Minggu, 05 Juni 2011

Penjelasan Sultan Hamid II tentang File Lambang Negara

Penjelasan Sultan Hamid II tentang File Lambang Negara
Dan Catatan Sejarah Hukum Lambang Negara

Oleh Turiman Fachturahman Nur

Sebagian Transkrip SULTAN HAMID II 15 April 1967
         Berikut ini penulis sitirkan transkrip Sultan Hamid II ketika menjerlaskan tentang Lambang Negara kepada wartawan Istana Solichim Salam:
"Perlu saja djelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tepat untuk melambangkan idee Pantja Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai jang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada tameng/perisai ditengahnja, pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai jang dibuat Mr.M Yamin, kemudian saja buat dua buah perisai didalam dan diluar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk melambangkan garis equator/khatulistiwa diperisai itu..."
   "..... gambar rantjangan saja jang diterima 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada halajat ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan oleh Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS pada tanggal 11 Februari 1950, walaupun demikian ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung dibelakang pondium di gedung parlemen Istana Merdeka  Pedjambon, karena kepala burung Radjawalinya tidak "berjambul" dan terlihat "gundul", Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala menjadi berdjambul, kemudian oleh kementerian penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah untuk melukis kembali lambang negara tersebut, kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita berwarna putih jang direncanakan berisikan kalimat "Republik Indonesia Serikat", selandjutnja meminta saja  untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik" dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
      Walapun saja harus susah pajah membuat sketsa kembali untuk pembentulan bagian tjakar kaki itu, tetapi saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang negara RIS, karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih, untuk itu saja meminta bantuan R Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh  Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis  D.Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
      Hasil lukisan Dullah itulah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada kementerian penerangan  untuk disebarkan luaskan ke seluruh pelosok negara RIS jang ketika itu saja lihat banjak warga bangsa memasang di rumah-rumah, sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan oleh Paduka Jang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggungdjawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perentjanaan lambang negara RIS.
     Patut saja sedikit djelaskan, mengapa burung itu menoleh ke arah kanan hal ini sebenarnja perlambang pandangan negara kearah kebaikan kedepan, karena kanan dalam tradisi masjarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan, demikian salam menoleh ke kanan ketika sholat orang Islam hukumnja wajib/fardhua'in, untuk itu dengan terbentuknja RIS diharapkan bangsa ini bisa madju kearah kemadjuan sebagai bangsa jang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Radjawali Garuda Pantja-Sila, karena saja menghargai latar belakang gambar jang saja tjiptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai Pantja-Sila berubah mendjadi figur Burung Elang Radjawali yang dikalungkan perisai Pantja-Sila agar proses bangsa ini djangan melupakan peradaban bangsanja dari mana dia berasal/djangan sampai melupakan sedjarah puntjak-puntjak peradabannja, seperti pesan Paduka Jang Mulia.
      Jang unik dan penting untuk saja djelaskan, karena banjak jang menanjakan kepada saja, mengapa harus ada dua perisai pada perisai Pantja-Sila, sebenarnja saja hanja mendjabarkan idee Pantja-Sila dari Bung Karno 1 Djuni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan, karena saja teringat pada pesan utjapan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja berkali-kali, jakni Lambang Negara haruslah bisa melambangkan idee Pantja-Sila, mengenai idee Pantja-Sila itu terus terang saja banjak masukan dari pendjelasan Mr Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS ketika saja konsultasi terus menerus pada waktu itu.
      Adanja dua lambang perisai besar diluar dan perisai jang ketjil ditengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/ kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/berlawanan arah djarum djam/ "gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
      Perisai idee Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai dilehernja dengan tetap mentjekram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin bangsa dalam Negara RIS, namanja "Bhinneka Tunggal Ika" sebagaimana dikehendaki  bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah diperdjuangkan bersama di KMB 1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Juliana pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.
     Pertanjaan lain jang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh sekretaris pribadi saja sendiri Max, setelah keluarnya saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal ditengah perisai Pantja-Sila apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB/Pontianak, saja jawab hal ini sebenarnja ingin melambangkan/menjimbolkan letak negara RIS dilewati garis equator/ khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di kota kelahiran saja sendiri Pontianak jang dirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi R.I merdeka dan negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban sahabat saja seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi RIS 1949, sebagaimana peta situasi sedjarah kedaulatan sebelum RIS 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1949, agar kelak generasi mengetahui, gambar lambang negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr.M.Yamin jang djuga berbentuk perisai hanja gambarnja ada sinar-sinar matahari.
      Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah  menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni  membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.

Catatan sejarah hukum Lambang Negara
 Mengapa transkrip, file ini perlu dipaparkan secara tranparan kepada publik, karena mengingat wasiat Sultan Hamid II (1974) sewaktu menyerahkan file arsip perancangan lambang negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu Jakarta) 18 Juli 1974: [1]
"Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan "Mudah­-mudahan sumbangan pertama saya (buku-buku dan dokumen file mengenai lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
   Juga merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta itu tentang lambang negara RI hasil rancangan Sultan Hamid II : [2]
“..... Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priono, Banyak gambar yang masuk waktu itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua buah, satu dari Muhammad Yamin dan yang satu lagi dari Sultan Hamid. Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah dari Sultan Hamid yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin ditolak, karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang. Saya berpendapat bahwa apa yang ada sekarang itu, seperti uraian saya tadi sudah tepat dan bernilai abadi bagi kehidupan negara dan bangsa Indonesia". 
Dari Fakta historis, yaitu berupa proposisi yang dinyatakan oleh  Mohammad Hatta, dalam bukunya Bung Hatta Menjawab: [3]
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah kita merdeka semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950          

Sekilas Sejarah Hukum Lambang Negara RI.
          Fakta sejarah memaparkan, bahwa salah satu sumbangan bahan untuk mengambar atau merancang lambang negara adalah dari anak bangsa, yaitu dari Ki Hajar Dewantoro dan berikut ini Surat Ki Hajar Dewantoro, 1950 kepada paduka tuan Sultan Hamid II :[4]
Yogyakarta, 26 Januari 1950
 “Merdeka!
        Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke Jakarta untuk keperluan "Panitia Lambang Negara", maka dengan ini saya memberitahukan kepada Paduka Tuan:
1.      Bahwa pada waktu ini ada beberapa keperluan serta pekerjaan yang penting bagi saya di Yogyakarta, sehingga sukariah bagi saya untuk pergi ke Jakarta.
2.    Bahwa kalaulah benar saya diangkat menjadi anggota dari pada "Panitia Lambang Negara RIS" sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan penyelidikan yang seksama oleh "Panitia Indonesia Raya", yang dulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih mengetahui segala apa yang direncanakan oleh "Panitia Indonesia Raya " tersebut dari pada saya sendiri.
3.      Bahwa kalau sungguh-sungguh diperlukan pendapat atau nasehat saya dalam Panitia lambang Negara R.I.S. sekarang ini, maka cukuplah kiranya ketua Panitia Mr Muhammad Yamin atau anggota lainnya pergi ke Yogya untuk bertukar pikir dengan saya, atau cukuplah barangkali, bisa saya hanya mengirimkan nasehat atau usul dengan tertulis kepada Panitia di Jakarta. Dalam hal ini alangkah baiknya, jika Panitia mengirimkan pertanyaan-pertanyaan yang tertentu kepada saya untuk saya jawab.

        Demikianlah keterangan saya atas isi kawat, yang hari ini saya kirimkan kepada Paduka Tuan, sebagai balasan kawat Paduka Tuan kepada saya.
Hormat Salam.... Merdeka
Dewantoro

  Berdasarkan sejarah hukum  pendekatan analisis Hukum Tata Negara dengan metode Yuridis Normatif seperti dinyatakan oleh A.G Pringgodigdo dalam Bukunya Sekitar Pancasila, yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1978:[5]
      “Berdasarkan atas pasal 3 Konstitusi itu (RIS) pada tanggal 11 Februari 1950 Pemerintah RIS telah menetapkan lambang negara, yang berupa lukisan burung Garuda dan Perisai, yang terbagi dalam 5 ruang yang mengingatkan kepada PANCASILA. Pada waktu itu burung Garuda kepala “gundul”, tidak pakai “jambul”. Hal ini berubah dalam Lambang Negara Republik Indonesia Kesatuan, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tanggal 17 Oktober 1951 No 66 Tahun 1951” .
     Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara, bahwa  Lambang Negara Republik Indonesia terbagi atas tiga bagian[6], yaitu: 1 Burung Garuda, yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanan, 2. Perisai berupa Jantung dengan rantai pada leher Garuda, 3 Semboyan ditulis di atas pita yang dicengkram Garuda. Selanjutnya Pasal  2 menyatakan Perbandingan-perbandingan ukuran adalah menurut gambar tersebut dalam Pasal 6, Warna terutama dipakai adalah tiga, yaitu Merah Putih dan Kuning Emas, sedang dipakai pula warna hitam dan warna sebenarnya dalam Alam, selanjutnya Pasal 5 dibawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-kuno, yang berbunyi BHINNEKA TUNGGAK IKA, selanjutnya ditegaskan pada pasal 6: Bentuk, warna dan perbadingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam Lampiran pada Peraturan Pemerintah ini. (cetak tebal dari penulis)
       Analisis akademis berdasarkan sejarah hukum perancangan lambang negara yang telah dijelaskan diatas, pertanyaan yuridisnya adalah lukisan lambang negara siapakah yang dilampirkan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 itu ? Tiada lain adalah gambar terakhir dari perbaikan rancangan Sultan Hamid II kemudian pada tanggal 9 Juli 2009  Presiden Republik Indonesia: DR. H. Susilo Bambang Yodoyono melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalatta mengundangkan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dalam Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035 yang mengacu pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen kedua dipertegas pada Pasal 36 A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
             Sebagai pelaksanaan dari pasal 36 C UUD 1945, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan diatur dengan Undang-undang, maka selanjutnya oleh DPR bersama Pemerintah diterbitkan UU No 24 Tahun 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN yang menyatakan kembali, bahwa :
            Pasal 1 angka 3: "Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian pada Pasal 46 Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda".
            Pasal 47 ayat (1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan. Ayat (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45.
         Pasal 48 ayat (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan  dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai. (perhatikan bukankah menggunakan konsep "Thawaf" sebagai dijelaskan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya).
        Lebih lanjut pada Pasal 49: "Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas: a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai; b. warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai; c. warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda; d. warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan e. warna alam untuk seluruh gambar lambang".
            Pasal 50 "Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini".

    Berdasarkan Pasal 50 UU No 24 Tahun 2009 diatas secara yuridis normatif mempertegas kembali pasal 6 PP No 66 Tahun 1951 berkaitan dengan lampiran resmi gambar lambang negara Republik Indonesia yang sebenarnya tidak lain merupakan gambar rancangan lambang negara yang terakhir hasil perbaikan dari Sultan Hamid II yang sejak awal menjadi lampiran resmi peraturan perundang-undangan tentang lambang negara (PP No 66 Tahun 1951) dan sekarang menjadi lampiran resmi UU No 24 Tahun 2009), dan lambang negara yang oleh Sultan Hamid dinamakan Rajawali –Garuda Pancasila sesungguhnya adalah simbolisasi dari dasar negara republik Indonesia Pancasila sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Soekarno berikut ini.
Pada tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila. Adapun isi selengkapnya pidato tersebut sebagai berikut:[7]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-­jenis tetapi tunggal.
Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.
Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial.
Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.
Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Catatan dari Penelitian Sejarah Hukum Lambang Negara.
            Berdasarkan paparan pendekatan sejarah hukum di atas ada hal yang menarik dari sisi akademis adalah mengapa bangsa Indonesia memilih figur burung Garuda pada latar belakang  awal rancangannya, sedangkan gambar lambang negara yang  digunakan sekarang ini menggunakan figur burung Elang Rajawali atau berbanding lurus dengan file-file dan rancangan terakhir dari Sultan Hamid II sebagaimana gambar resminya atau lukisannya terlampir dalam PP No 66 Tahun 1951 (Pasal 6) atau sekarang menjadi lampiran resmi UU  No 24 Tahun 2009 (Pasal 46 jo 50) yang mengambil figur burung Elang Rajawali yang digantungi Perisai Pancasila dan cakar kakinya mencekram pita berisikan seloka Bhinneka Tunggal Ika, adakah sebuah pergeseran  perspektif simbolisasi dari Sultan Hamid II ketika membuat gambar lambang negara dalam proses perancangannya, dan kapan ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama kali?, untuk menjawab pertanyaan itu patut disadari, bahwa penelitian sejarah hukum memerlukan pembuktian dengan penelusuran dokumen sejaman.
Sebagaimana terungkap pada fakta sejarah, bahwa perancangan lambang negara ini  dibentuk sebuah Panitia Lambang Negara RIS 10 Januari 1950 yang dikoordinator oleh Menteri Negara RIS Zonder Forto Folio: Sultan Hamid II yang struktur keanggotaan kepanitiaanya terdiri Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A Pellaupessy, (anggota), Moh. Natsir anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah, selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No 2 Tahun 1949 tanggal 20 Desember 1949, Sultan Hamid II merencanakan gambar lambang negara RIS sebagai tugas yang diperintahkan oleh Presiden Soekarno,  beliau meminta masukan kepada Ki Hajar Dewantara yang kemudian ditindak lanjuti oleh Ki Hajar Dewantara dengan mengirim Surat dari Yogyakarta kepada Sultan Hamid II tanggal 26 Januari 1950 serta juga memberikan bahan masukan atau usulan berupa gambar-gambar figur garuda yang terdapat pada candi-candi  di pulau Jawa dan simbol-simbol dalam peradaban bangsa Indonesia yang merupakan hasil Penyelidikan Panitia Indonesia Raya, 1945 yang diketuai oleh Mr Muhammad Yamin, hal ini terpaparkan secara jelas pada sketsa coretan gambar awal yang dibuat oleh Sultan Hamid II, patut diketahui ketika pertama kali beliau membuat gambar lambang negara, pada sketsa awal  ada dua perbandingan yang dilakukan Sultan Hamid II, yaitu Gambar-gambar figur burung garuda  di berbagai Candi di Jawa berdasarkan penyelidikan Panitia Indonesia Raya, dan Gambar-gambar lambang negara dan militer Polandia 1946-1947 serta gambar-gambar lambang-lambang negara di dunia yang menggunakan figur burung Elang Rajawali. (Yaman, Irak, Iran, Saudi Arabia, Amerika, dsb) yang kemudian dipadukan secara brilian atau discursive[8] dengan kearifan lokal berupa lambang-lambang yang berasal dari daerah-daerah dari belahan nusantara, seperti pohon beringin, padi kapas, perisai, garis Equator/Khatulistiwa, Nur cahaya bintang dan figur Garuda Lambang Kerajaan Sintang sebagai salah satu bahan pembanding garuda yang berada pada mytologi dan sastra dalam peradaban bangsa Indonesia.
         Jika kita mengacu pada penjelasan Pasal 3 PP No 66 Tahun 1951 secara historis menyatakan:[9]
    "Burung Garuda, yang digantungi Perisai itu ialah lambang, tenaga pembangun (creatif vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia.
    Burung Garuda dari mythologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan Burung Elang Rajawali. Burung itu dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan Penataran. Ada kalanya dengan memakai lukisan berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap (Dieng); di candi Prambanan dan di candi Jawa Timur rupanya seperti burung dengan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan garuda di candi Mendut, Prambanan dan di candi-candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur.
    Umumnya maka garuda terkenal baik oleh archeologi, kesusasteraan dan mytologi Indonesia.
    Lencana garuda pernah dipakai oleh Prabu Airlangga pada abad kesebelas, dengan bernama Garudamukha. Menurut patung belahan beliau dilukiskan dengan mengendarai seekor Garuda.
     Pergerakan Indonesia Muda (1928) pernah memakai panji­-panji sayap garuda yang di tengah-tengahnya berdiri sebelah keris di atas tiga gurisan garis. Sayap garuda berbulu 17 (tanggal 17) dan ekornya berbulu 8 (bulan = 8 Agustus)"[10]
      Merujuk secara historis yuridis kepada penjelasan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 di atas, jelaslah bahwa lambang negara yang berbentuk burung Rajawali itu, ide awalnya adalah figur burung garuda sebagaimana dikenal pada peradaban bangsa Indonesia. Hal ini dapatlah dibenarkan jika memperhatikan dokumen gambar sketsa awal rencana lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid II yang pada hasil akhirnya (ciptaan pertama Sultan Hamid II) yang sudah ditolak oleh anggota Panitia Lencana Negara, M Natsir pada tanggal 8 Februari 1950 dan kemudian pada proses perjalanannya atas masukan Presiden Soekarno dirubah menjadi figur burung Elang Rajawali oleh Sultan Hamid II sebagaimana terlihat pada dokumen gambar rancangan yang diserahkan kepada Presiden Soekarno tanggal 10 Februari 1950, kemudian pada tanggal 11 Februari 1950 oleh Pemerintah Kabinet RIS dan DPR RIS diresmikan atau ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS, tetapi gambar lambang negara ini masih mendapat masukan dari Presiden Soekarno, karena pada bagian kepalanya "gundul" yang selanjutnya oleh Sultan Hamid II disempurnakan menjadi figur kepala burung Elang Rajawali, dan untuk kesekian kali masih mendapat masukan dari Presiden Soekarno, yaitu pada bagian kaki, karena cakar kaki burung  Elang Rajawali Pancasila yang mencekram pita berisi seloka Bhinneka Tunggal Ika ternyata menghadap kebelakang dan untuk menyempurnakannya Presiden Soekarno memerintahkan kepada Sultan Hamid II untuk berkonsultasi dengan D. Ruhl Jr seorang ahli Lambang (semiologi) berkebangsaan Perancis, dan gambar rancangan perbaikannya disetujui/disposisi oleh Presiden Soekarno tanggal 20 Maret 1950 dan sketsa D Ruhl Jr inilah kemudian atas perintah Presiden Soekarno dilukis kembali oleh Dullah seorang pelukis Istana dan hasil lukisan lambang negara selanjutnya disebarkan ke seluruh pelosok Nusantara Republik Indonesia Serikat, dan pada penyempurnaan akhir oleh Sultan Hamid II disempurnakan dengan menambahkan skala perbandingan ukuran dan bentuk serta tata warna dan file gambar lambang negara ini kemudian diserahkan kepada H Mas Agung, 18 juli 1974 di Yayasan Idayu jalan Kwitang, Jakarta dan gambar dimaksud itulah yang menjadi  gambar lambang negara resmi Republik Indonesia dibawah UUDS 1950 sebagai lampiran resmi: PP No 66 Tahun 1951 sebagaimana dinyatakan pada Pasal 6 yang menyatakan: "Bentuk, warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini", oleh karena itu secara yuridis historis, bahwa gambar lambang negara yang dilampirkan dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 adalah gambar Lambang Negara hasil Rancangan Akhir Sultan Hamid II dan merupakan penyempurnaan gambar lambang negara RIS yang ditetapkan 11 Februari 1950 oleh Pemerintah dan DPR (Parlemen) RIS, artinya dari pendekatan sejarah perancangannya dan pembuktian dokumen sejaman, bahwa sebenarnya Lambang Negara yang digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sekarang ini adalah adalah Lambang Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Perlemen) RIS, 1950 (11 Februari 1950), karena dari  17 Agustus 1945 sampai dengan 10 Februari 1950 secara de fakto negara Republik Indonesia belum memiliki lambang negara, dan secara de jure  17 Agustus 1951 baru memiliki lukisan Lambang Negara yang sebenarnya juga adalah hasil penyempurnaan terakhir dari gambar Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II yang ditetapkan oleh Pemerintah/ Kabinet RIS dan DPR (Parlemen) RIS, 11 Februari 1950 yang disempurnakan secara terus menerus/on going prosses sampai dengan akhir Maret 1950, sebagaimana gambar lambang negaranya disempurnakan terakhir kalinya oleh Sultan Hamid II dengan menambahkan skala perbandingan ukuran dan bentuk serta tata warna dan file gambar lambang negara ini kemudian diserahkan kepada H Mas Agung, 18 juli 1974 di Yayasan Idayu jalan Kwitang, Jakarta dan gambar yang sama tersebutlah yang sekarang sejak tahun 1951 menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6, dengan perkataan lain Lukisan Gambar Lambang Negara yang dipakai sampai sekarang ini sesungguhnya adalah Lambang Negara Resmi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949-1950  dibawah Konstitusi RIS 1949 yang kemudian digunakan pada masa Republik Indonesia dibawah UUDS 1950 dan pada tanggal 5 Juli 1959 digunakan kembali dibawah UUD 1945, berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 dan pada era reformasi dimasukan sebagai atribut kenegaraan secara konstitusional sebagai hasil masukan Dialog Nasional Lambang Negara di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat bertempat di Hotel Kapuas Palace, 2 Juni 2000 dari tokoh-tokoh masyarakat, peneliti, pakar dengan anggota DPR-MPR PAH I MPR RI yang kemudian menjadi rekomendasi resmi untuk rumusan amandemen kedua dari UUD 1945 tahun 2000, sebagaimana pada rumusan amandemen pasal 36 A: : "Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika" yang merupakan ikhtiar bangsa Indonesia untuk memperkukuh kedudukan dan makna atribut kenegaraan ditengah kehidupan global dan hubungan internasional yang terus berubah dan dimaksudkan menjadi simbol pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan sebuah negara dan bangsa, tak terkecuali bangsa dan negara Indonesia, kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, tetapi hal itu tetap penting karena menunjukan identitas dan jatidiri bangsa serta kedaulatan suatu negara dalam pergaulan internasional, sekaligus merupakan simbolisasi dari dasar negara, ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
     Masihkah kita sadar diri sebagai bangsa yang relegius untuk memahami jatidiri bangsa melalui filosofis Pancasila berthawaf dalam lambang negara, renungkan pandangan Presiden Soekarno di dalam ceramahnya mengenai Pancasila Dasar Filsafat Negara (1960) antara lain ditegaskan:
     "Agama tidak memerlukan territoor, agama juga mengenai manusia. Tapi lihat orang yang beragama pun, - aku beragama, engkau beragama, orang Kristen di Roma beragama, orang Kristen di negeri Belanda beragama, orang Inggris yang duduk di London beragama, pendeknya orang yang beragama yang dalam agamanya tidak mengenal territoor, kalau ia memindahkan pikirannya kepada keperluan negara, ia tidak boleh harus berdiri di atas territoor, di atas wilayah. Tidak ada satu negara, meskipun negara itu dinamakan negara Islam, tanpa territoor. Pakistan yang menamakan dirinya Negara Islam, Republik Islam Pakistan, toh mengakui territoor. Bahkan pendiri dari pada Republik Pakistan, yaitu Mohammad Ali Jinnah, ia berkata – historis ucapan ini - : "We are a nation". Ini salah satu argumen dari pada Mohammad Ali Jinnah tatkala ia mendirikan Pakistan. Bukan saja ia berkata "we are a religion", kita satu agama ia berkata "we are a nation", kita satu bangsa[11].

     Sesungguhnya dunia ini bukan hanya untuk Islam tetapi Islam untuk dunia, Al-Qur'an bukan hanya untuk Islam tetapi Al-Qur'an untuk dunia, karena sesungguhnya Al-Qur'an adalah pedoman hidup manusia (QS 3 ayat 138),  Islam merindukan perdamaian yang sejati  bersama dengan yang lain, kecuali bangsa ini sudah tidak ingin hidup dalam kedamaian atau elemen bangsa ini sudah keluar dari garis edar (orbit) bagaikan planet keluar dari garis edar atau bagaikan pohon yang tercerabut dari akarnya, masihkah bangsa ini "berkesadaran sejarah" atau para elit pemimpin bangsa belum mau menyatakan bahwa perancang gambar lambang negara RI adalah anak bangsa dari Kal-Bar, yaitu Sultan Hamid II sesuai dengan wasiatnya. Ingatlah pesan Allah dalam Al-Qur'an:
   "Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka penetapan hukum itu hendaklah adil, bahwa dengan itu Allah telah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat, Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu berdiri tegak di atas kebenaran yang adil semata-mata karena Allah dalam memberikan kesaksian, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai mempengaruhi dirimu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Karena itu bertaqwalah kamu kepada Allah ! Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qur'an Surah Anisa (4) ayat 58 dan Qur'an  Surah Al Maidah (5) ayat 8)
   Bukankah mewujudkan wasiat orang yang sudah wafat adalah sebuah kewajiban azasi!, menyampaikan wasiat yang bermanfaat kepada yang berhak adalah sesuatu yang disukai Allah SWT masihkah bangsa Indonesia ini bangsa yang bertuhan dan mengingat jasa anak bangsanya, bukankah kata filosof yang bijak bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarah bangsanya.
     Demikian sumbangan sebagian transkrip Sultan Hamid II dari Yayasan Sultan Hamid II Jakarta (Max Yusuf Alkadrie) dan paparan ilmiah transkrip, file lambang negara dari Peneliti Tesis Sejarah Hukum Lambang Negara RI dari UNTAN pada Program Magister Ilmu Hukum bidang konsentrasi Hukum dan Kehidupan Kenegaraan Universitas Indonesia (UI) yang telah dipertahankan Rabu 11 Juli 1999 di UI, saat ini peneliti adalah Akademisi, Dosen pada Fakultas Hukum bagian Hukum Tata Negara Universitas Tanjungpura UNTAN Pontianak, Kontak person email qitriaincenter@yahoo.co.id, atau blog fakuntan@yahoo.com atau HP 08125695414.



[1] Tulisan Sultan Hamid  II di atas kertas berlogo RTC, 1949 yang ditulis dihadapan H.Mas  Agung, 18 Juli 1974 ketika penyerahan file lambang  negara di Yayasan Iadayu, Jakarta.
[2] Bung Hatta Menjawab, (Wawancara Muhammad Hatta dengan .Z.Yasni) Cetakan Ketiga Gunung Agung, Jakarta, 1978, halaman 108.
[3] Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, 1978, halaman 108.
[4] Di kutip oleh Peneliti (Turiman Fachturahman Nur) dari Uun Mahdar  8 Juli 1999.
[5] A.G Pringgodigdo, SekitarPancasila, Jakarta, Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1978, hal 6.
[6] Sultan Hamid II juga menyatakan hal yang sama dalam transkripnya 15 April 1967: : "saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang negara RIS, karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih.."
[7] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999,
[8] B. Rahmanto 1992 dalam Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2000 halaman 59 menjelaskan dua jenis simbol, berdasarkan pendapat Susanne K Langer, simbol, dalam hal ini gambar, dibedakan menjadi dua macam, yaitu simbol presentational dan simbol diskursif, simbol presentional yang dalam proses pengertiannya tidak memerlukan daya intelektual tinggi karena gambar menunjukan pada apa yang terlihat tanpa adanya bentuk-bentuk seperti penambahan, pengurangan maupun pengkaitan, secara apa adanya menghadirkan apa yang dikandung. Sedang simbol discursive memerlukan daya intelektual pengamatnya. Karena untuk memahaminya seseorang harus memahami aturan yang berlaku pada simbol tersebut. Garuda Pancasila termasuk jenis simbol discursive, karena ada penambahan beberapa atribut, seperti perisai, pita seloka, serta manipulasi jumlah bulu maupun pengurangan di beberapa hal yang melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan referensi tertentu sebagai dasar acuan menuju pemahaman.
[9] Penjelasan Umum PP No 66 Tahun 1951 kemudian dipertegas  pada penjelasan umum UU No 24 Tahun 2009 menyatakan : " Pasal 36A menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya Pasal 36B menyebutkan bahwa Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal-pasal tersebut merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh Negara tentang penggunaan simbol-simbol tersebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh bentuk simbol kedaulatan negara dan identitas nasional harus diatur dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dipertegas kembali pada penjelasan Pasal 46 Yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat. Yang dimaksud dengan “perisai” adalah tameng yang telah dikenal lama dalam kebudayaan dan peradaban asli Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan.Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan Penjelasan Pasal 46 UU No 24 Tahun 2009 menyatakan : " Yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat. Yang dimaksud dengan “perisai” adalah tameng yang telah dikenal lama dalam kebudayaan dan peradaban asli Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[10] Dalam UU No 24 Tahun 2009 dalam Pasal 47 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sayap garuda berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45” adalah lambang tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan waktu pengumandangan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
[11] Soekarno dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, Edisi 3, Hanindita, Yogyakarta halaman 73
»»  Baca Selengkapnya...

PROBLEMATIKA HUKUM TERHADAP ILEGAL LOGGING DI KAL-BAR


PROBLEMATIKA HUKUM TERHADAP ILEGAL LOGGING DI KAL-BAR
(Sebuah Evaluasi dan Kritik Terhadap Penegakan Hukum)

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

            Penanganan-penanganan kasus Illegal logging terus dilakukan oleh Pihak Kepolisian Kalbar maupun aparat instasi lain yang mempunyai kewenangan. Penanganan kasus-kasus tersebut tentunya dalam rangka pemberantasan Illegal logging, yang secara jelas dan nyata merusak lingkungan dan merugikan negara Indonesia Triliunan Rupiah setiap tahunnya. Namun penanganan Illegal logging yang dilakukan tersebut masih jauh dari harapan, hal ini jelas terlihat dari masih banyaknya kasus-kasus Illegal logging yang terjadi dan belum diambil tindakan serta penegakkan hukumnya oleh aparat pemerintah.
            Kurang efektif dan efisiennya pemberantasan Illegal logging saat ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah: 

a.      Penegakkan Hukum (Penindakan).
Kasus Illegal logging yang pelakunya melibatkan aparat pemerintah, prosesnya sangat berlarut-larut dan dapat diprediksikan, tidak akan sampai ke sidang pengadilan. Kasus-kasus Illegal logging yang ditindak lebih dominan di arahkan kepada kasus yang berskala kecil saja. Pelaku Illegal logging yang berskala besar, sangat jarang tersentuh oleh aparat penegak hukum. Sehingga muncul kesan penindakan Illegal logging memilih-milih siapa yang akan dijadikan korban terhadap kasus yang ditangani, sehingga penindakannya tidak konsisten, dan kondisi seperti ini akan tetap membuat pelaku Illegal logging untuk terus berbuat.

b.       Penegakkan Hukum oleh Instansi terkait.
Berapa pemetataan factual kausu illegal loging ditemukan belum dilaksanakannya penindakan hukum oleh instansi teknis atas pelanggaran seperti tindakan hukum dan atau tindakan adminstratf terhadap Pemegang IPK yang menyimpang, industri pengolahan kayu yang menyimpang dari izin yang dimilikinya, dan pengusaha kayu yang melakukan penyimpangan. Hal ini karena belum berfungsinya secara maksimal instansi teknis dalam melakukan pengawasan atas perijinan-perijinan yang diterbitkannya kepada para pengusaha-pengusaha yang bergerak dibidang perkayuan (industri, perdagangan, dan pengiriman kayu).

c.       Penjatuhan Hukuman.
Penjatuhan hukuman kepada para pelaku tindak pidana yang menyangkut tentang hutan, seperti yang diatur pada UU No. 41/99 terkesan belum memberikan efek jera kepada para pelanggar tindak pidana kehutanan. Masih terlihat para pelaku Illegal logging yang terkena sanksi pidana yang hukumannya ringan dan ada yang bebas dari jeratan hukum.
           
d.       Legalisasi Illegal logging.
Penulis menemukan beberapa kebijakan yang bersifat melegalisasi terhadap perbuatan Illegal logging melalui penerbitan peraturan-peraturan daerah yang melindungi pembawaan kayu ilegal dengan memenuhi syarat pembayaran Retribusi kayu dan sumbangan pihak ketiga guna kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setempat, mudahnya pemberian ijin terhadap industri-industri pengolahan kayu oleh Pemda setempat atau Dinas Perindustrian. Sehingga para pemilik industri merasa kayu-kayu diolahnya walaupun dengan cara membeli dari tebangan masyarakat dianggapnya sudah legal.

Kasus-kasus Illegal logging Belum Tuntas
Penyidikan Tindak Pidana Illegal logging yang dilakukan oleh Dit Reskrim Polda Kalbar Cq Kasus Putusan No 27/Pid/B/2005/PN/KTP rekontruksi secara HAM dirasakan oleh  Jajaran POLDA Kalbar, baik itu kasus-kasus yang ditemukan dalam kegiatan Kepolisian rutin maupun melalui operasional Kepolisian belum dapat terlihat dan tergambar dan hasil penyidikan yang dilakukan Direktorat Reskrim dan Jajarannya sebagai berikut,
Pertama, hasil penyidikan kasus-kasus Illegal logging yang dilakukan oleh Direktorat Reskrim Polda Kalbar belum secara keseluruhan menuntaskan/ menyelesaikan kasusnya, sesuai dengan yang diharapkan oleh Pimpinan. Selama kurun waktu tahun 2004-2007 Direktorat Reskrim menangani 188 kasus dan yang dinyatakan selesai  sebanyak 126 kasus.

Kedua, jumlah kasus yang belum tuntas dari 188 kasus yang ditangani, sejumlah 62 kasus. Dan hal lain sangat mempengaruhi dalam upaya penanggulangan Illegal logging di Wilayah Hukum Polda Kalbar.

Ketiga, banyak jumlah-jumlah kasus Illegal logging yang belum tuntas tersebut dipengaruhi oleh berbagai oleh berbagai fator seperti, kemampuan penyidik yang belum dapat menguasai peraturan Perundang-undangan dibidang Kehutanan.

2.  Analisis Data
            Dengan melihat permasalahan posisi kasus  yang ada, sejumlah langkah harus dilakukan dalam rangka penanganan Illegal Logging di Kalbar Cq Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut analisisnya:

1.       Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Personil
a.      Peningkatan Kuantitas Personil.
Dalam mewujudkan jumlah personil direktorat Reserse yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari tingkat Polda, Poltabes, Polres hingga Polsek, maka langkah-langkah yang dilakukan meliputi pengusulan permintaan penambahan personil kepada biro personalia Polda Kalbar, untuk ditempatkan bertugas di direktorat Reserse Polda Kalbar sesuai dengan DSP yang ada, penarikkan kembali personil-personil Reserse yang telah memiliki kejuruan Reserse atau kemampuan Reserse lainnya, yang masih bertugas di luar komuniti Reserse agar ditugaskan kembali di fungsi Reserse Kriminal, pembuatan telaan staf kepada ka Polda Kalbar, tentang kurangnya personil yang bertugas pada direktorat Reserse Polda Kalbar dan jajarannya dengan orientasi agar nantinya dapat menempatkan para bintara yang baru lulus dari pendidikan di direktorat Reserse Polda Kalbar, dengan persyaratan bahwa para bintara yang baru lulus tersebut telah diberikan kemampuan dasar Reserse.

b.       Peningkatan Kualitas Personil.
Untuk meningkatkan kualitas personil direktorat Reserse Polda Kalbar dan jajarannya dapat dilaksanakan melalui pembinaan mental, dengan langkah-langkah seperti pembinaan sikap mental dan disiplin personil berupa siraman rohani agar personil dapat meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, pembinaan mental ideologi dan kejuangan, untuk meningkatkan dan selalu berbuat jujur, setia akan tugas, dan memahami akan tanggung jawabnya serta senantiasa menghormati hak orang lain, dan perbuatan moral yang dilandasi kepada kepentingan orang banyak dan mewajibkan untuk mengikuti apel serta pertemuan-pertemuan yang secara khusus dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal untuk mengetahui kemampuan dan kedisiplinannya.
Selain itu juga diperlukan pembinaan fisik personil, melalui test Kesamaptaan secara berkala serta melaksanakan kegiatan olah raga bersama secara rutin, untuk mewujudkan fisik personil yang sehat dan siap melaksanakan tugas, melakukan latihan bela diri Polri kepada seluruh anggota Reserse Kriminal secara rutin dan berkelanjutan.

c.        Peningkatan pengetahuan personil Reserse Kriminal.
Program ini bisa dilaksanakan melalui pendidikan kejuruan, dengan `langkah langkah mengikut sertakan personil Reserse dalam setiap kesempatan pendidikan kejuruan dasar yang diselenggarakan baik di tingkat polda maupun tingkat Mabes Polri, dengan memberikan prioritas kepada anggota yang sudah cukup lama menjadi anggota Reserse Kriminal, mengirimkan dan menginventarisir data personil yang sudah memiliki pendidikan kejuruan dasar Reserse, untuk diikut sertakan untuk mengikuti pendidikan kejuruan lanjutan Reserse Kriminal dan melakukan koordinasi dan kerja sama kepada kepala dinas kehutanan Provinsi  Kalbar, untuk dapat mengikut sertakan anggota Reserse Polda Kalbar dalam mengikuti pendidikan yang diselenggarakan dinas kehutanan yang bermaterikan tentang masalah kehutanan.

d.       Pemberian Reward And Punishment.
Pemberian reward and punishment kepada anggota merupakan wujud perhatian dari pimpinan kepada anggota yang berprestasi dan mempunyai dedikasi yang baik dalam pelaksanaan tugas.
Pemberian penghargaan ini dapat dilakukan dalam bentuk memberikan prioritas kepada anggota untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, tentunya dengan acuan, bahwa anggota tersebut telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan.
Dan kepada anggota yang melakukan pelanggaran dan kesalahan di dalam menjalankan tugas, diberikan teguran dan sanksi berupa hukuman atau mutasi yang bersifat demosi, sesuai kode etik profesi Polri.
Pemberian reward and punishment ini tentunya dilakukan oleh Kapolda Kalbar melalui direktur Reserse yang telah memiliki data tentang reward and punishment dari anggota-anggota yang berprestasi maupun yang telah melakukan pelanggaran selama melaksanakan tugas.

2.        Peningkatan Sarana, Prasarana Dan Anggaran.
a.      Sarana dan Prasarana.
Faktor sarana dan prasarana berupa Alut Dan Alsus sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas Reserse Kriminal. Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan mobilitas tugas-tugas fungsi Reserse Kriminal dalam upaya peningkatan penanggulangan Illegal logging di wilayah hukum Polda Kalbar.
Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah pengusulkan pengadaan peralatan khusus maupun peralatan utama yang dibutuhkan seperti Kendaraan roda empat (R-4), Kendaraan roda dua (R-2), dan Handycam, melakukan koordinasi dengan Pemerintah daerah Provinsi Kalbar  dalam hal ini Gubenur, untuk dapat memberikan dukungan berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh direktorat Reserse dalam rangka penanganan kasus-kasus Illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Polda Kalbar.

b.       Anggaran.
Dukungan anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan dalam rangka penanggulangan Illegal logging di wilayah hukum Polda Kalbar, merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Karena dengan dukungan anggaran yang mencukupi, maka pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut dengan penanggulangan Illegal logging dapat berjalan dengan baik. Dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Polda  Kalbar seperti mengajukan tambahan anggaran operasional Direktorat Reserse, menyalurkan seluruh dana yang disediakan untuk penyelidikan dan penyidikan seperti yang diatur pada Kep. KaPolri  No. Pol.: Skep/1040/XII/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang biaya penyelidikan dan penyidikan Reserse, melalui sistem subsidi silang dalam anggaran dengan mengurangi anggaran pada bidang-bidang tertentu untuk tambahan anggaran penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus Illegal logging dan melakukan koordinasi dengan Pemerintah daerah Provinsi Kalbar (Gubenur) untuk dapat memberikan bantuan dana khusus, dalam hal penanganan-penanganan masalah Illegal logging yang terjadi saat ini di wilayah hukum Polda Kalbar yang ditangani oleh Direktorat Reserse Polda Kalbar.

3.       Peningkatan Kemampuan Penyidik Pada Polda Kalbar.
Untuk meningkatkan kemampuan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Kalbar melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a.        Pelatihan.
Memberikan pelatihan kepada para penyidik dan penyidik pembantu dengan sasaran latihan yaitu latihan kesatuan, berupa latihan rutin, simulasi dan tanya jawab tentang penyelidikan dan administrasi penyidikan tindak pidana, latihan terprogram yaitu latihan yang dilakukan dengan secara terjadwal baik, seperti melakukan latihan sekali dalam sebulan, dengan materi latihan berupa pendalaman dibidang penyidikan dan pemahaman peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan. 

b.        Penugasan.
Melalui para kasat yang ada di Direktorat Reserse Kriminal Polda Kalbar, memberikan penugasan-penugasan dengan kegiatan seperti penugasan kepada penyidik dan penyidik pembantu menangani kasus-kasus Illegal logging yang telah di tetapkan oleh pimpinan sebagai target operasi, pembentukan Team Work dalam penanganan kasus Illegal logging dengan komposisi anggota terdiri dari yang memiliki kemampuan baik digabung dengan anggota penyidik yang masih pemula, sehingga dapat terciptanya suatu kerja sama yang baik untuk meningkatkan kemampuan anggota yang pemula, melakukan Gelar Perkara.

c.        Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum yang ada.
Langkah-langkah yang dapat diambil adalah membentuk forum Dil Jak Pol, untuk mambahas dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, peningkatan kerja sama antara aparat penegak hukum, khususnya dalam melakukan penanganan-penanganan hukum tindak pidana yang berkaitan dengan Illegal logging. menjalin kerjasama dengan lembaga bantuan hukum dalam pemberian bantuan hukum para tersangka untuk didampingi selama dalam masa proses penyidikan, khususnya bagi orang asing yang terlibat sebagai tersangka dalam tindak pidana Illegal logging

4.       Peningkatan Penanganan Kasus-kasus Illegal logging Agar Menyentuh Sasaran.
Illegal logging merupakan masalah yang menyangkut banyak orang dan pihak-pihak lain, sehingga tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah maupun aparat penegak hukum saja, sebab itu sangat diperlukan adanya persepsi yang sama serta kerja sama dan dukungan dari semua pihak. Untuk mencapai penanganan kasu-kasus Illegal logging agar menyentuh sasaran yang menjadi target operasi kepolisian dan harapan Pemerintah, dilakukan dengan langkah-langkah melaksanakan operasi kepolisian menggunakan, kekuatan Polri beserta jajarannya dan komponen pendukungnya dalam rangka mencapai target dan sasaran yang dikelola secara terpusat oleh Mabes Polri atau kewilayahan Polda Kalbar dengan perencanaan yang disusun dalam dokumen rencana operasi, melaksanakan operasi kepolisian dengan melibatkan instansi teknis terkait atau instansi yang berhubungan dengan penegakkan hukum dalam rangka pencapaian sasaran yang diharapkan oleh Pemerintah. Melaksanakan Giat Rutin dengan melibatkan dukungan fungsi teknis kepolisian lainnya yaitu Fungsi Intelkam dengan hasil deteksi dirinya dapat memberikan informasi tentang adanya kegiatan Illegal logging yang terjadi dan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kasus-kasus yang ditangani oleh fungsi Reskrim dalam rangka pendataan dan penuntasan kasus-kasus yang sedang dalam penyidikan,
Fungsi Samapta, dengan melaksanakan kegiatan patroli di daerah rawan akan kejadian Illegal logging, sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan, melakukan upaya tindakan pertama di tempat kejadian perkara, terhadap kegiatan Illegal logging yang ditemukan, dilibatkan dalam upaya paksa, terhadap kasus-kasus Illegal logging yang sedang ditangani berupa penangkapan terhadap barang bukti yang berkaitan dengan kasus-kasus Illegal logging.

5.       Penuntasan Kasus-kasus Illegal logging.
Salah satu fungsi yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan dari suatu kegiatan adalah pengawasan dan pengendalian untuk dapat meningkatkan penanganan-penanganan kasus Illegal logging tuntas. Maka Direktur Reskrim dan para unsur Kasat-kasat yang ada di Direktur Reskrim Polda Kalbar harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian proses penyidikan dengan langkah-langkah memberdayakan Buku Kontrol Perkara, Buku Register Yang Ada di fungsi Reserse, memberikan perintah kepada penyidik dan penyidik pembantu untuk melaporkan setiap penanganan kasus-kasus yang sedang dalam proses penyidikan, memberikan arahan dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh Penyidik dan penyidik pembantu untuk menuntaskan perkara-perkara yang belum selesai proses penyidikannya dan melakukan pengendalian terhadap penyidik dan penyidik pembantu untuk dapat tetap melakukan koordinasi yang baik dengan aparat penegak hukum lainnya melalui wadah Dil Jak Pol dalam rangka penegakkan hukum terhadap kasus-kasus Illegal logging yang sedang dalam proses penyidikan pihak Direktorat Reskrim Polda Kalbar.

3.  Pemetaan Posisi Kasus berdasarkan definsi Pelanggaran  HAM Pasal 1 angka 6 UUNo 39 Tahun 1999.

a. Pertimbangan Hukum dalam Putusan
           Jika kita memetakan dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang berkaitan Illegal logging pada Putusan No 27/PidB./2005/PN/KTP adalah mengacu kepada Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang secara hukum materiil mempunyai unsur sebagai berikut :
  1. Unsur Setiap Orang
  2. Untuk menerima, Membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut tidak sah.
Jika kita lakukan pemetaan lebih detail kedua hal tersebut di atas, yaitu:
Pertama, Unsur Setiap orang, bahwa unsur setiap orang adalah siapa saja subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan segala perbuatannya dan hingga selesainya  pemeriksaan persidangan terdakwa tidak dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya, namun unsur ini baru dapat dikatakan terbukti apabila unsur lainnya telah terbukti

Kedua, Untuk menerima, Membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut tidak sah.
Bahwa unsur ini adalah bersifat alternatif dan apabila keterangan saksi-saksi dishubungkan dengan keterangan terdakwa disini jelas bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi saling bertentangan satu sama lainnya sehingga menimbulkan prasangka buruk terhadap terdakwa dan keterangan saksi satu dengan saksi lainnya tidak saling mendukung, dengan demikian unsur ke 2 dakwaan Penunrut Umum Jaksa Tidak terbukti.

b. Proses Persidangan apakah memenuhi prinsip-prinsip Fair, dan Transparan sesuai hukum Formal.
       Jika kita analisis dari pertimbangan hukum Hakim, bahwa Jaksa penuntut Umum dalam hal ini tidak memisahkan kayu-kayu yang dilindungi oleh surat-surat arau dokumen yang sah dan kayu-kayu yang tidak dilindungi oleh surat-surat atau dokumen yang sah, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum telah menjadikan satu kesatuan, padahal dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum membenarkan Terdakwa ada memiliki kayu-kayu dari jenis Meranti sebanyak 438 batang atau sama dengan 41,632 M3, kayu jenis Bengkirai sebanyak 3.805 batang atau sama dengan 367.0004 M3 dan Kayu Jenis Kempas sebanyak 39 batang atau sama dengan 4.2348 M3, yang dibeli terdakwa dari saksi ISSIAT ISYAK atas nama CV Mitra Kayong yang dilengkapi surat-surat dokumen yang sah SKSHH Nomor seri DD 1656892.
         Dan adalah sesuatu yang tidak fair dan transparan ketika dihubungkan dengan saksi-saksi dari Intitusi yang berwenang dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dalam memberikan keterangan saling bertentangan, ini membuktikan prinsip transparansi belum berjalan dalam interen institusi kehutanan Kabupaten Ketapang. Pada sisi lain keterangan saksi dari sisi terdakwa yang dihadirkan menyatakan bahwa terdakwa dalam membeli kayu dilindungi oleh surat atau dokumen yang sah dan keterangan ini akhirnya salah satu unsur dakwaan Jaksa tersebut tidak terbukti sah dan menyakinkan dalam persidangan, karena tidak terpenuhi, maka karenanya terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan, secara prinsip adil, memberikan indikasi bahwa telah terkesan dakwaan jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini telah terkesan hanya seakan-akan hanya untuk memenuhi formalitas persidangan saja dengan sebagaimana pembuktian hukum dari apa yang didakwaakan seakan-akan dibebankan kepada majelis hakim.
         Secara hukum formal akhirnya Hakim menggunakan pertimbangan hukum dengan menggunakan Pasal yang didakwakan dengan berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yaitu tentang Bukti Minimal, dan juga Jaksa Penuntut umum dalam dakwaannya disusun secara alternatif, sehingga mengacu kepada penjelasan Pasal 50 huruf h UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa apabila isi dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah maupun volumennya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat sah. Atas dasar ini, maka pertimbangan Hakim berpendapat bahwa unsur yang terbukti dalam pasal ini adalah memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
        Pertimbangan hukum dari Hakim lain, bahwa perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam melestarikan Lingkungan Hidup dan terdakwa  pernah dijatuhi dalam perkara yang serupa pada tahun 2004, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat sebagai hal yang memberatkan dari terdakwa.

C. Kesuaian Putusan Hakim dengan Prinsip-Prinsip Hukum Dan Doktrin.
        Jika kita menganalisa UU No 41 Tahun 1999, khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999, secara Hukum menimbulkan peluang bagi pelanggaran terhadap Lingkungan Hidup, memperhatikan pada tataran praktek modus operandinya, para pelaku ada kecenderungan memasukan kayu ke Kapal atau menampung dahulu, baru mengurus SKSHH ke Dinas Kehutanan, padahal sebuah rumusan normatif harus memberikan perlindungan HAM hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip materi muatan perundang-undangan, sebagai berikut:
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf c UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiapMateri Muatan Peraturan Perundang-Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiapMateri Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf   h  UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiapMateri Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf   j  UU No 10 Tahun 2004: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2004:
1.. dalam  Hukum Pidana, misalnya ASAS LEGALITAS , ASAS TIADA HUKUMAN TANPA KESALAHAN, ASAS PEMBINAAN NARAPIDANA, ASAS PARDUGA TAK BERSALAH.
2.  Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian, antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak , dan iktikad baik

d.   Putusan Hakim dilihat dari sisi Perlindungan Hak Asasi Pelaku, Korban, dan Masyarakat.
        Jika kita analisis dari sisi Pelaku, sebenarnya Pelaku memanfaatkan kelemahan UU No 41 Tahun 1999 jika kita hubungkan dengan definisi tentang pengertian Pelanggaran Hak Azasi Manusia pada Pasal 1 angka 6 UU No 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja dan tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidakm mendapatkan, atau dikhwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisem hukum yang berlaku.
        Mengacu pada definisi operasional di atas dan dihubungkan dengan Putusan No 27/PidB./2005/PN/KTP mengacu kepada Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999, maka seharusnya Petugas Dinas Kehutanan Yang mengeluarkan SKSHH juga seharusnya dituntut dalam persidangan, karena telah secara bersama-sama melawan hukum dan seharusnya memperhatikan juga hukum adat di Kabupaten Ketapang yang berlaku dari wilayah Kayu Illegal logging diambil, jika ingin membela program pemerintah terhadap lingkungan hidup, dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM , Pasal 6 menyatakan (1) Dalam rangka penegakan Hak Azasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah, (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
        Penjelasan Pasal 6 UU No 39 Tahun 1999 menyatakan Ayat (1) menyatakan Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
       Ayat (2) menyatakan Dalam Rangka penegakan hak azasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum  yang berintikanm keadilan dan kesejahetaran.
          Sebagai Contoh mislanya di daerah pedalaman Kab Ketapang dimana kayu-kayu Illegal logging ini diambil oleh oknum (Cukong) sebenarnya bisa diberlakukan hukum adat, tetapi kelemahan UU No 41 Tahun 1999 khususnya pasal Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa kayu-kayu yang berasal dari hutan lindung atau hutan rakyat masyarakat adat bisa dilengkapi dengan SKSHH yang menjadi kewenangan Dinas Kehutanan, maka penegakan HAM melalui hukum adat setempat tidak dapat berjalan.
         Modus operandinya adalah sebagaimana dalam perkara yang mendasarkan  Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999 yaitu “Namun pada saat dokumen kayu tersebut diproses di Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang, pada tanggal 17 September 2004 sekitar jam 0830 WIBA datang petugas POLDA Kalimantan Barat melakukan pemeriksaan terhadap kapal Tongkang Cahaya Fajar dan KM Surya Segara yang sudah memuat kayu dan ternyata kayu-kayu tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah, kemudian kapal tongkang Cahaya Fajar dan KM Surya Segara berserta kayu-kayu tersebut ditahan untuk proses lebih kanjut.
         Jadi dalam modus operandi tersebut, ketika kayu-kayu ditahan, maka pada sisi lain para cukong tetap mendapatkan SKSHH dari Dinas Kehutanan yang berproses sebelumnya, maka modus operandi SKSHH itu dilelang dan ini jelas peristiwa hukum, dalam perkara No 27/PidB./2005/PN/KTP pada Tanggal 14 Desember 2004 kayu-kayu yang ditahan tetapi ada SKSHH tersebut pada risalah lelang Nomor 594/2004 tanggal 14 Desember 2004 yang telah dibuat oleh pejabat Lelang Direktorat Jenderal Lelang Piutang dan Lelang Negara dengan hasil bersih lelang Rp 133.650.000 yang kemudian uang hasil lelang dititipkan di Bank BNI cabang kabupaten Ketapang dengan berita acara Penitipan dan Slip Penyetoran tertanggal 3 Maret 2005.
         Modus operandi yang dimainkan lagi adalah menggunakan Badan Usaha Koperasi, untuk mengurus SKSHH, bahwa berdasarkan peraturan perundangan kehutanan bahwa setiap orang/Badan Usaha/Koperasi dapat mengangkut atau memiliki hasil hutan berupa kayu jika perorangan/Badan Usaha/Koperasi tersebut memperoleh atau mendapatkan hasil  hutan berupa kayu tersebut perizinan yang sah, dalam hal ini HPH,HPHH,IPK dan ISI dan dapat pula hasil hutan tersebut diperoleh dari hasil lelang yang dilakukan oleh Badan Lelang Negara.
        Pada sisi lain masyarakat yang hutannya adat diambil oleh para Cukong secara Illegal logging tidak berdaya untuk melaporkan berdasarkan hukum adat, karena “pembalakan hutan” secara hukum bisa disahkan menjadi hasil hutan dilakukan oleh CV yang berbadan hukum yang cenderung menampung hasil hutan, jika sudah di penampungan selanjutnya diurus SKSHH-nya, dari sisi UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 90 ayat (3) menyatakan : Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak azasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM dan pada ayat (4) menyatakan Pengaduan pelanggaran Hak azasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
         Jika kita membaca penjelasan Pasal 90 ayat 4, yang dimaksud dengan “Pengaduan melalui perwakilan adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya.
          Permasalahannya adalah yang dilanggar bukan hak asasinya manusianya, tetapi hutan masyarakat adat jadi HAM Lingkungan Hidup, dalam UU No 39 Tahun 1999 dan penjabarannya tidak mengatur lebih lanjut bagaimana jika hak lingkungan hidup yang ada di lingkungan masyarakat adat yang dilanggar, dalam hal Hutan Adat, nomenklatur pengertian hukum ini tidak ada di UU No 41 Tahun 1999 dan mekanisme pengaduan juga tidak tersedia dalam UU No 39 Tahun 1999
         Konsekuensi logisnya adalah bagaimana sebuah putusan Hakim akan melakukan penghormatan dan perlindungan Hak-Hak Asasi Pelaku, Korban dan Masyarakat, jika norma untuk menegakan tidak dijabarkan.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi.
Pertama, Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999 harus juga diimbangi dengan perlindungan terhadap hak-hak lingkungan hidup sebagai program pemerintah dengan pengakuan hutan Adat atau Hutan Masyarakat Adat, oleh karena rekomendasi perlu ada revisi ulang dan mendapat tekanan pada pemberdayaan ketentuan hukum adat yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau hutan Adat.
Kedua, Pada sisi lain Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) pada klasula “Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak azasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM dan pada ayat (3) –nya yang menyatakan “meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat”. Dan penjelasannya yang menyatakan Pengaduan melalui perwakilan adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya, seharusnya dibuat mekanisme khusus, tata cara masyarakat hukum adat mengadukan terhadap pelanggaran HAK lingkungan Hidup, jadi norma hukum yang dibentuk bukan hanya mengatur hubungan manusia dnegan manusia yang HAM dilangggar, tetapi mengatur hubungan manusiia dnegan Alam yang HAM Lingkungannya dilanggar.
Ketiga, kesimpulan dan rekomendasi diatas adalah selaras dengan salah satu program HAM Nasional yaitu: Harmonisasi Perundang-undangan Nasional antara lain pada huruf  a. Melakukan studi dan pengkajian mengenai berbagai peraturan perundang-undangan serta peraturan nasional dan atau peraturan perundang-undangan daerah yang relevan dengan perangkat-perangkat Internasional HAM.
b. Merivisi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau merancang peraturan perundang-undangan yang baru sesuai dengan isi perangkat internasional HAM yang telah disahkan.
c. Memberikan pengarahan kepada para aparat penegak hukum terkait mengenai isi beberapa perangkat internasional HAM yang telah disahkan.              


»»  Baca Selengkapnya...