Sabtu, 28 Mei 2011

Teori -Teori Semiotika

MENGENAL TEORI SEMIOTIKA

Disitir Oleh Turiman Fachturahman Nur

Dari : http://tentang-teori-komunikasi.blogspot.com

Teori-teori Semiotika:


C.S PEIRCE

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.

Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri.

Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.

Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.


FERDINAND DE SAUSSURE

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).


ROLAND BARTHES

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.


BAUDRILLARD

Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.


JACQUES DERRIDA

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.

Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.

Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.


UMBERTO ECO

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa.

Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

Sumber :http://tentang-teori-komunikasi.blogspot.com/

»»  Baca Selengkapnya...

LAMBANG GARUDA KERAJAAN SINTANG

BERKAITAN DENGAN LAMBANG GARUDA KERAJAAN SINTANG

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Dari Fakta historis, yaitu berupa proposisi yang dinyatakan oleh Mohammad Hatta, dalam bukunya Bung Hatta Menjawab: [1]

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah kita merdeka semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950

Untuk melengkapi pengetahuan pembaca berkaitan dengan simbol kerajaan Sintang yang berbentuk Patung Garuda sebagai salah satu bahan pembanding garuda yang berada di candi-candi di Jawa, seperti sketsa gambarnya dikirim oleh Ki Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II, akhir Januari 1950, maka berikut ini dipaparkan sejarah simbol burung Garuda dari Kerajaan Sintang[2] sebagaimana pernyataan Ade Mohammad Iswadi yang juga disitir Nanang Hidayat dalam buku “Mencari Telur Garuda” sesuatu hal yang menurut penulis menjadi salah satu bagian yang menarik untuk dipaparkan guna meluruskan sejarah perancangan lambang negara dalam kaitannya dengan simbol Garuda dari kerajaaan Sintang:

"Soal Burung Garuda, saya berasal dari Sintang, disana ada kerajaan Sintang, dikabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Keraton kami yang setelah gabung NKRI tak lama diganti dengan nama Museum Dara Juanti, Terkait kisah Garuda, Sultan-sultan Sintang selalu membawa serta Lambang Kerajaan yang juga burung Garuda terbuat dari kayu Ulin untuk pergi kewilayah-wilayah kekuasaannya, burung tersebut juga terdapat pada ukiran gantungan seperangkat Gamelan (terbuat dari kayu jati) salah satu hantaran Patih Lohgender dari Majapahit untuk mengawinkan Putri Dara Juanti dari Sintang.. Dan burung Garuda-Lambang Kerajaan Sintang itu pernah kami bawa pada festival Keraton Nusantara IV di Jogyakarta, tahun 2004.[3]

Adapun Cerita selengkapnya tentang hantaran seperangkat gamelan dan Gong yang diatasnya ada patung burung Garuda dari Majapahit kepada Darajuanti adalah sebagai berikut:[4]

Dara Juanti alias Dewi Juanti adalah seorang Gadis cantik dijamannya, Kecantikannya menyebabkan orang menjulukinya Dewi. Saudaranya lelaki bernama Demong Nutup atau Jubair II. Jubair II merantau kepulau Jawa. Kepergiannya inilah menyebabkan kerajaan Sintang diperintah oleh Dara Juanti, seorang wanita. Dara Juanti rindu akan saudaranya Jubair II yang telah lama merantau ke Jawa tanpa berita. Dara Juanti berencana berangkat ke Jawa hendak menjenguk Jubair II. Dalam perundingan dengan pasukannya, ia harus menyamar seperti seorang lelaki.

Entah bagaimana, berita keberangkatannya sehingga terdengar oleh Jubair II. Tertawannya Jubair II dapat disinyalir Dara Juanti. Konon setiap kapal pendatang, berlabuh kedaerah Mojopahit, pasti menjadi makanan empuk baginya. Selalu jatuh jadi tawanan Mojopahit. Mojopahit mempunyai cara licik, memasukkan setiap pendatang ke dalam perangkap tawanan. Ia selalu memerintahkan kepada petugas khusus, meletakkan kura-kura buatan yang terbuat dari emas. Seekor diletakkan di buritan kapal dan seekor di haluan. Kura-kura ini harus diletakkan diwaktu malam. Diwaktu pagi petugas datang menggeledah kapal pendatang. Dituduh telah mencuri kura-kura emas kepunyaan raja Mojopahit. Bunyi canang bertalu-talu memberi isyarat menangkap anak buah dan seluruh penumpang kapal pendatang.

Berita ini diolah matang-matang oleh Dara Juanti. Kesimpulan diketemukan : "KALAU TELAH MALAM, SELURUH PENUMPANG HARUS BERJAGA-JAGA, BERPURA-PURA TIDUR BILAMANA PETUGAS MOJOPAHIT MELETAKKAN KURA-KURA EMASNYA, SEGERA BANGUN DAN MELEBUR KURA-KURA ITU". Benar rencana yang mantep ini telah dikerjakan dengan saksama. Kura-kura emas itu telah dilebur menjadi emas, alu emas, lesung emas, niru dan tikar emas. Sebentar lagi Canang raja Mojopahit berbunyi, mengundang petugas mencari kura-kura emas. Mereka datang menuju kapal Dara Juanti. Mereka turun dengan berani dan menuduh tegas, tamu telah mencuri kura-kura emas, raja Mojopahit. Dara Juanti menegor: "Kalian harus memanggil raja Mojopahit, kita harus mengadakan janji sebelum kamu mencari kura-kuramu itu". Raja diundang dan datang mengadakan perjanjian.

Dara Juanti berkata : "Jika kamu tidak dapat kura-kuramu itu, haruslah kamu melepaskan seluruh tawanan bagi kami". Setelah itu menyetujui perjanjian lisan ini, mulailah petugas raja Mojopahit mencari dengan napsu. Dari segala penjuru dibongkar satu persatu, tak kunjung sua. Sampai putus asalah seluruh petugas. Tanpa komentar, raja Mojopahit memerintahkan melepaskan segala tawanan. Jubairpun otomatis lepas. Memang itulah tujuan utama Dara Juanti.

Jubair II diundang masuk kejong Dara Juanti. Jubair II tercengang sebentar memandang muka Dara Juanti. Bukankah itu satu roman yang sangat populair baginya? Hanya ia tahu, bahwa roman menjurus ke Dara Juanti, telah membuka rahasia hatinya. Terpaksa Dara Juanti membuka takbir rahasia. Aku inilah Dara Juanti adikmu. Pertemuan yang sangat mesra tergoreslah dalam sejarah kedua kakak beradik yang telah lama terpisah tanpa berita.

Pertemuan mesra bersejarah itu, turut disaksikan seorang pemuda mojopahit, bernama patih Logender atau dalam sejarah Majapahit dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor. Iapun sangat terpesona dengan pertemuan yang mesra menarik hatinya. Raut muka, kembar dengan perlakuan yang manis, telah menggoncangkan rasa ingin berdampingan dengan Dara Juanti. Rombongan Dara Juanti memperpanjang waktu, berfoya-foya, berpesta-pesta beramah tamah dengan penduduk Mojopahit. Gembira dengan lepasnya Jubair II dari tawanan. Kesempatan yang agak lama telah memberikan peluang padat menjalin cinta antara pemuda Mojopahit dengan Dewi Kalimantan Barat.

Kembalinya rombongan Dara Juanti terselip dua orang penting bagi Dara Juanti. Patih Logender yang digelar Pangeran Sabrang Lor bersama abangnya Jubair II turut menuju Kalimantan Barat, untuk mensyahkan perkawinan menurut adat Daya. Perkawinan mudah disyahkan, dengan syarat Patih Logender harus membawa duabelas perinduk (keluarga) sebagai bukti antaran. Patih Logender telah mengusahakannya dan berhasil.

Kedua belas penduduk ini telah dipersembahkan sebagai harta antaran. Mereka telah terdiam dikaki gunung Kelam. Mereka telah berkembang biak, membentuk satu suku yang disebut suku LEBANG NADO. Mereka membawa bibit-bibit tanaman seperti cabe, lada dll.

Keahlian menenunpun masih tetap dikerjakan hingga sekarang ini. mereka pandai menenun kain seperti sumbu lampu, dijadikan pakaian kebaya tahan dipakai untuk bekerja tani. Ia meninggalkan sebuah keris. Disebut orang keris Mojopahit. Sekeping tanah. Juga disebut orang tanah Mojopahit. Sehelai kain cindai disebut Gerising Wayang. Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia. Semuanya masih tersimpan dan diurus oleh Direktorat Kebudayaan Kab. Sintang. Kecuali keris Mojopahit yang bertatah intan, telah diambil Jepang di jaman Jayanya di Indonesia.

Berkaitan dengan pernyatan J.U Lontaan diatas yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia" menurut penulis, adalah kurang tepat, karena Simbol Garuda yang dijadikan simbol kerajaan Sintang yang diserahkan pada Dara Juanti masih menggunakan mitologi Garuda hal ini bisa dilihat pada bentuk kepala Burung Garuda mirip steksa awal yang dibuat Sultan Hamid II, atau lambang negara ciptaan pertama Sultan Hamid II yang diserahkan kepada Panitia lambang Negara tanggal 8 Februari 1950 yang sebenarnya sudah ditolak oleh salah anggota Panitia Lambang Negara, yaitu M Natsir dan diperintahkan kepada Sultan Hamid II untuk disempurnakan pada bagian kepala dan bahu tangan manusia yang memegang perisai Pancasila serta jumlah bulu ekor yang berjumlah 7 (tujuh) helai, kemudian apa perbedaannya, yaitu pada simbol garuda yang dijadikan lambang Kerajaan Sintang tidak ada tangan manusia sebagaimana pada mitologi garuda yang tergambar berbagai candi-candi di Jawa atau seperti gambar-gambar sketsa garuda yang dikirim oleh Ki Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II, oleh karena itu bahan Garuda Lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II hanya digunakan sebagai salah satu bahan pembanding dengan burung Garuda pada sktesa garuda yang berada di candi-candi di Jawa, seperti bahan masukan yang dikirim oleh Ki Hajar Dewantara akhir Januari 1950 kepada Sultan Hamid II, sedangkan setelah tanggal 11 Februari 1950 figur burung yang dijadikan lambang negara tidak lagi menggunakan figur burung garuda dalam mitologi Garuda tetapi burung Elang Rajawali dalam bentuk alamiah atau Sultan Hamid II menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila.

Penjelasan di atas selaras dengan keterangan Sultan Hamid II dalam transkripnya yang ditujukan kepada Solichim Salam 15 April 1967:[5]

"...Saja membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan oleh beliau dari beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang keradjaan Sintang Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk burung Garuda jang berada di candi-candi di Djawa dengan luar Djawa, karena setjara historis keradjaan Sintang masih ada hubunganja dengan keradjaan Madjapahit, seperti dalam "legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan Panglima Burung menjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes" awal Februari 1950. Disamping itu saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna-lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropah dan negara-negara Arab serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung.

Jadi jika ada pernyataan Ade Mohamad Iswadi sebagaimana dikutip oleh Nanang Hidayat dalam Buku Mencari Telur Garuda, 2008 yang menyatakan :

"Kisah lain, Sultan Hamid II dari Pontianak pernah mengusulkan lambang saat penentuan lambang negara Sultan Hamid II sendiri terinspirasi dengan burung Garuda setelah meminjamnya dari Ade Muhammad Djohan sesama anggota Parlemen RI saat itu, yang juga saya panggil kakek berdasarkan silsilah Keraton Sintang.[6]

Pernyataan Ade Mohammad Iswadi di atas, yang bercetak miring di atas merupakan pernyataan yang tidak sesuai dengan transkrip Sultan Hamid II, karena dalam transkrip itu dinyatakan, bahwa "tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang keradjaan Sintang Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk burung Garuda jang berada di candi-candi di Djawa dengan luar Djawa, karena setjara historis keradjaan Sintang masih ada hubunganja dengan keradjaan Madjapahit, seperti dalam "legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender"

Penjelasan Sultan Hamid II di atas, memberikan pemahaman secara sejarah, bahwa bahan simbol Garuda Kerajaan Sintang hanyalah merupakan salah satu bahan dasar dalam hal ini bahan pembanding antara figur burung garuda yang terdapat dalam mitologi garuda di pulau Jawa dengan luar Jawa (Simbol Kerajaan Sintang saat ini menjadi Kabupaten Sintang Kalimantan-Barat), tetapi bukan satu-satunya bahan dasar perancangan lambang negara, karena ada tiga bahan dasar yang digunakan oleh Sultan Hamid II ketika merancang lambang negara, yaitu (1) bahan Garuda yang ada pada candi-candi di Jawa sebagai masukan dari Ki Hajar Dewantara, (2) Simbol Burung Garuda dari berbagai kerajaan salah satunya dari kerajaan Sintang, dan (3) bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja menggunakan burung elang Rajawali atau jang mendekati figur burung Garuda dalam mitologi Bangsa Indonesia.[7]



[1] Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, 1978, halaman 108.

[2] J.U Lontan, Mengenal Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pemda Kalimantan Barat Edisi, 1975, Bumi Restu, Jakarta, halaman 199-202.

[3]Ade Mohammad Iswadi, dalam Nanang Hidayat, Mencai Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2008, halaman 28-29.

[4] .U Lontan, Mengenal Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pemda Kalimantan Barat Edisi, 1975, Bumi Restu, Jakarta, halaman 199-202

[5] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967 sebagaimana disalin oleh Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, Max Yusuf Al-Kadrie, 1 Djuli 1970. halaman 2

[6] Ade Mohammad Iswadi, dalam Nanang R Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2008, halaman 29

[7] Transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967 ibid , halaman 2


»»  Baca Selengkapnya...

MEMORIAM SULTAN HAMID II

Pontianak Post Rabu, 30 Maret 2011 , 08:39:00

In Memorium Sultan Hamid II Oleh A Halim R

12 JULI 1913, tatkala itu zaman Belanda, terlahir seorang putra mahkota, Sultan Muhammad nama Ayahndanya, Sultan Pontianak adalah martabatnya. Putra terlahir Hamid Alkadri, disambut gembira seluruh negeri, tampan rupawan dia punya diri, setelah dewasa bijak bestari. 30 MARET 1978, 33 tahun telah berlalu, takdir Allah sudahlah berlaku, Sultan Hamid II putra bermutu, pulang ke Rahmatullah menuju Yang Satu. Yang Satu itu adalah Al-Ahad, di tangan-Nya semua kodrat-iradat, sejarah diukir bukanlah jahat, penuntun bangsa dan masyarakat.

Putra Indonesia yang bermartabat, Sultan Pontianak yang sangat merakyat, karena permainan politik yang jahat, beliau dihukum dan dijerat. Padahal pikirannya sangat cemerlang, menghargai anak bangsa tidak berbilang, antero Nusantara sama dipandang, beragam etnik pecah dipantang.
Sebagai pejuang anak bangsa, hidupnya lama di dalam penjara, pada zaman Orde Lama, orang pintar banyak terhina. Bukanlah apa penyebab gara-gara, melainkan politik punya sengketa, hukum diberlaku semena-mena, yang tak sepaham masuk penjara. Politik memang barang celaka, sejak zaman dahulu kala, semua cara dihalalkannya, sejarah pun bisa diubahnya. Sejarah bisa diubahnya, perkara kecil dibesar-besarkannya, nama orang bisa dihapuskannya, jasa orang tak lagi dikenangnya.

Tahun 1966, tatkala Orde Baru yang berkuasa, tahanan-hukuman politik dibebaskan semua, Sultan Hamid II termasuk di dalamnya, politikus dan wartawan banyak pula.

Tatkala jasad telah dimakamkan, di Batulayang beliau berdekatan, dengan para keluarga dan sultan, sejarah mulai timbul ke permukaan.
Uun Mahdar seorang mahasiswa, di Universitas Pajajaran dia berada, mulai meneliti dan menyelia, Garuda Pancasila siapa pembuatnya. Ia dibimbing Profesor Soemantri, Bagir Manan sebagai penguji, skripsi diteliti lalu diuji, ia lulus tanpa diragui.

Intelektual muda lain mulai mencungkil, mencari fakta di tebaran kerikil, Turiman mahasiswa UI yang terampil, nak menyusun tesis: demam menggigil. Anak Pontianak yang sederhana ini, mendapat ide dari kawan senegeri, namanya Max Yusuf Alkadri, untuk menulis sejarah lambang RI. Garuda Pancasila siapa tak kenal, lambang negara berfalsafah handal, namun siapa perancang yang original, sosok yang nyata tidak dikenal.

Ada yang bilang Muhammad Yamin, namun keabsahannya tidak terjamin, Basuki Resobowo kata yang lain, namun tak ada pula tukang amin.
Turiman dan Max Yusuf Alkadri, teringat pada Sultan sendiri, fakta awal lalu dicari, kepala menaning tapi keras hati. Bukti dan dokumen lalu disisir, ke museum-arsip dan para pemikir, termasuk ke Mas Agung mereka mampir, muslim Tionghoa ahli zikir. Dari Mas Agung bukti didapat, walau dari dokumen yang sudah terlipat, dari Kerajaan Sintang diperoleh bukti kuat, fakta dan dokumen jadi berkebat-kebat. Bung Hatta menjadi saksi, manusia jujur-bersih-terpuji, dalam tulisan yang tahan uji, beliau bersaksi dan beralibi. Dengan bukti berkebat-kebat, absah sudah perancang garuda didapat, bukan orang jauh dari Gujarat, Sultan Hamid II perancang yang tepat.
Untuk menyusun tesis sejati, perancang Garuda Pancasila yang asli, Turiman perlu dana sepundi, kemana pula duit hendak dicari. Berkomunikasi keduanya dengan sahabat dekat, Redaktur AP Post yang sangat erat, untuk mencari cara yang tepat, Turiman disuruh membuat surat. Surat Pembaca untuk dimuat, isinya mohon bantuan kerabat-sobat, gayung bersambut sangatlah cepat, Yayasan Bhakti Suci siap dan cekat. FX Asali anak negeri, penasihat Yayasan Bhakti Suci, ketua Halim Irejo alias AO diomongi, untuk membantu mahasiswa senegeri. Bhakti Suci bukan cuma untuk orang mati, yang hidup nak buat tesis pun ikut diberi, mendukung marwah negeri sendiri, akhirnya tesis lolos dan tahan uji.

Profesor-Doktor di Universitas Indonesia, mengakui kebenaran paparan yang ada, tiada cacat dan tiada cela, tesis yang hebat sejarah dibuka. Secara akademis kebenaran diakui, Sultan Hamid II perancang lambang RI, pelukis Dullah yang menyempurnai, diperintah Bung Karno penggemar seni. Kata Bhinneka Tunggal Ika, itu Bung Karno yang mereka, inti filosofis yang ada di dalamnya, wajah berbeda satu saudara.

Bertahun tesis Turiman bergema, namun hanya di media Kalbar saja, orang luar seperti memekakkan telinga, ataukah tak mau peduli akan adanya. Hingga pada suatu masa, Nanang R Hidayat nama orangnya, dosen Institut Seni Indonesia Jogja, nak menulis tentang Garuda Pancasila.
Nanang membuka situs Garuda, dan ada di internet dunia maya, di sanalah ia berjumpa, Turiman dan Max Yusuf nama tertera. Kontak-mengontak lalu berjalan, bahkan pertemuan di darat pun diadakan, silarurrahmi dan dialog berbulan-bulan, bak saudara- sahabat saling merindukan. Bagaikan bertemu buku dan ruas, berbagai hal dan kaidah sama dibahas, ide dan fakta terbentang luas, untuk menulis buku tanpa was-was.

Tahun 2008 wujud buku menjadi nyata, dicetak penerbit Nalar di Jakarta, buku diberi judul langka, Mencari Telur Garuda. Nanang R Hidayat bertutur kocak, namun isinya bernas dan pacak, membuka mata semua khalayak, siapa perancang Garuda Pancasila yang bijak. Fakta dan dokumen dirangkai-rangkai, menjadi buku yang sangat bitai, siapapun boleh mengintai, mana yang haq mana yang kulai. Tiada lagi syak wasangka, atas semua fakta yang disodorkannya, hanya manusia yang berhati durjana, tidak mengakui kebenarannya. Buku Mencari Telur Garuda, buku belum ada tolok bandingnya, telah beredar di seluruh Nusantara, pun tiada pula penyanggahnya.

Kini Sang Arif telah berpulang, namun karya baktinya tetap menjulang, walau namanya ditutup orang, negatifnya saja selalu dibilang. Begitulah pengorbanan pahlawan sejati, tak ingin menonjol meninggikan diri, tak diingat orang beliau tak iri, yang penting bakti telah diberi. Bakti bukan untuk mengais rezeki, apalagi untuk mencuri-korupsi, memaknai hidup lebih berarti, rezeki ada di tangan Ilahi. Di dalam bui beliau tabah, berpisah dengan keluarga beliau pasrah, jiwa pun tidak menjadi gundah, beribadah mengingat Allah lebih berfaedah. Kebenaran sejati bukan di mahkamah manusia, sebah manusia makhluk yang leta, hukum bisa diputar-balikkannya, kebenaran hakiki Allah pemutusnya.

Ya Allah Rabbul alamin, barzah-akhiratnya mohon dijamin, limpahkan rahmat bagi si mukmin, semua dosanya mohon ampunin. Ya Allah subhanahu wataala, sejahterakanlah kehidupan barzahnya, permudahkanlah yaumil mahsyarnya, sabas bahagia hari akhiratnya.

Kami mengingat seorang putra bangsa, putra Kalbar yang pernah menderita, nasab dan martabatnya sangat mulia, namun raja hidup di penjara. Putra bangsa anak Kalbar ini, ternyata tokoh nasional sejati, perancang lambang negeri bahari, Indonesiaku-Indonesiamu-tempat kita berdiri.**

Pontianak Post Selasa, 05 April 2011 , 11:16:00

In Memoriam Sultan Hamid II, Sultan Terakhir De Politico di Kesultanan Qadriyah -1-
Sangat Disiplin, Berwawasan Global dan Etika Pergaualan Internasional

Syarif Ibrahim Alqadrie

Permintaan rekan “koeli tinta,” insan LSM, kolega dan mantan mahasiswa agar saya menulis tentang Sultan Hamid II Al-Qadrie, sangat beralasan. Upaya mengungkap kisah seorang tokoh yang pernah punya andil di tingkat lokal, nasional, regional dan global, tidak akan pernah mubazir. Di lain pihak, sejarah sering menjadi produk politik penguasa. Produk semacam itu telah menampilkan sejumlah “tokoh” yang tidak pernah melakukan peran riil apapun dalam sejarah. Mereka ditampilkan dari atas tidak lain hanya untuk kepentingan baik politik etnis, politik perpartaian maupun ekonomi politik dan status quo penguasa.

Jadi, upaya memenuhi permintaan tersebut tidak didasarkan pada motif apapun selain hanya ingin mengungkapkan fakta riil dan obyektif mengenai hubungan sejarah dan politik: ‘sejarah adalah politik pada masa lampau dan politik ialah sejarah masa kini.’ Ini berarti, kalaupun ketokohan seorang putra Indonesia keturunan Arab Alawiyyin kelahiran Kalbar ini tercampakkan dari sejarah, itu berarti ada sesuatu yang keliru dalam politik masa lalu. Ini juga mengingatkan kita bahwa kebijakan yang keliru semacam itu jangan pernah terulang, karena ia akan menjadi sejarah kelam bangsa ini.

Ketidakhadiran dan Panceklik

Hamid Al-Qadrie lahir di Pontianak 12 Juli 1913 dari seorang ayah, Sultan Muhammad Al-Qadrie, keturunan Melayu-Dayak-Bugis-Arab Alawiyyin dan Ibu keturunan Turki. Ia wafat 30 Maret 1978 di Jakarta pukul 18.15 setelah melaksanakan shalat Maghrib.

Seandainya masih hidup, Hamid sudah akan berumur 97 tahun 8 bulan 25 hari. Sampai saat ini, hari wafatnya telah berlangsung 33 tahun 33 hari. Setiap tahun, hari kelahiran dan wafatnya diperingati di Kesultanan Qadriyah. Artikel ini bermaksud dan boleh dianggap memperingati dua masa bersejarah itu. Namun, isinya lebih dimaknai oleh rekan-rekan saya sebagai perwujudan baik dari kondisi ketidakhadiran (absence) atau panceklik hadirnya para pemimpin besar di Indonesia selama 43 tahun sejak ORBA maupun dari krisis kepercayaan rakyat terhadap mereka.

Kehilangan Satu Generasi Pemimpin

Rakyat Indonesia, terutama di Kal Bar haus dan rindu akan dan mendambakan hadirnya pemimpin-pemimpin besar sekaliber antara lain Multatuli, Soekarno, Mohammad Hatta, A. H. Nasution dan Hamid Al-Qadrie yang ide politik mereka merakyat dan banyak berbicara di tingkat nasional dan internasional. Setelah Hamid, memang banyak pemimpin-pemimpin formal dan informal datang silih berganti mengisi jabatan kosong, karena Kalbar kehilangan satu generasi pemimpin. Peristiwa Mandor 1943 dengan Balatentara Kempitai Jepang memegang peran kunci menyebabkan Kalbar mengalami musibah kepemimpinan.

Rakyat Kalbar pantas berterima kasih kepada para pemimpin yang telah datang atau didatangkannya (dropped) dan telah menggerakkan roda pemerintahan. Namun, Kalbar perlu waktu untuk memperoleh banyak manfaat dari mereka karena berbagai alasan: mereka kurang mengenal Kalbar dan budayanya, lamanya masa tugas sangat terbatas, sering dialihtugaskan (rolling of duty) ketempat lain, komitmen dan tanggung jawab mereka lebih pada instansi yang mendatangkan mereka ketimbang pada rakyat dan daerah Kalbar.

Karena itulah, pembangunan di daerah ini telah sedang berjalan sangat lamban bagai sebuah “becak yang bannya bocor,” sedangkan percepatan (acceleration) pembangunan di daerah lain terutama Jakarta, seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Bali berjalan bagaikan “sepeda motor balap 250 cc.” Selain itu, ketidakberuntungan Kalbar dari kehilangan satu generasi pemimpin juga dirasakan dalam segi sosial ekonomi: hancurnya lingkungan alam dan sosial, proses pengundulan hutan sangat cepat, ketidakpedulian, moralitas, penataan kota dan lingkungan yang menimbulkan krisis identitas. ]

Figur Konkrit

Dalam kondisi suram seperti itu, masyarakat Kalbar melihat ke belakang pada apa yang telah dilakukan oleh Hamid Al-Qadrie untuk menempatkan Kalbar sederajad dengan daerah dan bangsa lain. Mereka menginginkan lahir dan munculnya figur-figur pemimpin dan tokoh bertaraf nasional dan internasional dan memiliki gagasan, pemikiran dan obsesi besar, dan integritas tinggi, dalam bentuk konkrit bukan dalam bentuk messiah yang “turun dari langit” sebagaimana diharapkan oleh aliran mesianisme, seperti Imam Mahdi dalam masyarakat Syiah, Ratu Adil pada masyarakat pedalaman Jawa dan “messiah” yang konkrit dalam masyarakat Dayak (Alqadrie, 1994). Figur semacam itu diharapkan muncul di Kalbar dari generasi penerus: pemikir-pemikir yang memiliki obsesi besar, pekerja keras, jujur dan konsisten.

Putera Kalbar yang satu ini berpendidikan sangat baik. Ia secara pribadi dididik oleh seorang wanita Inggris dan menguasai dua bahasa asing secara aktif, Inggris dan Prancis. Begitu menyelesaikan Sekolah Lanjutan Pertama, Hamid muda telah menguasai dua bahasa asing lainnya: Belanda dan Jerman. Ia dapat mengelola waktu dan pekerja keras, memiliki disiplin sangat baik, wawasan global dan etika pergaualan internasional. Karena menerima pendidikan Barat dan Timur, ia berhasil menggabungkan dua dunia: global dan lokal, sehingga ia mampu berfikir global dan berhati lokal. Ini ditunjukkannya ketika berada di lingkungan keluarganya, ia makan dengan menggunakan tangan dan bermain dengan kawan-kawan sebayanya, tetapi ia menyukai kebersihan dan menghargai perbedaan. (Penulis dosen FISIPOL UNTAN, Profesor tamu di Kyoto University, Jepang & NIAS, Copenhagen, Denmark)

Pontianak Post Rabu, 06 April 2011

Ajudan Ratu Weheilmina; Orang Indonesia Pertama dan Terakhir
In Memoriam Sultan Hamid II Al-Qadrie, Sultan Terakhir De Politico di Kesultanan Qadriyah -2-

SETELAH menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, Sultan Hamid II yang wafat pada 30 Maret 1978 (bukan 3 Maret 1978 seperti tulisan kemarin) meneruskan ke Akademi Militer Breda, Den Haque, Belanda. Di sini ia tidak hanya memiliki keahlian teori dan praktek dalam kemiliteran, tetapi juga meningkatkan penguasaannya dalam bidang politik dan Bahasa Spanyol. Setelah menyelesaikan pendidikan di Breda, Hamid Al-Qadrie diangkat menjadi Letnan II pada Angkatan Darat Belanda dalam umur 22 tahun. Dalam usia 28 tahun ia diangkat sebagai salah seorang Ajudan Ratu Belanda, Weheilmina. Ketika berumur 33 tahun ia dipromosikan sebagai Mayor Jenderal (Mayjen) dalam Kesatuan Militer Belanda. Dengan prestasi tersebut, Hamid Al-Qadrie merupakan orang Indonesia --kelahiran KalBar-- pertama dan terakhir yang menjadi Ajudan Kepala Negara di Eropa termuda, dan menguasai 5 (lima) bahasa Asing! Tampaknya, hanya Soekarno, mantan Presiden I RI, adalah satu-satunya orang Indonesia yang menyamainya dalam menguasai bahasa asing.

Penghargaan pemerintahan asing kepada Hamid Al-Qadrie menunjukkan bahwa ia memiliki otak cemerlang dan wawasan akademis yang tinggi. Ia juga memiliki gagasan-gagasan, ide dan pemikiran sosial politik yang popular dan menembus waktu dan tempat (universal).

Karir militernya diikuti pula dalam bidang politik luar negeri. Dengan persetujuan dari tiga pihak: Belanda, Negara Bagian dan Republik Indonesia (RI), ia diangkat menjadi ketua Badan Penyelesaian Pertentangan Politik antara tiga pihak di atas (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO). Karena itu, ia sering mengikuti konferensi di dalam dan di luar negeri mewakili Kalbar, BFO dan Republik Indonesia (RI) atas nama Soekarno-Hatta.

Keberpihakan dan Pengaruh

Paling kurang tiga kali Soekarno-Hatta mengadakan perundingan dengan BFO yaitu 28/5-1948 di Bangka, 19/7-1948 dan 23 Juli-1948 di Yogyakarta untuk mengadakan kesepakatan sebelum RI, Negara-Negara Bagian dan BFO, menghadapi Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haq. Dalam strategi mempersatukan ketiga unsur tersebut menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Soekarno-Hatta sering merangkul Hamid Al-Qadrie bersama BFO untuk melunakkan hati para pemimpin Negara Federal dalam mendukung strategi itu. Dalam hal ini, Hamid sering berada di pihak RI dan mendukung Soekarno-Hatta.

Pada kenyataannya, Hamid memiliki pengaruh besar terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia dan terhadap unsur yang ada di Negara-Negara Federal dan di BFO. Dalam beberapa kegiatan konferensi seperti KMB dan perundingan lainnya terutama dalam menciptakan NKRI, Hamid ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia. Pengaruh dan kedudukan strategis itu digunakannya untuk memperlancar proses penggabungan RI, negara-negara bagian dan BFO ke dalam NKRI. Akhirnya kerja keras itu membuahkan NKRI.

Bahwa peranan Hamid Al-Qadrie dengan BFO-nya sangat besar dalam penyelesaian kemelut politik antara Belanda, RI, Negara-Negara Bagian, dan proses pembentukan NKRI, sudah tercatat dalam catatan peneliti netral (Prasaja, 1950) dan tidak diragukan lagi. Namun, Jakarta tidak pernah mau melihat apa yang terbaik yang sudah ia lakukan sebagai seorang warga negara. Hamid sampai sekarang terlupakan hanya karena barangkali ia berasal dari “semberang” (non-main land). Pandangan Pemerintah Pusat (PemPus) juga menjadi “kabur,” hanya karena ia pernah melotarkan ide demokratisnya tentang Daerah Istimewa Kalbar yang sekarang sangat dikenal dan didambakan semua daerah luar Jawa: Daerah Otonomi Khusus.
Hamid memang pernah menjadi salah seorang arsitek terbentuknya Negara Federasi/ Negara Indonesia Serikat (United States of Republik of Indonesia). Di dalam bentuk negara seperti itu, antara lain Amerika Serikat (AS), India dan Malaysia, tiap daerah provinsi yang menjadi negara bagian, tidak tergantung PemPus (Negara Federal), bertanggung jawab, berwewenang dan berhak penuh dalam mengambil kebijakan, dan mengimplementasikannya, untuk kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan bagi negara bagian masing-masing dan sekaligus bagi negara federal yang menaungi mereka. Teori Federalisme yang didasari oleh paradigma humanisme dan demokratis menekankan bahwa Negara Federal Pusat akan menjadi besar dan kuat karena kekuatan dan kebesaran negara-negara bagian yang ditunjang oleh kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.

Tercetusnya ide besar itu dilandasi prediksi keilmiahannya tentang ketidakadilan yang cenderung dihadapi oleh setiap rakyat yang berada di luar lingkaran kekuasaan dan etnisitas, khususnya dari pemerintah pusat. Namun, ia berkaitan pula dengan keserakahan yang cenderung timbul dari mereka yang tidak mau memahami hak dan kewajiban hakiki dalam kemajemukan bangsa. Tanpa batas-batas wewenang yang tegas dalam pengaturan dan pembagian kekuasaan antara Pusat dan bagian-bagiannya, apa yang akan terjadi ialah bukan hanya sekedar otonomi “belas kasihan,” diskriminasi, tetapi juga akan berubah menjadi kolonialisme interen.(Penulis dosen FISIPOL UNTAN, Profesor tamu di Kyoto University,Jepang &NIAS, Copenhagen, Denmark)

Pontianak Post Kamis, 07 April 2011 , 10:17:00

Strategi Politiknya: Federalisme & Otonomi Khusus
In Memoriam Sultan Hamid II Al-Qadrie, Sultan Terakhir De Politico di Kesultanan Qadriyah -3-

HAMID Al-Qadrie percaya bahwa ide yang sudah lama dimimpikannya itu tidak mungkin bisa terwujud dalam kenyataannya karena negara serikat tidak relevan lagi dengan cita-cita kemerdekaan dan persatuan yang ia juga terlibat di dalamnya. Atas dasar itu, ia dengan kesadaran penuh mengubah strategi politiknya dari negara federal/serikat, pada mana Kalbar sebagai salah satu negara bagian, menjadi Daerah Otonomi Khusus, yang sekarang telah dimiliki oleh Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.

Dengan perubahan ide dan sikap politiknya pemerintah pusat sudah seharusnya menghilangkan kesalahfahaman dan kecurigaan mengenai apa yang disebut sebagai “cacat sejarah” berkaitan dengan ide federalism sebagai prinsip politik Hamid Al-Qadrie yang kemudian mengalami perubahan. Kesalahfahaman dan kecurigaan yang berubah menjadi tuduhan “penghianatan” berujung pada peristiwa Sultan Hamid II yang menyebabkan ia divonis 10 tahun penjara.

Bahwa predikat “pengkhianatan” terhadap dirinya dilandasi juga oleh tingkah pola anak buahnya, Westerling –perwira pertama KNIL-- yang melakukan aksi makar dan kekerasan di beberapa tempat seperti di Bandung, Makassar dan Jakarta, tampaknya “dapat difahami.” Sebagai atasan langsung, Hamid memang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam sistem komando terhadap apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Namun, kenyataannya, Hamid Al-Qadrie, tidak dapat dan tidak juga mampu melakukan kontrol langsung terhadap Westerling dan pasukannya. Pada saat peristiwa itu berlangsung, selama 4,5 tahun, ia berada di Pontianak memenuhi permintaan rakyatnya baik untuk memimpin Kalbar sebagai Kepala Swapraja (daerah otonom sekarang) maupun untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya di Kesultanann Qadriyah. Permintaan agar Hamid Al-Qadrie pulang dan sekaligus untuk mengisi kekosongan kepemimpin di Kalbar berasal tidak saja dari keluarga besar Istana, Puak Melayu dan anggota berbagai kelompok etnis, tetapi juga dari sebagian terbesar anggota kelompok etnis Dayak KalBar. Mereka diwakili oleh “pasukan rakyat” Dayak lengkap datang dari berbagai kawasan pedalaman dipimpin oleh Panglima Burung yang turun gunung dan keluar dari belantara untuk meminta agar Hamid Al-Qadrie pulang dan memimpin Kalbar.

Malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Kepulangannya ke daerahnya sendiri didramatisir. Hamid diisukan bahwa ia akan “menggerakkan” massa dan “mengkoordinasikan” pembentukan negara boneka Belanda dan mengadakan “perlawanan” terhadap pemerintah pusat. Dengan isu tersebut, banyak kalangan menjadi salah pengertian tentang misinya membangun dan meningkatkan marwah (dignity) rakyat Kalbar. Sebagai akibatnya, ia mendapat penentangan dan perlawanan tidak saja di Jakarta tetapi juga dari sejumlah pemuda dan tokoh di daerahnya sendiri yang terprovokasi dengan fakta yang dibelokkan.

Sultan Hamid II didemo secara besar-besaran, dicerca dan ditentang karena ia dianggap sebagai “pengkhianat, pemberontak” dan akan “ menghancurkan” NKRI. Ini merupakan konsekuensi negatif dari kesenjangan wawasan, pengetahuan dan pemikiran antara ia dan sejumlah pengikutnya dengan sejumlah besar penentangnya. Sampai sekarang diaspora non- fisik seperti ini masih sering terjadi baik antara sesama Melayu maupun antar kelompok etnis di Kalbar.

Tiga Kekeliruan

Ada tiga “kekeliruan” yang mungkin dilakukan Sultan Hamid II. Pertama, dengan beraninya ia mengungkapkan wacana tentang federalisme, walaupun kemudian telah diubahnya dengan Daerah Istimewa atau Otonomi Khusus (special autonomy). Padahal situasi belum memungkinkan: orang-orang belum faham benar tentang ketidakadilan dan keserakahan di dalam negeri sendiri. Ternyata gagasan politiknya baru dapat direalisasikan setelah bangsa ini merdeka 65 tahun, bahkan setelah bebas dari belenggu autoritarisme selama 32 tahun (Alqadrie, 2009: Bab II). Dapat dibayangkan apa yang pasti akan diterimanya dengan gagasan besar seperti itu dalam era jauh sebelum reformasi?
“Kekeliruannya” kedua: ia dibesarkan secara Barat; berpendidikan Barat; lulusan Akademi Militer Belanda, juga Barat; bekerja dalam lingkungan Barat; memperoleh pangkat dari Barat; diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda, juga Barat; dan berasal dari keturunan bukan “asli” tetapi blasteran Arab Alawiyyin, Turki, keturunan Dayak, Melayu, Bugis dan Banjar. Ini mungkin menyebabkan gagasan politiknya dianggap “aneh” dan “rada ngeyel.” Karena itu juga, barangkali ia hanya diangkat sebagai Menteri Negara tanpa Departement (without/zonder fortofolio) yang --disebut oleh ponakan-ponakannya sebagai Menteri “tadak begune”-- hanya diserahi tugas menyiapkan gedung dan ruangan parlemen untuk rapat dan merancang serta menyelesaikan lambang Negara (Garuda Pancasila) [Persaja, 1950). Tidak ada tugas lain!

Kekeliruan ketiga adalah penolakannya terhadap komposisi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang akan dibentuk. Komposisi itu terdiri hanya dari unsur TNI dari luar Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, bukan dari kesatuan lain termasuk dari Kalbar berdasarkan kesepakatan hasil Konferensi Antar Indonesia dan KMB. Atas dasar kesepakatan itu, komposisi APRIS seharusnya terdiri dari kesatuan mantan TNI sebagai kekuatan inti, mantan KNIL, mantan kesatuan Negara Bagian dan Kesatuan dari Kalbar. Untuk ini, Hamid sudah mempersiapkan satu kompi dari anggota kelompok etnis Dayak Kalbar (Rachman, 2000). Namun, gagasannya tentang pembauran di tubuh Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia tidak dipenuhi. Bahkan, ia dicurigai akan memperlemah Militer Indonesia. Padahal, apa yang ia rencanakan merupakan perwujudan dari keberagaman (pluralism) dengan karakter multikultural –menerima dan menghormati perbedaan. Ia juga berpandangan sama terhadap kelompok etnis Tionghoa di Kalbar. Dimulai dari pendiri pertama Kesultanan Qadriyah, diikuti oleh pelanjutnya, dengan karakter multikultural Sultan Hamid II merangkul kelompok ini menjadi salah satu pillar kekuatan sosial ekonomi Kalbar. Kebijakan ini tidak saja mampu mendekatkan mereka dari saudara-saudara mereka, kelompok etnis Indonesia lainnya, tetapi juga menjauhkan mereka agar tidak menjadi korban dari kebijakan devide et empera Belanda

Ketokohan Sultan Hamid II teruji ketika ia menerima “kebijakan” pemerintah pusat yang jauh dari keadilan dan dilandasi oleh politik etnis yang diskriminatif. Pemerintah pusat sampai sekarang menutup mata atas fakta dan kebenaran tentang siapa pengagas, perancang, pencipta dan pembuat jadi Lambang Burung Garuda Pancasila (Turiman, 2000). Bahkan, dengan teganya pemerintah pusat menetapkan M. Yamin sebagai “penciptanya”.

Kebohongan publik dapat diciptakan, tetapi publik yang arif tidak bisa dibohongi.
Peristiwa Sultan Hamid II membuat kita makfum bahwa ‘perlakuan tidak adil yang Hamid Al-Qadrie terima merupakan harga dari kejujuran dan keberanian untuk kepentingan orang lain. Semoga ini tidak lagi menjadi ciri utama Indonesia dan Kalbar pada khususnya. Amien. (Penulis dosen FISIPOL UNTAN, Profesor tamu di Kyoto University,Jepang & NIAS,Copenhagen, Denmark)

SULTAN HAMID II ALQADRIE

Diposkan oleh Tuan Besar Pontianak di 19:49 Selasa, 14 September 2010

Sultan Hamid II atau Syarif Hamid Algadrie II adalah salah seorang putra Syarif Mohammad sultan terdahulu Pontianak. Hamid dilahirkan di Pontianak 12 Juli 1913 bersamaan 7 Syaban 1331. Ia jelas satu garis keturunan dengan pendiri Pontianak, Abdurrahman Algadrie, yang menjadi sultan pertama Pontianak pada 1771. Leluhurnya itulah yang pada 1779 dipaksa kolonial Belanda memberikan hak monopoli dalam kontrak dagang dengan VOC. Hamid lahir sebagai putra sulung Sultan Syarif Muhammad Algadrie dari istri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani, seorang perempuan berdarah Turki.

Setelah tamat ELS Hamid melanjutkan di HBS, lalu Techniche Hoge School (THS) Bandung (Institut Teknologi Bandung belakangan). Saat masih kanak-kanak Hamid diasuh pengasuh bangsa Belanda. Itu sejak usia 40 hari, Hamid kecil diangkat anak oleh Miss Fox. Saat berusia 7 tahun, ia diajak ke Jakarta oleh ibu angkatnya itu. Ia mulai belajar di sekolah rendah, lalu HBS V di Malang. Di THS, Bandung, Hamid tidak sampai tamat. Sesudah itu ia pergi ke Negeri Belanda dan masuk Koninklijk Militaire Academie di Breda, Belanda. Pada tahun 1938 ia berpangkat Letnan Dua. Pada tahun 1939 naik menjadi Letnan Satu. Pada saat Perang Dunia mulai tahun 1941, ia ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan.

Hamid menikah dengan bekas temannya di Malang, Marie van Delden, anak Kapten van Delden. Marie kelak lebih dikenal sebagai Didie Algadrie. Didie memberi Hamid dua anak, Syarifah Zohra (Edith Hamid) dan Sayid Yusuf (Max Hamid). Hamid menjadi anggota KNIL dan diangkat sebagai ajudan pribadi Ratu Wilhelmina dengan pangkat Jenderal Mayor.

Hamid yang pernah diasuh wanita Eropa itu, tidak heran kehidupan model barat dianut olehnya. Dia masuk KMA Breda dan menjadi adik kelas Didi Kartasasmita. Lulus dari KMA tahun 1938, Hamid menjadi Letnan Dua KNIL. Setahun kemudian, pangkatnya naik menjadi Letnan Satu sampai meletusnya Perang Dunia II. Sebelum Jepang mendarat, Hamid ikut bertempur dengan Jepang di Balikpapan. Dia termasuk beruntung. Ketika Jepang berhasil merebut Balikpapan, dia lolos dari kekejaman Jepang di sana. Sebuah pantai dekat pelabuhan Semayang di Balikpapan, serdadu Jepang membunuh banyak serdadu KNIL di pantai ini.

Bulan September 1945, Hamid menjadi penasihat politik pemerintah Hindia Belanda, di mana pada masa itu dia merangkap jabatan istimewa dari pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai ajudan istimewa Ratu Belanda. Di saat berlakunya sistem swapraja, Hamid yang berasal dari golongan faodal Pontianak diangkat sebagai Kepala Daerah Swapraja Pontianak. Pada masa revolusi, Sultan Hamid sempat menjadi Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federale Orvleg: Majelis Permusyawaratan Negara Federal). Dalam BFO ini terdapat negara-negara boneka yang diciptakan dan didukung Belanda selama revolusi kemerdekaan Indonesia.

Sebagai Ketua BFO, Hamid ikut dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam proses penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, sebagai Ketua BFO, Hamid menjadi anggota delegasi Indonesia untuk KMB. Dalam dinas militer KNIL, pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Mayor Tituler beberapa waktu sebelum penyerahan kedaulatan, di Indonesia. Setelah itu, Hamid diberi jabatan Menteri Negara tanpa portofolio. Sebagai Menteri Negara antara lain mengurusi pembuatan lambang negara. Dalam masa kerja singkatnya, Hamid berhasil menciptakan burung garuda sebagai lambang negara Republik Indonesia.

Sebagai putra bangsawan pewaris tahta kesultanan Pontianak, Hamid bisa bersekolah di sekolah elit Belanda dan bergaul dengan anak-anak pembesar pribumi pada masa kolonial Hindia Belanda. Semasa sekolah di Yogyakarta, Hamid berteman dengan Dorojatun (kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono IX). Dalam pergaulannya dengan bangsa Eropa, Hamid dikenal dengan nama Max. hamid menyukai musik Jazz.

Pada tahun 1944, ayahnya ditangkap dan dibunuh tentara Jepang bersama anak lelaki dan menantunya. Hamid saat itu dibawa ke Jawa sebagai tawanan Jepang. Oleh pemerintah Belanda, sejak tahun itu, Hamid diangkat sebagai sultan Pontianak. Namun ia baru bisa kembali ke Pontianak pada Oktober 1945 bersama tentara NICA, setelah Jepang menyerah. Ia menjadi sultan menggantikan Thaha Algadrie, yang diangkat oleh Jepang antar-waktu.

Secara pribadi, Hamid kurang dikenal masyarakat Pontianak, tetapi sebagai sultan, ia sangat ditaati dan dicintai oleh warga suku Dayak. Sebagai sultan, ia berusaha memajukan wilayahnya. Misalnya, ia berupaya mendirikan sekolah dan memberi beasiswa kepada yang akan melanjutkan pendidikannya. Dengan bantuan Belanda, ia mendirikan Dewan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang ditentang oleh kalangan pergerakan nasional. Ia mengangkat Kapten van der Meyde sebagai Pangeran Paku Alam.

FEODAL YANG BERKEPRIBADIAN

Pribadi Hamid dianggap sulit dipahami. Suatu saat ia pernah mengatakan, “Aku sudah bersumpah biar bagaimanapun terjadinya, tetap setia pada Koningin Wilhelmina!”. Tetapi ketika berbicara di depan sejumlah serdadu KNIL dan Indo-Belanda di Societeit La Bella Aliance, ia membujuk mereka untuk tidak pergi ke Nieuw Guinea (Irian Barat). “Kamu toh bukan Belanda 100 persen, maka sebaiknya tinggal di Indonesia. Di Nieuw Guinea kamu nanti hanya akan dipandang sebagai Belanda setengah-setengah saja dan tidak akan mendapat penghargaan yang sama”.

Sebuah catatan menjelaskan, pada 31 Mei 1938, Hamid alias Max melangsungkan pernikahan di Malang dengan wanita Belanda kelahiran Surabaya 5 Januari 1915, Dina (Didi) van Delden. Dari pernikahan ini mempunyai dua anak, Syarifah Zahra Algadrie atau Edith Dinise Corry Algadrie lahir 26 Februari 1939 di Malang dan Syarif Yusuf Algadrie atau Max Nico Algadrie lahir 19 Januari 1942 di Malang. Di kemudian hari, Hamid menikah lagi dengan Reni seorang perempuan dari Yogyakarta.

Hamid setelah dibebaskan sebagai tawanan Jepang di Jakarta, selanjutnya diutus Letnan Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook—langkah politiknya berusaha menguasai daerah-daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kalimantan dan Timur Besar melalui federasi—ke Pontianak. Mook memerintahkan Hamid—perwira aktif KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger)—telah dipandang memahami dan menguasai Kalimantan Barat. Setelah tiba di Pontianak, Hamid disambut oleh keponakannya Sultan Syarif Thaha Algadrie. Dalam pertemuan keduanya, Hamid keheranan dan kaget mengetahui Thaha sebagai Sultan Pontianak dalam usia 18 tahun. Hamid mengusulkan kepada Thaha untuk mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan sultan kepada dirinya, alasan Hamid didasarkan bahwa Thaha terlalu masih muda untuk menghadapi situasi pergolakan dan keamanan di Pontianak.

Sehari sejak berkuasanya pemerintah sipil NICA, pada 23 Oktober 1945, pemerintah Belanda mengeluarkan pengumuman bertujuan untuk mengangkat Hamid sebagai Sultan Pontianak. Dalam masa sulit, Thaha menyerahkan tahta Kerajaan Pontianak kepada pamannya, Hamid—selanjutnya dikenal Sultan Hamid II—sebagai sultan Pontianak. Thaha adalah sultan tersingkat dan termuda dalam perjalanan sejarah Kerajaan Pontianak, selanjutnya kembali melanjutkan pendidikannya di Pontianak. Pada 29 Oktober 1945 Sultan Hamid II dinobatkan secara resmi sebagai Sultan Pontianak melalui upacara oleh pemerintah NICA. Selain sebagai Sultan Pontianak, Hamid II atas nama pemerintah Belanda diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij HM Koningen der Nederlander) dan Wali Negara Kalimantan Barat.

Dalam pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat, Hamid II ditunjuk sebagai anggota penyusun kabinet. Dalam Kabinet RIS pimpinan Hatta, Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio. Setelah penyerahan kedaulatan dan pengakuan Belanda terhadap RIS 27 Desember 1949, Hamid menghadapi berbagai kekecewaan dalam pembentukan RIS.Kekecewaan pertama karena Hamid II hanya diberi jabatan Menteri Negara tanpa fortofolio. Ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan menyusunan rencana lambang negara. Sampai dirinya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada tugas lain padanya.

SEJARAH BURAM

Sejarah buram Sultan Hamid II pada 24 Januari 1950 betul-betul dikendalikan oleh pikiran yang tak dapat dipandang rasional. Setelah memarahi Westerling secara kasar, masih dalam suasana emosi, kecewa, pedih dan amarah, ia memerintahkan Westerling dan Inspiktur Polisi Nayoan dengan pasukannya untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS di Pejambon Jakarta. Rencana dan perintah emosional ini yang tumbuh seketika sebagai puncak kekecewaan Hamid terhadap keadaan negara yang dihadapinya. Keinginannya untuk menjadi Menteri Pertahanan supaya dapat memimpin kemiliteran dalam upayanya mempertahankan negara federal. Akan tetapi diakuinya setelah agak tenang sesudah mandi insyaflah dirinya akan perbuatan itu tidak patut pada dirinya.

Atas berbagai peristiwa yang telah melibatkan dirinya itu, sidang Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan pada 18 April 1953, Sultan Hamid II divonis 10 tahun penjara dipotong selama berada dalam tahanan. Keputusan ini diterima Hamid dan kemudian mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno, namun ditolak. Hamid menjalani hukuman itu dengan tenang dan baik. Setelah menyelesaikan hukuman yang dijalaninya di rumah tahanan di Jakarta dan Yogyakarta, Hamid II yang telah pensiun sebagai Jenderal Mayor KNIL, mantan kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mantan Menteri Negara RIS serta sultan terakhir Pontianak hidup tenang bersama keluarganya. Sejak 1967 hingga akhir hayatnya selaku Presiden Komisaris PT indonesia Air Transport.

Wacana pemikiran Hamid berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi atau negara serikat. Hamid berpandangan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari pusat di Jawa, dan kekecewaan daerah, tak terkecuali Kalimantan Barat yang dipimpinnya, disebabkan justru bangsanya terlalu takut dengan sistem pemerintahan federasi yang dinilainya lebih mampu memakmurkan dan sistem yang mengandung keadilan sebagai suatu sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa.

Kekeliruan Hamid boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide atau pemikiran politik walalupun masih dalam wacana ketika itu. Wacana itu digulirkan ketika bangsa Indonesia baru saja selesai mengalami trauma diperbudak bangsa lain. Kekeliruan lainnya mungkin terletak pada beberapa hal. Pertama, kekuasaannya sebagai sultan di Pontianak didukung oleh Belanda, kedua, Hamid aktif memperjuangkan gagasannya bekerjasama dengan negara-negara bagian lainnya di Indonesia sehingga ia sering dicurigai sebagai pengkhianat bangsa, ketiga, ia sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalimantan Barat, RIS maupun Bijeenkomst voor federal Overleg (BFO) yang dirinya selaku ketua, dan keempat, kekecewaan Hamid lainnya adalah realisasi bentuk Negara RIS tidak seperti diharapkan BFO, ketidakberhasilannya menduduki jabatan Menteri Pertahanan padahal reputasi dan karir militernya terpenuhi untuk itu. Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI di dalam APRIS

Politik nasional berkenaan dengan politik lokal di Kalimantan Barat yang berkaitan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi terutama persepsi berkenaan dengan hubungan segitiga antara pewaris terakhir Kesultanan Pontianak dengan pemerintah Republik Indonesia awal kemerdekaan dan dengan pemerintah Belanda.

Di satu pihak Hamid dinilai miring yang dianggap telah menghianati Republik Indonesia karena ide federasinya, di lain pihak ia dianggap sebagai figur berpikiran cemerlang ke depan, dengan gagasan besarnya akan pentingnya harkat dan martabat manusia—human dignity—dan hak-hak asasi manusia—human basic rights—di dalam setiap struktur bangunan negara dibanding dengan bangunan negara itu sendiri, yaitu ide tentang yang sekarang dikenal sebagai otonomi daerah—regional autonomy—dan otonomi khusus—special autonomy—yang telah dan akan terus diperjuangkan secara universal. Ide besar yang cemerlang itu ternyata tidak atau kurang dapat dipahami sejak dicetuskannya proklamasi kemerdekaan.

Karena pemahaman miring dan pengingkaran terhadap ide kemanusiaan seperti itu, Hamid II dituduh sebagai seorang penghianat bangsa dan dijebloskan ke dalam penjara selama 10 tahun. Padahal ia hanya mengingini bahwa daerah Kalimantan Barat yang dibangun oleh para kesultanan yang juga mengalami penderitaan yang sama di bawah kekuasaan kolonial Belanda, bahkan lebih sangat menderita di bawah kekuasaan fasis militer Jepang. Itulah salah satu kerangka alasan mengapa Hamid meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, di samping ia dipenjara 10 tahun. Hamid telah membayar mahal ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen dan atas kesenjangan pemikiran dan wawasan antara dirinya dan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri pada masanya.


Hamid II wafat di Jakarta, 30 Maret 1978 sekitar dua belas tahun setelah bebas dari kurungan rezim Orde Lama Soekarno. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran Kerajaan Pontianak di pemakaman Batu Layang Pontianak. Sultan Pontianak ini wafat tanpa menunjuk pengganti. Akibatnya mata rantai dinasti ini putus sampai di situ. Bahkan putra Hamid yang bermukim di Belanda, tak merasa otomatis bisa menggantikan sang ayah. Karya besar pribadinya ialah sebagai perancang dan pembuat Lambang Garuda Pancasila, lambang Bhinneka Tunggal Ika.

»»  Baca Selengkapnya...