Kamis, 07 April 2011

KETIDAKADILAN DALAM BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETIDAKADILAN DALAM BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN NILAI SILA KELIMA PANCASILA DAN PASAL 33 UUD 1945

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

Ada satu bahan renungan, bahwa konon, Phoenix, seekor burung dalam mitos akan menemui ajalnya dengan terbakar habis. Dari sisa- sisa abu jasadnya, Phoenix kemudian bangkit kembali dan akan hidup sampai seribu tahun. Siklus tersebut terjadi berulang- ulang sehingga Phoenix dianggap sebagai burung abadi[1]. Rajawali Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia, pada bagian dadanya terdapat perisai yang memuat lima lambang filosofi hidup berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Sebagai filosofi hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila seharusnya juga menjadi nilai- nilai yang menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang- undangan Republik Indonesia.

Coba kita baca secara cermat alahkah ideal cita hukum Indoensia pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan menyatakan: Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA.

Ketentuan di atas seharusnya menjadi dasar ketika merumuskan materi muatan peraturan perundang-undangan, bahkan salah satu asas materi muatan peraturan perundang-undanganpun menyaratkan adanya ASAS KEADILAN dan berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2004 makna asas dimaksud: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Mari kita analisis materi muatan peraturan perundang-undangan apakah sudah menjabarkan esensi ketentuan di atas khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfatan sumber daya alam di bumi Indonesia, apakah sudah terinfeksi virus neo liberal.

Peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam ternyata banyak yang bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila terutama nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Esensi dari peraturan perundang- undangan tersebut umumnya adalah mencari pemasukan sebanyak- banyaknya melalui pemanfaatan sumber daya alam dengan mempermudah ijin, memberikan kebebasan bagi siapa pun untuk bersaing memperebutkan ijin atas pencarian, pengambilan dan pengelolaan dan memberikan kemudahan dan keringanan bagi pemegang ijin. Di sisi lain, masyarakat setempat tidak diberikan dukungan yang cukup untuk menjadi pihak yang terutama dalam menikmati sumber daya alam yang berada di daerah tempat tingggalnya. Hal tersebut merupakan pengkhianatan (atau lebih ekstrim lagi: pembunuhan) terhadap Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila tidak dibiarkan hidup dalam esensi peraturan perundang- undangan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Pancasila “dibunuh” oleh para pembentuk undang- undang, “jasadnya dibakar habis” dan diganti dengan filosofi Neo- liberalisme[2]. Sementara segelintir orang menikmati upah perselingkuhan dengan Neo- liberalisme, lebih dari puluhan juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan menanti Pancasila bangkit kembali dari sisa- sisa abu jasadnya, mengalahkan Neo-liberalisme dan mengantarkan rakyat Indonesia kedalam kesejahteraan. Jika tidak demikian maka penyelenggara negaranya "bingung", Rakyatnya 'bingung", Yang penting bisa tertawa tetapi sesungguhnya sedang mentertawakan dirinya sendiri, yaitu bangsa Indoensia.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Kehutanan

Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan merupakan peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan hutan di Indonesia. Dalam Pasal 29 tercantum bahwa izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Sepintas lalu rumusan Pasal 29 tersebut tampak memberikan kesempatan yang sama kepada perorangan dan koperasi untuk dapat memperoleh izin pemanfaatan hutan tetapi rumusan tersebut menyimpan filosofi kebebasan bersaing. Bagaimana perorangan atau koperasi jika bersaing langsung dengan badan usaha milik swasta?. Kemungkinan besar perseorangan atau koperasi akan kalah bersaing dengan badan usaha milik swasta. Selain itu, seharusnya dalam undang- undang kehutanan dicantumkan ketentuan yang memberikan jatah untuk perorangan dan koperasi dengan persentase tertentu dari kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan. Akan sangat baik jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Dengan demikian pemanfaatan hutan dan hasil hutan tidak didominasi oleh badan usaha milik swasta dan memberikan jaminan kepastian ketersediaan akses pemanfaatan hutan bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi, bahkan unit usaha kelas menengah.

Selain mengenai kebebasan bersaing dalam mendapatkan izin dan tidak adanya jatah khusus bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi, hak masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan juga dibatasi dengan ketentuan Pasal 67 dimana masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut berarti bahwa untuk melakukan usaha pemanfaatan hutan dan hasil hutan, masyarakat adat harus mendapatkan izin (sebagaimana usaha perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta dan badan usaha milik pemerintah). Hal tersebut tentunya menghambat masyarakat adat untuk mencapai kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam di lingkungan tempat tinggalnya. Sebaiknya masyarakat adat diberikan prioritas untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan dalam ‘area jatah 33-50 %’ dalam alinea diatas serta diberikan kemudahan dalam hal izin.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Minyak dan Gas

Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam minyak dan gas bumi di Indonesia. Dalam Pasal 9 ayat (2) tercantum bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1), kegiatan Usaha hulu mencakup ekplorasi dan eksploitasi. Pertanyaan nya: apakah Bentuk Usaha Tetap itu?. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) c Undang- Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Bentuk Usaha Tetap adalah: bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu badan usaha asing cukup dengan mengirimkan perwakilan sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai ‘Bentuk Usaha Tetap’ tanpa perlu mendirikan badan usaha berdasarkan hukum Indonesia sudah dapat melaksanakan kegitan pencarian dan penambangan minyak dan gas bumi! Apa- apaan ini?. Bukankah ini sama dengan mempermudah badan usaha asing untuk memanfaatkan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Indonesia?. Hal tersebut membuat badan usaha Indonesia akan menghadapi persaingan lebih berat. Mengapa pembentuk undang- undang tidak memberikan proteksi dan prioritas bagi badan usaha milik warga negara Indonesia?.

Dalam Pasal 22 ayat (2) dicantumkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengapa hanya 25 %? seharusnya tidak boleh kurang dari 50 %, bukankah minyak dan gas bumi tersebut milik Indonesia?. Kemudian dalam Pasal 28 ayat (2) dicantumkan bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Bukankah ini merupakan asas kebebasan bernegosiasi atau kebebasan dalam menyusun kontrak?. Mengapa rumusan pasal tersebut begitu mengambang dan tidak tegas?. Mengapa tidak dirumuskan bahwa standar harga Bahan Bakar Minyak Bumi tidak boleh lebih rendah dari standar harga OPEC (Organization of the Petroleum Exporter Counry)/ Organisasi negara- negara pengekspor minyak. Untuk penentuan harga gas bumi memang belum ada standar baku tetapi dapat dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh negara- negara angggota GECF (Gas Exporting Country Forum)/ Forum negara- negara pengekspor gas.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Pertambangan

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara merupakan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pemanfaatan mineral dan batu bara di Indonesia. Dalam Pasal 22 f dicantumkan bahwa salah satu kriteria bagi suatu lokasi untuk ditetapkan sebagai wilayah pertmbangan rakyat (WPR) adalah merupakan wilayah atau tempat kegitan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang- kurangnya lima belas tahun. Jika demikian maka lokasi tersebut kemungkinan besar sudah tidak produktif lagi. Selain itu jangka waktu Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi untuk pertambangan dalam Pasal 47 juga terlalu lama. IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam, batu bara dan mineral bukan logam jenis tertentu adalah paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing sepuluh tahun, sehingga total keseluruhan dapat mencapai empat puluh tahun. Sedangkan untuk IUP Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam adalah paling lama sepuluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing lima tahun, sehinggga total keseluruhan dapat mencapai dua puluh tahun. Dengan periode selama itu maka kemungkinan besar ketika IUP berakhir maka pertambangan sudah tidak produktif lagi selain itu keuntungan hanya akan dinikmati segelintir pihak saja dan kurang mendukung pemerataan.

Pada Pasal 51 dicantumkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dengan cara lelang. Dengan mekanisme lelang memang pemerintah akan mendapatkan penawaran tertinggi tetapi hal tersebut membuat daya saing koperasi dan perseorangan lebih lemah dari pada badan usaha yang umumnya bermodal besar. Seharusnya pembentuk undang- undang memberikan jatah untuk koperasi dan perseorangan dengan persentase tertentu dari luas wilayah ijin usaha pertambangan yang ditetapkan setiap tahunnya. Akan sangat baik jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Mekanisme lelang dapat dipertahankan tetapi koperasi dan perseorangan tidak berhadapan langsung dengan badan usaha dalam suatu lelang. Akan lebih adil jika badan usaha bersaing dengan badan usaha, dan koperasi atau perseorangan dengan koperasi atau perseorangan lainnya.

Kesamaan Masalah Pada Undang- Undang Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara sebagai undang- undang yang mengatur pemanfaatan tiga sumber daya alam andalan Indonesia kesemuanya sarat dengan asas Neo- Liberalisme: kebebasan bersaing, kebebasan bernegosiasi dalam kontrak. Selain sarat dengan asas Neo- Liberalisme, ketiga undang- undang tersebut tidak memiliki suatu ‘jaring pengaman’ atau jaminan pelindungan yang memadai bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Bahkan terdapat indikasi bahwa ketiga undang- undang tersebut mempermudah masuknya badan usaha asing dan memberikan keuntungan yang terlaluu besar pada badan- badan usaha asing tersebut.

Dimanakah Asas Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial?

Dominannya asas Liberalisme dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara membuat saya berpikir: dimanakah nilai- nilai Pancasila khususnya ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang seharusnya menjadi dasar pembentukan ketiga undang- undang tersebut? Dimanakah nilai kesejahteraan sosial yang diamanatkan dalam pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945?.

Bukankah Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan?, lalu dimanakah asas kekeluargaan tersebut dalam ketiga undang- undang tadi?.

Bukankah, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat?, lalu mengapa mekanisme penetapan harga cenderung merugikan pemerintah?, mengapa kewajiban pemegang izin usaha eksplorasi dan eksploitasi begitu ringan?, apakah ini norma hukum yang berbasihkan pada visi dan misi para pendiri negara ini atau norma hukum pesanan bangsa lain, apakah ini bukan penjajahan jenis baru bagi bangsa Indonesia ? silahkan para penstudi hukum menganalisisnya, karena seharusnya hukum itu memberikan kebahagian bagi bangsa Indonesia, tetapi mengapa menjadi bomerang bagi bangsa Indonesia.

Kerinduan Akan Nilai- Nilai Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat: Sebuah Penantian

Akhirnya sampai dengan saat ini, rakyat Indonesia sedang merindukan nilai- nilai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat untuk menjadi landasan pembentukan peraturan perundang- undangan. Rakyat Indonesia masih menanti- nanti kebangkitan kembali Pancasila sebagai landasan hukum Indonesia. Penantian yang entah sampai kapan akan tergenapi.

[1] Thomas Bulfinch, 1913, Bulfinch’s Mythology: the Age of Fable or Stories of Gods and Heroes, Thomas Y. Crowell Company, New York, hlm.287-288.

[2] Istilah Neo- liberalisme digunakan untuk menggambarkan ideologi yang berorientasi pada pasar dengan penekanan pada efisiensi, selera konsumen, pemikiran transaksional, dan otonomi individu. Dengan otonomi individu/ kebebasan menentukan pilihan maka negara dan korporasi lepas dari tanggung jawab atas risiko yang terkandung dalam pilihan yang dibuat oleh individu tersebut. Lihat: Aihwa Ong, 2006, Neoliberalism as Exception: Mutations in Citizenship and Sovereignty, Duke University Press, Durham, hlm.1.

»»  Baca Selengkapnya...

MULTIKULTURISME DAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM BERDASARKAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Oleh: Turiman

Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

Memaknai Teori Hukum Dalam Kehidupan Kenegaraan

Suatu ilmu tanpa teori yang kuat, bagaikan bangunan tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu hukum sebagai suatu sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan berbagai ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence), maupun ”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama dalam rangka mengisi pembangunan di bidang hukum dalam era reformasi . Bukan hanya tuntutan lahirnya suatu atau berbagai peraturan perundang-undangan yang baru, tetapi juga termasuk paradigma baru hukum, yang cocok bagi iklim perubahan Indonesia di abad kedua puluh satu ini.

Salah satu contoh yang menarik, suatu peristiwa yang memerlukan sebuah teori, untuk memecahkan kebuntuan atas munculnya beberapa opini dan pendapat, ketika Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji, dinilai oleh berbagai pihak illegal (tidak sah). Kenapa tidak sah?, karena pada saat pelantikan Kabinet Pemerintahan Jilid II oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, Hendarman Supanji tidak ikut dilantik sebagai Jaksa Agung RI, padahal Jaksa Agung, adalah salah satu jabatan, pejabat negara yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid II.

Negara Indonesia adalah negara hukum, maka sudah barang tentu dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus ini, harus melalui pendekatan teori hukum. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi, dan mengingat negara Indonesia bukan negara kekuasaan semata, maka atas gugatan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra (mantan Menteri Kehakiman) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, yang inti amar putusannya, dapat dipahami, bahwa terhitung sejak tanggal 24 September 2010, pukul 14.30 WIB, Jaksa Agung RI, dinyatakan tidak ada (kosong), lalu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Presiden RI menerbitkan pemberhentian dengan hormat Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung RI dan menunjuk Wakil Jaksa Agung Dariatmo sebagai Pelaksana Tugas.

Dari kasus ini timbul masalah baru, bahwa bagaimana mungkin seorang Jaksa Agung yang tidak pernah diangkat, lalu diberhentikan?. Permasalahan ini tidak bisa dijawab dengan argumentasi biasa dalam sebuah debat kusir, tetapi harus dijawab dan diselesaikan dengan argumentasi hukum atau logika hukum dengan menggunakan rekonstruksi teori hukum. Nampaknya Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memberi putusannya, tidak lepas dari penafsiran analogis dan penafsiran ekstensif, dengan asumsi berpikir pada pokoknya sebagai berikut; ”bahwa karena jabatan Jaksa Agung RI termasuk jabatan yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I, bersamaan dengan adanya jabatan para Menteri selaku pejabat negara, maka jabatan Jaksa Agung dianalogikan sama dan setingkat dengan jabatan Menteri. Karena jabatan Menteri dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I telah diberhentikan oleh Presiden, maka penafsiran ekstensifnya bahwa jabatan Jaksa Agung RI pada Kabinet Pemerintahan Jilid I, harus pula diberhentikan. Mengapa harus digunakan penafsiran ekstensif, karena masa berakhirnya jabatan Jaksa Agung tidak diatur dalam undang-undang kejaksaan. Lalu kemudian timbul pertanyaan, apa mungkin suatu jabatan dalam negara tidak memiliki batas akhir masa jabatan?. Secara teori hukum administrasi negara tidaklah mungkin hal itu terjadi, sebagai konsekuensi Indonesia adalah negara hukum, bukan negara otoriter (kekuasaan belaka). Oleh karena Presiden tidak melakukan pemberhentian terhadap Jaksa Agung, maka Jaksa Agung, dinilai illegal dan tidak memiliki legal standing dalam berperan melakukan penegakan hukum di Indonesia dan dapat ditafsirkan bahwa semua kegiatan dan kebijakan yang diambil oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji, sejak diberhentikannya para pejabat negara (para Menteri) dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I, dianggap tidak sah (illegal).

Berdasarkan hal tersebut terjadilah kekosongan hukum dan oleh Mahkamah Konstitusi telah tampil mengisi kekosongan tersebut. Oleh karena itu terhadap kasus ini, penulis berpendapat bahwa secara formal, Jaksa Agung RI memang dapat dinilai sudah tidak ada, sejak diberhentikannya para Menteri Kabinet Pemerintahan Jilid I, tetapi tidak dapat dinilai illegal atas semua kebijakan yang telah diambil selama ini oleh Hendarman Supanji selaku Jaksa Agung. Mungkin kasus ini tepat pula diterapkan, teori kemaslahatan yang ada dalam hukum Islam, dan dikenal dengan istilah ”al-mashlahatul dharuriyah”. Akan tetapi secara materiil, terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan oleh hakim Mahkamah Konstitusi, maka eksistensi keberadaan Jaksa Agung RI, sudah tidak diakui lagi, baik secara formal maupun secara materiil.

Demikianlah beberapa contoh kasus yang menggambarkan betapa pentingnya untuk mengetahui dan memahami teori-teori hukum, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam mempelajari berbagai teori dan konsep hukum Barat, maka seyogianya sebagai akademisi hukum ataupun praktisi hukum, harus pula dilakukan kajian dan analisis kritis, sehingga dapat dilakukan apa yang disebut rekonstruksi teori hukum.

Sejalan dengan itu tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan sejarah lahirnya suatu teori dan konsep hukum, di mana semua teori dan konsep hukum itu didasarkan pada pandangan atau aliran filsafat tertentu yang merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu. Teori-teori yang sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas merupakan produk Barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis, individualis, dan sekuler di Barat, yang tentu saja diantara sekian banyak teori hukum atau konsep hukum itu, ada yang tidak sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan itu, merupakan suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis dan kajian komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi teori hukum. Harus dilakukan kajian komparatif yang membandingkan teori dan konsep hukum Barat di satu pihak, dengan teori dan konsep hukum Timur, di lain pihak, termasuk dengan teori dan konsep hukum Islam, karena negara Indonesia ini bukan hanya Negara Hukum yang demokratis tetapi juga negara hukum yang demokratis yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 (2), (3) jo Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 (amandemen) Jadi tiga konsep sekaligus Negara Hukum, Demokrasi dan Teokrasi itu model hukum tata negara Indonesia atau model kehidupan kenegaraan khas Indonesia, apakah mau dinamakan Negara Hukum Pancasila boleh juga, tetapi esensi perlu dipahami dan tidak sebatas konsepsional belaka.

Salah satu contoh yang menarik dan belum terlupakan di benak kita, yaitu kasus Bank Century, di mana di perlemen (DPR), telah dilakukan langkah dan upaya demokrasi dengan cara para anggota DPR dipersilahkan memilih, opsi A atau opsi C. Pilihan ini dilakukan dalam menentukan benar atau tidaknya terdapat pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century, yang pada akhirnya telah dilakukan vooting pada sidang pleno. Hasil vooting suara, ternyata suara terbanyak ada pada opsi C, sehingga DPR menyimpulkan bahwa dalam kasus Bank Century terdapat pelanggaran hukum dan hasil pleno DPR tersebut, harus dibawa ke rana hukum. Persoalannya sekarang, dan menimbulkan pertanyaan besar bahwa apakah benar suatu kebenaran harus ditempuh dan diperoleh dengan cara atau melalui hasil vooting suara?. Mengingat suara terbanyak sebagai produk demokrasi lembaga legislatif (DPR) yang berdasarkan pada teori kedaulatan negara, pendapat itulah yang dijadikan sebagai tolok ukur, untuk menentukan pilihan pendapat, atas kasus yang terjadi pada Bank Century. Apakah dikemudian hari benar atau tidak benar, hal itu tidak menjadi soal. Yang pasti, pihak KPK menyatakan bahwa pihaknya sulit menemukan bukti-bukti yang kuat, tentang adanya penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara adil, tanpa memandang kedudukan, jabatan, kekayaan, dan ras. Hukum dalam implementasinya harus dipisahkan dari politik. Fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini, kadang suatu kasus/permasalahan, sudah jelas masuk dalam rana hukum, masih dipermainkan dalam rana politik. Atau sebaliknya suatu kasus/permasalahan berada dalam rana politik, dipaksakan untuk masuk dalam rana hukum. Akibatnya timbul berbagai permasalahan yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian hukum ataupun penyelesaian politik, yang akhirnya melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan.

Solusi yang dapat dilakukan, bahwa tidak semua teori dan konsep hukum Barat harus kita tolak, sebab tentu saja terdapat bagian dari teori dan konsep Barat yang mungkin cocok untuk diterapkan di masyarakat Indonesia, cara pandang yang demikian kemudian dikenal analisis hukum yang berbasiskan multikuturisme ataukah berbasiskan pluralisme.

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang timbul, adalah ; sejauhmana peranan teori hukum dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia? Berikut ini akan dibahas salah satu pandangan yang sering disitir para ilmuwan khususnya para penstudi hukum pada abad 21, yaitu multikulturisme, tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan multikulturisme itu, samakah dengan Pluralisme dan juga selaraskah dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Mungkin kita masih ingat dalam pidatonya Obama ketika berkunjung ke Indonesia tepatnya di UI, secara terbuka mengakui belajar menghargai hubungan antar manusia dengan beragam latar belakang budaya ketika menetap di Indonesia. Menurutnya falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang mendasar dari munculnya semangat toleransi yang tertulis dalam konstitusi (UUD 1945) adalah contoh yang bisa diberikan kepada dunia, dan dengan nilai-nilai ini yang akan bisa membuat Indonesia berperan penting dalam abad ke-21.

Publik cukup tersentak dibuatnya. Bahkan secara lugas Obama menyebut “Bhineka Tunggal Ika” sebanyak dua kali. Apalagi pidato tersebut dihadirkan di saat bersamaan dengan perayaan Hari Pahlawan, cara pandang Obama ternyata multikulturisme bahkan mengakui pluralisme. Publik tersadarkan bahwa sudah lama sekali kita tidak pernah mendengar paparan Bhineka Tunggal Ika yang selama ini diagung-agungkan sebagai nilai mendasar yang menyatukan berbagai keberagaman, keunikan dan perbedaan di negeri ini. Nilai ini pula yang menyatukan para “founding fathers” ketika berjuang untuk mendirikan negara Republik Indonesia, mengapa harus Obama yang menjelaskan konsep bangsa ini, mengapa tidak para penyelenggara bangsa ini, sebuah paradoks.

Bahkan sebagian dari kita ada yang sudah menganggap Bhineka Tunggal Ika sebagai “falsafah kuno” yang kehilangan makna dalam era globalisasi dan tidak lagi menjadi kebutuhan generasi muda. Di lain sisi, situasi kehidupan bernegara dan berbangsa kita makin dihantui oleh problem intoleransi dalam menghargai keberagaman dan perbedaan keyakinan beragama, budaya, identitas etnis atau kesukuan.

Mengentalnya politisasi identitas kesukuan/etnisitas juga menjadi persoalan yang turut menggerogoti nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap keberagamaan yang telah ratusan tahun diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Masyarakat begitu mudah menjadikan konflik fisik sebagai sarana dalam penyelesaian persoalan intoleransi tersebut. Seakan tidak ada lagi nilai-nilai ke-Bhineka Tunggal Ika-an di negeri ini.

Sudah saatnya kita memaknai atau mentransformasikan kembali nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika berdasarkan kondisi kekinian. Jangan jadikan nilai-nilainya sebagai dogma atau doktrin kaku yang tidak bisa mengikuti perkembangan Jaman. Doktrinisasi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika semata tanpa disertai praktek dalam kehidupan berbangsa jelas hanya akan menjadikannya sebagai nilai kuno semata. Bukan saatnya lagi Bhineka Tunggal Ika hanya dihadirkan sebatas simbol semata tanpa kita berusaha mengisinya dan memperkaya makna yang dikandungnya.

Seperti para pendiri negeri ini yang memperjuangkan Bhineka Tunggal Ika sehingga bisa mempersatukan seluruh anak negeri dari Sabang hingga Merauke, maka saatnya tugas kita untuk terus memperjuangkan agar Bhineka Tunggal Ika tetap bertahan dan menyatukan keberagaman dan perbedaan yang semakin dinamis. Semoga kita terhindar dari situasi kegagalan dimana generasi mendatang hanya bisa berucap bahwa “negara kita dahulu pernah punya falsafah Bhineka Tunggal Ika

Pengertian Multikulturisme

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. [1]

“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)[2]

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).[3]

Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)[4]

Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)[5]

Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).[6]

Sejarah Multikulturalisme

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[7] Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme.[8] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.

Jenis Multikulturalisme

Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktek multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):

Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.

Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.

Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.

Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. [9]

Multikulturalisme di Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.

Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.

Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

Multikulturalisme dan Pluralisme adalah Esensi Bhinneka Tunggal Ika.

Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Banyak pasal undang-undang dan konstitusi di Indonesia yang mengatur tentang multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia, yaitu misalnya Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ada juga Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Dalam keanekaragaman dan kejamakan bangsa Indonesia, negara melalui Undang-Undang telah menjamin hak-hak yang sama kepada seluruh rakyat Indonesia. Menurut sebagian tokoh di negara kita, multikulturalisme dan pluralisme yang ditangkap dan diterapkan di negara kita memiliki pemahaman dan aplikasi yang berbeda-beda pada setiap individunya. Menurut Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Adian Husaini, paham multikulturalisme dan pluralisme merupakan paham yang memberikan keadilan pada setiap orang yang berbudaya. Adian berpendapat bahwa multikulturalisme dan pluralisme yang difatwakan oleh MUI adalah salah. MUI menjabarkan definisinya dengan tidak boleh meyakini atau membenarkan bahkan melepaskan keyakinan agama. Adian tidak sependapat dengan fatwa yang dikeluakan MUI ini karena menurutnya paham ini membenarkan seluruh agama, tidak mengklaim agamanya yang paling benar.

Mantan Menteri Pendidikan Nasional kita, Malik Fajar, juga memiliki pendapatnya sendiri tentang paham multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia. Malik Fajar pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Karena itu di Indonesia perlu dikembangkan multikulturalisme dan pluralisme yang lurus dan seimbang agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam masyarakatnya.

Lain lagi dengan pendapat Mantan Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal sebagai Gus Dur, saat ini menurutnya pluralisme sedang berada di tengah cobaan, banyaknya kejadian yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, sehingga pluralisme perlu untuk dirawat. Gus Dur menyatakan menyatakan perlunya merawat kemajemukan dalam bernegara untuk memperkuat ikatan nasionalisme Indonesia yang sangat jamak. Beliau juga menilai, selama ini negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan antipluralis yang melanggar hukum. Negara seolah membiarkan kesalahpahaman tentang makna multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia terus berlanjut yang bahkan dapat menjurus ke perpecahan.

Multikulturalisme mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan merasakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.

Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.

Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut.

Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.

Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

Upaya-upaya untuk mewujudkan kehidupan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya dapat dilakukan dengan menerapkan sikap-sikap sebagai berikut:

a. Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan diterapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.

b. Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sistem makan yang berbeda, sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.

c. Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan.

d. Paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.

e. Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.

f. Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.

Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralis, tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.

Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah, karena Bhinneka Tunggal Ika dipahami sebatas ”berbeda-beda tetapi satu jua” sebenarnya yang tepat adalah keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keragaman, mengapa, karena Bhinneka sendiri artinya berbeda –beda atau keragaman, Tunggal artinya satu atau kesatuan, sedangkan Ika artinya itu. Jadi yang berbeda-beda itu satu kesatuan atau tunggal atau yang satu itu atau yang tunggal itu berbeda-beda dengan perkataan lain yang beragam-ragam itu satu dan yang satu itu beragam ragam, jadi hakekatnya itu satu. Itulah Indonesia. Semboyan tersebut masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi sesuatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari, mengapa harus mengedepankan kebhinneka saja yang dominan atau keikaannya saja yang dominan, bukankah dua hal itu yaitu kebhinnekaan dan keikaan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan tetapi terbedakan, cara pandang yang demikian itulah esensi dari multikulturisme dan pluralisme dan kedua hal itu menjadi salah satu pilar bangsa Indonesia yang kemudian dikemas BHINNEKA TUNGGAL IKA= keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keberagaman, sehingga disimbolisasikan dicengkram kuat oleh cakar Burung Rajawali Garuda Pancasila dalam Lambang Negara Indonesia yang gambarnya dirancang oleh anak bangsa dari Kalimantan Barat, yaitu Sultan Hamid II pada masa RIS 1949-1950 yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah 11 Februari 1950 dan gambarnya kemudian menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 dan sekarang menjadi Lampiran Resmi UU No 24 Tahun 2009, sebagai pelaksanaan Pasal 36 A UUD 1945 hasil amandemen tahun 2000.

Referensi

1. Mubarak, Zakki, dkk. Buku Ajar II, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian terintegrasi (MPKT) cet. Kedua. 2008: Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat, . Depok: Penerbit FE UI.

2. Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”,

3. http://www.kongresbud.budpar.go.id

4. Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”,

5. Lubis, Akhyar Yusuf, 2006. Deskontruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu

6. http:www.duniaesai.com/antro

7. Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, 1987]

8. Harahap, Ahmad Rivai, 2004. “Multikulturalisme dan Penerapannya dalam pemeliharaan kerukunan Umat Beragama”.

9. See Neil Bissoondath, Selling Illusions: The Myth of Multiculturalism. Toronto: Penguin, 2002. ISBN 978-0-14-100676-5.

10. Neil Bissoondath, Selling Illusions: The Myth of Multiculturalism. Toronto: Penguin, 2002. ISBN 978-0-14-100676-5. Passim.

11. Mubarak, Zakki, dkk. Buku Ajar II, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian terintegrasi (MPKT) cet. Kedua. 2008: Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat, . Depok: Penerbit FE UI

»»  Baca Selengkapnya...