Minggu, 28 Agustus 2011

ANALISIS HUKUM MENCERMATI MASALAH KASUS UJIAN CPNS KAB KUBU RAYA TAHUN 2010


ANALISIS HUKUM
MENCERMATI MASALAH KASUS UJIAN CPNS KAB KUBU RAYA TAHUN 2010 DAN  PERNYATAAN MENPAN 12 AGUSTUS 2011: BAHWA PELAKSANAAN PENGADAAN CPNS KABUPATEN KUBU RAYA “TIDAK DIKOORDINASIKAN OLEH GUBERNUR” KALIMANTAN BARAT SERTA USULAN HAK INTERPELASI DPRD KUBU RAYA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum.
(Expert Hukum Tata Negara UNTAN)

A.       BAGIAN PERTAMA           
1.         Persoalan kasus Ujian CPNS Kab Kubu Raya dapat dibagi menjadi empat  bagian, yaitu pertama, pelaksanaan pengadaan CPNS di Kabupaten Kubu Raya tidak dikoordinasikan oleh Gubernur Kalimantan Barat (Point 1 Surat MENPAN kepada BKN No B/1898.M.PAN-RB/8/2011 tanggal 12 Agustus 2011
2.         Berkaitan dengan masalah pertama, maka menarik pernyataan MENPAN di atas menyatakan “tidak dikoordinasikan oleh Gubernur Kalimantan Barat”  mengapa tidak menggunakan pernyataan tidak dikoordinasikan “dengan” Gubernur”, pertanyaannya Apakah Gubernur tidak melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud PP No 19 Tahun 2010, apakah yang dimaksud koordinasi menurut PP No 19 Tahun 2010 ? jika kita memahami apa yang dimaksud koordinasi berdasarkan Pasal 1 angka 5  PP No 19 Tahun 2010 tersebut menyatakan, bahwa  Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
3.         Jadi koordinasi yang dimaksudkan dalam PP No 19 Tahun 2010 adalah upaya yang dilaksanakan oleh Gubernur salah satunya ranahnya yang harus dikoordinasikan oleh Gubernur adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, dalam kaitannya dengan kasus Ujian CPNS Kab Kubu Raya adalah antara Provinsi Kal-bar dan Kabupaten Kubu Raya, untuk apa upaya koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur tersebut, yaitu keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dalam hal ini pelaksanaan ujian CPNS Kab Kubu Raya tahun 2010.
4.         Pertanyaannya bagaimana koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan ? Hal ini menjadi menarik ketika dikaitkan dengan pernyataan MENPAN tersebut bahwa fakta yang didapatkan tim verifikasi dan validasi pelaksanaan pengadaan CPNS tahun 2010 di Kabupaten Kubu Raya oleh BKN yaitu : pelaksanaan pengadaan CPNS di Kabupaten Kubu Raya tidak dikoordinasikan oleh Gubernur  Kalimantan Barat. (Point satu laporan dan temuan Tim verfikasi BKN dalam Surat MENPAN No B/1898/M.PAN-RB/8/2011)

5.         Pertanyaan mengapa pelaksanaan pengadaan CPNS di Kabupaten Kubu Raya tidak dikoordinasikan oleh Gubernur Kalimantan Barat ? pertanyaan selanjutnya adalah koordinasi apa saja yang dilakukan oleh Gubernur berkaitan dengan masalah kepegawaian di daerah berdasarkan tugas, wewenang Gubernur selaku wakil pemerintah  berdasarkan PP No 19 Tahun 2010 ?, sebenarnya secara normatif mengacu pada Pasal 3 ayat (1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi: salah satunya huruf  d. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota
6.         Pertanyaan apa yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2010 ? Pasal 1 angka 6 dan 7 menyatakan, bahwa Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah sedangkan Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien, efektif, berkesinambungan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 angka 6 dan 7 PP No 19 Tahun 2010)
7.         Berdasarkan pengertian pembinaan dan pengawasan diatas, kata kuncinya adalah Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah dan pengawasan juga menggunakan pernyataan upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah, jadi menggunakan “rumusan formulasi perintah/imperatif”, yang dilakukan oleh Gubernur, dengan demikian secara normatif bahwa Gubernur diberikan tugas dan kewenangan oleh PP No 19 Tahun 2010 yang sebenarnya menambah tugas dan kewenangan yang ada di UU No 32 Tahun 2004 artinya keberadaan PP No 19 Tahun 2010  ini merupakan hasil evaluasi dari UU 32 tahun 2004 berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, utamanya dalam Pasal 38 tentang tugas gubernur. Tujuan PP No 19 Tahun 2010 ini tidak membuat daerah menjadi arogan kekuasaan khususnya menyangkut kewenangan kabupaten/kota dan provinsi.
8.         Hal tersebut dapat ditelusuri Pasal 9 ayat (1) PP No 19 Tahun 2010 yang menyatakan, bahwa Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui salah satunya pada huruf b. pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; Penjelasan Pasal 9 ayat (1) Huruf b adalah Fasilitasi dan konsultasi dilakukan dalam rangka untuk keserasian program pengembangan kapasitas pegawai antar daerah dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
9.         Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf d jo Pasal 9 ayat (1) huruf b, PP No 19 Tahun 2010, maka Gubernur  melaksanakan pembinaan dan pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan kepegawaian kabupaten kota dan salah satu dimaksudkan untuk efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
10.     Berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang kepegawaian, maka apabila ada panitia teknis pelaksanaan ujian CPNS di kabupaten Kota yang akan melakukan secara mandiri dan pengadaan soal tidak melakukan berkerjasama dengan perguruan tinggi negeri sesuai dengan point 3 surat nomor B/2153/M.PAN-RB/09/2010 perihal koordinasi pengadaan CPNS daerah tahun 2010 oleh Gubernur, mengapa sejak awal tidak dicegah dan diperingatkan, sepertinya ada “pembiaran” agar masalah ini terjadi atau terjadi mis komunikasi antara keduanya Gubernur Kal-Bar dan Bupati KKR, sedangkan PP No 19 Tahun 2010 Gubernur berdasarkan perintah pasal 3 ayat (1) huruf d memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan, yaitu pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; kemudian Pasal 9 ayat (1) PP No 19 Tahun 2010 Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d menyatakan melalui Fasilitasi dan konsultasi dilakukan dalam rangka untuk keserasian program pengembangan kapasitas pegawai antar daerah dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
11.     Bukankah tugas koordinasi, pembinaan dan pengawasan itu menjadi Tugas Gubernur berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan Pasal 37 ayat (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Ayat (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Kemudian Pasal 38 ayat (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;  c koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. Ayat (3) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
12.     Dan Peraturan Pemerintah yang dimaksud Pasal 38 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 adalah PP No 19 Tahun 2010, sebagaimana dinyatakan konsideran Menimbang PP No 19 Tahun 2004 : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
13.     Atas dasar itu maka Gubernur dalam kaitannya dengan kasus Pelaksanaan ujian CPNS Kab Kubu Raya sejak awal harus berupaya mengingatkan kepada panitia teknis minimal melalui BKD Provinsi, bahwa Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kab Kubu Raya  agar mengindahkan Surat Edaran (SE) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  dan mengingatkan, bahwa ada risiko yang harus ditanggung BKD Kabupaten Kubu Raya jika tidak menjalankan isi SE, yakni tidak diprosesnya nomor induk pegawai (NIP) CPNS bersangkutan termasuk kewajiban peserta untuk menanda tangani lembar LJK karena itu merupakan salah satu syarat utama dalam pemberkasan, sebagaimana dimaksudkan angka 8 huruf b anak lampiran II C Peraturan Kepala BKN No 30 Tahun 2007 yang secara tegas diwajibkan bagi peserta ujian untuk menandatangni LJK ditempat telah disediakan. Jadi sebenarnya siapa yang tidak taat asas Gubernur atau Bupati berdasarkan PP No 19 Tahun 2010 dan tanggung jawab siapa jika LJK tidak ditanda tangani peserta ujian CPNS tahun 2010 di Kab Kubu Raya, mengapa harus “saling menyalahkan” tetapi mengapa tidak mencari solusi penyelesaian secara administratif” sebagai wakil pemerintah pusat. Jadi benar jika MENPAN berdasar Tim verifikasi dan palidasi BKN menyatakan, bahwa  pelaksanaan pengadaan CPNS Kabupaten Kubu Raya tidak dikoordinasi oleh Gubernur Kalimantan Barat”

B    BAGIAN KEDUA
14.     Masalah kedua “Pemerintah daerah Kabupaten Kubu Raya dalam pembuatan soal ujian dan pengeolahan tidak bekerjasama dengan Rektor Perguruan Tinggi” (point 2 Surat MENPAN no b 1898/M.PAN-RB/8/2011 perihal penyelesaian Kasus Ujian CPNS Daerah Kabupaten Kubu Raya, Pertanyaan apakah Bupati dan Walikota apabila melakukan secara mandiri pelaksanaan Ujian CPNS dibenarkan secara teknis administratif berdasarkan Tugas dan wewang Bupati dalam UU No 32 Tahun 2004 berkaitan melaksanakan otonomi daerah, adakah dasar hukumnya ? Dasar hukum bupati/walikota melakukan seleksi penerimaan mandiri yakni Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) B/2153/M.PAN-RB/09/2010 tertanggal 30 September 2010 bahwa pelaksanaan pengadaan CPNS tahun 2010 di daerah kabupaten/kota secara teknis tetap dilaksanakan oleh bupati/walikota yang bersangkutan, sedangkan koordinasi dilakukan oleh gubernur di wilayah provinsi untuk pemberian fasilitas dan konsultasi dalam rangka efisiensi dan efektivitas serta penyelesaian jika ada masalah (PP No 19 Tahun 2010).

B.        BAGIAN KETIGA
15.     Kemudian masalah ketiga yang terjadi pada kasus Ujian CPNS di Kab Kubu Raya sebagai fakta yang diketemukan oleh Tim verifikasi BKN, pada point 3.4. yang menyatakan : “Dari jumlah peserta ujian sebanyak 3952 ditemukan 2996 LJK tidak ditanda tangani peserta ujian, dan 956 LJK yang ditanda tangani peserta. (point 3) dan dari 256 peserta ujian yang dinyatakan lulus oleh Bupati Kubu Raya terdapat 212 LJK tidak ditanda tangani dan hanya 24 LJK yang ditanda tangani peserta ujian (point 4) Surat MENPAN No B/8198/M PAN-RB/8/2011 tanggal 12 Agustus 2011.
16.     Pertanyaannya, apakah kesalahan tidak ditanda tangani LJK pada kasus ujian CPNS Kab Kubu Raya oleh peserta menjadi tanggung jawab Bupati Kubu Raya atau menjadi tanggung jawab Panitia Teknis Pelaksanan Ujian dan Pengawas yang didalamnya ada petugas BKD Provinsi dan petugas BKN atau menjadi tanggung jawab peserta ujian, patut diletakan persoalan teknis ini secara proporsional, apakah peserta ketika itu ada diperintahkan oleh petugas untuk menanda tangani lembar LJK pada saat pelaksanaan ujian CPNS Kab Kubu Raya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BKN No 30 Tahun 2007 angka 8 huruf b Anak lampiran II c yang secara tegas diwajibkan para peserta menandatangani LJK ditempat yang disediakan, atau lembar LJK tidak tempat tanda tangan sejak awal,  berkaitan dengan masalah ini harus dilakukan investigasi secara teknis oleh Gubernur, selaku pembina dan pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sebagaimana diperintahkan Pasal 3 PP No 19 Tahun 2010 ayat 1 huruf d dan e, yaitu koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antar pemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; dan Pasal 7 ayat (1) PP No 19 tahun 2010 menyatakan, bahwa Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui: salah satunya b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan. Atau Gubernur membiarkan masalah kasus ujian CPNS menjadi “masalah politik”.
17.     Pertanyaan koordinasi dan pembinaan apa yang sudah dilakukan oleh Gubernur dalam kaitan dengan pelaksanaan ujian CPNS Kab Kubu Raya sehingga terjadi kasus lembar LJK tidak ditanda tangani oleh peserta ? Pertanyaannya apakah Gubernur sudah melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten kota melalui fasilitasi dan konsultasi dilakukan dalam rangka untuk keserasian program pengembangan kapasitas pegawai antar daerah dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian sejak awal.
18.     Jadi  jika ada yang menyatakan Gubernur kurang tegas terhadap masalah kasus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kabupaten Kubu Raya (KKR) yang menuai persepsi berbeda, secara yuridis normatif ada benarnya, karena koordinasi, pembinaan dan pengawasan adalah upaya yang dilakukan oleh Gubernur, bukan oleh Bupati, apakah tepat yang dinyatakan dari berbagai pihak sebagaimana kemudian  mendapat jawaban tegas melalui Humas Pemerintah Provinsi Kalbar bahwa tidak ada campur tangan Gubernur dalam kaitan SK dan untuk menyelesaikannya harus sesuai aturan dan perundang-undangan, sebagaimana pernyataan tersebut disampaikan Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Kalbar, M. Ridwan pada jumpa pers di ruang Assisten II Provinsi Kalbar, Kamis (31/3 2011). Ditegaskan Ridwan, bahwa terkait CPNS KKR, Pemprov Kalbar berpegang kepada surat Kementrian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor B/1654/M.PAN-RB/7/2010 tertanggal 21 Juli 2010 perihal kebijakan tambahan alokasi formasi untuk untuk pengadaan CPNS tahun 2010 dan surat nomor B/2153/M.PAN-RB/09/2010 perihal koordinasi pengadaan CPNS daerah tahun 2010 oleh Gubernur.
19.     Jika berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan seharusnya Gubenur menegakkan PP No 19 Tahun 2010 pasal 3 ayat (1) huruf b jo Pasal 9 ayat (1) huruf d, artinya juga Gubernur melaksanakan Pasal 7 (1) PP No 19 Tahun 2010 yang  menyatakan Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui salah satunya huruf b yaitu rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan.
20.     Pertanyaan bagaimana Gubernur berupaya menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk didalamnya masalah ujian CPNS kab Kubu Raya yang bermasalah bukan memberikan pernyataan yang terkesan “politisasi masalah Ujian CPNS Kab Kubu Raya”,  bukankah berdasarkan PP No 19 Tahun 2010 Pasal 4 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi: a mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal; b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat;
21.     Pertanyaan secara managemen pemerintahan daerah apakah Gubernur sudah melaksanakan Pasal 4 PP  No 19 Tahun 2010 atau membiarkan tanpa kepastian hukum masalah ujian CPNS Kab Kubu Raya, bukankah Gubenur adalah wakil pemerintah, jika mengacu kepada Surat MENPAN No B/1898/M.PAN-RB/8/2011 tanggal 12 Agustus 2011 ada dua langkah yang diperintahkan MENPAN kepada BKN dan salah satunya menyampaikan kepada Bupati Kubu Raya agar formasi yang tidak terealisasi tersebut dapat diusulkan kembali untuk diperhitungkan dalam tambahan formasi tahun anggaran berjalan sesuai dengan kesiapan daerah dalam setiap pelaksanaan Ujian CPNS agar berkoordinasi dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah dan bekerja sama dengan Rektor Perguruan Tinggi.
22.     Jika Gubernur sebagai wakil pemerintah sebenarnya membangun komunikasi, yaitu dapat meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat; dan juga menjadi tugas Gubernur Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui salah satunya huruf b yaitu rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan, karena berdasarkan Pasal 3  ayat (1) PP No 19 Tahun 2010 Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi: huruf d  pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; dan ayat (2) Selain melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
23.     Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) ayat huruf d yaitu pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dan ayat (2) gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta Pasal 9 ayat (1) PP No 19 Tahun 2010 Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d menyatakan melalui Fasilitasi dan konsultasi dilakukan dalam rangka untuk keserasian program pengembangan kapasitas pegawai antar daerah dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian kemudian melaksanakan ketentuan Pasal 7 (1) PP No 19 Tahun 2010 yang  menyatakan Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui salah satunya huruf b yaitu rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan.
24.     Jika Gunernur melaksanakan ketentuan diatas, maka Gubernur tidak perlu mengeluarkan  Pernyataan Gubernur yang menyatakan, “Jika saya jadi orang BKN dan Menpan tidak akan saya keluarkan NIP bagi CPNS yang bermasalah” dan ternyata pernyataan tersebut menurut Ridwan adalah salah satu sikap ketegasan seorang Gubernur yang menjunjung tinggi dan mendukung tegaknya peraturan perundang-undangan dalam proses penyelesaiaan masalah CPNS KKR, tetapi apa yang diupayakan oleh Gubernur sejak awal dan kemudian menjadi masalah atau membiarkan terjadinya “friksi politik antara Gubernur dan Bupati, jika terjadi demikian pertanyaannya siapa yang menyelesaikannya menurut PP No 19 Tahun 2010 ?.
25.     Mengapa tanggal 18 Agustus 2011 Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, MH membantah jika dirinya tidak professional dalam menyelesaikan masalah CPNS Kabupaten Kubu Raya tahun 2010. “Saya bertindak profesional dalam  menyelesaikan kasus CPNS Kubu Raya, karena saya mengikuti peraturan yang berlaku,” tegasnya kepada awak media yang menemuinya usai memimpin Upacara Peringatan Kemerdekaan RI ke-66 di Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Rabu (17/8). “Jangan melawan intruksi Pemerintah Pusat, karena mereka sudah membuat aturan yang jelas dan prosedur tersebut harus ditaati serta diikuti,” ujarnya. Cornelis mengingatkan bahwa daerah bukan kerajaan yang bisa menentukan segala sesuatu sendiri. Menurutnya, pembatalan hasil ujian penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Kubu Raya (KKR) harus menjadi pelajaran semua pihak, yang seharusnya mengikuti intruksi Pemerintah Pusat termasuk dalam penerimaan CPNS.  “Jika tersedia formasi dan mendapat  persetujuan pusat, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya bisa mengajukan formasi baru CPNS untuk 2012,” tuturnya memberi solusi. Sebelumnya, hasil seleksi penerimaan CPNS Kabupaten Kubu Raya tahun 2010 yang telah menetapkan 236 peserta yang lolos seleksi. Namun keputusan tersebut dibatalkan oleh surat Menpan nomor B/1898/M.PAN-RB/8/2011 kepada Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Kepala BKD Kalimantan Barat.  Dalam surat tersebut dijelaskan kesalahan Pemkab Kubu Raya dalam seleksi penerimaan CPNS yaitu tidak adanya koordinasi dengan Pemerintah Provinsi serta tidak melibatkan Perguruan Tinggi Negeri.
26.     Pernyataan Gubernur diatas tidak sejalan dengan PP No 19 Tahun 2010, karena tugas Koordinasi, Pembinaan dan Pengawasan, adalah upaya yang dilakukan oleh Gubernur, oleh karena itu fakta Surat MENPAN No B/1898/M.PAN RB/8/2011 Tanggal 12 Agutus 2011 menyatakanPelaksanaan pengadaan CPNS di Kabupaten Kubu Raya tidak dikoordinasikan oleh Gubernur” Mengapa tidak dikoordinasikan oleh Gubernur, karena PP No 19 Tahun 2010 menyatakan, bahwa yang dimaksud koordinasi pada Pasal 1 angka  5 yang menyatakan, bhwa koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Pertanyaan upaya apa yang dilaksanakan Gubernur sebagai wakil pemerintah dalam menyelesaikan kasus Ujian CPNS Kab Kubu Raya sejak awal atau sejak awal memang sengaja membiarkan kasus ini terjadi, karena terjadi friksi politik antara Gubernur dengan Bupati KKR.
27.     Apabila gubernur melakukan sikap tegas, maka seharusnya sejak awal proses pelaksanaan teknis Ujian CPNS Kab Kubu Raya sudah menegur tegas dalam rangka pengawasan dan pembinaan, bukan membiarkan menjadi “komoditas politis”, bukankah berdasarkan  Pasal 3 (1) PP No 19 Tahun 2010 Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi salah satunya pada huruf g memelihara stabilitas politik; h. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah;

C.       BAGIAN  KEEMPAT
28.     Berkaitan masalah keempat yaitu fakta yang dilaporkan dan diketemukan oleh Tim verifikasi BKN pada point 5 dan 6 yang menyatakan: “Dari 24 LJK yang ditanda tangani oleh peserta ujian terdapat 13 yang tulisan dan tanda tangannya ada kemiripan” Mengenai masalah ini harus diuji forensik dan ditransparankan kepada publik siapa saja dari 13 peserta ujian dimaksud agar dapat diusut apakah terjadi pemalsuan tanda tangan atau tidak, dan ini bukan ranah Bupati atau DPRD Kubu Raya atau BKN tetapi pihak kepolisian, demikian juga pada point 6 yang menyatakan”Pelaksanaan ujian pada tanggal 4 Desember 2010 namun terdapat 52 LJK yang ditanda tangani sebelum dilakukan ujian, yaitu tertanggal 4  November 2010 dan memiliki kesamaan tulisan pada LJK, masalah inipun harus diusut, dan bukan menjadi kewenangan Bupati, tetapi tanggung jawab bersama Panitia Teknis Pelaksanaan Ujian CPNS Kab Kubu Raya.  Jadi secara subtansi bukan hal yang berkaitan dengan kebijakan daerah sebagaimana dimaksudkan pengertian hak interpelasi.
E. BERKAITAN DENGAN HAK INTERPELASI DPRD KUBU RAYA
29.     Kemudian berkaitan dengan  masalah pengajuan hak interpelasi oleh anggota DPRD Kubu Raya terhadap masalah CPNS, maka yang perlu dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud hak interpelasi, jika kita membaca subtansi dalam UU No 32 Tahun 2004 berserta penjelasannya, yaitu pada pasal 43 ayat (1) huruf a UU Pemda (UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) menjelaskan definisi yuridis interpelasi: “Yang dimaksud dengan “hak interpelasi” dalam ketentuan ini adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.” Definisi yuridis interpelasi  itu juga dapat dibaca dalam pasal 349 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
30.     Pertanyaan yang diajukan bagaimana cara mengajukannya? Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 maupun PP No 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tentang tata tertib dewan perwakilan rakyat daerah dinyatakan secara jelas tata cara pelaksanaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Dalam PP No. 25 Tahun 2005 disebutkan tata cara penggunaan hak interpelasi dan pernyataan pendapat sebagai berikut; pertama, sekurang-kurangnya lima anggota DPRD dapat menggunakan hak interpelasi atau pernyataan pendapat dengan mengajukan usul kepada parlemen, melalui pimpinan DPRD dengan pertimbangan panitia musyawarah, untuk meminta keterangan kepada kepala daerah secara lisan maupun tertulis mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat daerah (untuk hak interpelasi) atau untuk mengajukan usul pernyataan pendapat terhadap kebijakan Kepala Daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah. Kedua, oleh pimpinan DPRD usul penggunaan hak interpelasi atau hak menyatakan pendapat ini disampaikan dalam rapat paripurna untuk mendapatkan persetujuan.
31.     Secara yuridis normatif Pasal 9 PP Nomor 10 tahun 2010 menyatakan DPRD mempunyai hak dan salah satunya adalah: interpelasi; dan mekanis untuk mengajukan usulan hak tersebut lebih lanjut diatur Pasal 11, bahwa ada beberapa ukuran kuantitatif, yaitu a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang; dan paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
32.     Kemudian usulan disampaikan kepada Pimpinan DPRD yang ditandatangani oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD serta disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya: a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang akan dimintakan keterangan; dan alasan permintaan keterangan. Kemudian usulan tersebut oleh pimpinan DPRD disampaikan pada rapat paripurna DPRD. Dalam rapat paripurna DPRD para pengusul diberi kesempatan menyampaikan penjelasan lisan atas usul permintaan keterangan tersebut dan dalam pembicaraan mengenai usul meminta keterangan dilakukan dengan memberi kesempatan kepada: a. anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi; dan para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota DPRD. Keputusan persetujuan atau penolakan terhadap usul permintaan keterangan kepada kepala daerah ditetapkan dalam rapat paripurna. Usul permintaan keterangan DPRD sebelum memperoleh keputusan, para pengusul berhak menarik kembali usulannya.
33.     Usulan dapat menjadi  menjadi hak interpelasi DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD yang hadir.
34.     Jika kita kaitan dengan mekanisme pengusulan interpelasi DPRD Kubu Raya yang diusulkan oleh Komisi A ternyata dari tujuh (7) orang anggota pengusul, kemudian tiga (3) orang anggota menarik dukungan sehingga tinggal 4 orang dengan alasan belum berkoordinasi dengan fraksi, dan memang dalam aturan normatif diberikan hak anggota DPRD lainnya, yaitu diluar pengusul untuk memberikan pandangan melalui fraksi (Pasal 11 ayat 3 huruf a PP No 16 Tahun  2010.
35.     Karena hak interpelasi adalah hak kelembagaan bukan hak anggota, maka jika ada yang menarik diri dari dukungan terhadap usulan, maka secara kelembagaan dibolehkan. Karena DPRD Kubu Raya 45 orang dan karenanya masuk dalam kategori ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf  d yang menyatakan paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang, dan sekarang anggota pengusul tinggal 4 orang, apakah masih memenuhi pasal 11 ayat (1) huruf d.
36.     Pertanyaan apakah memenuhi Pasal 11 ayat (1) huruf d PP No 16 Tahun 2010, jika memenuhi, kemudian bagaimana mekanismenya, maka ada kewajiban pada Pasal 12 ayat 7 yaitu (7) Dalam hal Usul Hak Interpelasi kepada walikota disetujui oleh rapat paripurna, maka Hak Interpelasi tersebut disampaikan secara tertulis kepada walikota oleh pimpinan DPRD dan kemudian Pasal 13 ayat (1) Walikota dapat hadir memberikan keterangan lisan maupun tertulis terhadap permintaan keterangan anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dalam rapat paripurna; (2) Apabila walikota tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) walikota menugaskan pejabat terkait untuk mewakilinya; (3) Setiap anggota DPRD dapat mengajukan pertanyaan atas keterangan walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (4) Terhadap jawaban walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) DPRD dapat menyatakan pendapatnya; (5) Pernyataan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara resmi oleh DPRD kepada walikota; (6) Pernyataan Pendapat DPRD atas keterangan walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dijadikan bahan untuk DPRD dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan untuk walikota dijadikan bahan dalam penetapan pelaksanaan kebijakan.
37.     Kemudian secara subtansi obyek yang diinterpelasi adalah berkaitan mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara. Pertanyaannya adalah kewenangan siapakah pengadaan CPNS di daerah, secara kebijakan adalah kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini BKN, bukan kebijakan pemerintah daerah, daerah hanya melaksanakan secara teknis ujian CPNS yang dikuota untuk daerah masing-masing.
38.     Berkaitan dengan ini perlu dibaca secara cerdas surat BKN Nomor K.26.30/V 103-1038/93 Perihal Laporan Penyelesaian Kasus Ujian CPNS Kabupaten Kubu Raya Tahun 2010, bahwa untuk penyelesaian kasus Ujian CPNS BKN menyampaikan dua Pendapat Kepada Menpan, yaitu:  Pendapat Pertama: Bagi 24 perserta ujian yang telah dinyatakan lulus dengan LJK ditanda tangani, dapat dipertimbangkan untuk diangkat menjadi CPNS sedang 212 perserta ujian lainnya yang dinyatakan lulus tetapi LJK tidak ditanda tangani, tidak dapat dpertimbangkan untuk diangkat menjadi CPNS. Pendapat kedua, ujian CPNS Daerah Kabupaten Kubu Raya Tahu  2010 diulang dan diikuti oleh seluruh ujian CPNS Kabupaten Kubu Raya (3952 orang peserta), termasuk didalamnya 236 peserta ujian CPNS yang telah dinyatakan lulus.
39.     Berdasarkan dua pendapat tim verifikasi yang dilakukan oleh BKN, kemudian BKN memilih pendapat Ujian CPNS Daerah Kabupaten Kubu Raya Tahun 2010 diulang dengan Ketentuan: a pelaksanaan ujian ulang CPNS Daerah Kabupaten Kubu Raya Tahun 2010 dibawah Koordinasi Gubernur Kalimantan Barat dan bekerjasama dengan perguruan tinggi Negeri; b.Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan ujian ulang dilakukan oleh Tim Pusat (Kementerian PAN dan  RB dan BKN) c. Ujian ulang dilaksanakan paling lambat akhir Mei 2011 dan selambat-lambatnya Minggu III Juni 2011 peserta ujian yang dinyatakan lulus telah mendapat penetapan NIP.
40.     BKN berharap kepada Menteri PAN jika sependapat dengan ujian diulang, maka BKN akan melaksanakan secepatnya ditindak lanjuti dengan melakukan koordinasi teknis pelaksanaan ujian ulang CPNS daerah Kab Kubu Raya dengan Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Kubu Raya.
41.     Berdasarkan Surat BKN tersebut Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, kementrian PAN dan RB menyelenggarakan Rapat Koordinasi dengan mengundang instansi terkait, yaitu : Kementrian Dalam Negeri,Pemerintah Provinsi Kal-Bar, Pemerintah Daerah Kubu Raya, BKN dan Kantor Regional V BKN. Ternyata hasil rapat tersebut sebagian besar menyarankan agar dilakukan pembatalan terhadap 236 perserta ujian dan dilakukan ujian ulang pengadaan CPNS di Kabu Kubu Raya yang pelaksanaannya pada tahun 2012.
42.     Selanjutnya BKN diperintahkan melakukan dua langkah: pertama Tidak menetapkan NIP CPNS dan mengembalikan usulan pemberkasan NIP bagi CPNS dari Kubu Raya hasil seleksi tahun 2010 dan kedua menyampaikan kepada Bupati Kubu Raya agar formasi yang tidak terealisasi tersebut dapat diusulkan kembali untuk diperhitungkan dalam tambahan formasi tahun anggaran berjalan sesuai dengan kesiapan daerah dan dalam setiap pelaksanaan ujian CPNS Daerah agar berkoordinasi dnegan Gubernur sebagai wakil pemerintah dan bekerjasama dengan Rektor Perguruan Tinggi Negeri.
43.     Kedua hal tersebut dinyatakan dalam Surat MENPAN No  B/1898/M.PAN RB/8/2011 Perihal Penyelesaian Kasus Ujian CPNS Daerah Kabupaten Kubu Raya Tahun 2010, dan secara yuridis belum ada pembatalan resmi, karena baru disarankan berdasarkan rapat koordinasi di Kementerian PAN, jadi harus menunggu pernyataan resmi BKN Jakarta dan apa yang dilakukan terhadap dua langka yang diperintahkan oleh Menpan tersebut.
44.      Jadi menjadi sesuatu yang prematur jika DPRD Kab Kubu Raya mengusulkan Hak Interpelasi, pertanyaan apanya yang mau diinterpelasi, keputusan akhir dari kasus ujian CPNS tersebut belum diambil keputusan oleh BKN dan belum ditindak lanjuti oleh Bupati KKR.
45.     Dengan kata lain masih diranah kewenangan dan kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini BKN, oleh karena itu perlu diletakan secara proporsional hak interpelasi, seharusnya menunggu proses akhir dari kasus ujian CPNS ini oleh BKN dan patut diketahui kebijakan pengadaan CPNS adalah kewenangan pemerintah Pusat yang otoritasnya ada di BKN.



F. SUBTANSI INTERPELASI APA YANG DIMASALAHKAN
46.     Jika DPRD Kubu Raya menggelar hak interpelasi, maka yang akan diinterpelasi apakah pelaksanaan pengadaan CPNS kewenangan Kepala daerah atau kewenangan BKN, dan atau teknis pelaksanaannya terhadap LJK yang tidak ditanda tangani peserta,  tentunya anggaran yang digunakan jika tidak sesuai dengan nomenklatur dan subtansi rapat DPRD Kubu Raya serta pagu indikatif, maka anggaran yang digunakan dapat diaudit oleh BPK dan BPKP dan jika ada pelanggaran keuangan daerah dan merugikan keuangan negara bisa menjadi cacatan tersendiri terhadap penggunaan keuangan daerah oleh anggota DPRD Kab Kubu Raya.
47.     Atau DPRD Kab Kubu Raya ingin mempertanyakan siapa yang seharusnya melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan terhadap urusan pemerintahan daerah yang menjadi tanggung jawab Gubernur selaku wakil pemerintah (pasal 37, 38 UU No 32 Tahun 2004 jo PP No 19 Tahun 2010 dalam kaitan dengan kewenangan BKN masalah kepegawaian ?
48.     Sebenarnya persoalan jika kita baca hasil tim verifikasi BKN terhadap kasus ujian CPNS adalah dari jumlah 3952 ditemukan 2996 LJK tidak ditanda tangani peserta ujian, dan 956 LJK yang ditandatangani peserta dan dari 256 peserta ujian yang dinyatakan lulus oleh Bupati Kubu Raya, terdapat 212 LJK tidak ditanda tangani dan hanya 24 LJK ditanda tangani peserta ujian dan dari 24 LJK yang ditanda tangani oleh peserta ujian terdapat 13 LJK yang tulisan dan tanda tangannya ada kemiripan.
49.     Terhadap ini pertanyaan yang diajukan adalah apakah tanda tangan peserta merupakan kewajiban, berdasarkan angka 8 hurug b anak lampiran II C Peraturan Kepala BKN No 30 Tahun 2007 secara tegas diwajibkan bagi peserta ujian untuk menanda tangani LJK ditempat yang telah disediakan.
50.     permasalahannya adalah mengapa sampai ada peserta yang menandatangani LJK dan ada yang tidak menanda tangani,  apakah ketika pelaksanaan Panitia Pengawas ujian CPNS tidak memerintahkan untuk menandatangani LJK atau memang tidak kolom yang disediakan untuk tanda tangan di dalam LJK, apakah sebuah kewajiban harus ditanda tangani, karena LJK yang tidak ditandatangani peserta ujian tidak dapat digunakan sebagai penentu kelulusan, mengingat fungsi tanda tangan adalah personifikasi, yaitu bahwa LJK dengan semua isinya dimengerti, diakui, dan menjadi tanggungjawab pihak yang menandatangani LJK.
51.     LJK yang tidak ditanda tangani tidak dapat digunakan sebagai dokumen negara karena tidak diketahui siapa yang bertanggungjawab atas isi LJK tersebut. Persoalan perlu ditelusuri dari sini, karena itu yang menjadi dasar dikeluarkan penetapan NIP CPNS.
52.     Sebaiknya DPRD Kabu Kubu Raya memahami subtansi masalahnya, karena sebagaimana pernyataan HUMAS Provnsi Kal-Bar M Ridwan, bahwa Masyarakat agar tetap tenang dan tidak bertindak diluar kontrol terkait masalah CPNS KKR, karena saat ini masih dilakukan evaluasi dan terhadap hasilnya merupakan mutlak kewenangan BKN dan Menpan.
53.     Kemudian subtansi Surat MENPAN No B/1898/M-PAN-RB/8/2011 Tanggal 12 Agustus 2011 belum menjadi keputusan final oleh BKN hal tersebut dapat dibaca secara cermat “diperoleh pendapat dan sebagian besar rapat menyarankan agar dilakukan pembatalan terhadap 236 peserta yang tidak sesuai dengan kebijakan dan ketentuan yang berlaku dan dilakukan ujian ulang pengadaan CPNS di Kabupaten Kubu Raya yang pelaksanaannya pada tahun 2012 dan BKN harus melakukan dua langkah yang diperintah MENPAN, dan sampai saat ini secara subtansial belum ada keputusan akhir BKN.
54.     Jadi sebenarnya berdasarkan PP No 19 Tahun 2010 yang dipaparkan diatas Gubernur tidak boleh menyatakan secara normatif, bahwa “Mengenai CPNS Kubu Raya saya tidak mau bertanggung jawab. Sudah saya jelaskan sebelumnya, mengenai mekanismenya seperti apa? Bupati yang melanggar ketetapan dan melawan pemerintah pusat. Kita menjalankan roda pemerintahan ini harus sesuai dengan UU,” tegas Cornelis dalam rapat paripurna penyampaian Pendapat Akhir (PA) Fraksi-Fraksi di Balaiurungsari DPRD Kalbar, Senin (8/8). Cornelis mengaku telah melakukan koordinasi mengenai mekanisme penerimaan CPNS. Di mana salah satu persyaratan penerimaan CPNS menggunakan perguruan negeri yang berpengalaman, namun yang memiliki kewenangan sepenuhnya adalah bupati yang bersangkutan. Cornelis juga mengaku belum lama ini dihubungi Dirjen Pusat terhadap penerimaan CPNS dan diminta keterangan seputar pertanggungjawaban mengenai permasalahan tersebut. Namun dengan tegas, Cornelis menolak untuk bertanggung jawab. “Karena yang punya persoalan Kubu Raya, bukan saya tapi bupatinya. Jadi saya tegaskan, saya tidak mau bertanggung jawab. Kalau dikatakan kita tidak transparan, hasil dari kelulusan kita umumkan,” jelas Cornelis dengan nada lantang di hadapan anggota DPRD Kalbar yang hadir dalam paripurna itu. Bukankah berdasarkan pasal 37 jo 38 UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 19 Tahun 2010 Pasal 3 ayat (1) huruf c dan d serta ayat (2) jo Pasal 9 ayat (1) huruf b serta pasal 7 ayat (1) huruf b menjadi tanggung jawab gubernur.
55.     Terkait dalam penyelesaian permasalahan status dan kedudukan kepegawaian, ada beberapa ketentuan yang mengatur hal-hal yang perlu diperhatikan oleh DPRD Kab Kubu Raya, yaitu:
Cuti PNS
  1. PP No. 24 Tahun 1976 tentang Cuti PNS
  2. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 01/SE/1977 tentang Permintaan dan Pemberian Cuti PNS
  3. Surat Kepala BKN Nomor C.26-30/V.22-3/22 Tgl. 18 Januari 2010 tentang Penjelasan tentang Cuti Tahunan
  4. Surat Kepala BKN C.26-30/V.208-7/46 Tgl. 16 September 2009 tentang Penjelasan Cuti Bersalin Bagi CPNS
Disiplin PNS
  1. PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
  2. PERKA BKN Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan pelaksanaan PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS
Pemberhentian PNS
  1. PP No. 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian Sementara PNS
  2. PP No. 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS
  3. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 4/SE/1980 tentang Pemberhentian PNS
  4. PP No. 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS
  5. Kepka BKN Nomor 13 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan PP Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan Pemindahan dan Pemberhentian PNS
Pengadaan PNS
  1. PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS
  2. PP No. 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS
  3. Kepka BKN Nomor 11 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS
Pensiun PNS
  1. UU No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai
  2. Kepka BKN Nomor 14 Tahun 2003 Petunjuk Teknis Pemberhentian dan Pemberian Pensiun PNS serta pensiun PNS serta pensiun Janda/dudanya sebagai pelaksanaan PP No. 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS
PNS Menjadi Anggota Parpol
  1. UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
  2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
  3. PP Nomor 5 Tahun 1999 tentang PNS yang menjadi Anggota Parpol
  4. PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 tentang PNS yang menjadi Anggota Parpol
  5. PP No. 37 Tahun 2004 tentang Larangan PNS menjadi Anggota Parpol
  6. Surat Kepala BKN Nomor K.26-30/V.31-3/99 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden Tanggal 12 Maret 2009
PNS Menjadi Kepala Daerah
  1. PERKA BKN No. 5 Tahun 2005 tentang PNS yang menjadi Calon Kepala Daerah/Calon Wakil Kepala Daerah
  2. PERKA BKN No. 10 Tahun 2005 tentang PNS yang menjadi Calon Kepala Daerah/Calon Wakil Kepala Daerah
Tunjangan Cacat dan atau uang duka tewas karena Dinas
  1. PP nomor 12 Tahun 1981 tentang Perawatan, Tunjangan Cacat dan Uang Duka PNS
  2. PP Nomor 1 Tahun 1983 tentang Perlakuan terhadap CPNS yang tewas/cacat akibat kecelakaan karena dinas
Kenaikan Pangkat
  1. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS
  2. PP No. 12 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan PNS
  3. Kepka BKN Nomor 12 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS sebagaimana telah diubah dengan PP No. 12 Tahun 2002
Izin Perkawinan dan Perceraian
  1. PP No. 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS
  2. PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian PNS
  3. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian PNS

»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 20 Agustus 2011

Mensinergikan Sistem Hukum Sesuai Dengan Nilai-Nilai Pancasila


Mensinergikan Sistem Hukum Sesuai Dengan Nilai-Nilai Pancasila
Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.    Menelusuri Perkembangan Sistem Hukum
                  Para penstudi hukum di Indonesia ketika membicara tentang sistem hukum selalu   uraian mengacu pada perkembangan sistem hukum yang berkembang di Eropah, hal ini dikarenakan para penstudi hukum di Indonesia ketika mempelajari ilmu hukum di Fakultas Hukum materi muatannya yang disampaikan oleh para Dosen selalu mengacu pada perkembangan Sistem Hukum di Romawi, tetapi yang menjadi pertanyaan akademis apakah sistem hukum di Indonesia hanya mengacu ke hukum Romawi dan bagaimana sebenarnya sejarah hukum perkembangan sistem hukum Romawi.
Sistem hukum dikembangkan oleh ahli hukum Romawi pada abad ke-5 Masehi, pengkodifikasian hukum telah dilakukan saat Justinianus (527-565) berkuasa di kekaisaran Bizantium, berupa kompilasi dari Code, Digest (Pandects), Institutes, Novels. Kemudian  Napoleon memerintahkan pelaksanaan unifikasi hukum berasal dari hukum Germania dan hukum Romawi dalam code napoleon yang dikenal dengan code civil. Pada tanggal 21 Maret 1804 diberlakukan di Perancis. Pemberlakukan Code civil di Belanda pada saat Perancis menjajah Belanda antara tahun 1804 hingga 1813 dan hingga merdeka Belanda tetap mencontoh code civil  untuk pembuatan peraturan perundang-undangnya. Di Indonesia, norma-norma  hukum dalam sistem hukum  code civil  di berlakukan Belanda pada saat menjajah
Norma hukum yang dipatuhi  masyarakat berbeda satu dengan masyarakat lainnya sesuai dengan keadilan yang dirasakan anggota masyarakat sebagai sarana melindungi masyarakat  dan sarana menyelesaikan konflik  yang terjadi dalam masyarakat. Norma hukum yang ditaati masyarakat berada dalam lingkup suatu sistem hukum yang eksistensinya diakui oleh masyarakat.[1]
Hukum dalam suatu negara merupakan suatu yang esensial untuk mengatur kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat  yang tertuju pada anggota masyarakat dan penyelenggara negara. Beraneka ragam sistem hukum yang dibangun, mulai dari sistem hukum Romawi, sistem hukum Jerman, sistem hukum Skandinavia, sistem hukum Common Law sistem hukum Sosialis,  sistem hukum Islam, sistem  hukum Hindu hingga sistem  hukum Timur Jauh.
Teori hukum murni dari  Hans Kelsen, yang mengartikan tatanan hukum merupakan objek dari pengetahuan dari sebuah sistem  norma yang mengatur perilaku manusia yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi dengan membatasi hukum dari masuknya unsur-unsur sosial, psikologi, etika dan teori politik[2] telah banyak terbantahkan. Teori hukum murni ini dapat diklasifikasikan termasuk dalam Positivisme yuridis, yang melihat hukum sebagai suatu gejala tertentu, melalui pengolahan secara ilmiah; ingin  membentuk struktur-struktur rasional sistem yuridis yang berlaku sehingga  pembentukan hukum menjadi makin profesional dan bersifat closed logical system, artinya norma hukum  terlepas dari sisi kehidupan masyarakat secara empiris; norma dan nilai-nilai sosial dan moral.
Berbeda dengan pandangan aliran positivisme sosiologis; dengan tokoh utamanya Aguscomt Comte;  norma hukum merupakan bagian kehidupan masyarakat yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah dan bersifat terbuka[3], hal ini mencerminkan hubungan yang erat antara negara; hukum dan masyarakat dan tidak lepas dari unsur-unsur sosial, psikologi, etika dan politik .
Dalam sistem hukum, terkandung suatu makna bahwa hukum itu tidak terbatas aturan dan perundang-undangan saja. Banyak unsur lainnya yang sangat mempengaruhi hukum, diantaranya berbagai situasi yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan ciri primaritasnya pada unsur keadilan[4]
Menurut Barda Nawawi Arief[5] bahwa:
“Salah satu kajian alternatif yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional saat ini ialah kajian tehadap  sistem hukum yang hidup dalam masyarakat, karena sistem hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama
Lawrence M. Friedman dalam teori “ Legal System” menyatakan bahwa komponen  dari sistem hukum itu meliputi tiga elemen  yaitu :
  1. Substansi hukum( substance rule of the law), didalamnya melingkupi seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik yang hukum material   maupun hukum formal
  2. Struktur hukum (structure of the law), melingkupi Pranata hukum, Aparatur hukum  dan  sistem penegakkan hukum. Struktur hukum erat kaitannya dengan sistem peradilan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dalam sistem peradilan pidana, aplikasi penegakan hukum dilakukan oleh penyidik, penuntut, hakim dan advokat.
  3. Budaya hukum (legal culture), merupakan penekanan dari sisi budaya secara  umum, kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat[6]
Ketiga elemen itu mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan penegakan hukum dalam masyarakat sebagai kongkritisasi pemberlakuan suatu sistem hukum. Artinya berfungsi suatu penegakan hukum terhadap suatu kejahatan perdagangan perempuan dan anak   ditentukan oleh  tiga elemen sistem hukum; unsur hukum materi peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sebagai salah satu substansi hukum, penegakan hukum dalam struktur hukum, dan kesadaran hukum; karakter masyarakat dalam budaya hukum.
Substansi hukum tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan tentang bagaimana institusi-institusi harus berperilaku[7] berskala  hukum primer yang menentukan tingkah laku masyarakat dan hukum sekunder yang menentukan pemberlakukan dan pelaksanaan tingkah laku dalam  hukum primer. Struktur hukum sebagai pondasi dasar dari sistem hukum merupakan kerangka elemen nyata dari sistem hukum.[8] Budaya hukum merupakan elemen sikap dan nilai sosial[9]. Dengan begitu budaya hukum mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum - adat, kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir – yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan cara tertentu[10]
Penilaian substansi suatu undang-undang yang berkualitas, Menurut  Arief Gosita[11], dapat ditakar dengan kriteria :
Pertama, rasional positif. Substansi suatu peraturan harus dapat dilaksanakan secara konseptual, berprogram, professional dan tidak emosional. Dengan demikian dapat dicegah penentuan sikap dan pengambilan tindakan yang dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial pada seseorang.
Kedua, dapat dipertanggungjawabkan. Substansi dari suatu peraturan harus dapat dipertanggungjawabkan secara horisontal, terhadap sesama manusia (manusia yang sama harkat dan martabat sebagai manusia, dan berada dengan kita) dan secara vertikal, terhadap Tuhan(kebebasan beragama, beribadah).
Ketiga, bermanfaat. Peraturan perundang-undangan tersebut harus bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain (masing-masing dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara bertanggungjawab).
Keempat, mengembangkan rasa kebersamaan, kerukunan, kesatuan dan persatuan. Substansi suatu peraturan harus merupakan dasar hukum dan pedoman mewujudkan kebersamaan, kerukunan, kesatuan, dan persatuan bangsa Indonesia. Penerapannya tidak boleh diskriminatif, destruktif, mono-politis, atau menguntungkan golongan orang tertentu (anti sara, mendukung kebebasan beragama, pendidikan dan pelayanan).
Kelima, mengembangkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Suatu peraturan harus bertujuan mewujudkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Terutama rakyat golongan lemah mental, fisik, dan sosial (anak, perempuan, penyandang cacat dsb.).
Keenam, mengutamakan perspektif  kepentingan yang diatur/dilayani dan bukan perspektif kepentingan yang mengatur/melayani. Suatu peraturan terutama harus dapat menjadi dasar hukum dan pedoman melindungi kepentingan (hak dan kewajiban) yang menjadi objek pengaturan dan pelayanan, dan bukan kepentingan para penguasa atau para pelaksanan tugas yang mengatur dan melayani.
Ketujuh, sebagai pengamalan Pancasila. Substansi suatu peraturan harus merupakan perwujudan terpadu pengamalan semua sila Pancasila.
Kedelapan, berlandaskan hukum secara integratif. Substansi suatu peraturan harus dapat dipahami dan dihayati oleh para objek dan subjek hukum, sehingga dapat diterapkan secara terpadu dan harmonis dengan peraturan yang lain. Akibatnya, perlu diusahakan adanya koreksi, penyesuaian, pembaharuan peraturan perundang-undangan sesuai situasi dan kondisi terakhir dan terbaik untuk masyarakat.
Kesembilan, berlandaskan etika. Suatu peraturan harus merupakan  perwujudan dari suatu etika profesi, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral menurut bidang profesi masingmasing.
Kesepuluh, mengembangkan hak asasi dan kewajiban asasi yang bersangkutan. Suatu peraturan tidak hanya dapat menjadi dasar hukum memperjuangkan hak asasi manusia, tetapi juga untuk mengusahakan pelaksanaan kewajiban asasi manusia sesuai dengan kemampuan, situasi, dan kondisi yang bersangkutan.
Kesebelas, tidak dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk menyalahgunakan kedudukan, kewenangan, kekuasaan dan kekuatan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Suatu peraturan yang baik tidak dapat dimanfaatkan orang untuk menyalahgunakan kekuasaan, kekuatan yang diperoleh dari kedudukan dan kewenangannya untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.
Keduabelas, mengembangkan respon/keadilan yang memulihkan. Suatu peraturan harus dapat menjadi dasar hukum para objek dan subjek hukum, berpartisipasi dalam usaha-usaha memulihkan (restoratif) terhadap para korban yang menderita (kerugian) mental, fisik, dan sosial dengan memberikan asistensi (pelayanan, pendampingan), ganti kerugian (restitusi, kompensasi), dsb.
Ketigabelas, tidak merupakan faktor viktimogen. Substansi suatu peraturan tidak boleh berakibat terjadinya suatu penimbulkan korban (viktimisasi), sehingga yang bersangkutan menderita mental, fisik, dan sosial. Sebaiknya juga memuat sanksi bagi para penimbul korban.
Keempatbelas, tidak merupakan faktor kriminogen. Substansi suatu peraturan tidak boleh berakibat terjadinya suatu kejahatan (kekerasan, penipuan, penyapan, korupsi, dan sebagainya).
Kelimabelas, mendukung penerapan unsur-unsur manajemen: kooperasi, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi. Dalam pembuatan dan penerapan peraturan diperlukan adanya pelaksanaan unsur-unsur manajemen, seperti kooperasi (antarinstansi), koordinasi (antarinstansi), integrasi (interdisipliner, intersektoral, interdepartemental, sinkronisasi (kesinambungan usaha), simplifikasi (perumusan sederhana, mudah dimengerti oleh banyak orang untuk melaksanakan).
Keenambelas, berdasarkan citra yang tepat mengenai objek dan subjek hukum, sebagai manusia yang sama harkat dan martabatnya. Citra yang tepat mengenai manusia ini dapat menjadi landasan dalam mencegah perbuatan yang merugikan rakyat dan landasan pengembangan respon yang restoratif terhadap rakyat yang menderita mental, fisik, dan sosial penerapan hukum yang negatif.
Ketujuhbelas, mengembangkan lima senses, yaitu sense of belonging (rasa memiliki), sense of responsibility (rasa tanggungjawab), sense of commitment (memiliki komitmen), sense of sharing (rasa berbagi), dan sense of serving (saling melayani).
Selanjutnya Lawrence M. Friedman juga mengemukakan bahwa:[12]
 “Sistem hukum memiliki fungsi untuk mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat, alokasi ini tertanam dengan pemahaman akan kebenaran, yang disebut sebagai keadilan. Fungsi yang tidak begitu  mengglobal adalah penyelesaian sengketa, konflik-konflik  muncul dalam setiap masyarakat.[13] Fungsi pokok lainnya dari sistem hukum adalah kontrol sosial;  yang pada dasarnya berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang benar.[14] Fungsi lain dari sistem hukum adalah menciptakan norma-norma itu sendiri, bahan-bahan mentah bagai kontrol sosial.[15]

Mencermati elemen sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman sebagaimana diungkapkan diatas dan beraneka ragam sistem hukum yang ada dalam masyarakat, bahwa  elemen   sistem hukum tidak hanya ada dalam  sistem hukum formal (legal system), berupa struktur hukum dan substansi hukum yang dibuat lembaga  legeslatif  melalui  kewenangannya membentuk hukum  positif[16] namun struktur hukum, substansi hukum dan  terutama budaya hukum terdapat juga dalam  sistem hukum informal (extra legal system); yang tumbuh dan  berkembang dalam masyarakat secara tradisional (informal)[17]
Sebagaimana dikemukan Roberto M. Unger, bahwa[18] :
 “Dalam Pengertian yang paling luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara sejumlah individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dari kelompok dan individu tersebut; bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik yang harus dipenuhi; saya menyebutnya hukum adat (customary law)

Unger juga mengatakan; bahwa[19] :
 “hukum adat tetap ada dalam pola ekspektasi dan cara interaksional yang menjadi dasar tatanan hukum dan mempengaruhinya. Semua pola ekspektasi dan cara intraksional ini berhubungan dengan sistem hukum dalam dua hal; pertama, ekspektasi dan cara hukum  adat menetapkan muatan norma; Kedua dan lebih umum, ekpektasi dan cara hukum adat menetapkan standar-standar kerjasama diantara kelompok-kelompok dan individu dalam konteks-konsteks sosial yang cenderung menghindari penyelesaian sengketa lewat jalur hukum negara”

Konsep hukum yang dikembangkan Unger dalam studi komparatif kedudukan hukum dalam masyarakat, dibagi dalam  tiga  konsep hukum yaitu[20] : Hukum Adat,  Hukum Birokratis, dan Hukum otonom. ketiga konsep hukum menurut Unger,  menjabarkan bagaimana standar-standar perilaku- yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

B.     Perkembangan Sistem Hukum Adat
Di Indonesia eksistensi hukum adat diakui yang berkenaan dengan hukum pidana, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang No. 1/Drt/1951 Pasal 5 ayat (3) sub b yang berbunyi :
Hukum materil sipil dan untuk sementara waktu pun  hukum pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula orang itu, dengan pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam kitab hukum pidana sipil maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum, dan bilamana hukuman adat yag dijatuhkan menurut pikiran hakim melampaui padanannya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara dengan pengertian bahwa hukum adat menurut paham hakim tidak selaras lagi seperti tersebut di atas dan suatu perbuatan menurut hukum yang ada dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
Pemberlakukan Undang-undang No. 1/Drt/1951 Pasal 5 ayat (3) sub b didasarkan keinginan untuk  memformulasikan hukum pidana nasional Indonesia berdasarkan pada nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Sunarjati Hartono[21], bahwa :
Hukum nasional yang akan kita bentuk bersama ini merupakan suatu cara untuk mengatur tindak-tanduk manusia Indonesia, melalui saluran-saluran atau lembaga-lembaga hukum yang telah tersedia dan/ atau dapat diadakan, sesuai dengan filsafat hidup kita itu, yaitu  Pancasila. Karena Pancasila itu antara lain juga digali dari hukum adat yang sesungguhnya tidak lain daripada hukum asli bangsa kita, maka dengan sendirinya hukum nasional kita yang bersama-sama kita bentuk itu harus berakar pada hukum adat itulah.

Penggunaan sarana penal dan non-penal  dalam penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan perempuan dan anak melalui  kebijakan integral dengan melakukan pembaharuan hukum (penata-ulangan) peraturan perundang-undangan pidana yang terkait, berdasarkan kualifikasi perbuatan-perbuatan yang merugikan dalam masyarakat, sesuai  Hukum responsif  yang dikemukakan Nonet dan Selznick[22] bahwa:
Hukum dalam masyarakat yang mengalami transisi dan tidak pernah diam.  Peraturan perlu bergantung kepada atau disesuaikan dengan kondisi-kondisi historis yang tepat sehingga ia bisa relevan dan mempunyai daya hidup. saat lingkungan berubah, peraturan-peraturan harus ditata ulang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kebijakan namun juga untuk melindungi otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika diaplikasikan”.

Sarana Penal dan sarana non-penal dalam kebijakan kriminal  menjadi salah satu sarana yang digunakan dalam penegakan hukum, sarana penal dalam penegakan hukum secara refresif  yang  secara luas termasuk di dalamnya penegakan hukum secara preventif  dapat berupa unsur-unsur sistem hukum yang diberlakukan oleh negara/pemerintah dalam masyarakat, demikian pula sarana non-penal  berupa unsur-unsur sistem hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Unsur substansi dari sistem hukum dalam sarana non-penal pada masyarakat Dayak di wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak berupa norma-norma hukum adat pidana, baik bentuk larangan maupun kewajiban  bagi anggota masyarakatnya dan bagi individu-individu yang saat  berada di wilayah berlakunya hukum adat itu. Unsur struktur dari sistem hukum berupa susunan dan tingkatan pengurus adat yang diakui dan dihormati oleh masyarakat. Unsur Budaya hukum dari sistem hukum berupa adat istiadat, nilai-nilai religius, norma-norma kesusilaan yang selalu dipatuhi oleh masyarakat.
             Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat  di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberikan definisi Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari empat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dari pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
         Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga ha rus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.

C. Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945
          Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
          Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan  dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :
1).     Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;
2).     Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3).     Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4).     Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
5).     Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
6).     Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)
         Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:
1.      Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
2.      Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3.      Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4.      Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.      Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1.      Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2.     Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
         Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
         Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
(1)    Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2)    Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
          Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

D. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan
           Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun  2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1.      Undang-undang Dasar 1945;
2.      Undang-undang/ Perpu
3.      Peraturan Pemerintah;
4.      Peraturan Presiden
5.      Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975  telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim

E.Kelembagaan Adat Di Kabupaten Gumas Kal Sel dalam kaitan dengan fungsi Pemerintahan[23]
           Berikut ini contoh sistem hukum adat bersinggungan dengan hukum Pemerintahan dan hal itu diperkenan oleh UU No 32 Tahun 2004 yang diperintahkan untuk dijabarkan kedalam materi muatan PERDA
           Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Mas Nomor  33  Tahun  2011 Tentang Kelembagaan  Adat  Dayak  Di  Kabupaten Gunung Mas pada Pasal 7 dan Pasal 8 mengatur mengenai Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Damang Kepala Adat
Pasal 7
(1)   Damang Kepala Adat berkedudukan di ibu kota kecamatan sebagai mitra Camat dan mitra Dewan Adat Dayak kecamatan, bertugas dalam bidang pelestarian,
(2)   pengembangan dan pemberdayaan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan berfungsi sebagai penegak hukum adat Dayak dalam wilayah Kedamangan bersangkutan.
(3)  Untuk kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Damang kepala Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibantu oleh Kerapatan Mantir Perdamaian  Adat atau Let Adat tingkat kecamatan dan tingkat desa/kelurahan.
(4)   Kerapatan Mantir Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan atau sebagai peradilan adat tingkat terakhir.
(5)   Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan ditetapkan dan dikukuhkan oleh Dewan Adat Dayak kabupaten, sedangkan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan ditetapkan dan dikukuhkan oleh Dewan Adat Dayak kecamatan.
(6)   Untuk mendukung kelancaran dan ketertiban administrasi, Damang Kepala Adat dibantu oleh seorang sekretaris.
Pasal   8
Damang Kepala Adat bertugas :
a.   menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa  lembaga adat Kedamangan ;
b.   membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila diminta oleh pejabat yang berwenang
c.   menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku
d.   berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya
e.   memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada pemerintah daerah tentang masalah yang berhubungan dengan tugasnya
f.    memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan asli daerah serta memelihara benda-benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang ;
g.   membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat
h.   mengukuhkan secara adat apabila diminta oleh masyarakat adat setempat para pejabat publik dan pejabat lainnya yang telah dilantik sebagai penghormatan adat;
i.    dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut adanya persengketaan atau perkara perdata adat jika diminta oleh pihak yang berkepentingan;
j.    menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak, dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada khususnya ;

F. Hukum Adat sebagai pelestarian nilai-nilai adat istiadat.
Kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.
Dalam berbagai rumusan peraturan Orde Baru kita dapat membaca bahwa negara sangat besar kekuasaannya, pandangan seperti mlsalnya ketentuan UUPA:
hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan pembangunan. Disini kita melihat kekuasaan yang mutlak dari negara, karena berdasarkan interpretasinya hak ulayat yang telah lama dimiliki oleh masyarakat adat, dapat dihapuskannya.
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat
Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati
nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai
dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan
Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan
pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional
dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

G. Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
     Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
     Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
          Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah
            Contoh lain Sistem Hukum Adat berdimensi hukum Pidana, seperti Suku Dayak merupakan mayoritas dari  masyarakat yang berdomisili di wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak, yang memegang teguh nilai-nilai adat dan hukum adat[24]; terutama berkenaan dengan nilai religius, moral, budaya. Spesifikasi norma adat dan hukum adat pada masyarakat  Dayak di perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak yang berpotensi dijadikan sebagai sarana non-penal  menunjang kebijakan integral penanggulangan kejahatan perdagangan perempuan dan anak di perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak.
Eksistensi hukum adat diakui oleh masyarakat dayak melalui struktur-struktur kepengurusan adat dan ketua-ketua adat seperti Temenggung, Pateh/ Kebayan, Mangku/Pasirah,  Pengurus adat kampung; juga melalui substansial norma hukum adat yang dipatuhi masyarakat; antara lain yang berkenaan dengan unsur-unsur perdagangan orang diantaranya norma hukum adat “Ancam” (artinya perbuatan pengancaman) dalam suku Dayak : Rambai, Desa, Linoh,  Mandau, Norma hukum adat “Penipuan” ( artinya perbuatan penipuan) dalam suku Dayak: Bugau, Sebaruk, Mandau, Kumpang, Embaraq di Kecamatan  Ketungau Hulu dan  Ketungau tengah, norma hukum adat “Pencolap Dopor” (artinya perbuatan meninggalkan rumah lebih dari satu bulan) dalam suku Dayak : Iban Kubing, Limbai, Randuk, Kebahan, Barai, Linoh, Keninjal, U’ud Danum, Kanayant.dan lainnya. Norma hukum adat “Nemuai” (artinya perbuatan pergi meninggalkan keluarganya; rumah tangganya ke daerah lain untuk bekerja dalam waktu tertentu) dalam suku Dayak  Kenyilu dan norma hukum adat dayak lainnya yang mempunyai relevansi dengan unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang. Budaya hukum yang terus berkembang dalam masyarakat adat dayak  yang sangat berbeda dengan struktur, substansi dan budaya yang ada dalam sarana sarana sistem hukum formal.
Lawrence M. Friedman; menyatakan sistem hukum (legal system) adalah[25]:
Yang  menjadi proposisi dasar dalam hakekat sistem hukum adalah  bahwa tuntutan-tuntutan ini menentukan kandungan isinya. Artinya, hukum bukan merupakan suatu kekuatan kokoh yang independen melainkan merupakan respon atas tekanan  luar dengan cara tertentu yang mencerminkan kehendak dan kekuatan-kekuatan sosial yang mengarahkan tekanan tersebut”.

Komponen legal system  (sistem hukum) menurut Lawrence M. Friedman adalah[26] :
Subtansi (Hukum itu sendiri) ialah peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, undang-undang, dekrit-dekrit, sampai yang lebih luas lagi adalah peraturan-peraturan yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya;
Struktur, yaitu kelembagaan itu sendiri, bentuk lembaga yang digunakan dan proses yang ditampilkan. Struktur meliputi jumlah dan tipe pengadilan; ada atau tidak adanya dalam konstitusi; ada atau tidak adanya federalisme maupun pluralisme; pembagian kekuasaan antar hakim, pembuat undang-undang, gubernur, raja, hakim juri, dan pejabat administrasi; cara atau prosedur macam-macam institusi;
Elemen lain dari sistem ialah kultur. Ini adalah nilai-nilai dan sikap yang mengikat sistem itu secara bersama atau menentukan tempat dari sistem hukum itu dalam budaya masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Kebiasaan, pelatihan-pelatihan apa yang dipunyai oleh penegak hukum, apa yang diartikan hukum oleh masyarakat, apakah suatu kelompok atau individu mau ke pengadilan (berperkara), untuk apa orang pergi ke pengacara, untuk apa orang menggunakan pejabat lainnya, apakah ada penghargaan terhadap hukum, pemerintah, tradisi. Apa ada hubungan antara struktur kelas dengan lembaga-lembaga hukum yang berguna atau tidak berguna. Apakah ada kontrol sosial yang informal untuk menambah atau mendudukan secara resmi kedudukan seseorang. Dalam hal dengan pengawasan, mana yang lebih baik, disukai dan mengapa. Aspek hukum ini (budaya hukum) mempengaruhi sistem hukum, tetapi ini adalah bagian khusus yang penting sebagai suatu sumber dari kebutuhan akan suatu sistem hukum. Budaya hukum ini adalah suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa, atau orang berpaling kepada hukum, atau kepada pemerintah, atau meninggalkan sama sekali.

           Upaya penanggulangan kejahatan mengunakan sarana non penal dapat dilakukan untuk mendiagnosis faktor kriminogen dan faktor viktimologen kejahatan dalam masyarakat, karena kejahatan yang terjadi di masyarakat dan dilakukan oleh anggota masyarakat tentunya dapat pula ditanggulangi oleh masyarakat melalui penemuan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Sebagaimana pendapat Barda Nawawi Arief yang dikutip diatas; dari sisi upaya non penal ini berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan “extra legal system” yang ada di masyarakat, yang diistilah juga oleh Barda Nawawi Arief dengan ”informal and traditional system”
           Kebijakan Integral sarana penal maupun non penal termasuk norma-norma  hukum adat  di  masyarakat khususnya pada masyarakat dayak  di wilayah perbatasan  Kalimantan Barat dengan Sarawak perlu dilakukan dalam upaya penanggulangan perdagangan orang  khususnya tindakan Pengiriman, pemindahan, atau penerimaan perempuan dan anak di perbatasan  Kalimantan Barat dengan Sarawak untuk tujuan ekploitasi atau  mengakibatkan terekploitasi.
            Namun untuk ini perlu ada penelitian akademis yang mendalam oleh para penstudi hukum di Indonesia.



[1] Lihat   Lawrence M. Friedman; dalam  The Legal System; A Social Scince Prespective, terjemahan  M.Khozim 2009; hal 189; Setiap masyaakat atau setiap kelompok membutuhkan cara tertentu untuk menyelesaikan sengketa dan menegakkan norma-norma yang essensial; kemungkinan setiap masyarakat membutuhkan mekanisme tertentu untuk mengubah norma-norma dan menerapkannya pada situasi-situasi baru. Dalam pengertian ini bisa dikatakan setiap kelompok  atau masyarakat memiliki hukum.
[2]Lihat  Hans Kelsen, Pure Theory of Law, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa  Media,  Bandung, 2008, Hal 1 dan 5
[3] lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hal.32; dan J.J. von Schmid, Het Denken Over Staat en Recht in de Negentiende Eeuw, terjemahan Boentarman, Erlangga, Jakarta, 1985. hal 9.
[4]Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaharuan Penegakan hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009 Hal. 225
[5]Barda Nawawi Arief. Beberapa aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998. Hal. 117.
[6] Lihat   Lawrence M. Friedman; dalam  The Legal System; A Social Scince Prespective,  Russel Sage Foundation, New York, 1975; hal. 12 - 16
[7]Lawrence M. Friedman; dalam  The Legal System; A Social Scince Prespective, Russel Sage Foundation, New York, 1975; hal. 16
[8]   Ibid.
[9]  Ibid.
[10] Ibid.
[11] Arief Gosita, 2000, Reformasi Hukum Yang Berpijak Kepada Rakyat dan Keadilan (Beberapa Catatan) dalam Jurnal Keadilan Lembaga. Kajian Hukum dan Keadilan Vol 1. No. 2, Desember 2000, Jakarta, hal. 51.

[12] Lawrence M. Friedman, Op cit.  hal.19
[13] Ibid , hal 20
[14] Ibid
[15] Ibid, hal. 21
[16]Lihat Roberto M. Unger, Law and Moderen Society : Towar a Criticism of Social Theory, 1976, diterjemahkan Dariyatnoi dan Derta Sri Widowatie,  2008 hal. 65; Konsep Hukum birokratis (bureaucratic law) atau hukum pengatur (regulatory law) bedanya konsep hukum ini dengan adat istiadat terletak pada sifatnya yang  publik dan positif. Hukum birokratis terdiri dari peraturan-peraturan eksplisit yang ditetapkan dan ditegakkan oleh pemerintah yang sah
[17]Lihat Roberto M. Unger, Law and Moderen Society : Towar a Criticism of Social Theory, 1976, diterjemahkan Dariyatnoi dan Derta Sri Widowatie,  2008 hal.64; Adat-Istiadat tidak punya sifat positif, Adat istiadat terdiri dari standar-standar implisit perilaku, bukan berupa aturan yang dirumuskan.Standar-standar ini  berupa aturan tidak tertulis dan seringkali amat ketat tentang cara individu alam status tertentu harus berperilaku terhadap orang yag berstatus lain atau sama dalam situasi tertentu.
[18]Roberto M. Unger, Law and Moderen Society : Towar a Criticism of Social Theory, 1976, diterjemahkan Dariyatnoi dan Derta Sri Widowatie,  Nusa Media, Bandung 2008. Hal.63
[19] Ibid hal. 70
[20]Lihat Roberto M. Unger, Law and Moderen Society : Towar a Criticism of Social Theory, 1976, diterjemahkan Dariyatnoi dan Derta Sri Widowatie,  2008 hal 62 -73
[21]Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Bandung : Alumni, 1981. hal 16
[22]Philippe Nonet & Philip Selznick. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi. Ford Foundation HuMa. Jakarta. 2003. Hlm.65.
[23] H.M. Hadin Muhjad, (Guru Besar HukumTata Negara UNLAM),  Peran dan Fungsi Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Dalam Rangka Penguatan dan Pelestarian Nilai-Nilai Adat , Makalah disampaikan pada  Rakerda I DAD Kabupaten Gunung Mas, 15 April 2011 di Kuala Kurun.
[24]Lihat Roberto M. Unger, Law and Moderen Society : Towar a Criticism of Social Theory, 1976, diterjemahkan Dariyatno dan Derta Sri Widowatie 2008. Hal 63 : Sebagian aliran pemikiran memandang hukum sebagai fenomena universal yang umum dijumpai pada semua masyarakat. Karena  itu aliran-aliran tersebut tidak dapat memahami gagasan bahwa hukum bisa saja muncul atau tidak muncul. Kecenderungan yang berlawanan membatasi konsep hukum sebagai sistem hukum modern jenis khusus…. Kita memerlukan perangkat konseptual yang memungkinkan kita membedakan gejala universal, dengan pengertian bahwa hukum memiliki ciri-ciri khusus sesuai jenis masyarakatnya”.

[25]Lawrence M. Friedman, dalam  The Legal System; A Social Scince Prespective, terjemahan  M.Khozim, PT. Nusa Media, Bandung. 2009 hal. 4
[26]Lawrence M. Friedman. 1984. “What Is a  Legal System” dalam American Law. W.W. Norton & Company, New York, hal 4.
»»  Baca Selengkapnya...