 34 thn VII/Juni 1998 hal 37 & no 43, Maret 1999 hal 13 tentang Konflik Masyarakat Adat Beginci, dengan HPH PT. AK, Kab. Ketapang, Kalbar dimana konflik tidak hanya diatas peta tetapi sudah berupa konflik nyata dilapangan dengan ditebangnya 2900 pohon tengkawang, 9 pohon madu dan 30 pohon damar dari kebun Masyarakat Adat yang berakibat tuntutan masyarakat adat semakin kuat untuk mengusir HPH. Patay & Nari 1993 konflik Masyarakat Adat Wooi dan Mee dengan HPH PT.PY dan konflik Masyarakat Adat Oyehe dengan HPH PTYU di Kab. Nabire, Irian Jaya; Tempo 6 Juni 1999 Tuntutan Masyarakat Adat Mentawai dengan HPH PT. MPL di tolak oleh PN Padang November 1998 sehingga konfik tidak terselesaikan sampai saat ini, berikut deskripsi kasusnya:
Masyarakat Adat Simpang yang kini bermukim diwilayah Desa Semandang Kiri, Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang, Kalbar diperkirakan mengelola hutan sejak abad ke 16-17. Tempat tinggal mereka tersebar dalam beberapa kampung yang dikenal wilayahnya sebagai umang desa sembilan domong sapuluh atau disebut juga Kawasan Adat Banua Simpang atau Tonah Simpang Sakayok. Batas antar Banua dikenal dengan nama Sapat Banua atau kesepakatan batas benua yang dihormati sebagai batas wilayah kewenangan adat masing-masing Banua. Kelembagaan adatnya di dalam Banua terdiri dari seorang Patinggi, beberapa orang Pateh dan Tamogong untuk tiap-tiap kampung.
Pola pengelolaan sumber daya hutan telah dilakukan secara turun temurun dengan menggolongkan pola-pola penggunaan lahan sebagai berikut: Rima makong utatn torutn sebagai hutan cadangan, Bawas belukar Lako uma, sebagai tanah pertanian, Kampong Temawang Buah Janah, sebagai kebun buah dan kayu-kayuan, Tonah Colap Torutn Pusaka, sebagai wilayah keramat, Kampokng Loboh sebagai wilayah pemukiman dan Are Sunge sebagai wilayah sungai untuk tambak dan tempat menjala. Selain wilayah adat, kelembagan adat serta pola pengelolaan sumber daya hutan tersebut, masyarakat adat ini terikat atas suatu hubungan kekerabatan dan adat istiadat yang sama. Konflik Masyarakt Adat Simpang ini berbentuk tumpang tindih peruntukan lahan dan pemberian ijin usaha bagi perusahaan atas wilayah adatnya. Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan terlihat bahwa wilayah masyarakat adat tersebut terdiri atas 8.894 ha hutan cadangan, 2.848 ha tanah pertanian, 11.200 ha kebun campuran dan 81 ha wilyah pemukiman (total 23.023 Ha), setengah dari lahan itu menurut RTRWP-Kalbar 2008 menjadi Kawasan Budidaya non Kehutanan sedangkan sebagian lagi menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (HPT pada TGHK 1982). Lebih dari itu, wilayah tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 1997 diberikan bagi beberapa Perusahaan Kehutanan (HPH PT Inhutani II, HPHTI TTJ, PT GDB) dan Perkebunan (P PMK, BSP II, dan PT KOI). Sehingga tidak ada lagi kepastian serta jaminan bagi Masyarakat Adat atas hak- hak adatnya (wewenang atas wilayah, kelembagaan serta pola pengelolaan sumber daya alam) yang telah dilakukan secara turun temurun.
Terlihat kurang adanya visi perlindungan dan pemajuan bagi masyarakat adat dalam perencanaan hutan yang seharusnya melibatkan masyarakat dalam tahap awal perencanan wilayah secara umum dan perencanaan hutan khususnya.Konflik yang menuju pada tindak kekerasan dapat setiap saat terjadi pada wilayah tersebut dan menciptakan kerawanan.

3. Konflik Masyarakat Adat Dayak Benuaq, Kalimantan Timur dengan HPHTI di Kawasan Hutan Produksi (KalimantanReview 1998)

Masyarakat Adat Dayak Bentian di Kalimantan Timur dikenal akan keahliaannya membudidayakan rotan. Rotan yang ditanam, pada lahan pertaniannya merupakan bagian dari usaha pertanian gilir balik. Usaha ini dikenal dalam bidang agroforestry sebagai usaha mempercepat waktu bera dengan introduksi tumbuhan pionir bermanfaat menuju bentuk agroforest (improve fallow management). Pola-pola ini banyak dikenal masyarakat adat di Asia yang melakukan pertanian gilir balik. Pola ini telah dilakukan oleh Masyarakt Adat Dayak Bentian keturunan Jato Rampangan di Wilayah Adatnya sejak tahun 1813 yang . lihat juga Roem Topatimasang dalam Ton Dietz, 1998 tentang konflik Masyarakat Adat Yamdena dengan perusahaan HTI PT. In I, PT. MA dan PT. ANS di Maluku; Meyer 1997, konflik Masyarakat Adat Dayak Jangkang, dengan HPHTI PT. InFT di Kab. Sanggau, Kalbar. Lihat pula Manurung T,draft 1998 tentang konflik Masyarakat Adat Kenyah dengan HPHTI PT. LG di Kalimanan Timur dimana konflik yang berlarut-larut menyulut masyarakat menggunakan api sebagai alat; Schwiethelm 1998 menunjukan juga bahwa api digunakan oleh pihak perusahaan untuk menghilangkan bukti kepemilikan kebun-kebun masyarakat adat.; Tempo 6 Juni 1999 konflik Masyarakat Adat Sungaibaung dengan HPHTI PT. MHP usaha penyelesaian konflik dengan ganti rugi berupa kebun karet tidak ditepati PT. MHP. dipimpin oleh Kepala Adatnya, dimana saat ini dijabat oleh Bpk. Loir Botor Dingit Konflik ini bermula dengan diberikannya hak pengusahaan HTI kepada PT. MH yang merupakan perusahan HTI Patungan atara PT. Inh I dgn PT. TD. Perusahaan ini melakukan land clearing pada lahan pertanian masyarakat adat serta tidak mengakui perbuatanya sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian besar dipihak masyarakat. Tanah pertanian tersebut dibuka untuk digunakan sebagai lahan tempat pembibitan, bangunan camp, lahan HTI serta HTI-Trans.
Keberatan masyarakat dituangkan dalam surat pernyataan antara lain; a. Pengembalian tanah adat, b. Pembayaran denda atas kerusakan tanam tumbuh serta kuburan c. HTI-Trans harus dipindahkan d. Tidak digangu lagi tanah adatnya. Keberatan masyarakat tidak dijawab oleh pihak perusahaan maupun pihak Dephut bahkan pada tanggal 28 September 1994, Gubernur Kaltim mengajukan tuntutan pidana kepada masyarakat adat atas nama Kepala Adatnya atas tuduhan pemalsuan tanda tangan. Tampak bahwa akar permasalahan konflik tidak diselesaikan bahkan pihak pemerintah daerah mempertajam konflik dengan gugatan pidana pemalsuan tanda-tangan oleh kepada adat untuk melumpuhkan tuntutan masyarakat adat. Pada akhir tahun 1998, pengadilan tidak dapat membuktikan kasus pemalsuan tandatangan dan membebaskan kepala adat dari tuntutan pidana.

4. Konflik Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan Lindung (Kusworo dalam BSP, 1999)

Sejak sekitar seabad yang lalu masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui membangun Repong Damar. Dimulai dari pembukaan hutan, berladang (padi dan sayuran), berkebun (kopi, lada), yang kemudian membentuk agroforest (kebun-hutan) yang didominasi oleh pohon damar (Shorea javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan bermanfat lainnya.
Keseluruhan repong Damar di Pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar. Wilayah masyarakat adat peminggir berbatasan dengan Samudra Hindia di sebelah Barat dan Taman Nasioanl Bukit Barisan Selatan di sebelah Timur (dulu Cagar Alam Ratu Wilhemina). Pada zaman Belanda tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16 Marga yang memiliki wewenang di sana. Batas Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah Marga dihormati oleh pihak Pemerintah Belanda maupun Masyarakat sekitarnya.
Pada tahun 1991 Menteri Kehutanan menunjuk TGHK Propinsi Lampung dimana sebagian dari tanah marga tersebut menjadi kawasan hutan yang terdiri dengan fungsi Produksi Terbatas dan Lindung. Selanjutnya memberikan hak pengusahaan hutan kepada HPH PT BL dan kemudian dialihkan kepada PT Inh V. Perubahan status tanah marga tersebut baru diketahui masyarakat pada tahun 1994 pada saat penataan batas mulai dilakukan. Sejak itu masyarakat adat di Pesisir Selatan mulai dilarang melakukan pengelolaan repong damar didalam wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Penolakan masyarakat adat terhadap status kawasan hutan negara dilakukan melalui penolakan wilayahnya dimasuki petugas penataan batas, surat petisi dan delegasi yang dikirim ke Pemerintah Daerah serta Dephut. Jawaban pemerintah atas surat dan petisi masyarakat adat adalah dengan menerbitkan SK Menhut no 47 /Kpts-II/1998 yang menunjuk 29.000 ha repong di dalam kawasan hutan negara sebagai kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI), SK ini memberikan hak pengusahaan kawasan hutan negara yang terdiri atas HPT dan HL kepada masyarakat adat.
Bentuk yang diharapkan masyarakat adat adalah bukan pemberian hak pengusahaan repong damar yang dapat dicabut sewaktu waktu dan masih kuatnya intervensi pengaturan oleh Dephutbun tetapi suatu bentuk hak atas dasar pengakuan keberadaan masyarakat adat, wilayah adatnya serta pola pengelolaanya kebun damarnya sebagai usaha pertanian.
Masyarakat Adat Krui tengah mempersiapkan pendekatan litigasi untuk mendapatkan kembali hak kepemilikan tanahnya atas usaha tani kebun damarnya. Walaupun pemberian hak pengusahaan belum memenuhi harapan masyarakat adat Krui akan tetapi SK ini menunjukan pengakuan atas pola pengelolan sumber daya hutan oleh masyarakat adat dalam bentuk aslinya (Repong Damar) dan jaminan bahwa pola tersebut dapat dilanjutkan.

5. Konflik Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman Laut Bunaken (Lumintang, 1999)

Sejak tahun 1827 pulau Bunaken dan sekitarnya telah didiami oleh Masyarakat Adat Sangihe Talaud dan Bantik. Masyarakat tersebut mengusahakan kebun kelapa di daratan dan berusaha sebagai nelayan di wilayah adat lautnya. Agak berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, Sulawesi Utara memiliki riwayat lahan yang itu terdokumentasikan secara baik sejak zaman Belanda dulu, misalnya; nama keluarga pertama yang menetap di P. Bunaken lihat juga Sitaniapessy, 1999 draft III, tentang hak Petuanan di Pulau Nusa Laut yang mencakup wilayah daratan dan laut; Roem Topatimasang dalam Ton Dietz 1998 tentang hak Petuanan dan sistem kelembagan adat mengelola daratan dan laut pada Masyarakat Adat Maur Ohoiwut di Pulau Kei Besar; Palijama, 1999 draft III tentang kelembagaan adat dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya hutan dan laut di pada masyarakat adat di Pulau Haruku; Husbani, 1999 draft III tentang konflik penataan ruang laut dimana kewenangannya ada pada sebagaian masyarakat adat, Dephutbun untuk wilayah Taman Laut, Departemen Pertanian untuk pengaturan Penangkapan Ikan, TNI-AL untuk kemanan laut dsb.
Pada tahun 1827 (Pamela, Kawangke, Pasinaung dan Manelung), kemudian disusul keluarga Andraes Uring dan Yacobus Carolus (thn 1840), kemudian dijual kepada keluarga Paulus Rahasia, Matheus Pontoh dan Animala Paransa. Dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan no 328/Kpts-II/1986 tentang Taman Laut Bunaken, maka ikatan antara daratan dan laut dalam aktifitas masyarakat adat di pulau tersebut terpotong-potong. Wilayah laut yang masuk dalam Kawasan Taman Laut dibagi-bagi dalam zonasi yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman hayati misal komunitas terubu karang dan padang lamun. Sedangkan wilayah daratanya dibagi atas kawasan hutan asli dan kawasan pertanian dan perkampungan. Sedangkan pada kenyataanya wilayah daratan di pulau Bunaken, tanahnya sudah menjadi objek jual beli sejak lama dan merupakan tanah milik yang telah tercatat dalam register desa. Terjadi konflik atas kewenangan pemilik dan pemerintah sebagai pengelola TL Bunaken. Konflik ini menunjukan bawa pemahaman Pemerintah akan riwayat lahan sangat terbatas dan kurangnya pengakuan dan penghargaan Pemerintah atas kepemilikan pribadi (private property) sehingga kepemilikan pribadi dapat diambil alih oleh negara (penasionalan) tanpa ada kesempatan yang cukup untuk bernegosiasi.

6. Konflik Masyarakat Adat Dayak Benuaq, dengan usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT LSI di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur (SKUMA 1999) Lihat juga Sumarlan 1997, konflik Masyarakat Adat Dayak Krio dengan PIR di Kab. Ketapang Kalimantan Barat; WWF-WARSI 1999, konflik Masyarakat Adat dari kampung Alim, Sipang, Anak Talang, Cinaku Kecil, Pangkalan Kasai, Puntianai, Aur Cina, Kuala Kilan, Pejangki dan Belangki di sepanjang sungai Cinaku dengan Perusahan Perkebunan PT.SML dan PT.AS.

Masyarakat Adat Dayak Benuaq di Kecamatan Jempang dan Muara Pahu Kab. Kutai Kalimantan Timur, terkenal akan budidaya tumbuhan doyo yang menjadi bahan dasar pembuatan ulap doyo, tenunan khas Benuaq. Selain budidaya doyo Masyarakat Adat Dayak Benuaq juga melakukan budidaya tanaman pangan serta mengumpulkan hasil hutan dari hutan-hutan disekitarnya dalam wilayah adatnya. Masyarakat Adat Benuaq ini masih memegang teguh aturan aturan adatnya berkenaan dengan kegiatan pertanian maupun usaha hasil hutannya. Keberadaan Masyarakat Adat Benauq yang tegabung dalam Masyarakat Adat Dayak Tonyqoi Benuaq diakui juga oleh Masyarakat Adat disekitarnya. Kerajaan Kutai Kartanegara secara tertulis diabad ke XVII dalam Undang-Undang Panji Selaten mencantumkan pengakuan terhadap masyarakat-masyarakat adat dayak disekitarnya (Abdurahman & Wentzel 1997).
Pada tahun 1996 Perkebunan Kelapa Sawit LS Group (yang terdiri dari PT. LSInt, PT. LSInd dan PT.GM) mengklaim tanah adat masyarakat Benuaq seluas 16.500 Ha sebagai wilayah kerjanya. Selain dari pada itu perusahan itu juga melakukan land clearing pada kebun-kebun serta kuburan leluhur masyarakat adat dari 9 kampung (Perigiq, Muara Tae, Muara Nayan, Pentat, Lembunah, Tebisaq, Gunung Bayan, Belusuh dan Tanah Mae). Permintaan dialog dari masyarakat adat ditolak oleh pihak perusahaan, bahkan teror dan intimidasi dari aparat sipil dan militer. Secara perijinan perusahaan ini tidak memiliki HGU, bakan kawasan tersebut tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari BPN maupun dari Dephutbun. Perusahan ini hanya memiliki surat rekomendasi Gubernur Kaltim tentang kelayakan wilayah untuk perkebunan. Janji Gubernur pada tanggal 4 Mei 1999 untuk membantu menyelesaikan kasus ini melalui dialog dijawab dengan penyerbuan, penculikan dan penahanan terhadap 8 tokoh masyarakat adat oleh aparat Brimob disertai 6 orang aparat berpakaian preman bersenjatakan mandau pada saat masyarakat adat sedang melakukan upacara adat Nalitn Tautn (bersih kampung atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh Perusahaan Kelapa Sawit) tanggal 7 Mei 1999. Selain penangkapan tersebut tersebut seluruh perlengkapan upacara diporak porandakan.
Selain keberpihakan Pemerintah beserta aparat Kepolisian terhadap pengusaha perkebunan, Tindakan aparat memporakporandakan suatu upacara adat yang bersifat ritual tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap terhadap hak-hak budaya dan pelecehan atas keberadaan masyarakat adat.

Contoh konflik-konflik diatas merupakan contoh-contoh kasus yang lazim ditemui di mana saja pada kawasan hutan. Laporan akan adanya konflik kewenangan dengan Masyarakat Adat (Masyarakat Hukum Adat) dilaporkan juga oleh setiap Kakanwil dalam Rakorreg pada bulan April 1999 dari tiap Regional di Indonesia. Dari kacamata pengelolaan sumber daya alam dapat dibagi menjadi 3 (tiga) materi konflik yang perlu lebih dalam dikaji):
a. Konflik kewenangan atas ruang (Sangaji 1999; Cahyat 1999; Dientz 1998; Pilliang 1999) Selama beberapa dekade ini telah terjadi perampasan kawasan atau perampasan territori (territory violence) terhadap masyarakat adat yang dilakukan atas nama undang- undang, peraturan dan kebijakan sehingga menciptakan kelompok yang diuntungkan (the winners) dan kelompok yang di pinggirkan (the loosers). Bentuk penguasaan kembali territory oleh kelompok masyarakat adalah bentuk pelampiasan dari proses peminggiran yang terjadi. Akan tetapi dalam menata ulang wilayah tersebut haruslah jeli melihat apakah masyarakat ini adalah;
1. masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah leluhur (ancestral domain of the first nation) dan juga secara fisik menempati dan menggunakannya.
2. masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah leluluhurnya tetapi tidak menempati dan secara fisik tidak mengunakannya karena suatu kesukarelaan atau paksaan dimana harus diperlakukan secara berbeda pula.
3. Masyarakat heterogen (campuran antara masyarakat adat dan pendatang) dimana wilayah kampungnya/desanya dinyatakan oleh pemerintah secara sepihak sebagi kawasan hutan. Sehingga akses masyarakat atas sebagian atau seluruh wilayah kampungnya menjadi hilang atau terhambat.
4. Merupakan klaim masyarakat pendatang yang mempunyai kekuatan hukum kepemilikan tanah atas wilayah tersebut misalnya transmigran program pemerintah yang hak milik atas tanahnya pada kemudian hari diketahui bahwa tanah tersebut merupakan kawasan hutan yang tidak dapat dimiliki atau hak kepemilikannya dicabut lihat Kusworo A. 2000 kasus Transmigran program BRN tahun 1951 di Sumber Jaya, Lampung yang kampungnya dilikuidasi karena belakang hari diketahui lahan tersebut merupakan hutan lindung Register 45B, 34, 32 dan 39 yang telah menjadi kawasan hutan pada tahun 1935. hal 23
5. Masyarakat pendatang lainnya yang telah datang ke tempat tersebut dan berminat untuk ikut mengelola hutan.
6. Masyarakat pendatang yang berencana dan berkeinginan mengelola hutan dan besar kemungkinannya konflik model butir 5 dan 6 ini salah satunya dapat diselesaikan melalui program Hutan Kemasyarakatanh (HKM)
b. Konflik atas keberadaan masyarakat adat, kelembagaan dan kewenangannya (Anyang 1998; Safitri 1999; Maelissa 1999). Masyarakat Adat sebagai suatu kesatuan masyarakat yang otohton, memiliki sistem pengaturan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri dengan kesepakatan masyarakat sekitarnya. Masyarakat adat tersebut memiliki tata hukum serta nilai sendiri yang berlaku didalam batas wilayah adatnya sehingga dikatakan otonom. Intervensi yang berlebihan dari pihak luar (pemerintah) dapat merusak bentuk pengaturan tentang kewenangan dari masyarakat adat yang telah berjalan dan berakibat runtuhnya sistem dan pola pengelolaan yang dimiliki. Ini sering terjadi dengan penetapan-penetapan pemerintah yang melakukan intervensi terlalu jauh terhadap suatu sistem yang sudah cukup mandiri. Sehingga penilaian keberadaan masyarakat adat oleh pihak luar yang tidak mengerti tentang bentuk pengaturan yang ada dikawatirkan menggangu tatanan yang telah terbentuk sekian lama. Contohnya nyata adalah bentuk pemaksaan LKMD sebagai satu-satunya organisasi didalam Desa di seluruh Indonesia yang tidak memberikan tempat yang nyata kepada bentuk kelembagaan adat.
c. Konflik atas pola pengelolaan sumber daya alam (SHK 1998 dan Miden 1995) Konflik atas pola pengelolaan yang ada pada masyarakat adat sering terjadi dengan memisahkan suatu pola pengelolaan dari sistemnya. Contoh pola pengelolaan yang jelas adalah perladangan gilir balik yang hanya melihat ladang yang sedang dikerjakan saja tanpa melihat lahan beranya, dan pola-pola lain didalam sistem pengelolaan sumber daya alam. Perladangan gilir balik harus dapat dilihat sebagai suatu sistem yang menyatu dengan pola sawah yang ada di beberapa bagian kampung, hutan tutupan, kebun wanatani, sungai hutan tempat berburu bahkan tempat-tempat keramat. Miden 1995 membagi pola pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat Binua Dayak Kanayatn (Benua Talaga, dimana beliau menjabat sebagai salah seorang Timanggong) merupakan kombinasi atas ;
1. Pola penggunaan lahan berdasarkan ketinggiannya
2. Pola penggunaan lahan berdasarkan vegetasinya
3.Pola penggunaan lahan berdasarkan penguasaanya (perorangan, keluarga, klan, kampung atau Binua).

Kasus-kasus konflik diatas dapat pula menunjukkan intensitas konflik yang berbeda pula antara konflik yang satu dengan yang lainnya antara lain, menurut penulis dapat dipetakan sebagai berikut ;
a) Konflik tersembunyi (laten) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik tersembunyi dapat terjadi dengan penunjukan status kawasan hutan negara secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat dalam proses penetapannya, pemberian hak pengusahaan hutan/kebun pada kawasan yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan negara dan sebagainya.
Model ini banyak terdapat dimana-mana di Indonesia dimana masyarakat tidak menyadari bahwa status tanahnya secara sepihak ditunjuk atau bahkan telah ditetapkan sebagai kawasan hutan negara.
b) Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih dapat teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses dan penyelesaiannya belum dikembangkan. Konflik ini biasanya dirasakan dilapangan pada saat perusahan memulai aktifitasnya dan pada saat itu masyarakat adat dan pihak yang mendapatkan hak/ijin menyadari adanya tumpang tindih kewenangan
c) Konflik terbuka (manifest) adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi dan mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin juga menemui jalan buntu dan memungkinkan digunakannya cara-cara kekerasan oleh kedua belah pihak (Curle 1971, CDR Associate, 1986 dalam BSP 1999).
Berdasarkan berbagai deskripsi kasus di atas memberikan pemahaman, bahwa penerapan hukum pertanahan masih mencari bentuk yang selaras dengan kearifan-kearifan lokal dan hal itu juga selaras dengan perkembangan global, maka kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau bahkan di sangkal oleh Pemerintah Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal pengakuan atau penerimaan atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur sejarah ketatanegaraan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi subtansi baru mengakui dan memberikan perlindungan secara normatif, belum menjadi kebijakan negara secara masif.
Keadaan “belum mengakui, menerima atau membenarkan” ini merupakan potensi konflik bahkan ancaman disintegrasi. Terdapat pemikiran yang keliru dikalangan pemegang kekuasaan di Indonesia saat ini bahwa apa yang disebut “masyarakat adat” adalah sesuatu yang semu atau sesuatu yang sudah tidak ada, sejak Indonesia menjadi suatu organisasi negara moderen dengan nama Republik berbentuk Kesatuan. Oleh karena itu ada kecenderungan kuat untuk menghapuskannya melalui berbagai rumusan kebijakan negara melalui rumusan dalam peraturan perundan-undangan.
Dari keadaan dan rumusan tentang masyarakat adat dan masyarakat hukum adat yang dikemukakan di atas serta karakteristik dalam mengelola sumberdaya hutan, tampaknya ada bagian-bagian telah diatur dan ada bagian yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan bahkan ada peraturan yang saling tumpang tindih. Bagian yang belum diatur dapat dibuat aturan baru untuk melengkapinya, pada bagian yang sudah diatur dapat diikuti dengan mengkritisi bagaian-bagaian tersebut sedangkan pada bagian yang tumpang tindih pengaturannya perlu ditelaah mana yang lebih tepat.

D. Prinsip_Prinsip Kebijakan Terhadap Masyarakat Adat
Dibawah ini dijabarkan beberapa prinsip-prinsip yang merupakan landasan bagi kebijakan tentang hak-hak masyarakat adat :
1. Antara Tanah Negara (Public Land), Tanah Milik (Private Land) dan Hutan Negara (Public Forest), Hutan Milik (Private Forest)
Pembicaraan tentang tanah dan hutan adalah berbicara tentang dua hal yang berbeda Pengaturan hak atas hutan tidak akan berbicara tentang hak-hak kepemilikan (land-rights), tetapi berbicara tentang hak-hak untuk menggunakan hutan termasuk dalam lingkup hak penggunaannya (use-rights)
Dalam menyelesaikan masalah-masalah sumber daya hutan, perlu adanya kejelasan penetapan hak untuk mengunakan hutan, dilakukan atas dasar status penguasaan hutan, maupun berdasarkan fungsi-fungsi lindung, konservasi, produksi maupun fungsi khusus dibidang sosial budaya maupun pendidikan dan penelitian. Dalam UUK no 41 tahun 1999 Dephut diberikan mandat untuk menetapkan mana yang merupakan kawasan hutan dan manayang bukan serta juga menetapkan fungsi hutannya. Seharusnya Dephut (Sekarang Deptanhut) hanya menetapkan fungsinya bukan statusnya, untuk mencegah conflict of interest.
Sehingga sebaiknya ditetapkan adanya kawasan hutan negara (Public forest)dilakukan melalui proses pengukuhan hutan secara partisipatif sehingga penetapatn status hutan menjadi legal dan legitimate. Dengan demikian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan no 634/Kpts-II/1996 tentang pengukuhan hutan serta SK 635/Kpts-II/1996 ttg Panitia Tata Batas perlu direvisis segera.
Surat Keputusan ini harus dipersiapkan untuk menjadi proses yang partisipatif, transparan serta bertanggung jawab. Pendatanganan Berita Acara Tata Batas (BATB) harus dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan (masyarakat adat) yang mengakui ada tidaknya hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan yang ditata batas. Demikian juga untuk wilayah-wilayah didalam kawasan hutan yang telah ditata batas dapat diakomodir dengan Penyelesaian Encalve dimana dilaksanakan tidak dengan sistem scoring tetapi dilaksanakan secara partisipatif bersama-sama dengan Panitia Tata Batas. Proses ini perlu di desentralisasikan kedaerah lebih dari sekedarnya seperti yang diatur dalam PP No 62 tahun 1998.
Pola pembuktian hak atas tanah dilakukan dengan bertanggung jawab dimana ke dua belah pihak (masyarakat adat dan Deptanhut) mengeluarkan argumentasi serta bukti-bukti penguasaan lahannya sesuai dengan PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dimana pembuktian dapat berupa pembuktin tertulis, pengakuan lisan dan pembuktian fisik.
Selain BPN (yang mengenal tanah Negara dan Tanah Milik) dan Dephutbun (mengenal hutan negara dan hutan milik), Departemen Dalam Negeri mengenal tanah juga Tanah Desa , Perairan/pantai , Pemancingan serta sumber daya alam Desa. Dengan adanya Departemen saat ini (Depdgri dan Deptanhut atau bahkan mungkin lebih) yang berwenang atas penetapan status atas tanah dengan kriteria yang berbeda menimbulkan konflik status tanah, mana yang merupakan tanah negara (public land) dan mana yang bukan (private land) menurut kriteria yang berbeda pula. Dilihat dari keberadaan UUPA dan UUPK seharusnya UUPA No 5/1960 yang lahir lebih dulu harus diacu oleh UUPK No 5/1967 maupun penggantinya UUK No 41/1999 mengatur bentuk-bentuk penguasaan atas sumber-sumber agraris termasuk hutan didalamnya. Sehingga kriteria atas tanah dan kawasan hutan negara sama dan pengaturannya tidak tumpang tindih.
Dengan terbitnya Permen BPN NB No 5 Tahun 1999 tegas dan fleksibel dijelaskan bahwa Tanah Ulayat dapat didaftarkan menjadi kepemilikan adat, dapat menjadi hak milik perorangan bila ingin dimiliki secara perorangan dan dapat juga dipinjamkan kepada pemerintah untuk diberikan HGU kepada pihak lain pada jangka waktu yang disepakati.
Bentuk pengakuan tanah ulayat tidak sama dengan tanah milik perorangan yang disertifikatkan, tanah ulayat didaftarkan pada buku register tanah, sedapat mungkin dilampiri peta dan tidak dapat dipindah tangankan, tetapi tidak semua daerah di luar Jawa mengenal tanah hak ulayat, di kalimantan misalnya lebih dikenal dengan Tembawang yang bisa dimiliki oleh berbagai lapisan masyarakat, oleh karena itu regulasi negara jangan menggunakan ”jawa sentris” atau standar pulau Jawa, harus mengakomodasi luar Jawa.
Perbedaan pendapat antara BPN dan Dephutbun mengenai sistem penguasaan tanah (land tenure) salah satunya dapat diselesaikan melalui amandemen UUD dan dibuatnya suatu UU Payung yang mengatur atas penguasaan atas sumber daya alam. Tim LandReform yang dibentuk oleh Pemerintah pada tanggal 27 Mei 1999 untuk menyelaraskan Undang-Undang serta peraturan lainnya yang menyangkut pertanahan (Kepres No 48 tahun 1999) dan revisi.
UU Kehutanan saat lalu dirasa tidak efektif untuk mengoreksi mis-konsepsi terdahulu. Bentuk penyelarasan Undang-Undang dengan melibatkan publik secara luas perlu dilanjutkan dengan lebih transparan dan legible.
Dephutbun dalam mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat atas penguasaan hutan perlu memisahkan antara sumber daya hutan dan tanahnya. Hak penguasaan atas tanah (land tenure) adatnya diatur oleh BPN sedangkan pengelolaan sumber daya hutan (forest resource management) adatnya diatur oleh Dephutbun atau instansi lainnya yang mengatur mengenai sumber daya alam, misal Depdagri dalam mengatur Sumber Daya Alam milik Desa.
2. Antara Pemberian Hak (Granting) dan Pengakuan Hak (Recognition)
Masyarakat Adat yang bersifat Otonom memiliki hak yang bersifat Original atau sesuatu hak asli yang diciptakan sendiri sebelum ada pengaturan hak lainnya. Atau juga dikenal dalam istilah hukum a prima facie yang mengatur terlebih dahulu. Sedangkan yang diatur mencakup atas tanah dan sumber daya hutan lainnya. Sedangkan hak-hak yang biasa= dikenal dalam bidang kehutanan bersifat Derivat atau pemberian hak atas penguasaan oleh negara contohnya adalah HPH, HPHTI, HPP, HPHKM dll (Titahelu, 1997). Sehingga hak yang diterbitkan oleh pemerintah kepada masyarakat adat adalah Hak yang bersifat pengakuan.
Hak ini dikenal di BPN pada saat penerbitan Hak Milik atas tanah, jelas dikatakan disana hak tersebut didapat dari negara atau dari hak adat. Bila hak tersebut berasal dari tanah negara maka bentuk haknya adalah pemberian (granting) yang dapat ditarik kembali oleh negara sedangkan bila hak berasal dari hak adat maka bentuknya adalah pengakuan (recognition) yang tak dapat ditarik kembali oleh negara. Pengakuan dalam arti ini menegaskan suatu sifat pembenaran atau penerimaan oleh pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat yang a prima facie telah melekat pada masyarakat adat. Sehingga untuk mencegah konflik pertanahan dan sumber daya hutan, penerbitan hak kepada pihak lain oleh pemerintah tidak dapat dilakukan pada wilayah-wilayah masyarakat hukum adat yang mempunyai a prima facie dan diakui oleh pemerintah. Sehingga pada kawasan yang belum dapat dibuktikan pemerintah bahwa tidak ada hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya, tidak dapat diterbitkan hak untuk pihak lain.
3. Antara Masyarakat Adat dan bukan Masyarakat Adat.
Definisi masyarakat adat yang digunakan oleh Prof. Maria Soemardjono ( Komnas HAM, 2006 : 1) yaitu: "suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan histories dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada". Definisi ini cukup komprehensif untuk membantu masyarakat mendefinisikan dirinya apakah termasuk sebagai masyarakat adat atau bukan. Akan tetapi yang lebih penting adanya pembedaan antara masyarakat adat yang telah meninggalkan wilayahnya secara sukarela atau secara paksa dan masyarakat adat yang masih menguasai wilayah tersebut secara fisik.
Walaupun peraturan perundang-udangan belum mengatur ini, tetapi hal ini sangat menentukan tentang kuatnya hak sesuatu masyarakat adat atas wilayah masyarakat hukum adatnya. Pemerintah Filipina dalam pembuktian masyarakat adat secara khusus memasukan pasal tentang penguasaan wilayah secara fisik secara terus-menerus kecuali adanya pemindahan karena paksaan, penipuan, tindakan sepihak (force majoure).
Dengan terbitnya Surat Keputusan Mendagri No 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah, dapat disimpulkan bahwa sifat lembaga adat yang dapat mewakili masyarakatnya keluar dan juga ke dalam untuk melakukan beragam kegiatan serta wewenang kelembagaan adat mengatur kekayaannya termasuk sumber daya alamnya merupakan bukti bahwa masyarakat adat diakui sebagai suatu badan hukum yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, termasuk menerima dan diakui haknya. Sehingga masyarakat hukum adat tidak perlu membentuk Koperasi atau badan hukum atau bahkan badan usaha lainnya untuk melakukan aktifitasnya dalam pengelolaan hutan. Akan tetapi dengan kehadiran SK Mendagri yang relatif baru ini perlu dikritisi lebih lanjut oleh karena masyarakat adat dan kelembagannya baru akan diakui/dihargai kehadirannya dan perannya, sementara mekanisme yang harus ditempuh belum jelas. Peran masyarakat adat dan pengurus adat dalam Permen Agraria Nomor 5 tahun 1999 lebih diperjelas dimana kepunyaan tetap pada masyarakat adat sedangkan pengurus adat, sebagi petugas yang mendapat wewenang dari masyarakat adat untuk mengurusnya.
4. Antara Hak-Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan sumber daya alamnya dan Hak-Hak Masyarakat Adat Lainnya
Hak-hak masyarakat adat sampai saat ini lebih banyak terpusat pada hak-hak atas tanah (land rights) dan sumber daya alamnya (resorce rights) yang terlihat akan tetapi cenderung mengabaikan hak-hak milik masyarakat adat lainnya yang tidak terlihat misalnya hak-hak kepemilikan intelektual (intelectual property right) atas temuan obat-obatan tradisional serta hak-hak masyarakat adat atas keamanan hayati yang berasal dari proses budidaya (biosafety) yang bersumber dari pengetahuan adat serta wilayah adatnya. Perlindungan dan pemajuan masyarakat adat atas hak-hak intelektual masyarakat adat dan keamanan hayati adat dari penjarah-penjarah hak paten hayati (bio-piracy) dan penjarah- penjarah hak intelektual (intelectual-piracy), serta perlindungan atas bio prospeksi lainnya perlu ditekankan.
Ratifikasi UN Convention on Biological Diversity dalam bentuk Undang-undang telah dilakukan akan tetapi perlu dijabarkan dalam peraturan pemerintah dan surat keputusan Menteri yang berwenang. Sehingga Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam kebijakan yang akan mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat harus dapat menterjemahkan hak- hak masyarakat hukum adat tidak hanya pada hak pengelolaan sumber daya hutan berupa kayu tetapi lebih luas sampai kepada perlindungan dan pemajuan hak-hak intelektual dan keamanan hayati sebagai penjabaran dari Undang-Undang No 5 Tahun 1994.
Dengan demikian, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun legislatif serta kesatuan Masyarakat Adat dalam hal ini instansi yang mendapat wewenang mengakui, membenarkan dan menerima hak-hak masyarakat adat perlu memahami beberapa aspek;
1. Kewenangan atas wilayah masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat mengenal betul wilayahnya dengan batas-batas yang jelas yang didapatkan melalui proses sejarah panjang. Oleh karena itu masyarakat adat perlu mengkomunikasikan wilayah adatnya kepada masyarakat di sekitarnya, pemerintah dan pihak lain dengan menggunakan bahasa (media) yang sama. Pelaksanaan ini dapat menggunakan peta yang lazim digunakan oleh Dephutbun maupun instansi lain, dimana dalam pembuatan peta dilaksanakan melalui secara partisipatif dan teknik yang sederhana, sehingga peta menjadi alat yang efektif untuk mendiskusikan tumpang tindih suatu wilayah dalam kewenangannya,
Kejelasan kewenangan atas suatu wilayah masyarakat hukum adat dilakukan berdasarkan kesepakatan dan pengakuan oleh masyarakat sekitarnya. Selanjutnya diperlukan pengakuan yang tegas dari pemerintah agar wilayah masyarakat hukum adat tersebut tidak diberikan haknya kepada pihak lain, sekaligus menjamin sumber daya hutannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat tersebut.
Bentuk kejelasan kewenangan wilayah masyarakat hukum adat dapat dilakukan dalam bentuk pengakuan wilayah masyarakat hukum adat oleh BPN. Dalam hal wilayah masyarakat hukum adat yang telah lebih dahulu diberikan sebelum Surat Keputusan ini terbit, dapat dinegosiasikan dengan pihak-pihak yang bersangkutan (masyarakat hukum adat pada wilayah tersebut, pemberi hak dan penerima hak).
Pembuktian hak atas kewenangan suatu wilayah masyarakat hukum adat dapat mengikuti apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut pembuktian hak- hak lama (hak-hak milik atas tanah yang berasal dari hak adat) dapat dilakukan melalui :
a. Alat pembuktian secara tertulis (surat-surat tanah, waris, peta, laporan sejarah,dokumen serah terima, pengakuan tertulis dari masyarakat sekitarnya dll)
b. Alat pembuktian secara lisan (pengakuan lisan masyarakat sekitar tentang kewenangan atas wilayah adat tertentu, pemberian nama-nama tempat dalam bahasa lokal, cerita, pantun dll).
c. Alat pembuktian secara fisik (kuburan nenek moyang, terasering bekas usaha tani, bekas perumahan, kebun buah, tumbuhan exotic hasil budidaya, peninggalan sejarah, gerabah, prasasti dll).
2.Kewenangan Kelembagaan Adat
Kewenangan suatu wilayah masyarakat hukum adat diperlukan untuk mencegah adanya pengakuan ganda ataupun pengakuan atas suatu wilayah yang bukan kewenangannya. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan :
a. Pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh masyarakat adat itu sendiri dengan bpengakuan dari masyarakat sekitarnya tentang kewenangan kelembagaannya.
b. Pengakuan keberadaaan masyarakat hukum adat oleh lembaga yudikatif berdasarkan keputusan pengadilan
c. Pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh suatu Dewan Masyarakat Adat yang dipilih oleh Masyarakat Adat itu sendiri.
Terlepas dari kebaikan dan kelemahan ke 3 (tiga) pilihan di atas, nampaknya bentuk kombinasi kewenangan pengakuan perlu diatur, antara masyarakat sekitar wilayah masyarakat hukum adat dan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adat yang berkepentingan itu sendiri. Selain mekanisme pengakuan tersebut, diperlukan juga mekanisme naik banding dan penyelesaian sengketa antar masyarakat adat atas suatu kewenangan wilayah tertentu. Demikian pula bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan untuk sengketa antar kelompok masyarakat adat yang mengklaim suatu wilayah yang sama perlu dipersiapkan.
3. Kewenangan atas pola pengelolaan sumberdaya hutan
Pola pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat pada umumnya berdasarkan pengetahuan asli yang ada dan tumbuh di masyarakat dengan segala norma-norma yang mengatur batasan-batasan dan sanksi. Pola ini berkembang sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Sifat dinamis ini pada umumnya tidak secara tegas mendefinisikan pengelolaan sumber daya alam berupa; hutan, kebun atau usaha pertanian, sehingga diperlukan pemahaman yang cukup oleh pemerintah daerah tentang pola-pola tersebut.
Secara tegas UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 memberikan kewenangan pengelolaan hutan kepada Masyarakat Adat dan tidak melihat ini sebgai hanya merupakan kewenangan pemerintah. Konsep ini berbeda dengan apa yang ada dalam UUPK Nomor 5 tahun 1967. Sedangkan bagi yang bukan Masyarakat Hukum Adat belum diakui hak pengelolaannya dan hanya diberikan akses untuk memanfaatkan hutan. Ini sejalan dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 hak pengelolaan dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat Masyarakat adat memerlukan kepastian hak yang bersifat khusus (ekslusif; tidak tumpang tindih dengan hak lain), dimana masyarakat dapat melestarikan, memanfaatkan (termasuk membudidayakan), memasarkan hasil hutan, serta tidak dapat dipindah tangankan kepada pihak lain diluar masyarakat hukum adat tersebut. Keadaan ini harus dipertegas kedalam peraturan perundangan; juga kewenangan masyarakat adat harus luas termasuk memiliki, menguasai, mengelola, memanfaatkan, mengusahakan dll. Diharapkan penjabaran UUK 41/1999 dalam Peraturan Pemerintah turunannya dapat mengakomodir bentuk hak ekslusif bagi masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alamnya.
Selama perundang-undangan yang mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat ini belum ada ataupun jelas terhadap penjabaran dari UUD 1945, maka perlu disiapkan peraturan daerah yang dapat menyelesaikan permasalahan hak-hak Masyarakat Adat di wilayah tersebut secara sementara yang sifatnya melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya didalam kawasan hutan dan lebih jauh lagi, memulihkan hak-haknya dengan berpedoman kepada UU. Rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam menyusun Peraturan Propinsi dan Kabupaten ini adalah tidak membatasi reposisi hukum dalam waktu mendatang tentang posisi masyarakat adat yang akan diakui, dibenarkan dan diterima. Konstruksi dasar dalam alam reformasi perlu mengedepankan beberapa hal antara lain;
1. Posisi Pemerintah yang lebih bersifat administratif dan fasilitatif, tidak masuk dalam wewenang menguasai dan akhirnya meletakkan hutan sebagi suatu domein khusus dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
2. Pemerintah dalam menyusun kebijakan tidak mencampur-adukan kedudukanya sebagai eksekutif yang membuat PP, SK dan Permen dengan legislatif yang juga membuat kebijakan yang hanya tunduk pada Undang-Undang.
3. Posisi masyarakat adat yang a prima facie memiliki hak atas tanah dan hutan atau sumber daya alam yang ada disekitarnya serta pengetahuannya, harus diakui, diterima dan dibenarkan dan dengan demikian wewenang mereka untuk menjalankan hak-haknya harus dilindungi dan dihormati oleh Pemerintah.
4. Kenyataan membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki kearifan dalam memelihara hutan beserta sumber daya alam lainnya.
5. Proses pemanfaatan hak (termasuk mengelola tanah dan hutan) yang dilakukan masyarakat adat yang dilakukan oleh mereka sendiri, perlu diakui, diterima atau dibenarkan.
6. Peraturan Daerah yang dipersiapkan bersifat pengakuan, pembenaran atau penerimaan sehingga peran yang selama ini dijalankan oleh Deptanhut harus dikosongkan dari wilayah dimana ada masyarakat adat dan lingkup kebudayannya tidak terjadi lagi.
7. Peraturan Propinsi dan Kabupaten tersebut harus dapat tetap memberikan hak pemajuan kepada masyarakat adat sehingga masyarakat tidak “dikoservasikan” tetapi tetap diterima sebagai masyarakat adat yang mempunyai hak untuk menetukan arah pemajuan hidupnya secara dinamis.
8. Dimasa depan bentuk pengakuan terhadap masyarakat adat perlu diatur melalui Undang- Undang Dasar maupun Undang-Undang yang memberikan kepastian atas perlindungan dan hak pemajuan masyarakat adat secara lebih pasti.
Berdasarkan paparan diatas maka secara paradigmatik ada beberapa problem konsepsional secara hukum dan HAM yaitu :
Problem Konseptual (1)
Istilah
• Dua istilah: ‘masyarakat hukum adat’ (Kontitusi, UUPA, UU Kehutanan, UU HAM, UU Sumberdaya Air, UU Perkebunan, UU MK, UU Pemda) dan ‘masyarakat adat’ (UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Panas Bumi) serta Masyarakat tradisional (Konstitusi UUD 1945).
• Apakah istilah masyarakat hukum adat adalah kata lain dari adatrechtsgemeenschap dan istilah masyarakat adat adalah kata lain dari indigenous peoples? Sejauh ini baru UU Otsus Papua yang membedakan kedua istilah tersebut.
Problem Konseptual (2)
Siapa masyarakat adat?
• Menggunakan definisi (Permenag/Kepala BPN No.5/1999, UU Sumberdaya Air) vs menggunakan pembuktian pemenuhan unsur (UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU MK) • Pendekatan defenisi: tidak ada sebuah peraturan perUU-an yang duduk di hirarki yang tinggi dijadikan patokan. UU Sumberdaya Air justru meniru defenisi dari Permenag/Kepala BPN No. 5/1999.
• Pendekatan pemenuhan unsur: apakah membayangkan masyarakat adat yang statis atau masyarakat adat yang mengalami perubahan?
Problem Konseptual (3)
Perlindungan Hak-Hak Dasar dalam Konstitusi
• Dinamika: 1. dari pengakuan deklaratif ke pengakuan bersyarat; 2. penghilangan predikat sebagai daerah istimewa
• Dari pemerintahan daerah (volkgemeenschap) ke masyarakat hukum adat (adatrechtsgemeenshap)
• Konstitusi hasil amandemen: konstitusionalisasi pengakuan bersyarakat.
• Staatside: siapa dan dimana kedudukan masyarakat adat? Apakah ia merupakan minority/vulnerable group yang perlu dilindungi dan karena itu berhak mendapatkan affirmative policy?
Problem Konseptual (4)
Perlindungan Hak-Hak Dasar dalam Peraturan Per-UU-an Agraria/SDA
• Fiksi hukum: hak menguasai persekutuan- persekutuan adat beralih menjadi hak menguasainegara. Karena itu persekutuan-persekutuan adat tidak lagi memiliki hak menguasai melainkan hanya hak mengelola atau hak memanfaatkan.
• Pengakuan bersyarat: intensi mengakui atau menyangkal? Intensi untuk menyangkal memproyeksikan akan berlaku satu hukum yang seragam (unifikasi) dan masyarakat adat niscaya akan berkembang untuk berubah menjadi masyarakat modern.
Problem Konseptual (5)
Perlindungan Hak-Hak Dasar dalam Peraturan Per-UU-an Agraria/SDA
• Karena persyaratannya banyak dan berlapis, menandakan bahwa negara tidak menempatkan masyarakat adat sebagai minority group yang memerlukan affirmative policy.
• Hak masyarakat adat atas agraria/SDA mengalah untuk pertambangan (UU No. 11/1967) dan HPH (PP No. 21/1970).
• Perlindungan terhalang oleh persyaratan. Pengakuan dan perlindungan tertunda karena belum ada pengukuhan keberadaan hak ulayat atau masyarakat hukum adat.
Problem Konseptual (6)
Gelombang Ketiga
• Pasca Amandemen Kedua UUD 1945, terdapat banyak peraturan perudangan yang memiliki klausul mengenai pengakuan keberadaan danhak-hak dasar masyarakat adat:mengimplementasikan pengakuan bersyarat.
• Produk hukum daerah: antara tetap bertahan dalam kerangka legal nasional atau responsive untuk meredakan ketegangan antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya.
• Situasi-Situasi Praktis Pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat terkendala karena sejumlah faktor berikut ini:
1. menonjolnya simbolisasi terutama dalam kancah politik→ lembaga adat, upacara, pakaian dan gelar adat mendominasi simbol masyarakat adat.
2. penyelesaian konflik atas tuntutan pengembalian tanah-tanah adat, tidak bisa dilakukan karena kelompokyang menuntut belum ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat.
3. Pemda tidak melakukan pengukuhan hak ulayat dan masyarakat hukum adat karena tidak mengalokasikan anggaran tersendiri. Peniadaan anggaran ini memang disengaja karena takut menghadapi resiko dikiritik , dipersoalkan bahkan digugat oleh kelompok masyarakat.
4. bagi sebagian pemerintah, pengakuan dan perlindungan masyarakatadat dikonotasikan dengan gerakan-gerakan pemisahan diri.
Rekomendasi untuk Perubahan:
• Dekonstitusionalisasi pengakuan bersyarat, sekaligus penghilangan klausul pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat sebenarnya justru menyangkal asumsi yang dibangun oleh fiksi hukum bahwa persekutuan-persekutuan adat telah eksis sebelum negara bangsa berdiri.
• Memperjelas kedudukan masyarakat adat dalam konstruksi hukum negara.
• Memperjelas penggunaan istilah beserta pengertiannya.
• Menempatkan masyarakat adat sebagai minority/vulnerable group yang memerlukan affirmative policy.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurahman & Wentzel, Konsep Untuk Menyelesaikan Masalah Status Tanah Masyarakat Di Kawasan Hutan Pada Areal HPH dan HPHTI di Propinsi Kalimantan Timur, GTZ- MoF. SFMP Document No. 11, 1977
Aulis Arnio, Paradigm in Legal Science , Dalam Theory of Legal Science Dorrecht, 1984
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Laporan Sarasehan Hutan dan Masyarakat Adat tanggal 16 Maret 1999 dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta 1999.
Anyang Thambun YC, Kedudukan Adat dan Hukum Adat Dewasa Ini, disampaikan dalam rangka lokakarya “Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam”, 19-25 Juni 1998,PPSDAK Pontianak.
Bambang Supriyanto, Sekitar Hukum Adat dan Hutan dalam Perjalanan 250 Hari Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan dan Berkeadilan, Dephutbun1999
Bediona Philipus, Iwan Tjitradjaja, Haris Palisuri, Arbab Paproeka, Gazali Hafid, Nasruddin, Mansyur Latambaga, Penduduk Asli dan Pengelolaan Taman Nasional: Kasus Orang Moronene Buton Sulawesi Selatan, Menuju Pengelolaan Kawasan Lindung yang Lebih Manusiawi. P3AE-UI & ELSAM, Jakarta, draft 1999 .
BIOPOS, Konvensi International mengenai Keanekaragaman Hayati, no 02 Oktober 1985, Bioforum, Bogor. BSP, Laporan Proses Lokakarya Penyususnan Kurikulum Penyelesaian Sengketa, BSP Kemala, Gadog 27-30 Januari 1999.
Bernard Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Mandar Maju Bandung, 2000.
Cahyat Ade. Kasus Perebutan Kembali Kawasan Masyarakat Adat Benuaq Di Tanjung Isuy Kaltim Sebagi Sebuah Geo-Politik; Ditinjau dari Sisi Politik Penguasaan Ruang, dalam Harian Suara Kaltim 23 April 1999.
Colchester M. Beyond “participation”: Indigenous Peoples, Biological Diversity Conservation and Protected Area Management. Unasylva 186, vol 47, 1996
Clayton, Philip, Membaca Tuhan dalam Keteraturan Alam, Repleksi Ilmiah dan Religius, Makalah Disampaikan pada Intrnasional Conference on Religion and Scieence in the Post-Colonial Word, Yogyakarta, 2003.
Dephut, IFAP (Indonesian Forestry Action Programme),Country Brief, 1997 Jakarta
Dephutbun, Makalah Hasil Rakerreg Wilayah A1,A-2,B,C,D,E, tanggal 20 April 1999.
Dokumen F1,F2,F3,F4,F5 dalam Rakernas Dephutbun 20-23 April, 1999 di Jakarta
Esmi Warassih, Prana Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005
ELSAM. Anotasi Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan yang Berkaitan Dengan Akses Masyarakat Adat Terhadap Ekosistemnya di Indonesia, draft 1999.
FAO, Formulation, Execution and Revision of National Forestry Programmes; Basic Principles and Operational Guidelines, FAO of UN, Rome, 1996
ICEL-NRM2, Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan; Pengembangan Desentralisasi dan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolan Kawasan Konservasi, Studi Hukum dan Kebijakan Jilid I, II, III, IV, V, VI, VII. Jakarta 1999
Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Kalimantan Review, no 38 Thn VII, Oktober 1998 hal 16-17 ‘Rela Mati Demi Tanah Dayak” KOMNAS-HAM dan Elsam, Laporan Rondtable Discussion Pemulihan Hak-Hak Masyarakat Adat, Jakarta, 24 Maret 1999
KOMPAS, Banjar Membumikan “Ecopopulism” harian Kompas Rabu 9 Juni 1999 Kalimantan Review, no 38 Thn VII, Oktober 1998 hal 16-17 ‘Rela Mati Demi Tanah Dayak”
Konvensi ILO 169 tahun 1983 mengenia Bangsa-bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, ELSAM-LBBT Pontianak, 1992.
KRKP, Rumusan Hasil Lokakarya Keberadaan Hutan Adat-KRKP, Jakarta, 25 Maret 1999.
Kusworo A, Pengusiran Penduduk Dari Kawasan Hutan di Lampung. Watala-ICRAF- ORSTOM Pustaka Latin, 2000.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
-----------------, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
Lie Wilarjo, Realita dan Desiderata, Duta Wacana, University Press, 1990.
Lon L Fuller. The Morality of Law, New Haven. Conn: Yale University Press, 1997 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Indonesia, 1998
Miden Maniamas, Pengalaman Mengelola Kawasan Adat Dayak Kanayatn Di Banua Talaga Sengah Temila, Makalah disampaikan dalam Rangka Convention on Biological Diversity, Jakarta 6-17 November 1995.
Noer Fauzi,2000 (KEDAI I) dalam Kumpulan Tulisan dalam Kelompok Diskusi Adat Indonesia, Masyarakat Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam, Cisarua 26-28 Mei, 2000. ICRAF-JAPHAMA
Nurman Tasman, Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Hutan; Aspek Hukum dan Implementasinya (tidak dipublikasikan)
Ostrom Elinor. Governing the Commons. Cambridge: Cambridge University Pess, 1990 armuladi Bambang. Hukum Kehutanan dan Pembangunan BidangKehutanan, Rajawali Press, cetakan pertama Jakarta 1995.
Piliang Yasraf Amir, Geo-Politik. Harian KOMPAS Senin, 26 April 1999.
Peursen, C.A. Van. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia. 1991
Pizzi, William T, Trials Without Truth, Why Our System of Ciminal Trials has Become an Expensive Failure and we Need to Do to Rebuild It, New York University Press, 1999.
Ritzer, George (Penyadur Aliman). 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press.
Raintree B. John, Land Trees and Tenure, Proceedings of the International Workshop on Tenure Issues in Agroforestry, Nairobi May 27-31, 1985. IRAF- the Land Tenure Center.
Ruwiastuti R. Maria, Pengakuan Hak Ulayat: antara harapan dan kenyatan, Konsorsium Pembaruan Agraria. Makalah disampaikan pada Roundtable Discussion yang diselengrakan bersama-sama antara Elsam-PKPM Unika Atma Jaya dan KPA, 13 Juli 1999.
Sidharta, Arief. 1996. “Refleksi Tentang Fundamental dan Sifat Keilmuwan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, Disertasi. Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung. 1996.
Sandra Moniaga, The Indigenousness of the Indigenous Peoples in Indonesia; from whose perspective? Dalam Makalah No 2-A, Konferensi INFID ke X tentang Tanah dan Pembangunan, Canberra 26-28 April 1996.
------------, Hak Siapa, Hak Apa, Sistem Hukum yang Mana dan Pengelolaan Hutan yang Bagaimana dalam Property Right dalam Pengelolaan Hutan: Permasalahan dan Strategi Penanganannya, cacatan diskusi dalam rangka Dies Natalis IPB, Darmaga, 23 September 1998
Sangaji Anto, Negara, Masyarakat Adat dan Konflik Ruang, Kertas Posisi 01, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, April 1999.
Satjipto Rahardjo, Masalah-Masalah dalam Penerapan Hukum Adat dalam Lokakarya Formulasi Masalah-Masalah Strategis Dalam Kajian Hukum di Indonesia; Sebuah Upaya Reposisi Supremasi Hukum, 25-27 Februari 1999. Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Jakarta
Safitri A. Myrna, Pengelolaan Hutan, Akses Masyarakat Lokal dan Perkembangan Gagasannya Dalam Kebijakan dan Perdebataan Internasional. P3AE-UI, Jakarta, Oktober 1997
Safitri Myrna, Kusworo,A & Bediona Philipus. Peran Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan: Kajian Kebijakan Daerah Lampung, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. P3AE-UI Jakarta 1997.
Suhardjito Didik, Khan Azis, Djatmiko Wibowo, Sirait Martua dan Evelyna Santi. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Studi Kolaboratif FKKM- 1999, akan dipublikasikan Sumarlan Yanuar, Towards A Community-Based Resource Management From A State- Conrolled One: Legal Overview and Possibilities, ICRAF-SEA Programme 1 Report 1998 unpublished.
Sumadjono M, Pengakuan Keberadaan Hutan Adat Dalam Rangka Reformasi Agraria dalam Lokakarya Keberadaan Hutan Adat, Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 25 Maret 1999
-----------------, Revisi Undang Undang Kehutanan? dalam Harian Umum Kompas 22 Juni 1999
-----------------, Pengakuan terhadap Hak Ulayat, dalam Harian Umum Kompas tgl 5 Juli 1999.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode o dan Pilihan Masalah, Surakarta, Muhammadiyah University Press. 1999
Thomas Khun, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Remaja Karya, Bandung, 1989
Turiman, Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, UI, Jakarta, 1999
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1997
TEMPO, Kartika, "Tanah Ulayat; Setelah Sewindu Dibabat Pengusaha, Rubrik Hukum, Majalah Dwi- mingguan edisi 6 Juni 1999 hal 36. Jakarta.
Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, [K.Ng.Soebakti Poesponoto (penterj.:Asas-asas dan Susunan Hukum Adat)], Jakarta: Pradya Paramita, cetakan XI, 1994
Titahelu R.Z. Masyarakat Adat dan Pembangunan: Menuju Keutuhan Makna Pembangunan Manusia dan Masyarakat Indonesia, dalam Orasi Dies Natalis UNPATTI ke 32 XXXXIII dan Wisuda Sarjana I, 18 Mei 1996. Ambon.
Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam, Remdec-Insist-Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998. Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan dinamika Masalahnya, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
-------------------, 1995. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta Rajawali Press.
Wison, Edward O, Concilience, The Unity of Knowlwdge, Alfred A. Knopf, New York, USA, 1998.
Wignjosoebroto Soetandyo, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayu Media, April, 2008
Wignyosoebroto Soetandyo, Masyarakat Adat di Tengah Perubahan dalam Roundtable Discussion Pemulihan Hak-hak Masyarakat Adat, Jakarta, 24 Maret 1999
----------------, Komunitas Lokal versus Negara Bangsa; Perbedaan Persepsi dan Konsepsi Tentang Makna Lingkungan (Akibat Pada Keberpihakan Kebijakan Nasional), background paper dalam diskusi “RUU Tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan” FKKM, 21 Mei 1999a, Jakarta.
---------------, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Widodo Sutoyo, Makalah Pembahas dalam “Seminar Peran dan Akses Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan; Kajian Kebijakan Daerah Lampung, Kaltim dan NTT”, P3AE-UI, Depok 20 Januari 1997.
Wiludjeng Henny, Bibliograpfi Beranotasi Tentang Tanah Adat di Indonesia Volume 1 & 2 , 1998 UNIKA Atma Jaya-Litbang BPN, Jakarta.
WARSI, Kawasan Bukit Duabelas: Kondis dan Peruntukkan Bagi Ruang Hidup Orang Rimba (Resume Usulan Perluasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas), Mei 1999, Warung Informasi Konservasi, Jambi WWF-WARSI, Menggugat PT. SML & PT. AS dalam Alam Sumatera dan Pembangunan Edisi III/ Februari, 1999
Yando Zakaria, Masalah Agraria & Kelembagaan Adat: Mari Menata Ulang Hubungan Rakyat-Negara, dalam “Dialog Merumuskan Arah dan Strategi Reformasi Agraria” memperingati 70 tahun Prof. Tjondronegoro. AKATIGA-LPM-IPB 16-17 Maret 1999.


Makalah:
Garuda Wiko, "Penegakan Hukum, Pembaharuan Hukum dan Rancang Bangun Hukum Progresif", Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Univeristas Tanjungpura, Pontianak, 29 Oktober 2009.
Satjipto Rahardjo “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998
Soetandyo Wignyosoebroto, "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses-Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998.
-----------------------------,“Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

»»  Baca Selengkapnya...