Rabu, 20 April 2011

MENGENAL DASAR-DASAR SEMIOTIKA HUKUM

MENGENAL DASAR-DASAR SEMIOTIKA HUKUM

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Pertengahan hingga akhir 1980-an berkembang suatu teori semiotik dalam hukum. Semiotik hukum berada dalam proses menentukan bentuk kajiannya. Banyak istilah baru dan kompleks yang muncul dan diperkenalkan dengan kegunaan dan definisi yang berbeda-beda.

Sejumlah perspektif telah muncul dan terus muncul, misalnya saja semiotik Peircean, Greimasian, Lacanian dan lain-lain. Dapat dikatakan bahwa pendekatan-pendekatan yang menggunakan analisis semiotik mempunyai tingkatan serta keterkaitan yang berbeda. Bahkan salah satu pandangan yang cukup ekstrim telah membuat klaim untuk eksistensi otonomnya sebagai sebuah paradigma. Sementara sudut pandang sudut pandang ekstrim lainnya, mencoba menyatukan elemen-elemen analisis semiotik dalam analisis hukum, semiotik hukum muncul seiring dengan perkembangan masyarakat. Ketika nalar, budaya dan bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum, maka peran semiotik hukum menjadi sangat penting.

1. Rancangan Teori Semiotika

Metodologi yang digunakan dalam analisis semiotika adalah interpretatif. Secara metodologis, kritisme yang terkandung dalam teori-teori interpretatif -utamanya hermeneutika- menyebabkan cara berpikir mazhab kritis (Frankfrut School) terbawa juga dalam kajian semiotik ini. Sesuai dengan paradigma kritis, analisis semiotik bersifat kualitatif. Jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interprestasi-interprestasi alternatif.

Seperti halnya dalam analisis wacana, pada umumnya ada tiga jenis masalah yang hendak diualas dalam analisis / metode semiotika. Pertama, masalah makna. Bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa yang dikandung dalam stuktur sebuah pesan? Kedua, masalah tindakan atau pengetahuan tentang bagaimana memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Ketiga, masalah koherensi, yang menggambarkan bagaimana membentuk suatu pola pembicaraan masuk akal dan dapat dimengerti.

Dalam semiotika sosial, ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual, yaitu (Sudibyo, Hamd, Qodari, 2000:23) :

  1. Medan Wacana (field of discourse): menunjuk pada hal yang terjadi : apa yang dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang sedang terjadi dilapangan peristiwa.
  2. Pelibat wacana (tenor of discourse): menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peran mereka.
  3. Sarana Wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa : bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat orang-orang yang dikutif); apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufemistik atau vulgar.

Langkah-Langkah Penelitian Semiotika

Berikut ini langkah-langkah umum yang bisa dijadikan pedoman (Cristomy, 2001b) Penelitian Semiotika / semiotik khususnya dalam kajian Ilmu Komunikasi : Sumber referensi : Analisis Teks Media (Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing) / Drs. Alex Sobur, M.Si / Penerbit : Rosda, 2009)

  1. Cari topik yang menarik perhatian anda
  2. Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, dimana, apa)
  3. Tentukan alasan /rationale dari penelitian anda?
  4. Rumuskan penelitian anda dengan mempertimbangkan tiga langkah sebelumnya (topik, tujuan, dan rationale)
  5. Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika)
  6. Klasifikasi data : (a) Identifikasi teks; (b) Berikan alasan mengapoa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi; (c) Tentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki maupun sekuennya atau, pola sintagmatik dan paradigmatik; (d) Tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika yang ada.
  7. Analisis data berdasarkan : (a) Ideologi, interpretan kelompok, frame work budaya; (b) Pragmatik, aspek sosial, komunikatif; (c) Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lain, hukum yang mengaturnya; (d) Kamus vs ensiklopedi.
  8. Kesimpulan.

Rancangan semiotika umum harus mempertimbangkan (a) teori kode dan (b) teori produksi tanda. Yang terakhir ini harus memperhitungkan ruang lingkup gejala, yaitu pemakaian bahasa, evolusi kode, komunikasi estetik, tipe-tipe tingkah laku dalam interaksi yang komunikatif, penggunaan tanda-tanda untuk menyebutkan sesuatu atau keadaan dunia, dan sebagainya.

Pada dasarnya semiotika signifikasi memerlukan bantuan teori kode, sedangkan, semiotika komunikasi memerlukan bantuan teori produksi tanda. Teori semiotika umum dianggap kokoh berdasarkan kemampuannya merumuskan definisi formal yang tepat untuk tiap-tiap jenis fungsi tanda, baik definisi itu telah diperikan dan dikodekan maupun belum.

Suatu penelitian semiotik umum akan dihadapkan pada berbagai batas bidang kajian. Eco mengemukakan tiga batas sehubungan dengan penelitian semiotik, yaitu “batas politik”, “batas alam”, dan “batas epistemilogis”. Karena pengertian “batas” seperti dikemukakan Eco lebih menekankan semacam kategorisasi dan istilah “politik” dikhawatirkan menimbulkan konotasi yang menyesatkan, maka di sini digunakan istilah “ranah budaya”, yang terdiri dari 3 tipe, yaitu ranah akademis, ranah kerja sama, ranah empiris, kemudian “ranah alam” yang mencakup semua gejala alam yang tidak dapat didekati dengan pendekatan semiotik, dan “ranah epistemologis”.

2. Semiotika: Bidang Kajian atau Disiplin Ilmu

Kajian mengenai batas-batas dan hukum-hukum semiotika harus dimulai dengan menentukan apakah yang dimaksud dengan istilah “semiotika” adalah suatu disiplin ilmu yang khusus dengan metodenya sendiri dan objek tertentu; ataukah semiotika adalah bidang kajian-kajian. Jika semiotika itu dipandang sebagai bidang kajian, maka ragam bidang kajian semiotik harus dibatasi secara jelas. Sebaliknya, jika semiotika dipandang sebagai disiplin ilmu, para peneliti harus merancang suatu model penelitian semiotika secara deduktif sebagai parameter yang menjadi dasar peluasan atau penyempitan ragam kajian bidang semiotika.

3. Komunikasi dan/atau Signifikasi

Proses komunikasi sering didefinisikan sebagai penerimaan isyarat; tidak selalu harus tanda; dari suatu sumber melalui pemancar dan saluran ke tujuan. Sistem signifikasi adalah konstruk (construc) semiotika yang otonom, yang mempunyai model eksistensi abstrak, bebas dari kemungkinan tindak komunikatif yang dimungkinkannya. Mungkin sekali, jika tidak diperlukan; membangun semiotika signifikasi yang bebas dari semiotika komunikasi. Sebaliknya, tidak mungkin membangun semiotika komunikasi tanpa semiotika signifikasi. Jelas bahwa dua pendekatan itu terkadang harus mengikuti langkah metodologis yang berbeda dan memerlukan seperangkat kategori yang berbeda pula. Akan tetapi, dalam proses budaya, dua pendekatan itu secara metodologis berjalin erat.

4. Ranah Budaya: Bidang Kajian (Political Boundaries)

Karena sangat luas, daerah pnelitian kontemporer yang berikut, mulai dari proses komunikatif yang nampaknya lebih “alamiah” dan spontan sampai pada sistem budaya yang lebih kompleks, dapat dianggap termasuk bidang semiotika. Berbagai bidang yang dapat dipertimbangkan sebagai kajian semiotika adalah sebagai berikut.

  1. Semiotika Binatang (Zoosemiotics)
  2. Tanda-tanda Bauan (Olfactory Signs)
  3. Komunikasi Rabaan (Tactile Communication)
  4. Kode-kode Cecapan (Code of Taste)
  5. Paralinguistik (Paralingusticts)
  6. Semiotika Medis (Medical Semioticts)
  7. Kinesis dan Proksemik (Kinesics and Proxemics)
  8. Kode-kode Musik (Musical Codes)
  9. Bahasa yang Diformalkan (Formalized Languages)
  10. Bahasa tertulis, Alfabet tak dikenal, Kode Rahasia
  11. Bahasa Alam (Natural Languages)
  12. Komunikasi Visual (Visual Communication)
  13. Sistem Objek (Systems of Objects)
  14. Struktur Alur (Plot Structure)
  15. Teori Teks (Text Theory)
  16. Kode-kode Budaya (Cultural Codes)
  17. Teks Ekstetik (Aesthetic Texts)
  18. Komunikasi Massa (Mass Communication)
  19. Retorika (Rhetoric)
  20. Simbol (Simbolic)

5. Ranah Alami: Dua Pengertian Semiotika

Saussure

Menurut Umberto Eco dari kedua definisi antara Saussure dan Peirce, menurutnya definisi Saussure lebih penting dan telah berhasil meningkatkan kesadaran semiotik. Menurut Saussure, tanda mempunyai dua entitas, yaitu signifer dan signifed atau wahana ‘tanda’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ dan ‘petanda’. Jika hubungan antara penanda dan petanda itu ditetapkan berdasarkan sistem kaidah yang dinamakan la langue, maka tak dapat disangkal bahwa semiologi Saussure akan menjadi semiotika signifikasi.

Peirce

Menurut Eco, definisi-definisi yang diberikan oleh Peirce lebih luas dan secara semiotis lebih berhasil. Sebagaimana telah dikutip oleh Eco, semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan, pengaruh, atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda, objek, dan interpretan. Menurut Peirce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Eco sepakat dengan Peirce dalam mengartikan interpretan sebagai suatu peristiwa psikologis dalam pikiran interpreter, hanya saja harus difahami secara non-antropomorfis.

Secara sekilas kedua definisi yang diberikan oleh Saussure dan Peirce sama, tetapi jika dikaji lebih dalam, definisi Peirce menawarkan sesuatu yang lebih. Definisi Peirce tidak menuntut kualitas keadaan yang secara sengaja diadakan dan secara artifisial diupayakan.

6. Ranah Alami: Ionferensi dan Signifikasi

Tanda Alamiah

Ada dua tipe tanda yang terlepas dari batasan komunikasi, yaitu (i) kejadian atau peristiwa fisik yang berasal dari sumber alam, dan (ii) perilaku manusia yang secara tidak sengaja dipancarkan oleh pengirimnya. Bukan suatu hal yang kebetulan jika filsafat kuno sering menghubungkan signifikasi dengan inferensi. Mungkin identifikasi langsung inferensi dan signifikasi ini meninggalkan banyak perbedaan yang tidak dapat dijelaskan. Identifikasi itu hanya perlu diluruskan dengan menambah ungkapan “jika hubungan ini secara kultural diakui dan secara sistematis dikodekan.

Tanda Non-intensional

Perilaku manusia yang mengisyaratkan sinyal meskipun perilakunya itu tak disadarinya. Dalam hal tertentu, perilaku itu memungkinkan diketahuinya latar budaya pelaku karena perilakunya mempunyai konotasi yang jelas.

7. Batas Alami: Ambang Bawah

Stimuli

Jika peristiwa kemanusiaan dan non-kemanusiaan yang tak disengaja dapat menjadi tanda, maka semiotika telah diperluas ranahnya melebihi batas ambang: tanda-tanda yang terpisah dari benda dan tanda-tanda artifisial dari ranah alamiahnya. Segala sesuatu dapat difahami sebagai tanda hanya jika ada konvensi yang memungkinkannya berlaku untuk sesuatu yang lain, dan karena beberapa tanggapan behaviour tidak diperoleh melalui konvensi, rangsangan (stimuli) tidak dapat difahami sebagai tanda. Semiotika hanya berurusan dengan tindakan yang bertujuan. Peristiwa non-kemanusiaan dan kemanusiaan yang tidak bertujuan bukanlah tanda.

Isyarat (Signal)

Objek sebenarnya dari teori informasi selayaknya tidak dianggap sebagai tanda, melainkan hanya sebagai satuan-satuan transmisi yang dapat dihitung secara kuantitatif, terlepas dari kemungkinan maknanya. Dengan demikian, sebaiknya objek teori informasi itu disebut isyarat dan bukan tanda. Di sini isyarat merupakan hal yang penting bagi pendekatan semiotik.

Informasi Fisik

Informasi fisik, seperti gejala neuro-psikologis dan genetis, sirkulasi darah, atau gerak paru-paru tidak boleh dianggap sebagai permasalahan semiotika. Meskipun semiotika menggunakan alat-alat yang diambil dari disiplin ilmu yang berkaitan dengan ambang bawah ini, tidaklah dapat diabaikan begitu saja. Fenomena ambang bawah harus dilihat sebagai penunjuk timbulnya fenomena semotika dari sesuatu yang non-semiotis, sebagai missing link antara dunia isyarat dan dunia tanda.

8. Batas Alami: Ambang Atas

Dua Hipotesis tentang Budaya

Penelitian semiotika ditentukan oleh hipotesis tentang kebudayaan, yaitu (a) keseluruhan dan keutuhan budaya harus dikaji sebagai gejala semiotika, dan (b) semua aspek budaya dapat dikaji sebagai isi aktivitas semiotika.

Alat (tools)

Kebudayaan lahir bila tercipta tiga kondisi sebagai hasil proses semiotik. ketiga kondisi itu adalah (1) adanya pemikiran yang mapan tentang fungsi baru sebuah benda, (2) adanya pengetahuan tentang kegunaan suatu benda, dan (3) adanya pengenalan fungsi tertentu dan nama tertentu suatu benda.

Komoditi

Pertukaran komoditi atau perdagangan juga dapat dipertimbangkan sebagai gejala semiotik. perdagangan bukan sekedar pertukaran benda, tetapi juga mengandung nilai kegunaan yang dapat diubah menjadi nilai tukar. Di sini proses signifikasi atau simbolisasi terjadi, kemudian disempurnakan melalui bentuk uang, dan bentuk itu berlaku untuk sesuatu yang lain.

Wanita

Seperti juga komoditi, wanita pun cukup menarik untuk dipertimbangkan sebagai proses simbolik. Dalam proses ini akan tampak wanita sebagai objek fisik yang digunakan untu kegiatan fisiologis.

Budaya sebagai Fenomena Semiotika

Semiotika menjadi teori umum tentang kebudayaan dan semiotika mungkin akan menggantikan antropologi budaya. Komunikasi dan signifikasi ternyata lebih gamblang bila dilihat dari sudut pandang semiotik. dalam hal ini, hipotesis yang moderat pun perlu dikemukakan, yakni bahwa setiap aspek kebudayaan menjadi sebuah unit semantik. Di dalam kebudayaan, setiap entitas dapat menjadi gejala semiotik. hukum-hukum signifikasi adalah hukum-hukum kebudayaan. Kebudayaan dapat dikaji dengan sempurna secara semiotik.

9. Batas Epistemologis

Ada tiga jenis ambang batas yang salah satunya adalah batas epistimologis, yang merupakan jenis yang ketiga. Batas epistimologis tidak bergantung pada definisi objek semiotika, tetapi lebih bergantung pada definisi kemurnian teoritis disiplin ilmu itu sendiri.

Penelitian semiotik harus memperhitungkan keterbatasan-keterbatasan yang ada. Pendekatan tidak boleh bersifat netral karena setiap peneliti, menurut Eco, pasti dimotivasi oleh tujuan-tujuan tertentu.

Contoh Analisis Semiotika Hukum

Korupsi di negeri ini nyaris sudah ‘menyatu’ dengan sistem kekuasaan, meskipun tentunya harus tetap diyakini bahwa masih ada peluang untuk membersihkan benalu korupsi dari roda birokrasi kekuasaan negara asal ada kemauan, komitmen, dan kejujuran dari semua pihak, khususnya para elite di lingkungan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Korupsi di negeri ini dalam cara pandang filsafat fondasionalisme dilihat sebagai dampak dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di lingkungan kekuasaan negara.

Kekuasaan yang absolut ditambah lemahnya sistem pengawasan dan ketertutupan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan telah membuka peluang terjadinya korupsi (absolute power tends to corrupt). Musuh terbesar dari upaya perwujudan kepemerintahan yang bersih (clean governance) adalah nihilisme atau absennya sistem pengawasan. Kekuasaan yang tertutup dan jauh dari kontrol publik membawa pada hasrat subjek yang berkuasa untuk mendominasi dan memanipulasi. Dalam kondisi tersebut, Pierre Bourdieu mengajak untuk membongkar selubung dominasi menggunakan strategi praktis dengan cara mengobjektivasi subjek. Artinya, peluang untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif harus dieliminasi dengan menerapkan sistem pengawasan efektif pada setiap lini penggunaan wewenang (authority) pada pusat-pusat kekuasaan dan memperkokoh sistem saling mengawasi (checks and balances) antar poros-poros kekuasaan negara.

Belitan korupsi di lingkungan birokrasi kekuasaan eksekutif dapat diurai dengan menelusuri kembali rentang kendali (span of control) organisasi kekuasaan eksekutif (pusat/daerah), sambil mengefektifkan berbagai jalur pengawasan melalui kebijakan pengawasan terpadu yang puncaknya secara langsung dikendalikan presiden/wapres. Hal itu sangat penting mengingat gurita korupsi yang melilit birokrasi eksekutif sangat luas cakupannya. Korupsi di negeri ini kini menjadi rimba permasalahan yang kian tak jelas batas-batasnya dan cara menyelesaikannya. Sebuah kejahatan struktural yang di dalamnya berkelindan permainan posisi/kekuasaan, ambisi, amoralitas, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan berakar pada apa yang oleh Nietzsche disebut kehendak berkuasa (the will of power). Nietzsche semasa hidupnya mengatakan bahwa hakikat dunia ini tak lain adalah kekuatan. Hidup adalah kumpulan kekuatan-kekuatan yang berada di bawah satu penguasaan.

Reduksi dalam pengungkapan jaringan mafia pajak dalam proses penegakan hukum berkelindan dengan transaksi kepentingan politik yang kian membawa hukum di negeri ini memasuki dunia kamuflase semiotik. Hukum telah menjadi sebuah fatamorgana (mirage), yaitu sebuah ontologi citraan dan semiotika yang dibangun di atas sebuah tanda dusta (false sign) atau kebohongan. Hukum telah menjadi penanda yang hampa (empty signifier) di saat konstitusi pun tak lagi sahih mengatur perilaku lembaga-lembaga negara dan aparat penegak hukum diperkuda hasrat epithumia, yaitu naluri irasional/instingtif sehingga bertekuk lutut di hadapan uang. Citra kamuflase (camouflage image) telah menjadikan hukum sekadar bersifat transaksional dan instrumental di bawah kendali aktor-aktor kepentingan politik dan ekonomi. Hukum dalam kamuflase semiotik hanya berganti-ganti permukaan tanda atau kulit luar (form), tetapi substansi di baliknya (content) tetap tak berubah.

Pengungkapan seluruh jaringan mafia pajak dengan kasus Gayus sebagai puncak gunung esnya dalam pandangan Ricoeur akan menarik garis hubungan sirkuler mutual (mutual-circular) antara fiksi bahwa pajak di negeri diwartakan sebagai instrumen kebijakan untuk melakukan redistribusi kesejahteraan (welfare redistribution/fungsi mengatur) dan realitas bahwa negeri ini kian salah urus dalam mengelola pajak dan kekayaan negara yang menjadikannya hanya menguntungkan oknum yang korup yang bersembunyi di balik birokrasi negara.

Pemilu kada yang seharusnya menjadi forum kedaulatan rakyat kini tak ubahnya sebuah arena kontestasi kekuatan yang distimulasi kehendak berkuasa dan di dalamnya tak jarang menghadirkan amoralitas permainan kekuasaan politik. Kalaulah demokrasi menjadi pembungkus dari pemilu kada, struktur perpolitikan yang tak terbiasa untuk melihat yang lain (baca: lawan politik) dari kedekatan dan dengan hati (passion), menjadikan pemilu kada sebuah pertarungan harga diri kelompok yang berkelindan dengan ambisi serta hasrat berkuasa. Padahal dalam pandangan Martin Heidegger bagaimana individu-individu menjadikan dirinya subjek yang mencintai kebebasan atau keberkuasaan dan mengakui hadirnya yang lain dengan penuh hormat dan kesanggrahan (hospitality) atau mengada di dunia dengan perhatian (care) menentukan kebusukan atau keharuman sebuah masyarakat.

Di lingkungan kekuasaan legislatif, benang kusut korupsi perlu diurai dengan membongkar struktur politik yang memicu terjadinya tindakan-tindakan koruptif. Sudah jamak diketahui bahwa sistem pemilu yang miskin nilai dan sarat jebakan money politic yang dipraktikkan selama ini telah menyebabkan para elite politik, baik di lingkungan legislatif maupun pada pucuk pimpinan eksekutif (pusat/daerah) terjerat siklus perputaran transaksi kepentingan politik dan ekonomi yang menyubordinasi demokrasi. Sistem pengawasan legislatif yang memungkinkan para anggota legislatif mengawasi langsung lembaga eksekutif sampai pada satuan tiga hierarki eksekutif pusat maupun daerah telah menyebabkan merebaknya korupsi yang disebabkan adanya simbiosis mutualisme antara legislatif dan eksekutif. Alhasil, demokrasi menjadi dangkal dan hukum menjadi instrumen untuk mengabsahkan transaksi kepentingan politik dan ekonomi tersebut pascaterpilih dalam jabatan-jabatan publik.

Di lingkungan yudikatif, korupsi masih sering terjadi karena tidak efektifnya sistem pengawasan, khususnya pengawasan internal, rendahnya penghargaan atas profesi dan habitus publik penegakan hukum yang sarat dengan perilaku koruptif. Siklus transaksi kepentingan politik dan ekonomi tak jarang juga merambah sampai ke ranah yudikatif. Hakim acap kali tak kuasa melawan infiltrasi kuasa ekonomi maupun politik dalam fungsi yudisial yang dijalankannya sehingga cukup banyak putusan tak sampai mengonstruksi keadilan sosial (social jusctice) yang diamanatkan sila kelima Pancasila dan konstitusi. Akibatnya, negara hukum yang dinisbatkan konstitusi sebagai karakter dari negeri ini kehilangan performanya dan telah menjadi negara kekuasaan (machtstaat) bahkan mafiastaat.

Berbagai faktor itu telah mendorong pengabaian tujuan dan nilai karena pada akhirnya yang menentukan adalah keputusan subjek yang berasal dari hasrat dan kepentingan politik maupun ekonomi. Rasio yang mendasari pilihan subjek-subjek tersebut adalah rasio instrumental, yaitu cara berpikir jangka pendek yang mendefinisikan kehidupan hanya atas dasar persaingan, kekuasaan, dan sikap-sikap pragmatis. Rasio instrumental mudah tergoda untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu, bahkan jika untuk hal itu etika dan norma hukum harus dilanggar.

Dalam kondisi rezim yang korup, Jacques Derrida menawarkan upaya untuk mendekonstruksi sistem yang korup dan menindas. Reformasi birokrasi dan sistem politik mendesak untuk segera dilakukan. Dalam konteks penegakan hukum, langkah tersebut perlu dilengkapi upaya untuk segera mengintegrasikan sistem pembuktian terbalik (shifting burden of proof) guna menutup peluang sekecil mungkin lepasnya perilaku koruptif para aktor kekuasaan publik di lingkungan trias politika negara dari jerat hukum. Berbagai tanda (sign) yang menunjukkan lemahnya sistem kekuasaan perlu didekonstruksi dan selanjutnya direkonstruksi kembali antara lain: (pe)lemahan partisipasi karena pembatasan dan manipulasi, kekakuan sistem dan lemahnya koordinasi, diskresi tanpa batas serta tumpang tindih/konflik kewenangan (conflict of authority). Pengawasan yang dilaksanakan KPK harus diperkuat dengan merevitalisasi sistem pengawasan internal, fungsional maupun pengawasan publik melalui sistem keterbukaan informasi (open information system). Cara-cara itu memang memerlukan investasi waktu, dana, dan tenaga ditambah perlunya dukungan komitmen dari seluruh elemen bangsa. Namun, jika tidak segera dimulai, benang kusut korupsi akan kian sulit diurai. (disarikan dari pendapat Dr W Riawan Tjandra, SH, MHum, Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Penafsiran Undang-Undang dari Perspektif Penyelenggara Pemerintahan (disarikan dari pendapat A.A. Oka Mahendra, S.H.)

“Undang-undang bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai dan bukan teks yang sudah final”.[1] Pernyataan Anthon Freddy Susanto tersebut bukan saja berlaku bagi hakim, tetapi juga bagi penegak hukum lainnya dan bagi penyelenggara pemerintahan. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak hanya mengatur secara garis besar hal-hal yang wajib dilakukan (obligattere), yang dilarang dilakukan (prohibere) dan yang boleh dilakukan (permittere).

Rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih mengetahui bagaimana melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam berbagai undang-undang selalu terdapat pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

Karena itulah undang-undang bagi penyelenggara pemerintahan bukan teks yang sudah selesai, tetapi masih perlu diatur lebih lanjut dengan delegated legislations, sebagai secondary legislations.[2] Oleh karena undang-undang merupakan salah satu unsur dari sistem hukum, maka sifat dasar sistem hukum juga menjadi sifat dasar undang-undang. Sudikno Mertokusumo mengemukakan:

“Hukum pada dasarnya merupakan sistem terbuka, tetapi dalam sistem hukum itu terdapat sistem terbuka dan sistem tertutup”.[3]

Lebih lanjut dikemukakan “pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan-peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk perbedaan interpretasi. Karena interpretasi itu maka peraturan-peraturan itu selalu berubah”. Dalam pandangan Dworkin seperti dikutip Anthon Freddy Susanto dikemukakan “bilamana hukum merupakan konsepp interpretatif, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap layak menyebut ilmu haruslah dibangun atas dasar suatu interpretasi”.[4] Sementara itu, Paul Scholten mengemukakan interpretasi sistematis “sudah ada terletak di dalam hukum itu sendiri”.[5] Alasannya aturan-aturan itu secara logikal berada dalam saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan…”

Kemudian Anthon Freddy Susanto mengemukakan: “…tetapi sistem norma itu sendiri tetap terbuka untuk ditafsirkan. Ketika norma dibuat, akan berbeda dengan norma yang telah disahkan dan norma yang telah disahkan akan berbeda pula dengan norma setelah ditafsirkan. Keinginan untuk kembali kepada makna formal dari norma biasanya merupakan gangguan serius terhadap bagaimana norma itu ditangkap oleh di penerima norma”.[6]

Pada bagian lain Anthon menambahkan: “untuk itu penafsiran menjadi keharusan, “penafsiran” akan menjadi kunci kreativitas”. Penafsiran tidak sekedar memberi arti pada kata atau bahasa, juga tidak semata-mata mengungkapkan realitas yang nampak melalui panca indera. Penafsiran hakekatnya adalah puncak kreativitas, yaitu upaya pencairan kebenaran yang dapat dilakukan melalui tingkatan kecerdasan manusia. Melalui penafsiran kebenaran mengalir bersama pengetahuan untuk mencapai sumbernya”.[7]

Dalam ilmu hukum dikenal bermacam-macam metode interpretasi atau penafsiran yaitu: metode penafsiran gramatikal, otentik, teleologis (sosiologis), sistematis (logis), historis (subjektif), komparatif, futuristis (antisipatif), restriktif dan ekstensif. Metode interpretasi/penafsiran tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan berdasarkan 2 pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2) the purposive approach (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua.[8]

Dalam praktek para subjek hukum yang berkepentingan cenderung menggunakan metode penafsiran yang paling menguntungkan kepentingannya. Bahkan ada kecenderungan dari beberapa kalangan untuk menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang, karena undang-undang dijadikan instrumen melegitimasi kebijakan penguasa, bukan ditempatkan sebagai dasar untuk mengatur dan mempertanggungjawabkan kebijakan penguasa.

Peran Penyelenggara Pemerintahan dalam menjaga Konsistensi Penafsiran Undang-Undang

Sehubungan dengan itu sangatlah relevan untuk mempertanyakan peran penyelenggara pemerintahan dalam menjaga konsistensi penafsiran undnag-undang. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, tidak dibedakan antara “pejabat pemerintah” yang menjalankan tugas politik negara dan pejabat pemerintah sebagai pejabat admnistrasi negara (yang menjalankan tugas teknis fungsional atau operasional menjalankan kehendak pemerintah dan melayani masyarakat umum).[9]

Lebih lanjut Prajudi mengemukakan:”Pemerintah menjalankan pemerintahan melalui pengambilan keputusan pemerintah (regeringsbesluit) yang bersifat strategi, policy, atau ketentuan-ketentuan umum (algemene bepalingen) dan melalui tindakan-tindakan pemerintahan (regerings maat regelen) yang bersifat menegakkan ketertiban umum, hukum, wibawa negara dan kekuasaan negara”.

Sedangkan administrasi negara (administrasi) menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan administratif (administratieve beschikking) yang bersifat individual, kausal, faktual, teknis penyelenggaran dan tindakan-tindakan administratif yang bersifat organisasional, menajerial informasional, tata usaha atau operasional”.[10]

Pemerintah dalam penyelenggaran pemerintahan mengambil keputusan pelaksanaan atau eksekutif (politieke daad), artinya penegakan undang-undang dan wibawa negara. Keputusan administratif merupakan keputusan penyelenggaraan atau realisasi (materiele daad). Penyelenggara pemerintahan menurut UUD Negara RI tahun 1945 adalah Presiden, dibantu satu orang Wakil Presiden dan Menteri-Menteri Negara yang masing-masing membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Untuk tingkat pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota kepala pemerintah masing-masing adalah gubernur, bupati, walikota.

Menurut Prajudi, setiap pejabat Pemerintah secara otomatis merangkap sebagai administrator, oleh karena Pemerintah adalah Kepala Administrasi Negara, kecuali dalam hal organisasi pemerintahan daerah dan desa.[11] Penyelenggara pemerintahan memainkan peranan sentral dalam melakukan penafsiran undang-undang, agar undang-undang dapat dijalankan sebagaimana mestinya dan untuk menjalankan tugas-tugas administrasi. Penyelenggara pemerintahan harus mengerti maksud pembentuk undang-undang, menangkap motif atau niatan (intens) pembentuk undang-undang atau menemukan kembali maksud dan tujuan yang aktual juga historis dari pembentuk undnag-undang serta menghasilkan makna baru yang progresif.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, atau sebagai penyelenggara pemeriantahan dengan para pembantunya di tingkat pusat, terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. Oleh karena itu adalah logis apabila ia dituntut untuk memahami maksud dan makna yang terkandung dalam undang-undang. Subjektivitas penyelenggara negara dan kepentingan politiknya tidak boleh mengintervensi penafsiran undang-undang. Untuk menangkap maksud atau makna undang-undang terlebih dahulu haruslah dibaca teks undang-undang tersebut dan dianalisa agar gagasan pokoknya dapat dipahami dengan jelas. Selain itu undang-undang harus pula dibaca secara kontekstual dengan memperhatikan realitas sosial yang dihadapi dan harapan-harapan masyarakat tentang masa depan yang dicita-citakan.

Bila “seorang hakim dituntut berpikir transenden, kritis dan progresif”[12] dalam menafsirkan undang-undang seperti dikemukakan oleh Anthon Freddy Susanto, maka hal yang sama juga dituntut pada penyelenggara pemerintahan. Berpikir transenden berarti optimalisasi nurani dalam melakukan penafsiran. Kritis adalah penggunaan nalar namun tidak bersifat “take for granted”. Progresif adalah upaya untuk terus-menerus menemukan makna-makna baru dan tidak terbelenggu pada makna absolut. Penafsiran yang dilakukan dengan metodologi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan akan menjadi kunci kreativitas untuk menjadikan undang-undang sebagai the living law, hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sebab undang-undang yang dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis harus selalu dapat dimaknai secara dinamis, karena bahasa sendiri pada dasarnya mencerminkan perkembangan budaya.

Realitas Yang Dihadapi

Undang-undang sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga politik dalam banyak hal dipengaruhi oleh arus pemikiran dominan dalam lembaga politik yang bersangkutan pada kurun waktu tertentu. Rumusan undang-undang yang umum dan abstrak sering merupakan rumusan kompromi yang spektrum maknanya sangat luas sehingga rentan terhadap penafsiran yang berbeda oleh subyek hukum yang berkepentingan.

Meskipun kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan[13] menjadi asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun dalam kenyataannya tidak sedikit undang-undang yang samar-samar tujuannya, dan rumusannya ambigu. Hal tersebut membuka peluang terjadinya multi tafsir yang menyulitkan pelaksanaannya.

Latar belakang rumusan pasal-pasal dalam undang-undang sangat sulit untuk ditelusuri dalam dokumen pembahasannya, karena proses pembahasan yag dilakukan dalam forum-forum lobby atau forum rapat pada tingkatan tertentu yang bersifat tertutup tidak terdokumentasikan. Selain itu proses pembahasan undang-undang secara keseluruhan belum didokumentasikan dengan baik dan tidak mudah diakses. Dengan demikian penafsiran historis sering-sering mengalami jalan buntu.

Sedangkan penafsiran gramatikal dan otentik dalam banyak hal tidak dapat membantu memahami undang-undang sebagaimana dikehendaki pembentuk undang-undang. Penafsiran dengan menelaah rumusan pasal dari sudut tata bahasa tidak banyak membantu, karena pembentuk undang-undang menggunakan kaedah-kaedah bahasa yang dirasakan cocok untuk kepentingan politik pada saat itu, tanpa mempertimbangkan apakah dengan demikian pihak-pihak yang terkait dengan undang-undang tersebut memahami bahasa hukum yang digunakan sama dengan kehendak pembentuk undang-undang apalagi jarak waktu antara pembentukan dan pelaksanaannya cukup lama. Penafsiran otentik juga tidak selalu bisa diandalkan, karena penjelasan pasal tertentu dalam undang-undang bukannya memperjelas makna pasal yang bersangkutan, tetapi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Dalam pihak penjelasan pasal yang memerlukan penjelasan justru membisu tentang soal-soal yang mesti dijelaskan dengan mencantumkan kata “cukup jelas”.

Delegasi pengaturan lebih lanjut pasal tertentu dalam undang-undang sering–sering ditafsirkan secara ekstensif yaitu dengan memperluas cakupan soal-soal yang perlu diatur lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena undang-undang tidak menetapkan batasan yang jelas soal–soal yang didelegasikan pengaturannya.

Metode penafsiran sistematis (logis) yang mengaitkan suatu pasal dengan pasal lain dari satu undang-undang atau antara satu undang-undang dengan yang lainnya, dihadapkan pada egoisme sektoral. Masing-masing pihak yang berkepentingan berpegang pada pasal atau undang-undang yang menguntungkan kepentingannya. Kendala serupa juga dijumpai dalam penggunaan metode penafsiran yang menggunakan purposive approach. Selain itu tidak jarang penyelenggara pemerintahan dihinggapi penyakit malas untuk mengembangkan kreativitas, untuk menggali secara mendalam tujuan-tujuan kemasyarakatan yang menjadi pertimbangan pembentukan undang-undang atau harapan-harapan dan cita-cita hukum masyarakat atau untuk melakukan perbandingan dengan sistem hukum lain. Akibatnya penafsiran undang-undang dilakukan secara dangkal. Anthon Freddy Susanto mengemukakan interprosesi dangkal merupakan salah satu sebab hukum Indonesia ambruk oleh mitos ......”[14]

Kendala lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam penafsiran undang-undang dikalangan penyelenggara pemerintahan ialah tidak adanya otoritas yang berwenang untuk menentukan penafsiran mana yang mewakili pandangan resmi penyelenggara pemerintahan. Akibatnya perbedaan penafsiran mengenai makna satu ketentuan undang-undang antar instansi menjadi berlarut-larut atau penyelesaiannya dilakukan secara kompromis, bukan dengan penalaran hukum yang sahih.

Kaitannya dengan Proses Sinkronisasi dan Harmonisasi

Berbagai kendala tersebut diatas jelas mempengaruhi proses sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di Departemen Hukum dan HAM. Lebih-lebih lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Menteri Hukum dan HAM hanya diberi tugas mengkoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang.[15]

Dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sering menjadi “juru damai” untuk menyamakan penafsiran undang-undang oleh instansi pemerintahan. Departemen Hukum dan HAM kadang-kadang dengan berat hati meminta agar instansi yang berbeda penafsiran untuk “duduk bersama empat mata” guna menyelesaikan perbedaan diantara mereka, agar kontroversi tidak semakin melebar bila dikemukakan dalam forum yang lebih luas.

Perbedaan penafsiran diantara instansi pemerintah terutama yang berkaitan dengan soal kewenangan, dan soal-soal persyaratan teknis maupun administratif, yang memerlukan pengaturan lebih lanjut merupakan masalah-masalah yang penyelesaiannya memakan waktu dan tenaga. Proses sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan bisa memakan waktu yang lama.

Sebenarnya Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, R Perppu, RPP dan R Perpres memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan perbedaan pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM dan menteri/pimpinan lembaga terkait dengan cara sebagai berikut:

  1. Menteri Hukum dan HAM menyelesaikan perbedaan tersebut dengan Menteri/pimpinan Lembaga terkait yang bersangkutan. (Pasal 16)
  2. Apabila upaya penyelesaian sebagaimana tersebut diatas tidak memberikan hasil, Menteri Hukum dan HAM melaporkan secara tertulis permasalahan tersebut kepada Presiden untuk memperoleh keputusan.

Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa Presiden yang memegang kekuasaan Pemerintahan, memberikan keputusan akhir untuk menyelesaikan perbedaan pertimbangan dari Menteri/pimpinan Lembaga terkait terhadap suatu permasalahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktek perbedaan penafsiran atau perbedaan pendapat mengenai suatu masalah hukum yang terkait dengan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terjadi diantara pejabat-pejabat yang ditugasi mewakili suatu departemen. Masing-masing pejabat dalam mempertahankan pendiriannya selalu berlindung dengan kalimat “akan kami laporkan kepada pimpinan”, atau “belum ada petunjuk lebih lanjut dari pimpinan kami”.

Tidak jelas benar tentang kebenaran pernyataan klise tersebut. Apakah betul pendapat yang disampaikan oleh wakil dari Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang menghadiri rapat panitia antar departemen atau rapat harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan pendapat resmi instansi yang diwakili atau pendapat tersebut pendapat sekelompok orang atau pendapat pribadi yang bersangkutan? Karena tidak jarang pendapat tersebut dikemukakan secara spontan dalam rapat yang bersangkutan. Apakah wakil instansi yang bersangkutan benar-benar melaporkan permasalahan yang timbul dan meminta pimpinannya memberi solusi penyelesaian dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat yang berkembang dan aspek yuridisnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut sulit didapat, karena proses komunikasi antar wakil-wakil instansi yang bersangkutan dengan pimpinannya terjadi secara tertutup, tidak terbuka untuk pihak lain.

Penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan metedologi penafsiran yang tepat akan sangat membantu penyamaan persepsi diantara para penyelenggara pemerintahan dalam melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Hal tersebut akan membantu kelancaran proses sinkronisasi dan harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan.

Saran Perbaikan

Setelah membahas berbagai permasalahan seperti diuraikan diatas, dapat disampaikan saran untuk memperbaiki mekanisme dan prosedur dalam proses perancangan dan pembahasan RUU untuk menjaga konsistensi penafsiran undang-undang sebagai berikut :

  1. Penyelenggara pemerintahan agar menggunakan metodologi penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan doktrin.
  2. Penafsiran subjektif yang didasarkan kepada kepentingan sektoral harus dihindarkan, penyelenggara pemerintahan dituntut berfikir transenden, kritis dan progresif dalam memahami undang-undang sebagai salah satu unsur yang membentuk sistem hukum nasional.
  3. Perlu ada institusi yang melaksanakan fungsi sebagai ”clearing house” yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan perbedaan penafsiran terhadap undang-undang yang terjadi dikalangan penyelenggara pemerintahan.
  4. Dalam proses sinkronisasi dan harmonisasi penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, wakil-wakil dari instansi pemerintah/lembaga pemerintah non departemen, agar ditunjuk pejabat yang berkompeten mengambil keputusan, mengenai masalah yang dibahas dan membawa pandangan resmi instansi yang diwakili.
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu disempurnakan untuk lebih memperjelas asas-asas kewenangan lembaga yang terkait, proses dan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.
  6. Bahasa Peraturan Perundang-undangan harus taat asas mengikuti kaedah-kaedah tata bahasa Indonesia yang baik, jelas dan benar untuk itu perlu dibangkitkan lagi penyusunan pedoman bahasa hukum Indonesia sebagai suatu corak penggunaan bahasa Indonesia yang khusus untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum.
  7. Dokumen penyusunan dan pembahasan peraturan perundang-undangan perlu disusun dengan sistematis dan disimpan oleh instansi yang membentuk serta mudah diakses oleh pihak yang berkepentingan terutama untuk keperluan penafsiran historis.

DAFTAR BACAAN

  1. ......, Undang-undang Dasar Negara R.I Tahun 1945
  2. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, beserta Peraturan Pelaksanaannya.
  3. Anton Freddy Sutanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005
  4. Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-undang di Indonesia, Jakarta, 2006
  5. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir, Jakarta, 2005.
  6. Mahadi/Sabaruddin Ahmad, Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, BPHN, Bandung, 1979
  7. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Alih Bahasa B. Arief Shidharta, Bandung 2003.
  8. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta 1995.
  9. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta,1996

[1] Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum, Bandung 2005, halaman 152

[2] Periksa Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta 2006, halaman 13

[3] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta, 1996, halaman 23

[4] Anthon Freddy Susanto, Op Cit, halaman 149

[5] Paul Scholten Struktur Ilmu Hukum, Bandung 2003, halaman 31

[6] Anthon Freddy Susanto, Loc Cit, halaman 91

[7] Idem, halaman 98

[8] Periksa, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama dengan dengan Coastal Resources Manajement Project/Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Jakarta 2005, halaman 66-68

[9] Prajudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta 1995, halaman 27

[10] Prajudi Admosudiro, Loc Cit, halaman 48-49

[11] Prajudi Atmosudirjo, Loc Cit, halaman 15

[12] Anthon Freddy Susanto, Op Cit, halaman 152

[13] Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 5 huruf a dan f

[14] Anthon Freddy Susanto, Op Cit halaman 120

[15] Periksa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 18 ayat (2)

0 komentar:

Posting Komentar