Minggu, 03 April 2011

MEMAHAMI JUDICIAL REVIEW DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

MEMAHAMI JUDICIAL REVIEW DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Oleh; Turiman Fachturahman Nur

A. Pengertian Judicial Review

Apa yang dimaksud dengan Judicial Review” (hak uji materil) ? Judicial Review” merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘judicial review’, melainkan ‘legislative review’.

Pengertian pengujian undang-undang acapkali dikaitkan dengan nomenklatur : Judicial Review. Istilah Judicial Review lebih luas cakupan maknanya daripada penamaan : toetsingsrecht atau hak menguji.

Judicial Review dalam sistem hukum Common Law tidak hanya bermakna ‘the power of the court to declare laws unconstitutional’ (James E. Clapp, 1996:232) tetapi juga berpaut dengan kegiatan examination of administration decisions by the court (Collin, 2000).

Hak menguji adalah hak bagi hakim (atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Hak menguji formal (atau Formele Toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap cara pembentukan (pembuatan) serta prosedural peraturan perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (atau Materieele Toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi (‘materi’) peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia, penggunaan istilah Judicial review mencakup pengujian peraturan perundang-undangan. Adapun penamaan peraturan perundang-undangan, lazim disebut algemene verbindende voorschriften mencakup semua kaidah hukum tertulis, dimulai dari undang-undang dasar hingga peraturan desa yang berkekuatan normatif (‘normatieve krafte’), sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kaidah undang-undang (dalam makna formal) termasuk peraturan perundang-undangan, namun tidak semua peraturan perundang-undangan adalah undang-undang (dalam arti formal). Undang-Undang lazim disebut Gezetz, Wet, merupakan species dari peraturan perundang-undangan.
Jika dicermati mampir semua negara memberikan kewenangan bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji undang-undang secara formele toetsing, namun tidak semua negara memberikan kewenangan bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji substansi (materi) undang-undang.

Indonesia menganut sistem pengujian materil terbatas bagi Mahkamah Agung, yakni terbatas pada pengujian materil (‘materieele toetsing’) terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hakim juga dapat menguji Keputusan Tata Usaha Negara (K.TUN) yang memuat pengaturan yang bersifat umum (‘besluit van algemene strekking’).

Mahkamah Agung hanya boleh menguji formal (‘formele toetsing’) terhadap undang-undang namun tidak boleh menguji substansi (materi) undang-undang. Mahkamah Agung tidak memiliki hak menguji materi (‘materieele toetsingsrecht’) terhadap undang-undang.

Pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dipandang kurang efektif karena kaidah hukum yang paling efektif mengikat rakyat banyak adalah undang-undang beserta kaidah-kaidah hukum di atas undang-undang. Lagi pula, bagaimana halnya manakala undang-undang itu sendiri mengandung cacat hukum

Mengapa perlu adanya yudicial review Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan produk politik, diturunkan (di-derive) dari legislasi institusi politik. Undang-Undang Dasar selaku kaidah hukum (‘peraturan perundang-undangan’) tertinggi ditetapkan dan diubah oleh MPR (lihat pasal 3 UUD 1945).

MPR selain lembaga negara, adalah pula institusi politik. UUD adalah produk politik, bukan produk hukum. Undang-Undang (dalam makna formal), lazim disebut Wet, Gezetz, dibentuk oleh DPR, berasal dari RUU dibahas bersama oleh DPR dan Presiden guna mendapatkan persetujuan bersama. RUU yang telah disetujui bersama dimaksud disahkan oleh Presiden. Manakala RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan Presiden, maka dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (1), (2), (4) dan (5) UUD NRI Tahun 1945).

DPR dan Presiden selaku lembaga-lembaga negara adalah pula institusi politik. Undang-Undang tidak lain adalah produk politik, di desain oleh institusi-institusi politik. Undang-undang bukan produk hukum tetapi adalah produk politik. Oleh karena undang-undang adalah produk politik niscaya setiap undang-undang memuat pesan-pesan politik, berpaut dengan kepentingan politik maka substansi (materil) undang-undang boleh diuji setiap saat oleh institusi hukum agar muatan pesan-pesan politik yang terkandung di dalamnya bersesuai dengan kehendak orang banyak.

Pada saat ini, memang telah ada Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, namun Mahkamah Agung tidak diberi kewenangan menguji undang-undang berkenaan dengan hal ikhwal orang perorangan secara umum. Mahkamah Agung tidak boleh menguji undang-undang yang dipandang bercacat hukum.

B. Kilas Balik Lembaga Yudicial Review

Sistem hukum Hindia Belanda tidak memberikan hak menguji materil undang-undang bagi hakim (atau lembaga peradilan). Pasal 20 Algemene Bepalingen van wetgeving menegaskan : ‘De regter moet volgens de wet regspreken. Behoudens het bepaalde bij art. 11 mag hij in geen geval de innerlijke waarde of de billijkheid der wet beoordelen’.
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung guna menyatakan bahwa undang-undang yang dibentuk suatu negara bagian adalah inkonstitusional (Pasal 156 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS).

Pasal 156 ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi : Jika Mahkamah Agung atau pengadilan-pengadilan lain mengadili dalam perkara perdata atau dalam perkara hukuman perdata, beranggapan bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu daerah bagian berlawanan dengan konstitusi ini, maka dalam keputusan itu dinyatakan dengan tegas tak menurut konstitusi.

Namun Undang-Undang Federal sendiri tidak dapat diganggu gugat (Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS). Juga di bawah UUDS 1950, undang-undang tidak dapat diuji materil oleh Mahkamah Agung. Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 menegaskan : ‘Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat’. De wet is onschenbaar! (S. Tasrif, 1971:197). UUD 1945 terdahulu sesungguhnya tidak melarang hakim (atau Mahkamah Agung) menguji undang-undang dalam makna materieele toetsing. Tidak ada pasal konstitusi yang secara tegas melarang Mahkamah Agung menguji materil undang-undang. Baharu pada Perubahan Ketiga, Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung hanya menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang.
Dalam Rapat Besar BPUPKI (1945), anggota Muh. Yamin pernah menggagaskan pemberian kewenangan hak menguji materil bagi Mahkamah Agung. Prof. Soepomo, anggota BPUPKI lainnya, tidak menyetujui gagasan Yamin. Dikatakan Soepomo, para ahli hukum kita di kala menjelang pembentukan negara baru itu sama sekali tidak mempunyai pengalaman tentang hal pengujian undang-undang, apalagi pengujian sedemikian bukan kewenangan Mahkamah Agung, tetapi semacam pengadilan spesifik, yakni constitutioneel hof yang melulu menangani konstitusi. ‘Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu’, kata anggota Soepomo.

Sayang sekali, perdebatan dimaksud tidak berlanjut. Anggota Moh. Yamin meminta pembicaraan tentang hak menguji materil undang-undang ditunda saja. Konstitusi Amerika Serikat (1789) juga tidak mencantumkan hak menguji materil undang-undang (‘judicial review’), namun 14 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1803, Supreme Court Amerika di bawah Chief Justice John Marshall menerapkan hak menguji undang-undang dalam perkara terkenal, Madison vs Marbury.

Peristiwa pengangkatan sekelompok hakim baru di larut malam, kelak dinamakan the midnight judges, oleh presiden lama, John Adams menjelang serah terima jabatan kepada presiden terpilih, Thomas Jefferson memicu kemarahan salah seorang hakim baru itu, William Marbury yang merasa keberatan tatkala surat pengangkatannya selaku hakim tidak diberikan oleh Secretary of State, James Madison, berdasarkan perintah Presiden Thomas Jefferson. Pemerintah bermaksud membatalkan pengangkatan hakim-hakim baru di malam yang larut itu. William Marbury memohonkan kepada Supreme Court agar mengeluarkan Writ of Mandamus guna memerintahkan Secretary of State, James Madison menyerahkan surat pengangkatan dirinya.

Berdasarkan Judiciary Act 1789, perkara yang diajukan Marbury termasuk original jurisdiction dari Supreme Court sehingga tidak perlu melalui pengadilan yang lebih rendah. Majelis Hakim Agung di bawah Chief Justice John Marshall memutus perkara dimaksud dengan cara pengujian materil undang-undang, yakni mengadakan judicial review terhadap undang-undang yang dipandang bertentangan dengan konstitusi.
Sejak putusan Chief Justice John Marshall dimaksud, dunia peradilan Amerika dibekali kewenangan judicial review terhadap undang-undang, termasuk bagi perkara orang-perorangan secara umum.

Sistem hukum peradilan Indonesia di bawah UUD 1945 tidak mengikuti jejak peradilan Amerika Serikat. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya memberikan kewenangan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan serupa juga dinyatakan pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, terakhir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 11 ayat (2) huruf b dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (Pasal 31 ayat (1)). Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Guna kelancaran penyelenggaraan peradilan mengenai hak uji materil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, diberlakukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993, kelak digantikan dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. Dikemukakan, hak uji materil hanya dibolehkan terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan.

Gugatan hak uji materil diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara :
a. Langsung ke Mahkamah Agung b. Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat. (Pasal 2 ayat (1)). Gugatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan (di bawah undang-undang) kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan secara langsung (Pasal 2 ayat (2)). Gugatan hak menguji materil diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan dimaksud (Pasal 2 ayat (4)).
Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat (4)).

Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Peraturan perundang-undangan yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan tersebut wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 31 ayat (4), (5)).

Dalam pada itu, menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan, bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5 ayat (1) TAP MPR Nomor III Tahun 2000 menetapkan MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR. Mahkamah Agung berwenang menguji perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 5 ayat (2)).
Dirasakan janggal manakala MPR diberi kewenangan menguji undang-undang yang dibentuk DPR, justru di kala DPR merangkap keanggotaan MPR. Tidakkah hal dimaksud bermakna, bahwasanya sang koki mencicipi serta menilai kue-kue buatannya sendiri? Lagipula, menurut Prof. Sri Soemantri Martosoewignjo (2001:21), MPR adalah institusi politik yang beranggotakan 700 orang. Hak uji materil tidak semata-mata (hanya) masalah politik, akan tetapi juga masalah hukum.

Pengujian materil Mahkamah Agung hanya boleh diadakan terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hak uji materil peraturan perundang-undnagan hanya boleh dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah ke bawah namun pengujian (toetsing) tidak dapat diadakan terhadap undang-undang, juga tidak terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menempatkan Undang-Undang setara dengan Perpu. Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menempatkan Perpu di bawah undang-undang.

Hal dimaksud memberikan peluang kewenangan secara tidak sah bagi Mahkamah Agung mengadakan pengujian materil terhadap Perpu. Mahkamah Agung tidak dapat menguji undang-undang namun dapat menguji Perpu. Dalam pada itu, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, undang-undang ditempatkan setara dengan Perpu. Materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang. Lagi pula, TAP MPR sendiri sudah tidak tergolong peraturan perundang-undangan.

Menggagaskan pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung menguji undang-undang secara materil kini tidak mungkin lagi tatkala Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hanya memberikan kewenangan bagi Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Tidakkah mungkin lagi adanya perubahan UUD ke depan guna pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung melakukan pengujian materil terhadap undang-undang? Terpulang bagi para judex memperjuangkan hal ini. ‘Im Kampfe sollst du dein Recht finden’, kata Rudolph von Jhering (1818-1892).

C. Judicial Review dalam Sistem Hukum Common Law

Dalam tradisi ‘common law’ Anglo Amerika, baik ‘legislaltive acts’ maupun ‘executive acts’ tersebut dapat berupa produk hukum yang mengatur (regels, regeling) dan dapat pula berbentuk keputusan-keputusan administrasi negara yang tidak bersifat mengatur, melainkan hanya bersifat penetapan administrative (beschikking). Karena itu, kebijakan dan keputusan-keputusan pejabat administrasi negara yang tidak berbentuk peraturan juga dapat diuji kembali dan dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan (hakim). Namun, dalam sistem ‘civil law’ yang menganggap adanya peradilan administrasi negara sebagai salah satu pilar penting Negara Hukum (Rechtsstaat), keputusan administrasi negara yang tidak bersifat mengatur itu dianggap sebagai objek pengujian oleh hakim adminitrasi Negara (tata usaha Negara). Karena itu, yang termasuk dalam pengertian ‘judicial review’ dalam sistem ‘civil law’, hanyalah produk pengaturan saja, yaitu mulai dari Undang-Undang sampai ke peraturan-peraturan (regels) yang ada di bawahnya. Misalnya saja, Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dapat dijadikan objek ‘judicial review’, tetapi Keputusan Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat – karena berisi norma yang konkrit dan bersifat individual – tidak dapat dimintakan ‘judicial review’, tetapi oleh yang dirugikan dapat diajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.

Sedangkan ‘judicial review’ dalam sistem ‘common law’ seperti disebutkan di atas, mencakup objek peraturan, baik ‘legislative acts’ maupun ‘executive acts’, dan juga objek tindakan-tindakan atau kebijakan administrasi negara yang merugikan kepentingan individu warganegara. Dengan perkataan lain, ‘judicial review’ dalam sistem ‘common law’ mencakup pula mekanisme tuntutan yang biasa dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara yang berkenaan dengan norma-norma hukum yang bersifat konkrit dan individuil. Tindakan atau kebijakan pemerintahan yang merugikan atau menimbulkan ketidakadilan dengan sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan proses pengujian itu juga disebut sebagai ‘judicial review’.

Aspek administrasi negara dalam penggunaan upaya ‘judicial review’ itu di lingkungan negara-negara yang mewarisi tradisi ‘common law’, makin lama bahkan cenderung makin meningkat dapat dianggap sebagai ciri penting negara hukum modern (constitutional democracy). Di lingkungan negara-negara dengan tradisi ‘civil law’ hal ini sebenarnya sudah sejak lama berkembang dengan dimasukkannya elemen pengadilan administrasi negara menjadi salah satu pilar konsepsi ‘Rechtsstaat’ (negara hukum) Eropa Barat. Karena itu, perkembangan pengertian tentang mengenai fungsi Mahkamah Konstitusi yang dianggap berwenang melakukan ‘judicial review’ terhadap peraturan, baik dalam arti ‘legislative acts’ maupun ‘executive acts’, sama sekali terpisah dari perkembangan pengertian mengenai jaminan keadilan bagi warga negara dalam konteks sistem peradilan tata usaha negara.

Sedangkan dalam sistem ‘common law’, kedua hal itu tercakup dalam perkembangan ‘judicial review’ yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena itu, baik di Inggeris maupun di Amerika, pengertian ‘judicial review’ yang biasa dipahami lebih luas cakupan maknanya, yaitu termasuk gugatan berkenaan dengan norma hukum yang konkrit dan individuil seperti yang dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara. Malah, ke arah inilah pengertian ‘judicial review’ itu cenderung berkembang, seperti dikatakan oleh Lee Bridges dan kawan-kawan: “Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary itself, as a means by which the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power”.

D. Judicial Review dalam Perundangan-Undangan di Indonesia

Pengujian terhadap produk hukum di Indonesia dibagi dua, yaitu terhadap undang-undang (legislative acts) dan terhadap produk di bawah undang-undang (executive acts). Yang kurang mendapat perhatian dalam studi ilmu hukum selama ini adalah pengujian terhadap produk atau putusan hakim sendiri yang cenderung tidak dipahami berada dalam konteks pengertian ‘judicial review’ juga. Di Indonesia sendiri dikenal adanya lembaga Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung, bahkan terhadap putusan kasasi yang dibuatnya sendiri. Di Jerman, dikenal pula adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji kembali putusan Mahkamah Agung dari segi konstitusionalitas tidaknya putusan itu. Dengan perkataan lain, dalam pengertian ‘judicial review’ itu terdapat pula pengertian mengenai pengujian kembali, tidak saja terhadap produk legislative dan eksekutif, tetapi juga terhadap produk putusan judicial atau hakim sendiri.

Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedang kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Hal ini potensial menimbulkan masalah.

Kemungkinan munculnya persengketaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau lebih-lebih lagi antar Pemerintah Daerah, sangat mungkin timbul karena adanya keputusan-keputusan yang bersifat mengatur (regeling) ataupun keputusan-keputusan penetapan administrative (beschikking) yang dianggap merugikan salah satu pihak. Bentuk-bentuk keputusan hukum tersebut dapat berbentuk keputusan gubernur, keputusan bupati, ataupun peraturan daerah. Padahal tingkatannya jelas berada di bawah Undang-Undang yang seharusnya menjadi objek pengujian oleh Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi.

Pada tataran tersbeut akibatnya sangat mungkin terjadi disharmonisasi dalam putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk hal-hal yang berkaitan namun dengan yurisdiksi berbeda. Jika keduanya dibedakan, maka secara teoritis dapat saja terjadi dimana untuk satu perkara yang terkait, putusan Mahkamah Agung justru saling bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, oleh Mahkamah Agung, suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang, tetapi oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang yang bersangkutan justru dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.

E. Perma No. 2 Tahun 2002

Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan, Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya 17 Agustus 2003, dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan Mahkamah Agung (MA). Konsekuesi dari ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 adalah bahwa sebelum MK terbentuk, segala fungsi dan kewenangan MK dilaksanakan oleh MA. Untuk melaksanakan kewenangan MK selama masa transisi, MA telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah (Perma) Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MK dan MA.

Meski sudah ada aturan di tingkat konstitusi ternyata tidak mudah merumuskan MK ke dalam bentuk yang lebih operasinal. Bahkan ada beberapa ketentuan Perma No. 2 Tahun 2002 yang harus mendapat perhatian mendalam, terutama dalam mewujudkan kehadiran MK dalam arti yang sesungguhnya. Dari beberapa kelemahan tersebut, beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan kewenangan Judicial Review antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, berdasar ketentuan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD MK memiliki berbagai macam wewenang, namun Perma No 2 Tahun 2002 tidak mampu memberi perbedaan untuk tiap kewenangan MK dalam merumuskan hukum acara yang seharusnya memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Misalnya hukum acara untuk memberikan putusan mengenai pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan atau wakil Presiden tidak dapat disamakan dengan hukum cara untuk melakukan uji materil teradap Undang-Undang.

Kedua, pembatasan waktu untuk melakukan Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam pasal 2 huruf a Perma No. 2 tahun 2002 ditegaskan bahwa permohonan tentang menguji undang-undang terhadap UUD diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak Undang-undang itu diundangkan. Secara khusus pembatasan ini dapat dikatakan tidak sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 24C, dan secara umum tidak sejalan dengan filosofi pemberian kewenangan kepada MK untuk menguji UU.

Ketiga, Semestinya MA tidak membatasai UU yang bisa dimohonkan judicial review. Karena sesuai Perma No. 2 Tahun 2002 berarti hanya UU baru saja yang bisa diuji dan dikontrol publik melalui mekanisme Judicial Review. Sejalan dengan tahun-tahun Orde Baru dan reformasi yang yang telah menghasilkan berbagai produk peraturan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak dan seringkali lebih merupakan dorongan politis dan kepentingan tertentu saja, maka pembatasan ini terkesan lebih sebagai upaya untuk mengamankan produk-produk politis belaka. Selain itu kesadaran hukum masyarakat yang dinamis dan selalu berubah seharusnya juga perlu diberikan ruang, sehingga justru penting untuk tidak membatasi peraturan-peraturan yang dapat diajukan pada proses Judicial Review.

F. Perma No. 1 Tahun 1999

Seperti kita ketahui, bahwa selain menjalankan kewenangan pada masa transisi sebelum berdirinya MK, MA juga berwenang untuk mengadili perkara judicial review untuk peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang. UUD 1945 secara sengaja tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan judicial review terhadap UU. Namun demikian, berdasarkan TAP MPR No. III/1978, kewenangan tersebut diberikan ke MA secara terbatas, yaitu hanya untuk me-review peraturan perundang-undangan yang tingkatnya berada di bawah UU (yaitu PP ke bawah).Selain itu, kewenangan yang serupa diatur pula dalam UU 14/1970 (Pasal 26) dan UU 14/1985 (Pasal 31).

Ketentuan dalan kedua UU tersebut masih bersifat umum. Kedua UU tersebut pada intinya hanya menyatakan bahwa MA berwenang untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tersebut diambil melalui persidangan tingkat kasasi dan instansi yang bersangkutan harus segera mencabut peraturan perundang-undangan yang dinyatakan bertentangan tersebut.

Karena sifat pengaturan dalam TAP MPR dan UU di atas yang terlalu umum dan (khususnya karena ketidakjelasan prosedur judicial review), pada tahun 1993 MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Hak Uji Material (judicial review). Perma tersebut kemudian diubah pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya PERMA No. 1/1999. Beberapa pokok pengaturan dalam PERMA tersebut adalah:

  • MA memeriksa dan memutus judicial review berdasarkan gugatan atau permohonan (Pasal 1 ayat [1]);
  • Gugatan atau permohonan judicial review diajukan langsung ke MA (Pasal 1 ayat [3] dan [4]. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Tap III/MPR/1978, UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 yang menyatakan bahwa putusan hak uji material (judicial review) diambil berhubungan dengan pemeriksaan ditingkat kasasi. Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan jika pemohon telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh UU;
  • Yang dapat mengajukan gugatan adalah badan hukum dan kelompok masyarakat (Pasal 1 ayat [5]), sedang yang dapat mengajukan permohonan adalah kelompok masyarakat (Pasal 1 ayat [7]);
  • Tenggang waktu permohonan atau gugatan judicial review adalah 180 hari setelah peraturan perundang-undangan tersebut berlaku (Pasal 2 ayat [4])
  • Dalam pemeriksaan gugatan, tergugat (pihak pembuat peraturan perundang-undangan) harus didengar keterangannya (Pasal 9 ayat [4]) sedang dalam hal permohonan, pihak pembuat peraturan perundang-undangan tidak perlu didengar pendapatnya;
  • Bila MA mengabulkan gugatan atau perhomonan judicial review maka pihak yang membuat peraturan perundang-undangan harus mencabutnya (Pasal 9 ayat [2] dan 10 ayat [2]) dan bila pihak yang membuat peraturan perundang-undangan tersebut tidak mencabutnya maka 90 hari setelah putusan MA tersebut, peraturan perundang-undangan yang harus dicabut dianggap tidak sah dan tidak berlaku umum (Pasal 12 ayat [1] dan 13 ayat [1]).

Terdapat beberapa catatan kritis mengenai Perma tersebut yang masih memuat kelemahan-kelemahan yaitu sebagai berikut:

Pertama, melanggar Pasal 6 Ketetapan MPR III/MPR/2000, yang berbunyi sebagai berikut: Tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung tetapi harus dengan undang-undang.

Kedua, Pasal 10 Perma 1 tahun 1999 tidak mewajibkan hakim untuk mendengar pihak Termohon. Tidak adanya kewajiban mendengar pendapat pihak yang mengeluarkan peraturan atau pihak yang terkena dampak judicial review dalam hal judicial review diajukan dengan mekanisme permohonan dapat dikatakan melanggar Azas Audi et Alteram Partem, yang artinya keterangan pihak lawan juga harus didengar.

Ketiga, dalam Perma diatur mengenai jangka waktu untuk mengajukan judicial review yaitu 180 hari. Pembatasan waktu setidaknya memiliki 2 implikasi yaitu (1) pembatasan hak memohon di satu sisi (2) bila tidak ada pembatasan waktu, maka untuk sebuah UU yang telah lama berlaku telah memberikan dampak yang bisa jadi besar, akibatnya kepastian hukum tidak dapat dijamin. Apalagi bila dampak tersebut telah membawa kerugian sehingga akan ada implikasi keuangan negara (jika akan dikenal adanya ganti rugi dari negara bila ada kerugian pemohon dengan diundangkannya UU yang bertentangan dengan konstitusi). Namun di sisi lain, dengan menetapkan jangka waktu tertentu, akibatnya akan banyak Peraturan yang sudah berlaku lama dan ternyata menimbulkan permasalahan namun tidak dapat diajukan judicial review.

Keempat, Perma juga melanggar Azas tentang Terminologi dan Sistematika (Het Beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systimatiek) karena dalam Perma No.1 tahun 1999 tidak dapat dibedakan antara terminologi gugatan dan permohonan.

G. Mekanisme Beracara Dalam judicial Review

1. Prinsip-prinsip hukum acara

Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non-contentieus procesrecht” atau hukum acar non sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan). Bila menelaah asas-asas hukum publim yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara Judicial review seharusnya juga terikat pada asas tersebut.

Asas tersebut adalah:

a. Asas Praduga Rechtmatig

Putusan pada perkara judicial review seharsunya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara –misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review—harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya akibat ketidaksahan suatu peraturan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.

b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes)

Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara Judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja – tidak hanya para pihak yang berperkara.

2. Pengajuan Permohonan atau Gugatan

Dalam Perma No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam Perma No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut.. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.

Perma No. 1 tahun 1999 mengatur baras waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial Review. Sedangkan dalam perma No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.

3. Alasan Mengajukan

Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui Perma No. 2 tahun 2002, maupun dalam Perma No 1 tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam Perma hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.

Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :

· Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi

· Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

· Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

· Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.

· Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi.

4. Pihak yang berhak mengajukan judicial review

Dalam Perma no 1/1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam Perma ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang. Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk

Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka perlu diperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugatan adalah kelompok masyarakat yang:

· Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu Dalam Anggaran Dasar nya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundang-undangan

· Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.

· Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-undangan yang bersangkutan.

5. Putusan dan Eksekusi Putusan

Dalam Perma No 1/1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.

Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU -baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi hukum.

Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex tunc).

Dalam hal pencabutan putusan secara ex tunc, complaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administratif telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.

Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.

H. Praktek Judicial Review di Indonesia

Mencermati perkembangan penerimaan publik terhadap substansi produk hukum yang dihasilkan dalam beberapa waktu terakhir, judicial review menjadi pilihan yang tidak mungkin dihindarkan untuk ‘mengkoreksi’ kesalahan yang mungkin terjadi dalam sebuah produk hukum. Bahkan bagi banyak kalangan, pengajuan uji materil menjadi kebutuhan yang mendesak.

Kecenderungan ke arah ini dapat dilihat dari keinginan beberapa kelompok masyarakat untuk mengajukan permohonan dan gugatan uji materiil berbagai produk hukum yang mereka nilai mengandung kontroversial kepada Mahakamah Agung. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, rencana pengajuan hak uji materiil terhadap peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Persitiwa Peledakan Bom Bali (selanjutnya ditulis Perpu Antiterorisme) oleh sejumlah tokoh organisasi nonpemerintah. Pengajuan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Perpu Antiterorisme dianggap tidak layak diterapkan karena banyak materinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan undang-undang.

Kedua, rencana yang sama juga akan dilakukan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK). Langkah hukum ini dilakukan oleh KPKPN karena Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 dinilai telah menghilangkan amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Untuk lebih mendalami bagaimana suatu perkara Judicial Review berproses, maka perlu dipaparkan beberapa contoh kasus secara mendetail. Kasus di bawah ini dapat dijadikan contoh bagaimana Mahkamah Agung memutuskan permohonan uji materiel atas satu Peraturan Pemerintah terhadap Undang-Undang. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2000 yang menjadi landasan terbentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk melihat berbagai kelemahan dalam pengajuan suatu kasus, maka akan dilihat bagaimana suatu kasus dengan logika dan latar belakang yang kurang lebih sama ternyata diputus secara berbeda. Suatu proses penyelesaian perkara tidak dapat dilihat hanya dari perspektif hukum saja, namun perlu dicermati lebih lanjut konteks suatu perkara dan hal-hal yang melatarbelakangi perkara tersebut. Kasus judicial review yang dipaparkan berikut selain menarik untuk dicermati dari perspektif hukum juga mengandung muatan non hukum yang cukup kompleks. Berkaca dari perkara ini, maka dapat terlihat bahwa proses penyelsaian suatu perkara tidak murni bergantung pada aturan-aturan normative yang tresedia, namun lebih jauh lagi bergantung juga pada kepentingan yang bermain di dalamnya, dan kelemahan pada sistem peradilan yang berpengaruh pada kualitas putusan.

Kasus Indra Sahnun versus TGPTPK

Pada tanggal 4 September 2000, Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan mengajukan permohonan hak uji materil atas PP No.19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Agung yang dianggap bertentangan dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Ada dua dalil yang dipergunakan oleh pemohon dalam permohonan pengujian terhadap materi Peraturan Pemerintah tersebut. Pertama, ketentuan dalam PP No.19/2000 tersebut dinilai oleh pemohon melanggar ketentuan Pasal 27 UU No.31/1999. Pasal ini berbunyi: “Dalam menentukan tindak pidana yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dalam koordinasi Jaksa Agung”. Sedangkan dalam Konsideran PP No.19/2000 huruf ‘a’, dinyatakan: “Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 27 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memerintahkan pembentukan Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”. Dalam Pasal 6 ayat (2) PP tersebut juga ditegaskan bahwa “keanggotaan Tim Gabungan bersifat permanen”. Padahal, menurut ketentuan Pasal 27 UU di atas, pembentukan tim tersebut tidaklah mutlak dan sifatnya tidak harus permanen, melainkan cukup bersifat insidentil dan temporer. Kedua, Pasal 43 ayat (1) UU No.31/1999 menyatakan: “Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak UU ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dalam rangka pelaksanaan ketentuan tersebut Pasal 18 PP No.19/2000 menyatakan: “Tim gabungan melaksanakan tugas dan wewenangnya selama belum dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dengan demikian, Pasal 18 PP telah mengidentikkan atau menggantikan Komisi Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi untuk sementara waktu dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Komisi yang seharusnya dilakukan dengan Undang-Undang telah direduksikan oleh Pemerintah dengan membentuk Tim Gabungan dengan Peraturan Pemerintah.

Atas dasar kedua dalil tersebut, majelis hakim Mahkamah Agung dimohon untuk (i) mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, (ii) menyatakan PP No.19/2000 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, (iii) memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No.19/2000 dengan ketentuan apabila dalam tempo 90 hari setelah putusan dikirimkan (disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan (iv) menghukum pihak pemerintah untuk membayar biaya perkara .

Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Agung mengabulkan seluruh permohonan hak uji materil tersebut dengan pertimbangan bahwa dalam membuat suatu peraturan, tidak cukup hanya mendasarkan diri pada asas kemanfaatan/ kebutuhan/tujuan tertentu, tetapi juga harus sesuai dengan prinsip supremasi hukum, yaitu suatu peraturan baik secara formal maupun substansial tidak melanggar asas-asas kaedah hukum atau tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Tegasnya, penerapan asas kemanfaatan (doelmatigheid) harus didampingi dengan penerapan asas legalitas (rechtsmatigheid), termasuk dalam kaitannya dengan prinsip hirarki peraturan perundang-undangan yang tidak boleh dilanggar. Sehubungan dengan itu, majelis hakim berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah No.19/2000, baik dari segi formal maupun substansial materiil, mengandung materi muatan yang bertentangan dengan Undang-Undang.

Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh majelis hakim mengenai hal tersebut mencakup sembilan dalil sebagai berikut:

Pertama, Pasal 6 ayat (2) PP menyatakan: “Keanggotaan tim gabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat tetap”. Pasal 7 ayat (1) menyatakan: “Tim gabungan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh sekretariat tim gabungan”. Pasal 13 ayat (1) menyatakan: “Dalam rangka melaksanakan tugas tim gabungan, ketua tim gabungan dapat mengusulkan pembentukan satuan tugas penyidikan dan penuntutan kepada Jaksa Agung”. Padahal, Pasal 27 UU No.31/1999 mengandung makna bahwa tim gabungan itu bersifat tidak tetap, temporer, insidentil, fakultatif, kasuistis, dan bukanlah suatu keharusan untuk dibentuk.

Kedua, Pasal 5 PP menyatakan bahwa keanggotaan tim gabungan mencakup unsur kepolisian, kejaksaan, instansi terkait dan unsur masyarakat.

Keikutsertaan unsur masyarakat memang terkait dengan ketentuan Pasal 43 ayat (4) UU yang menyatakan bahwa salah satu unsur anggota komisi pemberantasan tindak pidana korupsi berasal dari unsur masyarakat, namun hal itu harus diatur dengan undang-undang, bukan dengan peraturan pemerintah. Keikutsertaan unsur masyarakat dalam pelaksanaan fungsi penyidikan harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, karena kewenangan penyidikan itu sendiri diatur dengan undang-undang.

Ketiga, Pasal 11 ayat (5) PP menentukan penambahan dan pemekaran kewenangan penyidik, sehingga mencakup pula berwenang untuk meminta keterangan mengenai keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka, membuka/memeriksa/ menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalan dan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya. Padahal Peraturan Pemerintah, secara hukum, tidak dapat menambah ataupun mengurangi kewenangan-kewenangan yang seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Setiap hal yang dapat meniadakan ataupun mengurangi hak-hak warga negara ataupun yang membebani warga negara dengan kewajiban-kewajiban keuangan ataupun kewajiban lainnya yang kebebasannya dijamin berdasarkan konstitusi, tidak boleh ditetapkan sendiri oleh pemerintah tanpa mendapat persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen. Karena itu, pengaturan seperti itu harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Keempat, di samping hal tersebut di atas, perluasan kewenangan juga diberikan oleh Pasal 12 ayat (4) PP yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan, dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3). Padahal, hal ini jelas seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan dalam peraturan pemerintah. UU telah menentukan sendiri secara eksklusif tentang pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tersebut.

Kelima, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (4) PP memuat ketentuan yang mencerminkan pengertian bahwa Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam PP No.19/2000 tersebut merupakan badan yang bersifat tetap, seakan-akan sudah menjadi Komisi yang bersifat permanen, yang seharusnya dituangkan pengaturannya dalam undang-undang. Keenam, tidak ada satu pasalpun dalam UU No.31/1999 yang mendelegasikan (delegated legislation) perluasan dan pemekaran kewenangan melalui Peraturan Pemerintah. Ketujuh, majelis hakim berpendapat bahwa UU No.31 No.1999 merupakan ketentuan primer yang tidak dapat dikesampingkan baik dalam bentuk penambahan, pengurangan ataupun dengan membuat peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perintah UU tersebut dengan ketentuan yang bersifat sekunder, yang dalam hal ini melalui PP No.19/2000. Kedelapan, majelis hakim berpendapat bahwa Pasal 18 PP No.19/2000 telah menyisihkan hakikat Pasal 43 ayat (1) UU No.31/1999, dan karenanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi benda yang terasing, karena telah disubstitusikan keberadaannya oleh PP No.19/ 2000 dengan Tim Gabungan. Kesembilan, majelis hakim menimbang agar hakikat UU No.31/1999 tidak hilang maka PP No.19/2000 harus dicabut dan materi kewenangan yang terdapat dalam PP tersebut dilembagakan menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diamanatkan oleh UU No.31/1999 untuk segera dibentuk.

Hubungan Kepentingan Yang Terlibat dan Kedudukan Hakim

Dalil-dalil yang digunakan oleh majelis hakim untuk memutuskan mengabulkan permohonan pemohon, secara teknis hukum memang dapat dinilai masuk akal, dan sesuai dengan prinsip legalitas atau memenuhi unsur-unsur ‘rechtsmatigheid’ yang lazim dan diakui dalam hukum. Sudah tentu, argumentasi yang bertentangan juga dapat saja dibangun untuk melawan dalil-dalil yang dikembangkan oleh majelis hakim. Misalnya, dapat ditelaah secara kritis apakah benar TGPTPK identik atau mengidentikkan diri dengan Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dipahami oleh majelis hakim. Ketentuan mengenai Tim Gabungan itu sendiri diatur jelas dalam Pasal 27 UU No.31/1999, sedangkan Komisi diatur dalam Pasal 43 UU yang sama. Kesimpulan majelis hakim yang menyatakan bahwa TGPTPK berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) adalah badan yang bersifat tetap, sepenuhnya merupakan penafsiran hakim yang sifatnya sangat relative. Lagi pula, jika TGPTPK itu bersifat tetap sekalipun tidaklah terlalu prinsipil, sehingga harus dianggap bertentangan dengan UU. Apalagi sifat keanggotaan TGPTPK yang tetap justru diperlukan untuk membantu Jaksa Agung berdasarkan kebutuhan yang penilaiannya ditentukan oleh Jaksa Agung sendiri. Banyak lagi argument-argumen tandingan yang juga masuk akal yang dapat diajukan terhadap pertimbangan-pertimbangan majelis hakim tersebut.

Namun demikian, argumen atau pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pengujian materiel terhadap PP No.19/2000 itu harus diakui memang mempunyai dasar yang logis, terutama jika pertimbangannya melulu mendasarkan diri pada penerapan prinsip ‘rechtsmatigheid’. Akan tetapi, seperti diakui sendiri oleh majelis hakim, prinsip ‘rechtsmatigheid’ itu harus diterapkan secara berimbang dengan prinsip ‘doelmatigheid’. Setiap aturan hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai yang diidealkan memberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat teknis. Namun, sebaliknya, tujuan juga tidak boleh menghalalkan segala cara (the end may not justify the means). Karena itu, penting sekali menemukan titik keseimbangan di antara keduanya.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengemukakan: “… suatu peraturan perundang-undangan tidak cukup hanya mendasarkan pada asas kemanfaatan/kebutuhan/ tujuan tertentu, namun juga harus sesuai dengan prinsip supremasi hukum, …”, dan juga menyatakan: “… upaya pemberantasan korupsi harus didukung sepenuhnya dan harus diberantas secara tidak kepalang tanggung, tanpa memandang siapapun pelakunya, sesuai dengan asas kesamaan di depan hukum. Namun, asas tujuan kemanfaatan harus didampingi dengan penerapan asas legalitas”.

Dari kedua pernyataan tersebut jelas bahwa majelis hakim berada dalam posisi ingin memperjuangkan penerapan asas legalitas di samping asas tujuan dan kemanfaatan yang diasumsikan telah menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang eksistensinya berdasarkan PP No.19/2000 digugat oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan.

Dengan perkataan lain, secara psikologis, majelis hakim mempunyai posisi dan pandangan yang sejalan dengan kepentingan pemohon uji materiel dalam upaya merumuskan keseimbangan antara prinsip ‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’.

Sebaliknya, para pembela PP No.19/2000 dapat pula mengemukakan argument sebaliknya, yaitu prosedur dan tata cara teknis tidak seharusnya menjadi penghalang untuk mencapai tujuan yang mulia memberantas tindak pidana korupsi. Kejahatan korupsi di Indonesia dinilai telah berurat berakar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Karena itu, bahayanya sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kejahatan korupsi itu bahkan dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights), yang biasa disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika, penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat memerlukan mekanisme pengadilan yang bersifat khusus, yaitu pengadilan hak asasi manusia, maka sudah seyogyanya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi ini dilakukan secara khusus pula dengan dibentuknya pengadilan khusus yang dilengkapi dengan institusi penyidik yang bersifat khusus pula.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam Undang-Undang No.31/1999 dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2000 tidak lain merupakan wadah khusus yang diperlukan dalam rangka penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi dengan menggunakan cara-cara dan prosedur yang tidak biasa dan tidak konvensional.

Jika penanganan masalah kejahatan korupsi hanya dilakukan dengan tatacara dan prosedur yang biasa, maka hasilnya dinilai tidak akan maksimal, atau malah tidak akan menghasilkan apa-apa. Apalagi, perkara yang dihadapi menyangkut hukum pidana, bukan perdata, yang dalam proses pembuktiannyapun cukup ditemukan kebenaran yang bersifat formil saja. Dalam pembuktian perkara pidana, para hakim perlu menggali dan menemukan kebenaran materiel di balik alat-alat bukti yang tersedia. Karena itu, majelis hakim sudah seharusnya mengutamakan lebih dulu asas kemanfaatan dan kemuliaan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi itu, barulah mengimbanginya dengan jaminan penerapan asas legalitas.

Kedua logika pemohon keberatan terhadap PP No.19/2000 dan logika pembela PP tersebut, pada pokoknya, sama-sama dapat dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, para hakim haruslah benar-benar berdiri di tengah-tengah dan menyelesaikan perkara yang menyangkut pertentangan kepentingan di antara keduanya secara adil (just), bebas (independent) dan tidak memihak (impartial). Oleh karena itu, penting sekali artinya untuk mendudukkan lebih dulu secara proporsional mengenai posisi hakimnya sendiri serta para pihak yang terlibat dalam persengketaan. Siapakah pemohon dan siapakah para hakimnya. Apakah ada hubungan kepentingan antara keduanya, dan apakah hubungan kepentingan yang terdapat antara kasus yang terjadi dengan para pemohon.

Pertama, apa sebenarnya yang menyababkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat berkepentingan sehingga mereka mengajukan permohonan keberatan terhadap PP No.19/2000 tersebut. Atas dasar kepentingan apa sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan. Apakah murni atas dasar kepentingan hukum dalam arti norma yang bersifat umum (general norms) atau atas dasar kepentingan membela dan melindungi warga negara yang terancam oleh eksistensi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No.19/2000 tersebut. Jika pilihannya adalah yang terakhir, berarti kepentingan hukum yang terlibat di dalamnya berkaitan dengan norma hukum yang nyata-nyata -- dengan meminjam istilah yang dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam pandangannya mengenai ‘stuffenbau-theorie’ -- bersifat konkrit dan individual (concrete and individual norms), bukan norma hukum yang bersifat umum (general norms)

Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP No.19/2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh TGPTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim agung tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut norma hukum yang bersifat konkrit dan individual (conrete and individual norm), yaitu kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, dan tidak secara langsung berkaitan dengan materi muatan PP No.19/2000 yang berisi norma yang berlaku umum (general norms). Oleh karena itu, penyelesaian perkara yang menyangkut kepentingan hukum yang bersifat konkrit dan individuil (concrete and individual norms) ini seharusnya tidak diselesaikan melalui pengujian terhadap PP yang berisi norma umum (general norms), melainkan dilakukan melalui proses peradilan biasa. Dalam proses peradilan itu sudah dengan sendiri majelis hakim juga dapat mengesampingkan berlakunya suatu Peraturan Pemerintah yang dinilai oleh hakim bertentangan dengan Undang-Undang. Akan tetapi, putusan mengenai hal itu diambil oleh hakim dalam proses peradilan terhadap kedua terdakwa hakim agung tersebut.

Upaya pengujian atas materi suatu peraturan perundang-undangan malah seharusnya dibatasi, sehingga mekanisme ‘judicial review’ tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang telah dinyatakan sebagai terdakwa atau tersangka berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan demikian, ‘judicial review’ benar-benar digunakan sebagai upaya hukum yang dimaksudkan untuk penataan sistem hukum agar harmonis dan sinergis antara satu sama lain, baik secara horizontal maupun vertical. Jika para pemohon terkait dengan kepentingan yang menyangkut norma yang konkrit dan individual, maka seyogyanya hakim menolak permohonan yang bersangkutan, dan menganjurkannya menyelesaikan perkaranya terlebih dulu melalui proses peradilan biasa. Dengan demikian tidak timbul ‘conflict of interests’ dalam upaya pembangunan dan penegakan sistem hukum yang berkeadilan.

Kedua, ketua majelis hakim yang mengadili perkara ‘judicial review’ atas PP No.19 tahun 2000 itu adalah Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung yang sebelumnya pernah berperan sebagai penasehat hukum bagi kedua tersangka. Karena itu, mudah diduga bahwa majelis hakim ini yang diketuai Paulus Effendi Lotulung akan berpihak dan tidak netral. Lebih-lebih, karena para tersangka adalah hakim agung, sudah tentu majelis hakim Mahkamah Agung sendiri secara diam-diam akan berusaha keras membela kepentingan rekan sendiri melalui penyidangan permohonan uji materiel terhadap materi PP No.19/2000 tersebut, sebelum perkara kedua hakim agung itu sendiri disidangkan di pengadilan. Dengan begitu, proses peradilan terhadap kedua hakim agung tersebut dapat dihindarkan, karena dasar hukum institusi penyidik terhadap keduanya, yaitu PP No.19/2000 telah dinyatakan tidak berlaku secara hukum.

Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No.14/1985 jelas menentukan: “… seorang hakim tidak diperkenankan mengadili dimana ia berkepentingan baik langsung maupun tidak..”. Karena itu, Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH sebaiknya tidak diperkenankan mengadili perkara ‘judicial review’ atas PP No.19/2000 sebelum perkara dua hakim agung itu sendiri diselesaikan. Bahkan, majelis hakim dan Mahkamah Agung sendiri seharusnya menolak permohonan pengujian materiel atas PP No.19/2000 tersebut sebelum, perkara tuduhan korupsi terhadap kedua orang hakim agung yang terlibat itu diselesaikan secara hukum. Bahkan selama status mereka berdua masih sebagai hakim agung, maka Mahkamah Agung sendiri tidak boleh dan tidak mungkin bertindak sebagai hakim yang akan menjamin keadilan yang sejati. Prinsip-prinsip ini penting dijadikan pegangan karena hakim haruslah bekerja secara merdeka (independent) dan tidak memihak (impartial).

Prinsip ‘Doelmatig’ dan ‘Rechtsmatig’ di Era Transisional

Dalam rangka mencapai atau menemukan titik keseimbangan antara prinsip ‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’ seperti yang dikemukakan di atas, selain factor subjek yang terlibat, yang juga penting diperhatikan adalah factor kondisi lingkungan strategik yang mempengaruhi proses penentuan keputusan yang adil dan tepat. Di dalamnya terdapat konteks ruang (space) dan waktu (time) yang sangat mempengaruhi. Yang dimaksud dengan ruang disini dapat berupa ruang ke-Indonesiaan, ruang kedaerahan, ruang lokasi, ataupun ruang persidangan dimana perkara pengujian materiel itu disidangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan konteks waktu disini dapat berupa waktu pagi, siang, sore, atau malam; dan waktu harinya, bulannya ataupun waktu dalam arti era dan zaman. Yang terakhir inilah yang saya anggap paling relevan untuk dibahas disini, berkenaan dengan kasus pengujian terhadap materi PP No.19/2000 terhadap UU No.31/1999.

Perkara ini disidangkan dalam suasana zaman dimana pemerintahan negara kita bersifat transisional dari otoritarian menuju demokrasi, dan dari era ‘Rachtsstaat’ menuju era ‘Rechtsstaat’. Dalam proses transisi itu, sistem demokrasi yang dipraktekkan masih harus disebut sebagai ‘transitional democracy’, dan prinsip-prinsip keadilan yang ditegakkan masih bersifat ‘transitional justice’. ‘Rule of the game’ yang dipakai selama masa transisi itu juga bersifat transisional, alias belum sepenuhnya ideal. Sistem hukum dan konstitusi yang seharusnya dijadikan standard pengambilan keputusan untuk mewujudkan keadilan itu juga sedang mengalami reformasi dan penataan kembali secara bertahap. Inilah yang menjadi hakikat era reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum yang menjadi pesan gerakan reformasi nasional sejak tahun 1998. Memang benar, masa transisi haruslah dibatasi secara tegas waktunya. Akan tetapi, dari segi hokum, batas era transisi itu sangatlah jelas, yaitu sampai dokumen hukum tertinggi, yaitu naskah Undang-Undang Dasar selesai diubah menjadi hukum dasar yang utuh. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, UUD 1945 telah diubah tiga kali. Akan tetapi, perubahan itu dilakukan secara cicilan dan sepenggal-sepenggal, sehingga hasilnya belum belum bersifat utuh. Karena itu, keseluruhan naskah UUD 1945 yang asli ditambah tiga naskah Perubahan yang sudah disahkan, belum dapat difungsikan sebagai satu kesatuan konstitusi yang mengandung hukum dasar yang utuh. Sebelum konstitusi negara kita selesai dirumuskan menjadi hukum dasar yang utuh, sistem hukum Indonesia yang berdasarkan konstitusi belum dapat dikatakan utuh, dan karena itu masih bersifat transisional

Karena konstitusinya saja belum utuh dan antara satu pasal dengan pasal lainnya masih bersifat tumpang tindih dan bahkan kadang-kadang ada yang bersifat saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan di bawahnya juga masih belum bersifat utuh. Sekarang ini, banyak Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang, baik karena kelemahan dalam perumusan PP tersebut ataupun karena UU nya sendiri dirumuskan lebih belakangan daripada PP yang bersangkutan. Kadang-kadang ada pula Peraturan Pemerintah yang dirumuskan secara berbeda dari ketentuan suatu UU karena adanya kebutuhan yang nyata di lapangan yang materinya tidak mungkin dimasukkan ke dalam UU karena UU sendiri baru disahkan. Dalam kasus-kasus demikian, Peraturan Pemerintah tersebut memang dapat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang. Akan tetapi, karena UUD sendiri juga sedangkan mengalami perubahan besar-besaran, dapat pula terjadi bahwa UU yang dijadikan dasar untuk menilai Peraturan Pemerintah tersebut di atas, juga ternyata bertentangan dengan UUD yang baru saja diubah.

Sebagai contoh, cukup banyak Peraturan Pemerintah yang ditetapkan yang bertentangan dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Misalnya PP No.109/2000 dan PP No.110/2000. Akan tetapi, dengan adanya perubahan terhadap ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang telah disahkan berdasarkan Perubahan Kedua UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa UU No.22/1999 itupun sudah bertentangan dengan UUD. Peraturan Pemerintah memang dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Tetapi, pengujian terhadap materi UU, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, dalam waktu dekat, Mahkamah Konstitusi itu sendiri belum terbentuk, karena masih menunggu dibentuknya Undang-Undang yang khusus berkenaan dengan itu. Jika berbagai PP yang dianggap bertentangan dengan UU dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung, sedangkan UU belum dapat diuji materiel dalam waktu dekat ini, maka dapat saja terjadi bahwa banyak PP yang dianggap bertentangan dengan ketentuan UU yang memang seharusnya sudah diubah berdasarkan ketentuan UUD yang baru, dapat dengan mudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung. Padahal mungkin saja Peraturan Pemerintah tersebut justru sesuai dengan semangat UUD yang baru. Jika hal ini terjadi, maka dapat timbul kekacauan dalam sistem hukum Indonesia yang sangat membahayakan masa depan Negara Hukum kita.

Contoh lain berkenaan dengan kondisi kekacauan dan tidak harmonis peraturan perundang-undangan negara kita di masa transisi ini yang berkaitan erat dengan kasus yang dibahas disini adalah pertentangan antara ketentuan UU No.14 tahun 1985 dengan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak uji materiel. Menurut ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU No.14/1985, hak uji materiel (judicial review) dilakukan melalui pemeriksaan kasasi. Dengan demikian, pengujian materiel dilakukan bertahap mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, barulah sampai ke Mahkamah Agung. Tetapi, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ dan Pasal 5 ayat (1) huruf ‘a’ menyatakan bahwa ‘judicial review’ dapat dilakukan melalui permohonan langsung ke Mahkamah Agung.

Padahal menurut ketentuan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) jelas tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, banyak pula hal-hal yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini yang seharusnya menjadi materi muatan Undang-Undang ataupun yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang. Misalnya, PERMA ini menentukan pembatasan waktu pengajuan hak uji, yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi oleh suatu peraturan yang ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung. Semua ketentuan yang bertentangan ataupun yang seharusnya dituangkan dalam UU tetapi ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung dalam bentuk PERMA, semata-mata didasarkan atas pertimbangan asas tujuan dan manfaat, dengan mengabaikan asas legalitas. Oleh karena itu, dalam masa transisi konstitusional dewasa ini, para hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yang menyangkut prinsip-prinsip keadilan transisional (transitional justice), termasuk dalam menguji materi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keseimbangan dalam penerapan prinsip ‘doelmatigheid’ dan penerapan prinsip ‘rechtsmatigheid’ dapat ditemukan, jika majelis hakim dapat mengembangkan penafsiran yang bersifat kontekstual. Sudah sangat jelas bahwa di masa transisi ini, sistem hukum Indonesia sedang mengalami penataan kembali, maka sudah dengan sendirinya banyak sekali terdapat kekurangan disana-sini, sehingga prinsip ‘rechtsmatigheid’ tidak dapat sepenuhnya diandalkan atau dijadikan andalan dalam mewujudkan keadilan. Karena itu, majelis hakim sudah seharusnya mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas legalitas. Dengan demikian, hakim tidak hanya menjadi mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut, tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejati.

Perbandingan dengan Putusan terhadap PP No.17/1999 tentang BPPN

Sebagai bahan perbandingan, disini dapat pula dibahas logika yang digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan hak uji materil atas PP No.17/1999 tentang BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) tertanggal 1 Desember 1999 yang diketuai oleh Ketua Muda Mahkamah Agung M. Yahya Harahap Dalam kasus ini, majelis hakimnya dipimpin oleh Yahya Harapan, SH. dengan hakim anggota yang terdiri atas Achmad Syamsuddin, SH. dan Arbijoto, SH. Posisi Yahya Harahap sebagai ketua majelis hakim dalam kasus ini sangat berbeda dari posisi Yahya Harahap, yang dalam kasus permohonan uji materil atas PP No.19/2000, tersangkut dengan kedudukannya sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Dalam kasus pengujian atas PP No.17/1999, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan hak uji materil yang diajukan oleh DPP Asosiasi Advokat Indonesioa (AAI) yang menuntut agar Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Pemerintah No.17/1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan dinyatakan tidak berlaku umum serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memerintahkan agar PP tersebut dicabut. Sedangkan dalam kasus pengujian atas PP No.19/2000, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan pemohon seluruhnya, menyatakan PP No.19/2000 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, memerintahkan Presiden untuk segera mencabut PP No.19/2000, dengan ketentuan apabila dalam tempo 90 hari ternyata PP tersebut PP tersebut belum dicabut, maka demi hukum PP tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, dan menghukum pemerintah membayar biaya perkara.

Alasan penolakan terhadap permohonan keberatan dari pemohon hak uji materil atas PP No.17/1999 tersebut adalah: Pertama, meskipun PP No.17/1999 memberikan kewenangan yang agak menyimpang dari ketentuan formal UU yang lebih tinggi, tetapi jika dikaitkan dengan “kebutuhan dalam keadaan darurat dan bersifat ‘occasional’”, maka substansi dan materi yang terkandung dalam PP No.17/1999 tersebut (a) tidak sampai mematikan hak perdata seseorang, (b) tidak sampai melanggar hak asasi manusia, (c) tidak mematikan hak seseorang untuk mengajukan perlawanan atau gugatan kepada pengadilan terhadap BPPN, (d) tidak melanggar asas legalistik, (e) tidak melanggar prinsip demokrasi dan prinsip egalitarianisme maupun praktek diskriminasi; Kedua, kewenangan BPPN mengeluarkan surat paksa -- penyitaan, pelelangan, dan pengosongan – masih mengacu kepada Pasal 195 dan Pasal 200 Hukum Acara Perdata (HIR). Kewenangan BPPN tersebut jika diuji dengan prosedur Hukum Acara Perdata, masih berada dalam kerangka tertib hukum acara (scope of due process of law); Ketiga, Jika dihubungkan dengan pertimbangan urgensi, emergensi dan ‘occasional demand’, pemberian wewenang yang besar kepada BPPN bukan merupakan pelanggaran yang dapat dikategorikan bertentangan dengan ‘fundamental law’ (natural justice). Kewenangan yang besar tersebut masih berada dalam batas-batas toleransi hukum dan keadilan moral (moral justice); Keempat, di samping itu, melalui putusannya itu, Mahkamah Agung menyampaikan saran (advice) agar PP No.17/1999 tersebut secepatnya ditingkatkan menjadi Undang-Undang, agar tidak menimbulkan hujatan dan sekaligus memperkokoh kedudukan hukum BPPN sendiri, sehingga kekuasaan BPPN yang bersifat ‘extra-judicial’ dapat terkait secara hukum sebagai ‘lex specialis’ berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.

Dalam keadaan normal dan dengan menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ yang ketat pemberian kewenangan kepada suatu badan untuk melakukan segala tindakan yang dapat memaksa warga negara untuk mengalihkan hak dan kewajibannya atau membebani warga negara atau subjek hukum lainnya dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat memaksa, haruslah dilakukan dengan undang-undang. Karena itu, keberadaan lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan kewenangan yang sangat besar, tetapi hanya dibentuk dengan Peraturan Pemerintah tidaklah dapat diterima secara hukum. Karena itu, saran (advice) majelis hakim Mahkamah Agung agar PP tersebut ditingkatkan kedudukannya menjadi Undang-Undang, memang dinilai sangat tepat. Akan tetapi, karena majelis hakim memberikan toleransi yang besar terhadap kenyataan bahwa pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional tersebut sangat diperlukan dalam keadaan yang bersifat mendesak atau ‘urgen’, darurat atau ‘emergensi’, dan bersifat ‘occasional demand’ dalam arti tidak dimaksudkan bersifat permanen, melainkan hanya bersifat sementara, maka majelis hakim menganggap bahwa permohonan keberatan atas PP No.17/1999 tersebut tidak dapat diterima. Pertimbangan urgensi, emergensi, dan ‘occasional demand’ tersebut di atas, jelas sekali lebih mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ daripada prinsip ‘rechtsmatigheid’.

Pada masa-masa transisi menuju demokrasi yang penuh (‘transition towards constitutional democracy’) seperti yang dialami bangsa Indonesiia selama 4 tahun terakhir ini, memang perlu disadari berlakunya prinsip ‘transitional justice’ dalam pemahaman kita mengenai hukum dan sistem hukum yang dewasa ini juga tengah mengalami perubahan mendasar. Oleh karena itu, pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Muda M. Yahya Harahap dalam kasus pengujian materil atas PP No.17/1999 tersebut dapat dinilai bijaksana. Oleh karena itu, seharusnya, majelis hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH. yang memeriksa permohonan pengujian materil atas PP No.19/2000 juga menerapkan logika hukum yang sama, yaitu menolak permohonan keberatan yang diajukan oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan, dan memberikan saran (advice) agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat meningkat kedudukan materi yang diatur dalam PP No.19/2000 tersebut menjadi materi Undang-Undang.

Sangat disayangkan bahwa prinsip logika yang diterapkan dalam kasus pengujian materil atas PP No.17/1999 dan pengujian materil atas PP No.19/2000, berbeda satu sama lain. Dalam kasus pertama, prinsip ‘doelmatigheid’ lebih diutamakan, sedangkan dalam kasus kedua, prinsip ‘rechtsmatigheid’lah yang lebih diutamakan. Dalam kasus pertama, majelis hakim mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh perkembangan kebutuhan hukum di masa transisi dengan memberikan pertimbangan khusus mengenai urgensi, emergensi, dan ‘occasional demand’ berkenaan dengan keberadaan PP No.17/1999, yang meskipun mengandung kekurangan dan kelemahan dari segi teknis hukum, dinilai oleh hakim tetap konstitusional dan dinyatakan sah berlaku sebagai hukum. Tetapi dalam kasus kedua, hakim justru berpegang teguh pada prinsip ‘rechtsmatigheid’ secara kaku, sehingga kelemahan teknis sedikit saja dari PP No.19/2000 sudah cukup dijadikan alasan bagi hakim untuk menyatakannya bertentangan dengan Undang-Undang dan karena itu di nyatakan tidak berlaku mengikat untuk umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa majelis hakim Mahkamah Agung telah menggunakan standar ganda dalam memberikan penilaian mengenai kedua kasus pengujian materil atas kedua Peraturan Pemerintah tersebut.

»»  Baca Selengkapnya...