Senin, 11 April 2011

MEMBENAHI WAJAH PENDIDIKAN HUKUM KITA

MEMBENAHI WAJAH PENDIDIKAN HUKUM YANG SELARAS DENGAN RECHT IDEE ATAU CITA HUKUM INDONESIA

Direfensi oleh Tim Asosiasi Dosen HTN UNTAN Pontianak Kal-Bar dari Berbagai Sumber

Kilas Balik Pada Pola Pendidikan Hukum

Mengamati dan pembicaraan mengenai peran pendidikan hukum dimulai dengan pertanyaan, “dari mana para aktor hukum sekarang berasal?”, terutama hakim, jaksa, dan advokat. Hampir dapat dipastikan, bagian terbesar dari mereka berasal dari “pabrik-pabrik” dalam negeri, alias fakultas hukum di Indonesia, negeri maupun swasta. Para pelaku atau profesional itu mengalami inisiasi bertahun-tahun, sebelum dinyatakan lulus sebagai sarjana hukum. Dengan demikian, mereka memiliki paspor ke dalam praktik sebagai legal professionals. Selama bertahun-tahun mereka tidak hanya diekspos terhadap pengetahuan dan seluk-beluk hukum, tetapi secara agak dramatis, juga mengalami “penyucian otak”. Proses seperti itu bisa terjadi karena pendidikan hukum tidak hanya memberi informasi, tetapi sudah sampai kepada pengubahan cara pandang dan berpikir.

Bila direnungkan, di tengah perubahan di Indonesia sejak lebih setengah abad lalu, penyelenggaraan pendidikan hukum dengan paradigma status quo berakibat cukup fatal. Ketika kita ingin melakukan perubahan, ternyata masih harus menyandarkan diri pada tenaga-tenaga yang berkapasitas “penjaga status quo”. Maka tidak mengherankan, Bung Karno yang ingin segera melihat bangsa dan negara cepat berubah sesudah merdeka melontarkan kalimat “Met juristen kan men geen revolutie maken”. Dengan sedikit variasi dikatakan, “Dengan para ahli hukum penjaga status quo, jangan berharap akan lahir hukum dan putusan progresif”.

Reformasi merupakan momentum amat bagus untuk menguji kebenaran pernyataan tentang “akibat fatal pendidikan itu”. Salah satu agenda reformasi menghendaki KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dikalahkan di Indonesia. Karena kita bangsa yang beradab, maka perang melawan KKN tidak boleh dilakukan telanjang (street justice, people justice) tetapi secara beradab, yaitu melalui hukum (sic!)

Sepertinya pendidikan hukum Indonesia sedang menjalani masa inisiasi, mengutip Unger, adalah masuk ke alam otonomi hukum, termasuk otonomi dalam metodologi. Dengan demikian, maka menjalankan hukum adalah menerapkan suatu metodologi atau cara berpikir yang khusus, yang biasa disebut legal thinking. Mereka yang sudah mengalami inisiasi dan “cuci-otak” itulah yang lalu menjalankan peran sebagai pelaku hukum. Bisa dibayangkan bagaimana erat kaitan antara pendidikan hukum dan pengemban profesi, seperti advokat, hakim, dan jaksa. Berdasar uraian itu, tentunya amat tidak pantas untuk mengucilkan (peran) pendidikan hukum dalam mewarnai dunia dan praktik hukum Indonesia dewasa ini.

Pertanyaannya adalah adakah yang tak tepat dari materi pendidikan hukum di Indonesia saat ini yang diberikan kepada mahasiswa atau adakah korelasinya dengan "carut marut hukum" Indonesia, sebuah topik menarik yang perlu adanya pemahaman dan pembenahan kembali, mengapa demikian ? karena pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sistem hukum yang dianut. Dalam hal ini, seseorang akan menemukan kerangka ekspresi dan tingkah laku dasar mengenai hukum; apakah hukum itu, apakah yang harus dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimana suatu sistem hukum bekerja atau bagaimana seharusnya suatu sistem beroperasi. Melalui pendidikan hukum, budaya hukum terus dialirkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Pandangan Satjipto Raharjo bisa jadi mewakili kondisi politik pendidikan hukum di Indonesia. Awal pendidikan hukum di Indonesia lebih dipersiapkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai tenaga terampil (professional). Namun demikian, terdapat juga scholar dari Belanda yang menggagas pendidikan hukum yang ditujukan untuk kebutuhan bangsa Indonesia, seperti gagasan Paul Scholten yang membuat dua pedoman pendidikan hukum di Indonesia yaitu kemandirian dan menemukan identitas Indonesia, dan menyelenggarakan ilmu pengetahuan harus berorientasi kebutuhan keragaman masyarakat Indonesia. Kemudian Satjipto Raharjo membandingkan model pendidikan hukum di Negara-negara common law dan continental. Mengutip pendapat Trubek dkk, model pendidikan hukum di Negara-negara kontinetal lebih ditujukan untuk kepentingan akademik dibandingkan dengan pengembangan keterampilan (skill). Hal ini sangat kontras dengan perkembangan pendidikan hukum di tanah air, di mana program strata 1 (S1) lebih banyak berupa pengembangan skill atau didasarkan pada rules atau logic. Trubek dkk sendiri menekankan pengembangan keterampilan lebih menegaskan kepada yang bersifat akademis, dan bukan keterampilan untuk mengolah realitas hukum. Berbeda dengan pendidikan hukum di Negara-negara common law, di mana pembelajaran untuk menjadi ahli hukum tidak dilakukan di “sekolah”, melainkan di lapangan.

Semua sepakat, bahwa pendidikan hukum memberi peluang kepada kita untuk dapat turut menentukan arah dan masa depan dari suatu masyarakat. Mereka yang akan menjadi penentu sistem hukum dan mengisi posisi-posisi penting kepemimpinan di dalam pemerintahan dan sektor privat, pada umumnya akan jatuh terutama kepada para ahli hukum, setidaknya hal ini terjadi pada masyarakat dunia barat, atau mereka yang lulus dari sekolah hukum. Apa yang mereka pelajari dan bagaimana hal tersebut diajari kepada mereka sedikit banyak telah memberikan efek dan nuansa terhadap tujuan akhir mereka, tingkah laku mereka dan cara-cara bagaimana mereka mengambil peran penting di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, berikut ini ada sebuah paparan tentang bagaimana wajah pendidikan hukum Indonesia ketika diselaraskan dengan cita hukum Indonesia, sepertinya ada problematika bagaimana mensinergikan nilai-nilai globalisasi dengan nilai-nilai HAM agar selaras dengan nilai-nilai Pancasila, apakah cita hukum Indonesia berkiblat civil law atau common law, sepertinya gamang akhirnya mengambil jalan tengah dinatara keduanya tetapi tanpa mengabaikan kedua pandangan tersebut .

Perdebatan mengenai sistem mana yang terbaik antara civil law dan common law telah berlangsung selama berabad-abad. Pendukung civil law, Jeremy Bentham yang kemudian didukung oleh John Austin menganggap bahwa sistem common law mengandung ketidakpastian dan menyebutnya sebagai “law of the dog.”[1] Sebaliknya salah satu pendukung sistem common law, F.V Hayek mengatakan bahwa sistem common law lebih baik dari pada civil law karena jaminannya pada kebebasan individu dan membatasi kekuasaan pemerintah.[2]

Untuk lebih memahami pemicu perdebatan diatas cara terbaik adalah dengan menghampirinya dari aspek historis sebagaimana dikatakan Benjamin N. Cordozo “sejarah dalam menerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan.“[3]

Menurut catatan, tahun 1066 dianggap sebagai tahun kelahiran tradisi common law ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli (Anglo Saxon) di Inggris. Sedangkan civil law lahir terlebih dahulu ketika Corpus Juris Civilis of Justinian diterbitkan di Constatinopel pada tahun 533 yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi.[4]

Akar perbedaan yang substansial diantara kedua sistem hukum itu terletak pada sumber hukum yang digunakan oleh Pengadilan dalam memutus sebuah perkara. Sistem civil law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum, sedangkan sistem common law menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai sumber hukum atau yang lebih dikenal dengan doktrin stare decisis.[5]

Perbedaan menonjol lainnya menyangkut peran pengadilan. Di negara civil law hakim merupakan bagian dari pemerintah.[6] Hal ini tidak terlepas dari sejarah yang melandasi terciptanya perbedaan itu. Sebelum revolusi, para hakim Perancis menjadi musuh masyarakat daripada pembela kepentingan masyarakat karena lebih mendukung kepentingan Raja. Kondisi inilah yang kemudian memicu revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Pengalaman sebelum masa revolusi tersebut menjadi inspirasi bagi Napoleon dalam meletakkan hakim di bawah pengawasan pemerintahan untuk mencegah “pemerintahan oleh hakim” seperti yang pernah terjadi sebelum revolusi. Hal ini membuat kekuasaan pemerintah di negara civil law menjadi sangat dominan.

Sistem hukum Romawi menggambarkan dengan jelas perbedaan antara hukum privat yang mengatur hubungan antara warga negara dan hukum publik yang mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah. Perbedaan ini tetap dipertahankan dalam sistem civil law di daerah continental yang mewarisi tradisi Hukum Romawi. Di Perancis misalnya, pengadilan membedakan antara kasus-kasus yang berhubungan dengan pemerintah dan memberlakukan hukum yang berbeda dengan hukum yang mengatur hubungan sektor privat.[7] Posisi ini membuat pengadilan biasa di Perancis secara prosedural tidak mempunyai wewenang untuk mengkaji kebijakan pemerintah.[8] Sebaliknya, negara common law yang berasal dari tradisi Inggris memiliki lembaga pengadilan yang independen.[9] Oleh karenanya kekuasaan untuk menentukan hukum berada pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi.[10]

Dalam perjalanannya, kombinasi antara konsep Hukum Romawi dan praktik-praktik di lapangan telah membentuk dasar-dasar hukum yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini, yaitu sistem civil law dan sistem common law.[11] Terlepas dari perdebatan di atas, pengalaman menunjukan bahwa negara-negara dengan sistem comon law ternyata relatif lebih makmur secara ekonomi dibanding negara dengan sistem civil law.[12]

Menentukan Arah Pendidikan Hukum

Perbedaan penerapan hukum diatas berimplikasi terhadap sistem pendidikan hukum di negara-negara penganut kedua sistem hukum tersebut. Sistem pendidikan hukum di negara civil law lebih menekankan kepada metode pengajaran yang bersifat doktrinal. Materi yang diberikan adalah isi pasal-pasal dari perundangan-undangan, dengan metode pengajaran monolog. Para mahasiswa bersifat pasif dan umumnya diajarkan untuk menghapal perundang-undangan.

Perdebatan dan diskusi jarang dilakukan karena selama perkuliahan berlangsung dosen biasanya hanya memberikan penjelasan mengenai teori, isi pasal serta pendapat para sarjana, dan sangat jarang perkuliahan dilakukan untuk membahas suatu kasus. Peranan dosen sangat sentral dalam memberikan pemahaman tentang hukum, dosen berfungsi sebagai narasumber, pembimbing dan legal solver terhadap pertanyaan para mahasiswa. Perbandingan suatu teori atau hukum juga jarang dilakukan, karena umumnya negara-negara civil law berpaham positivisme, sehingga landasan maupun pemikiran tentang hukum hanya berpedoman kepada perundang-undangan yang telah terkodifikasi. Hal ini menyebabkan perbandingan hukum dengan negara lain dianggap kurang penting dan kurang mempunyai kekuatan hukum apabila dijadikan landasan pembelaan dalam sebuah peradilan.

Sebaliknya, sistem pendidikan di negara common law lebih menekankan kepada practical use. Sistem hukum yang menekankan kepada putusan hakim, membuat perkuliahan difokuskan kepada pembahasan kasus hukum dan putusan pengadilan. Pemahaman terhadap teori hanya diberikan di awal perkuliahan dengan metode self learning, dimana para dosen hanya memberikan pengantar dan referensi buku yang harus dipelajari serta dirangkum oleh para mahasiswa. Sedangkan sisa perkuliahan dilakukan dengan diskusi, persentasi dan pemaparan para mahasiswa mengenai suatu kasus. Hal ini membuat peran mahasiswa lebih dominan daripada peran dosen. Dosen hanya berperan sebagai pembimbing dan pengarah diskusi, sedangkan isi perkuliahan lebih banyak diisi oleh perdebatan dan pendapat dari masing-masing mahasiswa mengenai kasus-kasus yang diberikan oleh dosen. Sehingga perkuliahan bersifat terbuka, konsultasi mengenai suatu permasalahan hukum dilakukan secara individual antara dosen dan mahasiswanya. Sehingga hubungan antara dosen dan mahasiswa di negara common law umumnya sangat dekat, dan tidak jarang mereka menjadi sahabat dalam kehidupan pribadi.

Adanya perbedaan dalam sistem pendidikan hukum diatas telah menyebabkan perbedaan besar dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan hukum. Sarjana Hukum dari negara civil law cenderung bersifat positivis dan rigid dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Mereka hanya memandang suatu permasalahan dengan parameter perundang-undangan. Sehingga penyelesaian suatu permasalahan hukum dilakukan dengan pendekatan doktrinal.

Sebaliknya Sarjana Hukum dari negara common law selalu bersifat kritis dan analistis. Peraturan perundang-undangan bukan harga mati bagi sebuah keadilan, sehingga sering sekali putusan hakim dijadikan parameter untuk menilai apakah suatu peraturan dapat diterapkan di masyarakat. Putusan pengadilan itu juga bukan hal yg mutlak harus diikuti, apabila seorang hakim menganggap suatu putusan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, dia dapat membuat putusan baru tentu dengan argumentasi yang kuat. Putusan ini akhirnya akan diuji oleh Mahkamah Agung apakah diterima atau ditolak, karena adanya doktrin kalau suatu putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan diatasnya. Inilah yang membuat para Sarjana Hukum common law selalu melakukan analisis dan kritis terhadap hukum. Tidak jarang mereka melakukan perbandingan hukum untuk menjustifikasi argumen mereka bahwa hukum yang berlaku tidak sesuai lagi diterapkan di masyarakat.

Dari deskripsi diatas tentu kita dapat menyimpulkan bahwa metode pengajaran civil law membuat para Sarjana Hukum berpikir doktrinal. Kelebihan dari metode ini adalah adanya kepastian dalam pemahaman hukum. Hal ini terjadi karena pembelajaran terfokus pada kodifikasi, sehingga pembelajaran relatif lebih terarah. Sedangkan kelemahannya adalah metode ini menghasilkan Sarjana Hukum yang lemah akan analisis dan kurang kritis terhadap hukum. Sehingga apabila terjadi suatu permasalahan hukum, dimana perundang-undangan yang mengaturnya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat, para Sarjana Hukum akan gagal mengimplementasikan rasa keadilan masyarakat dalam solusi hukumnya.Sebaliknya, metode pengajaran common law menekankan kepada analisis kasus dan diskusi serta untuk selalu bersikap kritis dalam menghadapi permasalahan hukum. Sehingga metode ini mempunyai kelebihan dalam menghasilkan para Sarjana Hukum yang kritis dalam menghadapi perubahan di masyarakat.

Gambaran mengenai sistem pendidikan hukum di Indonesia tidak berbeda jauh dengan apa yang telah diuraikan mengenai sistem pendidikan hukum civil law di atas. Pengajaran yang bersifat doktrinal masih mewarnai pembelajaran hukum di Indonesia. Dalam menghadapi persaingan global, metode pendidikan seperti ini harus diperbaiki terutama pada negara berkembang seperti Indonesia, dimana perekonomiannya belum stabil dan tingkat penyelewengan hukum masih tinggi Perundang-undangan belum berfungsi maksimal dalam mengikuti dan memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga penggalian nilai-nilai keadilan juga harus dilakukan disamping pemahaman terhadap peraturan tersebut.

Pandangan yang bersifat doktrinal dan positivisme mutlak harus segera diminimalkan untuk membentuk Sarjana Hukum yang kritis, analistis dan responsif terhadap permasalahan hukum, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat dipulihkan kembali. Sebagai lembaga yang menghasilkan Sarjana Hukum peran Fakultas Hukum sangatlah penting disini. Pembenahan menyeluruh terhadap pendidikan hukum harus segera dilakukan. Fakultas hukum di Indonesia harus kembali kepada khitahnya, yaitu sebagai professional school yang harus dapat menggabungkan unsur profesionalisme dan pendidikan hukum dalam pengajarannya.

Hal ini tentu tidaklah mudah, diperlukan political will yang kuat bagi para petinggi universitas dan pemerintah untuk melakukan pembenahan yang sistematis dalam memperbaiki pendidikan hukum di Indonesia. Pembenahan tersebut harus dilakukan secara serentak, baik dari peningkatan kualitas SDM, metode pengajaran, teaching material atau kurikullum dan kesejahteraan para pengajar.

Mencetak Sarjana Hukum Yang Kompeten dan Profesional

Jurang antara dunia akademis dan praktis di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir abad ke-20 semakin melebar. Kondisi ini bermula sebagai konsekwensi pendekatan pembangunan yang diterapkan pemerintah. Dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerintah menerapkan sistem pembangunan ekonomi pro pasar.

Metode-metode ekonomi pro pasar umumnya diimpor dari negara-negara common law dan juga sistem ekonomi pro pasar lebih kondusif bila didekati dengan institusi hukum yang berasal dari sistem common law. Dalam sistem common law, pasarlah yang menjadi panglima, sedangkan sistem civil law peran pemerintah sangat dominan. Dalam bahasanya Walter Lippmann “in a free society the states does not administer the affairs of men. It administers justice among men who conduct their own affairs”.Sementara itu, metode pengajaran di kampus-kampus masih berorientasi kepada sistem civil law. Konsekwensinya tamatan Fakultas Hukum seolah terlempar ke dunia lain.

Padahal L. Michael Hagger menggambarkan, bahwa jalannya suatu sistem hukum tidak akan pernah lebih baik dari mereka yang menjalankannya, seperti Sarjana Hukum. Hal ini disebabkan Sarjana Hukum yang berperan menjalankan hukum bukan hanya berdasarkan cara berpikirnya sendiri, tetapi berasal dari pendidikan yang diperolehnya dari kuliah semasa di Fakultas Hukum. Seharusnya pendidikan itu pulalah yang memperluas ruang lingkup cara berpikirnya, kegiatannya dan kesiapannya yang membedakannya pula dengan kalangan lainnya.[13]

Kondisi di atas memaksa kita memikirkan bagaimana Fakultas Hukum dapat melahirkan Sarjana Hukum yang berpengetahuan luas dan memiliki keterampilan hukum yang sesuai dengan sistem ekonomi pro pasar yang dijalankan pemerintah tersebut. Jalan yang harus ditempuh adalah bagaimana menepis kekhawatiran bahwa apa yang diberikan dalam kuliah berbeda dengan hukum dalam kenyataan. Untuk itu, tentunya staf pengajar di Fakultas Hukum tidak hanya mengajarkan teori atau hal-hal yang normatif sifatnya, doktrinal dan deskriptif, tetapi harus pula mengajarkan keterampilan menggunakan sains (science) untuk memahami hukum disamping dan memperkenalkan hukum sesuai dengan kenyataan.[14] Memperkenalkan hukum sesuai dengan kenyataan dibutuhkan mengingat Fakultas Hukum sebagai professional school diwajibkan untuk mempersiapkan keterampilan para lulusannya.

Untuk perbandingan, kita dapat melihat sistem pendidikan hukum di Inggris, dimana terdapat syarat yang sangat ketat dalam penerimaan Sarjana Hukum yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan profesi yang lebih tinggi. Fakultas Hukum di Inggris dituntut untuk memberikan pemahaman hukum yang komprehensif untuk menyediakan seorang Sarjana Hukum yang kompeten dan profesional. Kriteria yang ditekankan disini bukanlah metode penilaian terhadap tugas atau lamanya pengajaran tetapi yang dituntut adalah proposi beban kerja mahasiswa dan setidak-tidaknya harus menguasai tujuh dasar pengetahuan hukum[15]

Selain itu Sistem Pendidikan Hukum Lanjutan di Inggris juga dibedakan antara Pengacara (Barrister) dan Konsultan Hukum (Solicitor), sehingga menimbulkan perbedaan persyaratan untuk dapat menekuni kedua profesi ini. Untuk dapat menjadi pengacara (Bar), seorang calon harus ikut dalam salah satu Inns of Court dan harus memenuhi dan menyelesaikan dua tahap pendidikan. Tahap pertama adalah “tahap akademik” dimana calon harus mempunyai gelar Sarjana Hukum atau sertifikat lulus dari Common Professional Examination (CPE). Tahap kedua adalah “tahapan pendidikan spesialis atau kejuruan” yang dilakukan dengan mengikuti program the Bar Vocational Course yang diselenggarakan oleh Court School of Law. Kedua tahap ini menyarankan syarat untuk dapat mendaftar menjadi pengacara. [16] Gambaran diatas menunjukkan bahwa Fakultas Hukum sebagai Profesional School harus mempunyai suatu sistem pendidikan atau metode pengajaran yang mempunyai suatu kurikulum yang tepat untuk menghasilkan Sarjana Hukum yang kompeten dan mempunyai kemampuan profesional yaitu kemampuan praktik.

Disinilah esensi sebenarnya dari profesional school, dimana tidak ada pembedaan antara akademisi dan profesional. Kemampuan akademis merupakan dasar pengajaran sedangkan kemampuan profesional adalah pengembangan teori secara praktik. Adanya anggapan bahwa seorang Sarjana Hukum cukup dibekali kemampuan hukum di bidang tertentu saja harus ditentang. Sarjana Hukum haruslah menguasai ilmu hukum dan praktik-praktik dasar secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kompeten dan profesional. Pendidikan lanjutan hanyalah memberikan suatu spesialisasi terhadap sebuah bidang yang ingin ditekuni oleh Sarjana Hukum tersebut. Hal ini sejalan dengan H.W. Arthur yang menyatakan bahwa, “lawyers must become expert in some field of knowledge and know little about others”.[17]Oleh karena itu adalah suatu kesalahan besar untuk melarang dosen melakukan praktik hukum, karena hal itu akan menghilangkan unsur profesionalisme dalam diri dosen yang pada gilirannya akan menghilangkan unsur esensial Fakultas Hukum sebagai pendidikan profesional. Kekhawatiran akan diabaikannya tugas-tugas pendidikan dapat diatasi dengan dibuatnya sebuah rule of the game dengan sanksi-sanksi yang jelas. Kita harus melihat pada profesional school sejenis, yaitu Fakultas Kedokteran, dimana para pengajaranya juga melakukan praktik, karena mustahil bagi sebuah profesional school mengajarkan pendidikannya jika dosennya tidak mempunyai kemampuan dalam bidang praktik seperti yang telah digambarkan oleh sistem pendidikan hukum di Inggris. Dosen Fakultas Hukum disamping berkewajiban mengajar dan menulis, juga wajib melatih mahasiswanya dengan keterampilan praktis. Mempersiapkan keterampilan praktis dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengajaran berbasis pembahasan kasus (case law).[18]

Metode case law pertama sekali digunakan di Harvard Law School yang kemudian diikuti oleh seluruh Fakultas Hukum di AS.[19] Metode ini merupakan hasil dari judicial reasoning dalam menentukan sebuah kasus dalam sebuah situasi fakta tertentu. Hukum sebagai sumber pengambil keputusan merupakan yang mosaic dimana polanya berkembang dengan perkembangan masyarakat. Hakim-hakim di Inggris menganggap bahwa fungsi seorang hakim bukanlah menghasilkan sebuah sistem hukum atau sebuah perkerjaan institusional yang menggunakan simetri logika.

Mereka menganggap tugas hakim adalah menerapkan sebuah ketentuan atau prinsip hukum terhadap sebuah situasi fakta tertentu dan berbuat yang benar terhadap situasi tersebut. Hal ini dengan tepat digambarkan oleh seorang Hakim Agung Amerika yang sangat terkenal, Oliver Wendell Holmes bahwa “ The life of the Law has not been logic; it has been experience”(kelangsungan hidup dari hukum bukanlah melalui logika tetapi melalui pengalaman).[20] Oleh sebab itu metode case law ini sangat relevan untuk diajarkan kepada para mahasiswa, karena metode ini dapat mengevaluasi sebuah hukum melebihi dari isi hukum itu sendiri. Sehingga para mahasiswa dapat memahami “Law behind Law” dan dapat memahami hukum yang mendasari isi sebuah putusan bukan hanya memahami isi putusan saja. Sehingga para mahasiswa dapat terhindar dari pemikiran yang positivis dan doktrinal, mereka dapat melihat hukum sebagai hukum yang hidup bukan sebagai “black letter rules”. Hal ini penting mengingat isi pasal sebuah perundang-undangan hanyalah “sebuah kata-kata dalam bahasa Indonesia”, untuk dapat “menghidupkannya” maka perlu dikaitkan dengan fakta-fakta yang timbul dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat.

Diharapkan dengan metode ini mahasiswa dapat mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan kritis dalam menghadapi hukum. Seperti yang dikatakan oleh C.G. Weeramantry dalam tulisannya “Legal Education for the Age of technology: A Plea for an Interdisciplinary Perspective”, “selama pengadilan kita dipenuhi dengan hakim dan pengacara yang dilatih untuk melihat hukum sebagai “black letter rule”, maka putusannya akan dengan cepat tidak relevan dengan zaman yang didominasi oleh sains dan tekhnologi”.[21] Oleh karena itu metode ini sangat penting untuk dapat membuat hukum “hidup” tidak hanya di pengadilan seperti yang selama ini terlihat tetapi juga dalam ruangan-ruangan kelas dalam perkuliahan di Fakultas Hukum.

Tepat pula di sini diusulkan agar staf pengajar melakukan “empirical research,[22] yang nantinya mengalihkan keahlian hukum dalam kenyataan itu kepada mahasiswa. Tidak kalah pentingnya, tim pengajar di Fakultas Hukum sekarang ini perlu pula menekankan proses belajar mengajar dengan metode legal reasoning yang didasarkan pada penelitian. [23]Penting pula memperkuat muatan pengajaran perbandingan hukum dalam perkuliahan, mengingat Sarjana Hukum masa kini dalam era globalisasi, baik karena kebutuhan praktik maupun kesamaan model institusi-institusi hukum dan peraturan-peraturannya, perlu mengetahui berbagai peraturan hukum negara lain dan bagaimana ia berjalan dalam perbedaan sistem hukum, budaya dan tradisi.[24]

Perbandingan hukum tidak hanya dapat dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan mengenai hukum di negara lain, tetapi juga dilakukan melalui kuliah bersama dengan para mahasiswa di negara lain. Pesatnya pertumbuhan teknologi, telah memungkinkan kita untuk melakukan kuliah bersama jarak jauh melalui teleconference dengan mahasiswa di negara lain. Hal ini dapat memperluas pengetahuan hukum mahasiswa mengenai hukum di negara lain dengan berdikusi langsung mengenai teori maupun praktik hukum dengan mahasiswa atau para pengajar di negara tersebut. Fasilitas dan peralatan untuk teleconference ini sendiri sudah tersedia di Universitas Sumatera Utara.[25]

Selain itu kita juga harus menyadari bahwa bidang hukum yang semakin hari semakin luas sehingga tidak dapat dihindarkan perlunya pendekatan dengan disiplin ilmu lain. Dalam kaitannya dengan pendekatan disiplin ilmu ekonomi misalnya, terasa dalam pendidikan ilmu hukum belum menjadi kebutuhan. Hal ini ditandai sudah sejak lama pendidikan ilmu hukum mengumandangkan irama yang berbeda dengan pendidikan ilmu ekonomi. Perbedaan irama ini serupa dengan perbedaan antara gamelan Bali yang mengumandangkan tari Baris dan New York Philharmonic Orchestra yang, mengumandangkan Symphony Nomor 5 karya Betthoven. Namun demikian bukanlah tidak mungkin untuk mengumandangkan irama yang satu dengan menggunakan alat musik yang lain.[26] Oleh karena itu kurikulum pendidikan di Fakultas Hukum harus dirancang untuk dapat mempersiapkan mahasiswa dengan bekal yang cukup untuk tampil di masyarakat sesuai dengan tuntutan masa kini, dimana nantinya lahir Sarjana Hukum yang kompeten dan profesional. Dalam menyusun kurikulum penting kiranya kita memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Robert Mac Create, dalam tulisannya “Lecture on Legal Education,Wake Forest School of Law”. Menurut Mc.Create untuk menghasilkan Sarjana Hukum yang kompeten, setidaknya ada 10 keahlian generik yang harus dimiliki. [27] Oleh karena itu kurikulum pendidikan hukum harus benar-benar disusun untuk mendukung hal ini.

Sarjana Hukum yang lulus dari Fakultas-Fakultas Hukum sekarang ini menghadapi dunia baru, termasuk hubungan yang baru di bidang ekonomi, yang menjadikan kebutuhan untuk adanya spesialisasi di bidang hukum tidak dapat dielakkan, termasuk bidang hukum ekonomi. Apalagi dari sekarang kita sedang melakukan pembangunan ekonomi. Selain bidang ekonomi, bidang teknologi yang saat ini sedang mengalami perkembangannya juga harus diperhatikan dalam menyusun kurikulum. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah mata kuliah ini yang menggabungkan kedua disiplin ilmu di Fakultas hukum. Misalnya dalam bidang teknologi kita dapat menambahkan mata kuliah wajib pengenalan dalam bidang sains dan society. Kemudian menambahkan mata kuliah khusus yang membahasa kaitan antara sains dan hukum. Mata kuliah ini mengajarkan tidak hanya tentang hukum tetapi juga dasar-dasar sains sepeti fisika, biologi, dan lain sebagainya.

Untuk mengatasi kesulitan dalam mengajarkan mata kuliah ini, fakultas dapat mengundang dosen-dosen tamu dari bidang disiplin ilmu yang berbeda. Fakultas dapat juga mengadakan sebuah program khusus dimana kita mengundang pakar-pakar dari fakultas lain untuk bersama-sama melakukan sebuah research atau program tertentu yang mengaitkan hukum dengan bidang tersebut.[28]Hal lain yang tidak kalah penting adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan sentral dari aktivitas di sebuah institusi pendidikan di luar kelas. Metode self learning tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh fasilitas perpustakaan yang memadai. Inilah sebabnya mengapa Law School diluar negeri menyebut perpustakaan sebagai “jantungnya” sebuah institusi pendidikan. Ada sebuah pepatah yang menggambarkan pentingnya perpustakaan di luar negeri yaitu, “a good law is one who knows where to look for the law.[29] Oleh karena itu, Fakultas Hukum idealnya harus mempunyai sebuah perpustakaan sendiri untuk membantu para mahasiswa dan pengajar untuk lebih memahami hukum.Untuk mencapai pada tingkat pendidikan hukum yang ideal seperti yang digambarkan diatas tentu tidak mudah. Peningkatan kualitas dosen baru dapat tercapai apabila kesejahteraannya dapat terjamin. Peningkatan tersebut bukan hanya akan membantu para dosen untuk meningkatkan pengetahuannya,misalnya melalui kursus atau pembelian buku-buku baru, tetapi juga penting untuk keberlangsungkan suatu institusi pedidikan. Selain itu perlu juga diadakan sebuah trainer for trainee untuk para dosen secara rutin dan berkala.

Adanya pelatihan ini akan memberikan kemampuan praktik langsung dari para praktisi di lapangan kepada para dosen yang belum mempunyai kemampuan tersebut. Selain efektif untuk meningkatkan kualitas pengajar hal ini juga relatif tidak membutuhkan banyak dana, karena Fakultas Hukum dapat meminta bantuan para alumninya yang telah menjadi praktisi di lapangan untuk menjadi trainer secara sukarela. Sedangkan untuk mengatasi ketimpangan para tenaga pengajar, terutama dalam pengajaran hal-hal yang bersifat praktik, fakultas dapat mengundang para praktisi sebagai dosen tamu di dalam perkuliahan.

Dosen tamu yang didampingi oleh dosen tetap dapat membantu para mahasiswa untuk dapat lebih memahami hal-hal yang bersifat praktis di lapangan dan sekaligus berfungsi sebagai “alih pengetahuan.” Sedangkan untuk meningkatkan fasilitas perpustakaan, fakultas selain harus menyediakan dana khusus untuk ini, juga dapat meminta bantuan kepada para institusi pendidikan di luar untuk memberikan sumbangan berupa buku-buku ataupun jurnal-jurnal ilmiah baik yang baru maupun yang tidak lagi mereka butuhkan. Perlu diketahui bahwa tiap tahun banyak Fakultas Hukum di luar negeri mengalami over stock karena masuknya edisi-edisi baru dari koleksi buku yang mereka punyai. Inilah yang biasanya mereka sumbangkan kepada Fakultas-Fakultas hukum di negara lain. Perlu diingat bahwa walaupun buku tersebut bukan edisi terbaru, namun dari segi substansi isinya masih sangat relevan, mengingat hukum bukanlah ilmu pasti yang apabila berubah teori-teori yang lama tidak lagi dapat digunakan. Disinilah diperlukan jaringan atau koneksi dengan Fakultas Hukum di luar negeri. Jaringan dapat dibangun langsung oleh universitas maupun secara individu melalui para dosen-dosen yang sedang melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Perubahan status Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dapat dijadikan alasan momentum untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang telah dikemukakan. Oleh karena roh dari status PT BHMN menimbulkan independensi universitas baik dalam pengelolaan manajemen maupun keuangan. Independensi dalam pengelolaan keuangan memungkinkan univeristas untuk selain meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajarnya, juga untuk mengirim para tenaga pengajarnya untuk melanjutnya pendidikannya di luar negeri. Karena status ini memperbolehkan universitas untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat komersial untuk membiayai pembangunan fasilitas maupun peningkatan kualitas dosen seperti yang telah dijabarkan diatas. Bukankah perubahan status menjadi PTBHMN merupakan suatu perubahan yang radikal. Oleh karena itu, kalaulah diikuti pula dengan reformasi sistem pendidikan dan metode pengajaran. Sehingga status baru sebagai PTBHMN menjadi lebih bermakna.

Daftar Pustaka

Bailey, S.H. dan M.J.Gunn, Smith & Bailey on The Modern English Legal System, London: Sweet & Maxwell, 1996.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990.

Cardozo, Benjamin N., The Nature of The Judicial Process, London: Yale University Press, 1962.Dunfee W, et.all , Business and Its Legal Environment, New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 1999

Farrar, John H. dan Anthony M. Dugdale, Introduction to Legal Method, London: Sweet & Maxwell, 1984.Hagger, L. Michael, “The role of Lawyer of development country,ABA Journal, (Vol. 58, 1972).Haley, O., Educating Lawyers for the Global Economy, Michigan Journal of International Law, (Vol. 17, Spring 1996).

Himawan, Charles, “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum,” Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 24 April 1991.

Juwana, Hikmahanto, “Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju,” Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001.

Kronman, Antony T., The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Cambridge: Harvard University Press, 1993.

Mahoney, Paul G., “The Common Law and Economic Growth: Hayek Might Be right”, Journal of Legal Studies, (Vol.XXX, University of Chicago, 2001)

Mc.reate, Robert, “Lecture on Legal Education , Wake Forest School of Law,” Wake Forest Law Review,( Vol. 30 No. 2 , 1995).Merhige Jr, Robert R., “Legal Education: Observation and Perception From the Bench,” Wake Forest Law Review, (Vol. 30,1995)

Merryman, John Henry, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, California: Stanford University Press, 1969.

Nard, Craig Allen, “Empirical Legal Scholarship: Reestablishing a Dialoque Between the Academy and Profession,” Wake Forest Law Review,(Vol. 30, 1995).

Perelman, Chaim, “Legal Ontology and Legal Reasoning”, dalam A.R. Blackshield, ed, Legal Change Essay in Honor of Julius Stone, Sidney: Butterworth, 1983.

Rajagukguk, Erman, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” Pidato pada Dies Natalis USU Ke-44, Medan, 20 Nopember 2001.

Weeramantry, C.G., “Legal Education for the Age of technology: A Plea for an Interdisciplinary Perspective Legal Change, Sidney: Butterworth, 1983.

Daftar Kutipan :

[1] Chaim Perelman, “Legal Ontology and Legal Reasoning”, dalam A.R. Blackshield, ed, Legal Change Essay in Honor of Julius Stone, (Sidney: Butterworth, 1983), hal 6. Pengadilan dalam sistem hukum common law, tidak memberikan petunjuk bagi manusia bagaimana dia harus bertindak, tetapi jika manusia itu berbuat kesalahan maka pengadilan langsung menghukumnya.

[2] Lebih lanjut Hayek menyatakan bahwa sistem kebebasan di Inggris berasal dari ajaran Locke dan Humme yang menekankan kepada kebebasan individu untuk mencapai tujuan masing-masing, sedangkan model kebebasan Perancis berasal dari ajaran Hobbes dan Rousseau yang menekankan pada kebebasan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama lihat Paul G. Mahoney, “The Common Law and Economic Growth: Hayek Might Be Right”, Journal of Legal Studies, (Vol.XXX, University of Chicago, 2001), hal 504-511

[3] Benjamin N. Cardozo, The Nature of The Judicial Process, (London : Yale University Press, 1962), hal. 89

[4] Lihat John Henry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, (California: Stanford University Press, 1969), hal 4-7.

[5] Istilah stare decisis berasal dari istilah stare decisis et non quieta movere, yaitu “stand by the decision and do not disturb what is settled,” lihat W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Rosoff, Business and Its Legal Environment, (New Jersey: Prentice-Hall Inc.,1999), hal, 40. sedangkan dalam Black’s Law Dictionary diartikan “to adhere to precedents, and not to unsettle things which are established. Lihat Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hal 1406.

[6] Di Indonesia, adanya independensi hakim atau berada di bawah Mahkamah Agung, pindah dari naungan Departemen. Kehakiman terjadi sejak tahun 2004

[7] John H. Farrar dan Anthony M. Dugdale, Introduction to Legal Method, (London: Sweet & Maxwell, , 1984), hal 39.

[8] Perancis memang telah mengembangkan suatu Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang men-review Keputusan Pemerintah, namun demikian Pengadilan ini berada dibawah pengawasan Eksekutif. Para hakimnya juga didik pada administrative school bersama-sama dengan pegawai negeri lainnya yang nantinya keputusan mereka akan diawasi oleh hakim tersebut. Lihat Paul G. Mahoney, Op. Cit, hal 503 – 512.

[9] Independensi pengadilan ini apabila ditelusuri berawal dari pertentangan antara Hakim Coke dengan King Stuart ketika Kerajaan yang memaksakan kehendaknya untuk mengubah hak properti yang merugikan rakyat. Raja Stuart kemudian membentuk sebuah pengadilan baru bernama Stuart Chamber yang berada di bawah Kerajaan dan merupakan kepanjangan tangan dari Kerajaan Inggris. Setelah revolusi Stuart Chamber ini dibubarkan. Paul G. Mahoney, Op.Cit, hal 508-509

[10] S.H.Bailey dan M.J.Gunn, Smith & Bailey on The Modern English Legal System, (London: Sweet & Maxwell, 1996), hal 413.

[11] Paul G. Mahoney, Op. Cit, hal. 2001, hal 508.

[12] Ibid, hal 253

[13] L. Michael Hagger, “The role of Lawyer of development country,ABA Journal, (Vol. 58, 1972), hal. 33.

[14] Lihat Antony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession,(Cambridge: Harvard University Press, 1993), hal.166-239. Penggunaan pendekatan ekonomi terhadap hukum (law and economic) dalam pendidikan hukum di Amerika Serikat bersifat permanen yang dimulai sejak tahun 1960an. Gerakan Law and Economic telah mengubah metode dosen mengajar dan hampir di seluruh subjek hukum pengetahuan praktis ilmu ekonomi merupakan persyaratan. Terlepas setuju atau tidak setuju dengan gerakan ini.

[15] Ketujuh dasar pengetahuan hukum tersebut adalah: obligations 1, obligations 2, Foundation of Criminal Law, Foundation of Equity and the Law of Trust, Foundation of the Law of the European Union, Foundation of Property Law, dan Foundation of Public Law serta Legal Research. Lihat S.H. Bailey dan M.J.Gunn, Op.Cit, hal 182-183

[16] Seorang calon masih harus mempunyai pengalaman selama 12 bulan dengan Pengacara yang mempunyai pengalaman selama 5 tahun, dimana selama 6 bulan pertama mereka tidak boleh menerima instruksi. Sedangkan untuk menjadi konsultan hukum (solicitor), seorang calon dua tahap sama seperti syarat menjadi Pengacara. Syarat pertama yaitu syarat akademik sama seperti persyaratan untuk menjadi Pengacara. Syarat kedua menuntut calon harus merupakan anggota dari the Law Society dan harus mengikuti dan lulus pelatihan Legal Practice Course Board yang diselenggarakan the Law Society. Tujuan dari pelatihan ini adalah supaya para lulusannya dapat menguasai pembuatan kontrak dengan kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk mengatasi masalah dan tantangan dengan diawasi oleh instruktur pelatihan. Lihat S.H. Bailey dan M.J.Gunn, Op.Cit, hal 184-185

[17] H.W.Arthurs, “A lot of Knowledge is a Dangerous Thing: Will the Legal Profession Survive the knowledge Explosion? dalam Michael Feindel dan Oliver Fuldaner, “Access and Specialization in Legal Education and Practice,” Dalhousie Journal of Legal Studies, hal. 286, lihat dalam Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” Pidato pada Dies Natalis USU Ke-44, Medan, 20 Nopember 2001, hal. 13.

[18].Untuk membentuk Fakultas Hukum sebagai profesional school, maka pembenahan metode pendidikan harus dilakukan secara komprehensif dimulai dari perubahan sistem pengajaran yang selama ini bersifat doktrinal. Pengajaran dapat dilakukan dengan menggabungkan pemahaman terhadap isi pasal, filsafat hukum dan case analysis. Pemahaman terhadap doktrin, teori dan filsafat hukum dapat dilakukan di awal perkuliahan, dimana mahasiswa harus bersifat aktif dengan didampingi dan diarahkan oleh dosen agar lebih terarah. Sisa perkuliahan dilakukan dengan pemahaman suatu peraturan perundangan-undangan yang diikuti dengan pembahasan kasus-kasus yang berkaitan dengan peraturan tersebut. Hal ini dilakukan agar para mahasiswa dapat memahami akibat dan konsekwensi hukum yang timbul akibat isi suatu pasal. Kasus yang dipilih tidak hanya berasal dari dalam negeri tetapi juga diberikan kasus-kasus yang berasal dari luar negeri. Hal ini dilakukan agar mahasiswa mendapat gambaran mengenai hukum di luar Indonesia, sehingga mereka dapat membandingkan dan memperluas pandangan mereka terhadap hukum diluar Indonesia.

[19] Antony T. Kronman, Op. Cit, hal. 170.

[20] John H. Farrar dan Anthony M. Dugdale, Op.Cit, 1984, hal 81.

[21] C.G. Weeramantry, “Legal Education for the Age of technology: A Plea for an Interdisciplinary Perspective Legal Change, Sidney: Butterworth, 1983, hal 158.

[22] Lihat. Erman Rajagukguk, Op. Cit, hal. 22. Lihat juga. Craig Allen Nard, “Empirical Legal Scholarship: Reestablishing a Dialoque Between the Academy and Profession,” Wake Forest Law Review, (Vol. 30, 1995), hal. 347-368. Robert R. Merhige Jr, “Legal Education: Observation and Perception From the Bench,” Wake Forest Law Review, (Vol. 30,1995), hal. 275.

[23] Lihat. Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju,” Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001, hal. 25.

[24] Erman Rajagukguk, Op. Cit, hal. 24. Bandingkan. O. Haley, Educating Lawyers for the Global Economy, Michigan Journal of International Law, (Vol. 17, Spring 1996), hal. 746.

[25] Selain itu yang tidak kalah penting adalah penguasaan bahasa inggris oleh para dosen dan mahasiswa/i. Hal ini sangat penting karena banyak sekali isu-isu baru tentang hukum di tulis dalam jurnal yang berbahasa inggris. Kemampuan untuk mengikuti perkembangan dalam hukum di dunia internasional akan memberikan pemahaman tentang hukum lebih komprehensif, terutama dalam ketatnya persaingan di dunia global dan tingginya aktivitas perdagangan internasional.

[26] Charles Himawan, “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum,” Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 24 April 1991, hal. 6.

[27] Kesepuluh keahlian tersebut adalah problem solving, legal analysis and reasoning, legal research, factual investigation, oral and written comunicattion, counseling, negotiation, understanding of the procedures of litigation and alternative dispute resolution, organizing ang managing legal work, dan recognizing and resolving ethical dillemas. Robert Mac reate, “Lecture on Legal Education , Wake Forest School of Law,” Wake Forest Law Review, Vol. 30 No. 2 (1995), hal. 262-263.

[28] Lihat C.G. Wereemantry, Op.Cit, hal 163-165

[29] John H. Farrar dan Anthony M. Dugdale, Op.Cit, hal 274

1 komentar:

Deviyanti Lismana mengatakan...

Nama: Deviyanti Lismana
N I M: A01111029
Mata kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas: B

Pendidikan hukum sangatlah penting diberikan kepada peserta didik atau masyarakat lainnya. Pendidikan hukum di Indonesia telah mengalami perubahan beberapa kali, perubahan ini terjadi karena pemerintahan secara fundamental berganti, dari Indonesia sebagai wilayah kolonial menjadi merdeka, dari Indonesia yang mengalami revolusi menjadi Indonesia yang membangun, dan dari Indonesia yang diperintah secara otoriter menjadi Indonesia yang demokratis.

Posting Komentar