Senin, 30 Mei 2011

MEMAHAMI NEGARA HUKUM DALAM SEMIOTIKA PANCASILA

MEMAHAMI NEGARA HUKUM DALAM SEMIOTIKA PANCASILA

Oleh; Turiman Fachturahman Nur

1. Pengertian Negara Hukum dalam Koridor Filosofis, Sosiologis dan Politis

Sebagai bangsa yang telah merdeka lebih dari setengah abad yang lalu, tetapi masih tertatih-tatih menemukan “jatidirinya” terhadap konsep negara hukum yang bagaimanakah yang akan dituju bangsa ini? dan patut direnungkan bersama bahwa saat ini kita belum memiliki Blue Print sistem hukum yang khas Indonesia, tetapi pada sisi lain sadar atau tidak sadar kita masih mencanangkan, bahwa cita hukum Indonesia adalah Pancasila, dan menjadi pelik ketika Pancasila dari tataran yang abstrak itu dijabarkan kedalam tataran yang praktis, karena berkaitan dengan nilai-nilai, oleh karena itu untuk memahami haruslah dilihat pada konstitusi Indonesia dimana secara konsepsional terdapat tiga konsep kenegaraan yang diterapkan sekaligus, yaitu negara hukum (pasal 1 ayat (3) negara demokrasi (pasal 1 ayat (2) dan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Inilah yang membuat negara Indonesia unik dalam arti membedakan negara hukum Indonesia dengan negara hukum dibelahan dunia lain, karena tiga konsep kenegaraan sekaligus diterapkan secara bersamaan yaitu nomokrasi, demokrasi dan teokrasi, oleh karena itu, kita perlu menempatkan masalah yang sedang dihadapi bangsa saat ini dalam konstek yang lebih luas dan komprehensif, baik dalam pemahaman filosofis, juga sosiologis dan politis tidak hanya tataran yuridis semata.

Pada tataran yang demikian, maka ketika perancangan peraturan perundang-undangan, sebelum memasuki tahap yuridis, proses pembentukan suatu perraturan harus sudah melalui suatu proses sosio-politis secara final. Pada tataran inilah kita akan memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui proses membutuhkan waktu yang panjang, namun perlu dipahami, bahwa perancangan peraturan perundang-undanga bukan hanya proses yuridis semata-mata, tetapi perlu memperhatikan aspek filosofis dan sosiologis, pemahaman yang demikian ini akan menjadi titik tolak untuk menilai, apakah suatu produk hukum yang dihasilkan berkualitas dan didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan apakah selaras dengan nilai-nilai Pancasila, inilah yang penulis sebut sebagai memahami negara hukum dalam semiotika Pancasila.

Semiotika Pancasila disini dimaksudkan membaca yang tersurat dan tersirat dibalik pilihan bangsa Indonesia memilih Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum negara serta cita hukum Indonesia, pilihan tersebut menurut penulis bukan hanya pilihan yang dipahami secara teoretik filosofis, tetapi secara perenungan yang mendalam oleh para pendiri negara ini. Hanya yang menjadi pertanyaan masihkah kita tetap komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara semiotika kedalam materi muatan peraturan perundang-undangan di era globalisasi saat ini, agar negara hukum ini tidak kehilangan jatidirinya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila atau materi muatan peraturan perundang-undangan kita secara tersirat dan tersurat “terjajah” dengan ideologi asing, seperti neo liberalisme dan materialisme, sehingga proposisi hukum dan kenegaraan yang dimuat dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 hanyalah menjadi kalimat yang tenggelam bersama sejarah masa lalu bangsa ini, atau hanya sebagai produk sejarah berdirinya negara hukum Indonesia, tidak memiliki ruh lagi, alias mati atau mungkin sedang matisuri atau sedang menunggu dari “pingsan”nya, karena terlindas salah kaprah pemahaman reformasi yang menurut sebagian publik sudah “kebablasan” atau ibarat planet yang sudah keluar dari garis orbitnya, tinggal menunggu tabrakan dan hancur, mudah-mudahan prediksi ini salah.

Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi dimaknai berbeda dalam tempus dan locus yang berbeda, sangat tergantung pada ideologi dan sistem politik suatu negara. Karena itu Tahir Azhary, (Tahir Azhary, 2003: 83) dalam penelitiannya sampai pada kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah suatu genus begrip yang terdiri dari dari lima konsep, yaitu konsep negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah yang diistilahkannya dengan nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa kontinental yang disebut rechtstaat, konsep rule of law, konsep socialist legality serta konsep negara hukum Pancasila. Begitu juga Oemar Seno Adji (Lihat Seno Adjie, 1980) menemukan tiga bentuk negara hukum yaitu rechtstaat dan rule of law, socialist legality dan negara hukum Pancasila. Menurut Seno Adji antara rechtstaat dan rule of law memiliki basis yang sama. Menurut Seno Adji, konsep rule of law hanya pengembangan semata dari konsep rechtstaats. Sedangkan antara konsep rule of law dengan socialist legality mengalami perkembangan sejarah dan idiologi yang berbeda, dimana rechtstaat dan rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa kontinental dan Amerika Serikat sedangkan socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan sosialis. Namun ketiga konsep itu lahir dari akar yang sama, yaitu manusia sebagai titik sentral (antropocentric) yang menempatkan rasionalisme, humanisme serta sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi sumber nilai

Pada sisi lain konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum Pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai. Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada Al Qur’an dan Sunnah sedangkan negara hukum Pancasila menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau ukuran nilai sehingga kedua konsep ini memiliki similiaritas yang berpadu pada pengakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis. Disamping itu kedua konsep ini menempatkan manusia, Tuhan, agama dan negara dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan.

Sedangkan dari sisi waktu ternyata konsep negara hukum berkembang dinamis dan tidak statis. Tamanaha ( Lihat Tamanaha: 2006 : 91-1001) mengemukakan dua versi negara hukum yang berkembang yaitu versi formal dan versi substantif yang masing-masing tumbuh berkembang dalam tiga bentuk. Konsep negara hukum versi formal dimulai dengan konsep rule by law dimana hukum dimaknai sebagai instrument tindakan pemerintah. Kemudian berkembang dalam bentuk formal legality, dimana konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas, prospektif dan pasti. Sedangkan perkembangan terakhir dari konsep negara hukum versi formal adalah democracy and legality, dimana kesepakatanlah yang menentukan isi atau substansi hukum. Sedangkan versi substantif konsep negara hukum berkembang dari individual rights, dimana privacy dan otonomi individu serta kontrak sebagai landasan yang paling pokok. Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan atau keadilan (dignity of man) serta berkembang menjadi konsep social welfare yang mengandung prinsip-prinsip substantif, persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan komunitas.

Menurut Tamanaha konsepsi formal dari negara hukum ditujukan pada cara dimana hukum diumumkan (oleh yang berwenang), kejelasan norma dan dimensi temporal dari pengundangan norma tersebut. Konsepsi formal negara hukum tidak ditujukan kepada penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukum itu sendiri, dan tidak berkaitan dengan apakah hukum itu hukum yang baik atau jelek. Sedangkan konsepsi substantif dari negara hukum bergerak lebih dari itu, dengan tetap mengakui atribut formal yang disebut di atas. Konsepsi negara hukum substantif ingin bergerak lebih jauh dari itu. Hak-hak dasar atau derivasinya adalah menjadi dasarnya konsep negara hukum substantif. Konsep tersebut dijadikan sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum yang baik yang memenuhi hak-hak dasar tersebut dan hukum yang buruk yang mengabaikan hak-hak dasar. Konsep formal negara hukum fokus pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya sementara konsep substantif juga termasuk persyaratan tentang isi dari norma hukum.

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Semula istilah negara hukum hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Persoalannya apakah yang dimaksud dengan rechtstaat dalam konsepsi UUD 1945 dan bagaimana impelementasinya dalam kehidupan negara. Dengan dasar kerangka berpikir di atas dalam kajian singkat ini, hendak menguraikan secara ringkas bagimana konsep negara hukum Indonesia dan perbedaannya dengan konsep rechtstaat atapun rule of law serta perkembangan pemahaman dan konsepnya pada tingkat implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan hukum dalam praktik (law in action).

Konsepsi Negara Hukum Indonesia dan Perbandingannya dengan Konsep Lainnya
Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Karena itu menurut Tamanaha (Ibid: 2) liberalisme yang lahir pada akhir abad ke-17 awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini secara keseluruhan dipahami dalam istilah liberalisme.
Tamanaha menulis “… every version of liberalism reserve and essential place for the rule of law, and the rule of law today is thoroughly understood in the terms of liberalism.” Akan tetapi di atas segala-galanya dari liberalisme dalam tradisi politik Barat adalah kebebasan individu, seperti dalam terminologi klasik yang dikemukakan oleh John Stuart Mill “.. the only freedom which divers the name, is that of pursuing our own good in our own way, so long as we do not attempt to deprive others of theirs or impede their efforts to obtain it”, (seperti dikutip Tamanaha: Ibid. : 32). Dibawah hakekat kebebasan setiap individu adalah merdeka untuk mengejar cita-citanya tentang kebaikan. Setiap orang juga mempunyai hak untuk diberi hukuman dan mendapatkan penggantian atas pelanggaran hak-hak dasarnya oleh orang lain. Akan tetapi kebebasan bukanlah berarti melakukan apa saja yang disukainya, sehingga kemudian setiap orang berada di bawah ancaman yang sama yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu Immanuel Kant berkesimpulan kebebasan adalah hak untuk melakukana apapun yang sesuai hukum.

Menurut Tamanaha (Ibid: 34-35), ada empat tema pokok yang menjadi landasan liberalisme Barat, yaitu pertama; setiap orang bebas dalam lingkup dimana hukum dibuat secara demokratis, dimana setiap orang adalah pengatur sekaligus yang diatur, tentunya mereka wajib taat hukum, kedua; setiap orang bebas dalam lingkup dimana pejabat pemerintah diharuskan bertindak berdasarkan hukum yang berlaku, ketiga; setiap orang bebas sepanjang pemerintahan dibatasi dari pelanggaran atas diganggunya otonomi individu, serta keempat; kebebasan mengalami kemajuan ketika kekuasaan dipisahkan dalam beberapa kompartemen dengan tipe legislatif–eksekutif dan yudikatif.

Berdasarkan landasan pemikiran itulah yang melahirkan konsep negara hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl (seperti dikutip Jimly Asshiddiqie, 2006: 152) yang mengemukakan empat elemen penting dari negara hukum yang diistilahkannya dengan rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang serta peradilan tata usaha negara. Kemudian Dicey ( Lihat Dicey, 1952: 2002–203) yang dianggap sebagai teoretisi pertama yang mengembangkan istilah rule of law dalam tradisi hukum Anglo-Amerika, rule of law mengandung tiga elemen penting yang secara ringkas dapat dikemukakan, yaitu absolute supremacy of law, equality before the law dan due process of law, dimana ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu dan hak-hak asasi manusia.

Kesemua konsep negara hukum Barat tersebut bermuara pada perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu yang dapat diringkas dalam istilah “dignity of man” dan pembatasan kekuasan serta tindakan negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus diperlakukan sama. Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk menghindari absolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku, yang dalam praktik negara-negara Eropa kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk mengawasi tindakan pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten dengan ketentuan hukum. Pandangan negara hukum Barat didasari oleh semangat pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak indivu.

Pada sisi lain konsep rule of law ditentang oleh para ahli hukum yang menganut paham Marxis yang memperkenalkan istilah socialist legality. Jika konsep rule of law ditujukan pada satu titik sentral, yaitu dignity of man sehingga kekuasaan negara harus dibatasi maka dalam konsep sosialist legality, hukum sebagai guiding principles yang meliputi segala aktivitas dari organ-organ negara, pemerintahnya, pejabat-pejabatnya serta warga-warganya. Dalam kaitan ini Oemar Seno Adji berkesimpulan bahwa socialist legality lebih memberi kemungkinan bagi uniformitas dan similiaritas dalam asa-asanya daripada variatas yang bermacam-macam. Ia dapat dikembalikan kepada putusan Lenin mengenai “On the precise observance of laws” yang menghendaki agar supaya semua warga negara, organ-organ negara dan pejabat-pejabat mematuhi hukum dan dektrit-dekrit dari penguasa Uni Sovyet (Oemar Seno Adji, 1980: 13).

Hak-hak individu dalam konsep socialist legality tetap dihormati, akan tetapi harus dikaitkan dengan dan tunduk pada cita-cita masyarakat sosialis. Karena itu pembatasan tidak saja difokuskan pada kekuasaan negara terhadap individu tetapi juga pada kebebasan individu terhadap negara dan cita masyarakat sosialis. Demikian juga pengadilan yang independen diakui, tetapi memberikan hak kepada pemerintah untuk memberikan rekomendasi, usul dan saran. Walaupun Uni Soviet sudah runtuh sebagai sebuah negara namun konsep socialist legality tetap memiliki pengaruh dan menjadi kajian yang menarik sebagai sumber pengembangan konsep negara hukum pada masa kini dan ke depan.
Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum moderen Jimly Asshiddieqie (lihat Jimly Asshiddiqie, 2006: 151–162), sampai pada kesimpulan bahwa ada 12 prinsip pokok negara hukum (rechtstaat) yang berlaku di zaman sekarang, yaitu sumpremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata uasaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara serta trasnparansi dan kontrol sosial. Keduabelas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum moderen dalam arti yang sebenarnya.

2.Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila

Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo (Lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 48) sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.

Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat pada sosialisme, Wirjono Prodjodikoro berkesimpulan negara bahwa Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud socialist legality.

Karena terinspirasi dari konsep negara hukum Barat dalam hal ini rechtstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia. Bahkan secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan Penjelasan UUD mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.

Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan negara. Dari kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat, rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno Adji, antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila memiliki “similarity” dan “divergency”.

Jika konsep negara hukum dalam pengertian – rechtstaat dan rule of law – berpangkal pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip Ketuhanan adalah elemen paling utama dari elemen negara hukum Indonesia.
Lahirnya negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono (lihat Tahir Azhary, 2003: 96) berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status “naturalis” ke status “civis” dengan perlindungan terhadap civil rights. Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vertrag yang dualistis” melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”. Jadi posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu elemen utama bahkan menurut Oemar Seno Adji (Lihat Oemar Seno Adji, 1980: 25) merupakan “causa prima”. Begitu pentingnya prinsip Ketuhanan ini dalam negara Indonesia menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai prinsip pertama dari dasar negara Indonesia. Begitu pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh para founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische grondslag ) yang menyatakan :

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”.

Pidato Soekarno ini, nampaknya merupakan rangkuman pernyataan dan pendapat dari para anggota BPUPK dalam pemandangan umum mengenai dasar negara yang dimulai sejak tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni itu. Kesemuanya mengemukakan pentingnya dasar Ketuhanan ini menjadi dasar negara, terutama pandangan dan tuntutan dari para tokoh Islam yang menghendaki negara berdasarkan Islam. Dengan demikian negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum Barat yang menganut hak asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan maupun tidak ber-Tuhan, serta tidak memungkinkan kampanye anti Tuhan maupun anti agama dalam konsep socialist legality.

Demikian juga posisi agama dalam hubungannya dengan negara yang tidak terpisahkan. Walaupun terdapat sebahagian para founding fathers menghendaki agar agama dipisahkan dengan negara akan tetapi pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati secara bulat oleh panitia kecil hukum dasar dan diterima penuh dalam Pleno BPUPK mengenai Mukaddimah UUD atau yang disebut Piagam Jakarta, dasar negara yang pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Artinya sejak awal para founding fathers menyadari betul betapa ajaran agama ini menjadi dasar negara yang pokok, khususnya ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dalam perkembangannya Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mengadopsi Piagam Jakarta dikurangi tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” dan tujuh kata ini diganti dengan kata-kata: “Yang Maha Esa” yang dimaknai sebagai Tauhid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naskah Piagam Jakarta merupakan materi utama Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta kembali memperoleh tempat ketika Dektrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 menempatkan kedudukan Piagam Jakarta sebagai “menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

Dengan demkian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan negara dan pemerintahan. Agama menjadi satu elemen yang sangat penting dalam negara hukum Pancasila. Negara hukum Indonesia tidak mengenal doktrin “separation of state and Curch”. Bahkan dalam UUD 1945 setelah perubahan nilai-nilai agama menjadi ukuran untuk dapat membatasi hak-hak asasi manusia (lihat Pasal 28J UUD 1945). Negara hukum Indonesia tidak memberikan kemungkinan untuk adanya kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.
Di samping kedua perbedaan di atas negara hukum Indonesia memiliki perbedaan yang lain dengan negara hukum Barat, yaitu adanya prinsip musyawarah, keadilan sosial serta hukum yang tuntuk pada kepentingan nasional dan persatuan Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Prinsip musyawarah dan keadilan sosial nampak sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam bagi elemen negara hukum Indonesia.

Prinsip musyawarah merupakan salah satu dasar yang pokok bagi hukum tata negara Indonesia sehingga merupakan salah satu elemen negara hukum Indonesia. Apa yang nampak dalam praktik dan budaya politik ketatanegaraan Indonesia dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara terlihat jelas bagaimana prinsip musyawarah ini dihormati. Pembahasan undang-undang antara pemerintah dan DPR yang dirumuskan sebagai pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden merupakan implementasi prinsip musyawarah dalam hukum tata negara Indonesia. Demikian juga dalam budaya politik di DPR, perdebatan dalam usaha mendapatkan keputusan melalui musyawarah adalah suatu kenyataan politik yang betul-betul diterapkan. Prinsip musyawarah memberikan warna kekhususan dalam hubungan antarlembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia jika dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Artinya pemisahan kekuasaan yang kaku, dapat dicairkan dengan prinsip musyawarah. Rusaknya hubungan antara Presiden dan DPR serta MPR seperti tercermin dalam pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Soekarno adalah akibat telah buntunya musyawarah.

Prinsip keadilan sosial menjadi elemen penting berikutnya dari negara hukum Indonesia. Atas dasar prinsip itu, kepentingan umum, kepentingan sosial pada tingkat tertentu dapat menjadi pembatasan terhadap dignity of man dalam elemen negara hukum Barat. Dalam perdebatan di BPUPK, prinsip keadilan sosial didasari oleh pandangan tentang kesejahteraan sosial dan sifat kekeluargaan serta gotong royong dari masyarakat Indonesia, bahkan menurut Soekarno jika diperas lima sila itu menjadi eka sila maka prinsip gotong royong itulah yang menjadi eka sila itu. Dalam hal ini Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 berkata: “sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesia bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia – semua buat semua. Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, yang tiga menjadi satu maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan adalah negara gotong royong”.

Prinsip terakhir negara hukum Indonesia adalah elemen dimana hukum mengabdi pada kepentingan Indonesia yang satu dan berdaulat yang melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Indonesia dari Sabang sampai Merauku yang masing-masing memiliki adat dan istiadat serta budaya yang berbeda. Hukum harus mengayomi seluruh rakyat Indonesia yang beragam sebagai satu kesatuan.

Dengan dasar-dasar dan elemen negara hukum yang spesifik itulah dapat dipahami perubahan UUD 1945 ketika mengadopsi hak-hak asasi manusia, diadopsi pula pembatasan hak-hak asasi yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan serta ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa elemen negara hukum Indonesia disamping mengandung elemen negara hukum dalam arti rechtstaat maupun rule of law, juga mengandung elemen-emelemen yang spesifik yaitu elemen Ketuhanan serta tidak ada pemisahan antara agama dan negara, elemen musyawarah, keadilan sosial serta persatuan Indonesia.

3. Negara Hukum Indonesia dan Prinsip Konstitusionalisme

Unsur-unsur negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep seperti telah diuraikan di atas adalah nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Dengan demikian posisi Pembukaan ini menjadi sumber hukum yang tertinggi bagi negara hukum Indonesia. Perubahan UUD 1945 (dalam Perubahan Keempat) mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan antara Pembukaan dengan pasal-pasal UUD 1945. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Hanya pasal-pasal saja yang dapat menjadi objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak dapat menjadi objek perubahan.

Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang sangat tinggi sehingga kita hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar bagi arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung dalam pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan pasal-pasal UUD 1945 sehinga tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif, bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam pasal-pasal UUD-lah yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara hukum bersifat abstrak maka konsep konstitusionalisme menjadi lebih nyata dan jelas.

Konstitusionalisme merupakan faham pembatasan kekuasaan negara dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional. Pasal undang-undang dasar mengatur lebih jelas mengenai jaminan untuk tidak terjadinya monopoli satu lembaga kekuasaan negara atas lembaga kekuasaan negara yang lainnya, kewenangan masing masing lembaga negara, mekanisme pengisian jabatan-jabatan bagi lembaga negara, hubungan antarlembaga negara serta hubngan antara negara dengan warga negara yang mengandung jaminan kebebasan dasar manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie ( Jimli Asshiddiqie, 2006: 144), konstitusi dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga yang satu dengan yang lain serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.

Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam pembentukan undang-undang, pengujian undang-undang maupun pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip konstitusionalisme harus selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan UUD. Karena pasal-pasal UUD tidak mungkin mengatur segala hal mengenai kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran UUDi dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar konsep dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga pasal-pasal UUD 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis. Pembentuk undang-undang maupun Mahkamah Konstitusi memliki ruang penafsiran yang luas terhadap pasal-pasal UUD 1945 dalam frame prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

4. Kecermatan Dalam Pembentukan Hukum

Pembentukan hukum baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang yang terdiri dari DPR dan Presiden maupun Mahkamah Konstitusi – dalam makna legislasi negatif seperti istilah Jimly Asshiddiqie – dilakukan melalui proses yang panjang dan berliku. Pada praktiknya pembentukan hukum, paling tidak melibatkan proses dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

- ketentuan-ketentuan UUD 1945

- situasi dan kekuatan politik berpengaruh pada saat undang-undang itu dibuat

- pandangan dan masukan dari masyarakat

- perkembangan internasional dan perbandingan dengan negara lain

- kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, serta

- cara pandang para pembentuk undang-undang terhadap dasar dan falsafah negara

- Pengaruh teori dan akademisi.

Titik rawan dari pembentukan hukum agar sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia adalah pada pengaruh dan perkembangan ketentuan dari negara lain serta pandangan akademisi yang sangat dipengaruhi oleh kerangka teori yang hanya bersumber dari negara lain. Pengaruh itu dapat diperoleh dari studi banding ke negara lain maupun pandangan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Pernyataan ini tidak dimaksudkan sebagai keengganan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan negara-negara lain atau perkembangan internasional atau teori yang berkembang dari luar, akan tetapi lebih dimaksudkan sebagai kehati-hatian dan kecermatan agar hukum yang dibuat sesuai dengan kondisi Indonesia dan cita negara hukum Indonesia. Karena itu alat ukur dan verifikasi terakhir atas seluruh pembentukan hukum harus dilihat dalam kerangka elemen prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan disamping pasal-pasal UUD 1945. Di sinilah kita letakkan nilai Pancasila dalam Pembukaan sebagai norma standar bagi negara hukum Indonesia .

5.Kesimpulan

Negara hukum dalam perspektif Pancasila yang dapat diistilahkan sebagai negara hukum Indonesia atau negara hukum Pancasila disamping memiliki elemen-elemen yang sama dengan elemen negara hukum dalam rechtstaat mauapun rule of law, juga memiliki elemen-elemen yang spesifik yang menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan negara kesatuan Indonesia.

Pembentukan hukum baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh Mahkamah Konstitusi harus menjadikan keseluruhan elemen negara hukum itu dalam satu kesatuan sebagai nilai standar dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang. Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengemukakan pandangan Prof. Dr. Satjipto Raharjo (lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 53) mengenai keresahannya terhadap negara hukum Indonesia dengan suatu harapan bahwa hukum hendaknya membuat rakyat bahagia, tidak menyulitkan serta tidak menyakitkan. Di atas segalanya dari perdebatan tentang negara hukum, menurut Prof. Satjipto kita perlu menegaskan suatu cara pandang bahwa negara hukum itu adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia, bukan sebaliknya. Hukum tidak boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Inilah yang sebaiknya menjadi ukuran penampilan dan keberhasilan (standard of performance and result) negara hukum Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan konstitusional Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 195 -1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet.2, 2001, Terjemahan dari judul asli The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: a Socio-Legal Study of the Indonesia Konstituante

——-, Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Hukum Tata Negara, Kataharta Pustaka, Jakarta,
Azhary, Tahir., Negara Hukum, Suatu Study tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2003.

Bagir Manan, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah, 1999.

Dicey, A.V., Introduction to the study of the Law and the Constitution, Ninth Edition, MacMilland and CO, London 1952

Douglas Greenberg, Stanley N. Katz, at.al., (Editor), Constitutionalism and Democracy, Transition in the Contemporary World, (The American Councel of Learned Sociaties Comparative Constitutionalism Papers), Oxford University Press, New York, 1993
Dyzenhaus, David, Legality and Legitimacy, Carl Schmith, Hans Kelsen and Hermann

Heller in Weimar, Oxord University Press, New York, 1999.

Fleming, James, E., Securing Constitutional Democracy, The Case of Autonomy, The University of Chicago Press, USA, 2006

Harahap, Krisna, Konstitusi Republik Indonesia, Grafitri Budi Utami, 2004.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Clarendon Law Series, Second Edition, Oxford University Press, New York, 1997

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, the Presiden of Fellows of Harvard College, Russel & Russel, 1961

Melvin J.Vrofsky, Introduction: The Prinsiples of Democracy, dalam Democracy Papers. 2001.
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga Jakarta, 1980
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakulats Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Hukum Indonesia, Cet. Kedua, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976.

Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Jakarta 2004, Diterjemahkan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their Hystory and Existing Form, karya J.F.Strong, O.B.E.,M.A.Ph.D., The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, Lonon, 1966.
Tamanaha, Brian Z, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press, Edisi Keempat, 2006

Wittington, Keith, E., Constitutional Construction, Divided Powers and Constitutional Meaning, Harvard University Press, USA, 2001.

Zoelva, Hamdan, Impeachment Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

0 komentar:

Posting Komentar