Kamis, 19 Mei 2011

SOSIALISASI UNDANG-UNDANG KETERBUKAAN

BAGAIMANA MENYIKAPI PEMBERLAKUAN UU NO 14 TAHUN 2008 DALAM ERA PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE ?

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Mengapa Perlunya UU Keterbukaan Informasi Publik ?

1. Sebagai Negara Hukum tentunya Indonesia memiliki Paradigma yang membumi sebagai kerangka teori dasar yang membumi (Grounded Theory) dan telah dinormatifkan baik secara konstitusional maupun dalam Undang-Undang seperti pada Pasal 2 UU No 10 TAHUN 2004 Tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2 menyatakan: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap MATERI MUATAN Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA. Paradigma Inilah yang menjadi tantangan ilmuwan hukum dan para Legal Draf serta para Yuris pada masa kini dan ke depan, khususnya ilmuwan Indonesia dan suka tidak suka pembentukan dan pengembangan serta penegakkan hukum harus berparadigma hukum Indonesia yang berbasis murni dari paradigma Ideologis Pancasila, oleh karena itu ketika memperoleh atas informasi dan pelayanan publik yang adil bagi rakyat atas dasar prinsip Good Governance dan Clean Goverment adalah perwujudan nyata dari sila kelima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

2. Yang dimaksud Teori Membumi (Grounded Theory) adalah teori yang dibangun atas dasar proposisi Ilmiah yang bersumber pada proposisi Ilahiah, mengapa ? karena Patut disadari,bahwa “Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik” (Pertimbangan UU KIP No 14 Tahun 2008)

Apakah hak memperoleh Informasi adalah Hak Konstitusional ?

3. Pasal 28F UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Untuk itu diperlukan jaminan bagi semua orang dalam memperoleh Informasi. Hal tersebut diperlukan, karena hak atas Informasi sangatlah penting mengingat penyelenggaraan negara memang perlu untuk diawasi publik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berhubungan juga dengan partisipasi atau pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.

4. Setelah melalui sekitar sembilan tahun proses pembahasan, akhirnya masyarakat mendapat jaminan hak atas informasi dengan disetujuinya keberadaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dalam Rapat Paripurna DPR, 3 April 2008.

5. Keberadaan undang-undang ini sangat penting, karena merupakan landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi (Penjelasan UU KIP).

Apa Tujuan UU No 14 Tahun 2008 ?

6. Tujuan undang-undang ini, sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 2 UU KIP adalah: a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

7. Dengan membuka akses publik terhadap Informasi diharapkan Badan Publik semakin termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, hal itu dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance).

Siapa yang berhak membuka Informasi Publik ?

8. Setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik dalam Undang-undang ini meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Bagaimana Tanggapan terhadap UU No 14 Tahun 2008 ?

9. Keberadaan UU KIP memang merupakan angin segar bagi siapa saja, karena setiap Orang menjadi berhak memperoleh Informasi Publik; melihat dan mengetahui Informasi Publik; menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, siapa saja berhak mengajukan permintaan Informasi Publik tentunya dengan menyertai alasan permintaan tersebut dan berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan UU KIP.

10. Menteri Komunikasi dan Informatika yang lama, Mohammad Nuh, dalam wawancara khusus dengan Voice of Indonesia pada 21 Juli 2008 menyebutkan, UU KIP merupakan undang-undang yang sangat revolutif, dan apabila seluruh elemen bangsa ini menghayati undang-undang tersebut, maka terbentuknya good governance yang baik dapat tercapai. “Prinsip-prinsip good governance, antara lain transparansi dan akuntabilitas yang paling pokok, kalau elemen bangsa ini memegang teguh prinsip-prinsip good governance, prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas saya kira itu akan bisa menekan yang sifatnya preventif masalah-masalah penyimpangan termasuk didalamnya korupsi, korupsi itu ada khan sebagai simbol kurangnya good governance", jelasnya sebagaimana dilansir Voice of Indonesia.

Bagaimana dan Apa sanksi UU No 14 Tahun 2004 ?

11. Berkaitan dengan Sanksi Pidana.Walau begitu, ternyata banyak juga yang menyampaikan kritikan. Salah satunya terkait dengan keberadaan Pasal 51 UU KIP yang isinya ancaman bagi siapa saja yang dengan sengaja menggunakan Informasi Publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,- Terdapat pula, Pasal 52 UU KIP yang mengancam Badan Publik bila dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,-.

Apa tanggapan terhadap sanksi dalam UU No 14 Tahun 2008 ?

12. Menurut Adinda Tenriangke Muchtar, Pengamat dan Analis Politik pada The Indonesian Institute Center for Public Policy Research, dalam tulisan di Media Indonesia (23 April 2008), ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah. Dengan kata lain, bisa saja terjadi, aparat hukum dan badan publik menggunakan ketentuan ini untuk mengancam pengguna informasi publik, seperti media dalam mencari informasi publik dan menyebarkannya kepada masyarakat. Sementara itu, badan publik yang seharusnya menyediakan informasi publik dapat menggunakan alasan rahasia negara untuk menghindari pemberian informasi publik.

13. Hal senada disampaikan Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi. Agus yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi menilai ada yang janggal dalam aturan sanksi pidana. “Sanksi terhadap badan publik yang tak memberi informasi sih oke. Tapi kalau berlaku juga bagi masyarakat pengguna informasi, janggal,” kata Agus sebagaimana dilansir hukumonline.com. Ternyata, dari 75 negara yang punya Freedom of Information Act –undang-undang semacam ini, hanya Indonesia yang menerapkan sanksi bagi si pengguna. “Apalagi beratnya sanksi itu setara dengan sanksi bagi badan publik yang menutup informasinya”

14. Selain itu, menurut Agus, terdapat Pasal 56 yang menyebutkan, “Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam Undang-Undang ini dan juga diancam dengan sanksi pidana dalam Undang-Undang lain yang bersifat khusus, yang berlaku adalah sanksi pidana dari Undang-Undang yang lebih khusus tersebut.” Pasal tersebut memungkinkan adanya pemidanaan berlapis.

Apa amanat lebih lanjut dari UU No 14 Tahun 2008 yang perlu distressing keberadaannya ?

15. UU KIP juga mengamanatkan pembentukan Komisi Informasi. Komisi tersebut merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/ kota. Komisi Informasi bertugas: a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi.

16. Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik; b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

17. Satu hal yang dianggap merupakan kekurangan adalah mengenai komposisi Anggota Komisi Informasi Pusat yang “berjumlah tujuh orang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat”. Demikian juga dengan Anggota Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota yang “berjumlah lima orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat”. Tidak adanya disebutkan rinci komposisinya bisa menjadi kelemahan karena anggapan bahwa pemerintah dapat menaruh wakilnya lebih banyak.

Kapan berlakunya UU No 14 Tahun 2008 ?

18. Pemberlakuan 2010, Komisi Informasi Pusat harus sudah dibentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya UU KIP, sedangkan Komisi Informasi provinsi harus sudah dibentuk paling lambat dua tahun sejak diundangkannya UU KIP. Dalam Pasal 64 UU KIP, ternyata ditentukan undang-undang mulai berlaku dua tahun sejak tanggal diundangkan. Selain itu, penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana, serta hal-hal lainnya yang terkait dengan persiapan pelaksanaan undang-undang harus rampung paling lambat dua tahun sejak undang-Undang ini diundangkan. Hal ini berarti undang-undang akan efektif berjalan pada tahun 2010.

19. Dalam jangka waktu tersebut, pemerintah dan segenap badan publik yang diatur dalam UU KIP, termasuk partai politik dan juga lembaga swadaya masyarakat, harus dapat memanfaatkan periode dua tahun untuk persiapan implementasi UU KIP.

Hal-hal apa yang perlu diketahui dalam UU No 14 Tahun 2008 ?

20. Ada berapa hal pokok, yaitu Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.

21. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

22. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

23. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

24. Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundang-undangan.

25. Mediasi adalah penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak melalui bantuan mediator komisi informasi. Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang diputus oleh komisi informasi.Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik.Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik.

26. Pengguna Informasi Publik adalah orang yang menggunakan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Apakah semua informasi harus dibuka ke publik ?

27. Pasal 6 (1) Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. informasi yang dapat membahayakan negara; b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Informasi apa saja yang perlu disediakan kepada Publik ?

28. BAB IV INFORMASI YANG WAJIB DISEDIAKAN DAN DIUMUMKAN Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala Pasal 9 (1) Setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala. (2) Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (3) Kewajiban memberikan dan menyampaikan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali. (4) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. (5) Cara-cara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan lebih lanjut oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Badan Publik terkait. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Badan Publik memberikan dan menyampaikan Informasi Publik secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Petunjuk Teknik Komisi Informasi.

Bagaimana menyikapi kedua Pemberlakuan UU No 14 Tahun 2008

29 Pertama, harus disadari bahwa saat ini kita hidup di abad 21 atau abad digital, maka perlu menyikapi dengan pemahaman yang bersifat digital thinking, dan patut menyadari pemberlakuan kedua Undang-Undang ini jangan hanya ditujukan kepada kepastian hukum semata, tetapi harus mampu menangkap rasa keadilan masyarakat serta kemanfaatan bersama.

30 Kedua, bahwa hukum yang bukan hidup diruang hampa, tetapi hidup dialam diantara manusia yang bersifat dinamis, oleh karena itu pemberlakuan kedua undang-undang ini perlu memperhatikan kebutuhan dinamika manusia yang memerlukan kecepatan informasi dan pelayanan publik, oleh karena itu hal yang harus disiapkan adalah infra struktur yang mendukung.

31 Ketiga, suka atau tidak suka dibutuhkan SDM yang profesional untuk memberlakukan kedua Undang-Undang ini, oleh karena itu perlu diserap SDM yang berbasis pada keahlian informatika dan manajemen administrasi yang bersifat digital, oleh karena itu perekrutan SDM dibidang ini perlu memperhatikan keahlian arsiparis dan ahli data base yang diseleksi dari penyedia SDM yang berbasis dari Pendidikan Yang berstandar Nasional dan Internasional, karena SDM yang dibutuhkan berbanding lurus dengan semangat serta latar belakang dan tujuan diberlakukan kedua undang-undang ini.

32 Keempat, Perlu pergeseran Paradigma penegakan hukum, sebagaimana Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian masalah efiesiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial diluarnya. Hal ini jelas dikatakan pula oleh Robert B. Seidman, bahwa setiap undang-undang, sekali dikelurkan akan berubah, baik melalui perubahan normal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta berkembang, mengkehendaki peraturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum menelurusi hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern. Namun, harus disadari sungguh-sungguh bahwa masalah peraturan oleh hukum itu bukan saja dilihat dari segi legimitasinya, dan bukan juga semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan. Itulah sebabnya muncul suatu cara berpikir lain (aliran pemikiran non-analistis) yang tidak lagi melihat hukum sebagai lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat.[1]

Kelima, Menyadari akan pergeseran peran hukum (hukum negara) yang demikian itu, maka Prof.Dr Esmi Warassih, SH, MS menyarankan agar "paradigma kekuasaan" yang dipakai dalam penegakkan hukum di Indonesia ini perlu diubah atau diganti dengan penegakkan yang berbasis "paradigma moral". Paradigma moral yang diidealkan itu memiliki seperangkat nilai yang egalitarian, demokratis, pluralitis, dan profesional untuk membangun "masyarakat madani" (civil society). Perubahan paradigma ini penting dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan otentisitas hukum "sebagai sarana untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang". Dalam nada yang sama, Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH salah seorang "begawan sosiologi hukum" dari Universitas Diponegoro akhir-akhir ini mulai menaruh keprihatinan yang sama tentang orientasi hukum menuju kebahagiaan. Satjipto Rahardjo menegaskan, bahwa hukum hendaknya bisa memberi kebahagiaan, bukan sebaliknya membuat ketidaknyamanan atau ketidak tentraman hidup. Orientasi hukum yang demikian itu, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, secara harafiah dirumuskan dengan kata-kata : ".....untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...."



[1] Untuk memahami paradigma ini, lihat Prof Dr Esmi Warassih,SH,MS dalam Buku Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama .Maret 2005. Atau Prof .Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayu Media, April, 2008.

»»  Baca Selengkapnya...

TIGA BELAS MASALAH KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH

13 MASALAH PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAHA

By Turiman Fachturahman Nur

Reformasi Tata Kelola Keunagan Daerah sudah digulirkan

Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.

Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.

Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel.

Dalam perundang-undangan bidang keuangan negara ini secara tegas diatur bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang keuangan. Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan prestasi kerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian Neraca Daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan beberapa hal baru yang diamanahkan dalam peraturan tersebut.

Urgensi UU NO 17 Tahun 2003

Berdasarkan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31, Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif. Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian laporan-laporan di atas dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) yang terintegrasi dengan sistem-sistem lain dalam manajemen keuangan daerah.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 51 ayat (2), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna Anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat setiap unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kas adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah.

Sistem Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem. Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai, pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya, serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat harus memahamai alur sistem secara global, sehingga mereka akan lebih sadar akan hak dan kewajibannya. Para eksekutif di pemerintah daerah harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan laporan-laporan internal yang dapat dihasilkan dari sistem akuntansi.

Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah

1. Dasar Hukum

Yang mendasari perundang-undangan penting yang melandasai pelaksanaan

pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut :

1. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah;

3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan

4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

8. PP. No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;

9. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;

10. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 37 Tahun 2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007;

11. PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;

12. PP 23 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

13. PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan

14. PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;

15. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;

16. PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;

17. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;

18. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

19. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estándar Pelayanan Minimal;

20. PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;

21. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;

22. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

23. Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

24.Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

25.Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam rangka berakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah;

26. Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;

27. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negara No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double entry merupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah khususnya di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar di daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian serius... Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerah berdasarkan. Edy Marbyanto.

  1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
  2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
  3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
  4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
  5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
  6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
  7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
  8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
  9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
  10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
  11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
  12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
  13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Berdasarkan 13 permasalahan diatas sekurangnya ada tiga (mala)praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini

Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.

Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.

Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.

Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.

Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).

Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran inspektorat (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.

Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.

Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, KPK, dll). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.

Opsi Kuratif

Isu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula (pemotongan DAU).

Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif) mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi inspektorat.

»»  Baca Selengkapnya...