Senin, 07 Maret 2011

KEDUDUKAN PERDA SEBAGAI PRODUK HUKUM DAERAH DALAM STRUKTUR HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEDUDUKAN PERDA SEBAGAI PRODUK HUKUM DAERAH DALAM STRUKTUR HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Sebagai Bahan Bimbingan Teknis Merancang Produk Hukum di Daerah Berdasarkan UU No 10 Tahun 2004, UU No 32 Tahun 2004, UU No 24 Tahun 2009)

Oleh:Turiman Fachturahman Nur SH,MHum.CD.[1]
Dosen Hukum Tata Negara Fak Hukum UNTAN Pontianak

Ketika kita membahas kedudukan PERATURAN DAERAH atau PERDA sebagai produk hukum daerah dalam struktur hirarki peraturan perundang-undangan, maka yang patut dipahami secara konsepsional adalah bahwa PERDA adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan, oleh untuk tidak bias pemahaman perlu kita ketahui apa yang dimaksud peraturan perundang-undangan, dan apa pengertian PERDA itu sendiri sebagai produk hukum daerah, apakah ada jenis produk daerah lain yang juga jenis peraturan perundang-undangan, karena ada pandangan di birokrasi pemerintahan di daerah bagaimana jika PERDA materi muatan mengacu kepada peraturan menteri sedangkan peraturan menteri tidak muncul dalam hirarki peraturan perundang-undangan, kemudian bagaimana mengacunya ketika kita merancang sebuah PERDA agar tidak menabrak peraturan menteri, mengapa demikian karena tidak dipungkiri banyak Peraturan Menteri yang harus diacu, bahkan Peraturan Presiden atau lebih tinggi lagi Peraturan Pemerintah atau lebih tinggi Undang-Undang, yang jadi masalah kadangkala para pemangku kepentingan (birokrasi pemerintahan) mendapatkan antar jenis peraturan perundang belum sinkron baik secara vertical maupun horizontal, oleh karena bahan ini membantu para peserta bimbingan teknis dalam merancang sebuah produk hukum daerah yang nama PERDA.
Untuk memahami secara holistik dan komprehensif, maka perlu disamakan persepsi apakah yang dimaksud peraturan perundang-undangan itu ? mengacu pada ketentuan normatif dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan aturan teknisnya, yaitu Permendagri No 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI TAHUN 2004 Nomor 53)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 ada dua subtansi yang perlu digaris bawahi, yaitu bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, hal ini berarti secara konsepsional peraturan perundang bisa terbit dari lembaga negara pada satu sisi atau dari pejabat yang berwenang, kata kuncinya adalah kewenangan.
Berkaitan dengan kewenangan tentunya berdasarkan struktur tata pemerintahan daerah kewenangan yang bersumber pada asas dekonsentrasi, desentralisasi dan medebewin tugas pembantun, pertanyaannya adalah PERDA sebagai produk hukum daerah bersumber dari kewenangannya yang mana dari ketiga asas tersebut ?
Berdasarkan Permendagri No 16 Tahun 2006 memberikan batasan normatif apa yang dimaksud Produk Hukum Daerah yaitu adalah peraturarn daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 2 ) jelas kepala daerah adalah pejabat yang berwenang yang kewenangannya sudah jelas dalam UU No 32 Tahun 2004 pada Paragraf Kedua bagian keempat menyatakan secara jelas bahwa Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pasal 25 Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c.menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; g. dan melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketika melaknakan tugas dan wewenang tersebut Kepala Daerah terdapat kewajiban yaitu pada Pasal 27 (1) UU No 32 Tahun 2004, bahwa "Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b meningkatkan kesejahteraan rakyat; b memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; c. melaksanakan kehidupan demokrasi; d. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan; e. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; f.memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; g melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. h. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; i. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; j menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan PERDA untuk memahami ini pertanyaan bisa dipertajam bagaimana kedudukan PERDA Kedudukan Peraturan Daerah, yaitu bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi Peraturan Daerah Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah
Pertanyaan bagaimana secara normatifnya ? disini kita berbicara SUBTANSI PERDA, bahwa Peraturan Daerah (PERDA) : Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Persetujuan Bersama Kepala Daerah (Pasal 1 Angka 7 UU No 10 Tahun 2004) dan Materi Muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (Pasal 12 UU No 10 Tahun 2004) Dengan demikian esensi PERDA ada empat hal : 1. Penyelenggaraan otonomi daerah 2. Tugas pembantuan, dan 3. Menampung kondisi khusus daerah serta 4. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang - Undangan yang lebih tinggi.
Pada tataran penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan disinilah kita berbicara tentang hirarki peraturan perundang-undangan pertanyaannya secara konsepsional ada landasan akademisnya (teoritis) tentang hirarki norma hukum (tertulis) itu ?
Untuk memberikan pemahaman kita eksplorasi apakah sebenarnya peraturan perundangan secara akademis? sedikit sebagai bahan rujukan, Peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.[2]
Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah “yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif” sebagaimana terungkapkan dalam pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan Bagir Manan dan Kuntana Magnar, bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.[3] Dari pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan Bagir Manan dan Bagir Manan bersana dengan Kuntana Magnar mengemuka sejumlah unsur yakni:
1. keputusan tertulis;
2. yang dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif;
3. yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum;
4. sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan dalam UU Nomor 10 tahun 2004, Pasal 1 angka 2, bahwa Peraturan Perundang- undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut adalah:
1. peraturan tertulis;
2. mengikat secara umum; dan
3. yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.
Lembaga negara atau pejabat yang berwenang tersebut baik di pusat maupun di daerah. Sehingga peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah. Salah satu jenis peraturan perundang-undangan daerah adalah Peraturan Daerah, yang menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Yang lainnya adalah peraturan kepala daerah yakni peraturan Gubernur dan peraturan bupati/walikota (Pasal 1 angka 11 UU Pemda).
Mengacu pada kepustakaan Belanda, A. Hamid. S. Attamimi mengemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum.[4] Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan maupun bagi rakyat.[5] Sedangkan norma hukum bersifat umum, menurut FR. Bohtlingk dan JHA. Logeman, mengandung pengertian berhubungan dengan ruang berlaku, yakni berlaku di seluruh wilayah, berhubungan dengan waktu berlaku, yakni berlaku terus-menerus, berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma hukum, yakni berlaku untuk semua orang, dan berhubungan dengan fakta yang terulang.[6]
Dalam perkembangannya, kriteria yang lazim digunakan adalah dari segi subyek dan obyek. Dari segi subyek, apabila yang terkena norma hukum itu adalah orang atau orang-orang tidak tertentu disebut norma umum, sedangkan bila yang terkena itu adalah orang atau orang-orang tertentu disebut norma individual. Dari segi obyek, apabila norma hukum itu mengenai hal tidak tertentu disebut disebut norma abstrak, sedangkan jika mengenai hal tertentu disebut norma konkrit. Keempat macam norma hukum itu dapat dikombinasikan menjadi 4 (empat) kategori norma hukum, yakni: norma hukum umum-abstrak, norma hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak, dan norma hukum individual-konkrit.[7]
Peraturan perundang-undangan seyogyanya mengandung norma hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya yang umum-konkrit, demikian A. Hamid. S. Attamimi, sedangkan norma hukum lain-lainnya, yaitu yang individual-abstrak, dan lebih-lebih yang individual-konkrit, lebih mendekati penetapan (beschikking) daripada peraturan (regeling).[8]
Secara otentik pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 Tahun 2004, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.”
Dalam pengertian tersebut penyebarluasan peraturan perundang-undangan dimasukan sebagai salah satu bagian proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Padahal penyebarluasan peraturan perundang-undangan dilakukan setelah peraturan perundang-undangan dibentuk atau dibuat. Jadi, berada di luar proses pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi saat ini itu menjadi penting karena berkaitan dengan program sosialiasi..
Mengaitkan pengertian otentik tentang peraturan perundang-undangan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dengan pengertian secara teoritik, maka diperoleh pemahaman mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh badan atau pejabat yang berwenang; dan
3. yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
20.Dengan demikian pembentukan peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum yang dilakukan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah, yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Oleh karena Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan daerah, maka pembentukan Peraturan Daerah yang dapat dimengerti sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah; dan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
21.Kemudian bagaimana tentang Hierarki peraturan perundang-undangan yang diterapkan di Indonesia sebenarnya didasarkan pada Stufentheorie dari Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen yang merupakan teori abad 19, tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
22. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu − yakni norma yang lebih rendah − ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar.[9]
23. Stufentheorie dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl. Kemudian oleh Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Teori yang dikembangkan Hans Nawiasky ini dikenal sebagai die Theorie vom Stufenordnung der Rechtnormen, yakni Suatu norma hukum dari negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang; suatu norma hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi; norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi lagi; sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yaitu staatsfundamentalnorm. Selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok norma hukum dalam suatu negara terdiri atas 4 kelompok besar[10]:
Kelompok I
:
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara).

Kelompok II
:
Staatsgrundgesezt (Aturan Dasar Negara).
Kelompok III
:
Formell Gesezt (Undang-Undang Formal).
Kelompok IV
:
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom).

24. Asas preferensi yang berlaku dalam konteks ini adalah lex superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan (menderogasi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
25.Hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sekarang adalah sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengaturan sebelumnya mengenai hierarki itu dapat dilacak sampai pada tahun 1950. Berikut ini dipaparkan perkembangan pengaturan mengenai hierarki tersebut dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2004 dalam upaya mendapatkan pemahaman yang lebih memadai mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan daerah, khususnya Peraturan Daerah, dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
26. Dalam UU No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pasal 1, diatur bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.
27. Dalam Pasal 2 diatur, tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1. Kedua ketentuan tersebut menunjukkan politik perundang-undangan mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan pusat yang berlaku saat itu.
28. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan RI ialah:
- UUD RI 1945,
- Ketetapan MPR (S),
- Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
- Peraturan Pemerintah,
- Keputusan Presiden,
- Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri,
- Instruksi Menteri,
- dan lain-lainnya.
29.Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam Negara. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya (Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966).
30.Ketetapan MPRS tersebut menegaskan politik perundang-undangan mengenai bentuk (baca: jenis) dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak saat itu. Sekalipun tidak tegas keberadaan peraturan perundang-undangan daerah dalam tata urutan itu, namun keberadaannya dapat diinterpretasikan dari kata “dan lain-lainnya.” Artinya, baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah (Keputusan Kepala Daerah saat itu) berada di bawah Instruksi Menteri.
31.Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ketetapan MPR ini ditentukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU;
4. PERPU;
5. PP;
6. Keppres;
7. Perda (Pasal 2).
a. Perda provinsi.
b. Perda kabupaten/kota.
c. Perdes (ayat (7) Pasal 3).
32.Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (ayat (1) Pasal 4). Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (ayat (2) Pasal 4).
33.Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 menunjukkan politik perundang-undangan mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan dan jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan.
2. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan, yang membawa implikasi hukum bahwa jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, termasuk tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah.
3. Peraturan perundang-undangan yang berada dalam jenis Peraturan Daerah, yakni Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes, tidaklah berada dalam tata urutan berdasarkan Ketetapan MPR tersebut.
34. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 diatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah (ayat (1) Pasal 7), meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota.
c. Peraturan Desa.
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi di Daerah Provinsi Papua (Penjelasan ayat (2) huruf a Pasal 7).
35. Dalam ayat (5) diatur, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan ayat (5) Pasal 7).
36. Seperti halnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, UU Nomor 10 Tahun 2004 juga mengenal jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (di luar hierarki). Ini diatur dalam Pasal 7 ayat (4), jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam penjelasannya diterangkan, bahwa jenis peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh:
a. MPR, dan
b. DPR,
c. DPD,
d. MA,
e. MK,
f. BPK,ubernur BI,
g. Menteri,
h. Kepala badan, lembaga, atau lomisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU,
i. DPRD Provinsi,
j. Gubernur,
k. DPRD Kabupaten/Kota,
l. Bupati/Walikota,
m. Kepala Desa atau yang setingkat.
37. UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menunjukkan politik perundang-undangan mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan di luar hierarki.
2. Jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa), Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa.
3. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan hierarkinya.
38. Hubungan antara Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, tidaklah hubungan hierarki.
39. Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa berada di luar hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
40. Kemudian bagaimana tentang Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah ?
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi:
1. Peraturan Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi,
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan
c. Peraturan Desa.
2. Peraturan DPRD, yang meliputi:
a. Peraturan DPRD Provinsi, dan
b. Peraturan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Peraturan Kepala Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Gubernur, dan
b. Peraturan Bupati/Walikota.
4. Peraturan Kepala Desa.
41.Sesuai dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2004), maka jenis-jenis peraturan perundang-undangan daerah itu haruslah berisi materi muatan yang tepat.
42.Penggunaan istilah ”materi muatan” diperkenalkan oleh Abdul Hamid Saleh Attamimi sebagai pengganti kata Belanda ”het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke ”het eigenaardig onderwerp der wet”, diterjemahkan dengan ”materi muatan yang khas dari undang-undang”, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan UU. (Attamimi 1979, 1982, dan 1990). Dalam UU P3, istilah materi muatan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 12).
43.Berdasarkan pengertian tersebut, maka materi muatan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan tertentu, yang tidak menjadi materi muatan jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Khususnya, mengenai materi muatan Perda, maka berarti materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam Perda, yang tidak dimuat baik dalam peraturan perundang-undangan daerah lainnya maupun peraturan perundang-undangan pusat.[11]
44.Mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 secara tegas diatur dalam Bab III yang bertajuk Materi Muatan, yakni
1. Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang:
a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU (Pasal 8).
2. Materi muatan PERPU sama dengan materi muatan UU (Pasal 9), yang ditetapkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Pasal 1 angka 4).
3. Materi muatan PP berisi materi muatan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya (Pasal 10).
4. Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan PP ([Pasal 11).
45. Materi muatan tersebut adalah materi muatan peraturan perundang-undangan pusat. Hal tersebut penting dipahami dalam upaya memperjelas pemahaman mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan daerah.
Materi muatan peraturan perundang-undangan daerah adalah sebagai berikut:
1. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12).
2. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 13).
3. Materi muatan Peraturan Kepala Daerah adalah materi untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan ((Pasal 146 ayat (1) UU Pemda).
4. Peraturan DPRD, masih perlu diadakan kajian mengenai materi muatannya. Contoh materi muatan Peraturan DPRD adalah Peraturan Tata Tertib DPRD (Pasal 54 ayat (6) UU Pemda).
46.Khusus mengenai materi muatan Perda dapat dikemukakan kembali, bahwa materi muatannya pada dasarnya adalah:
1. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah (termasuk di dalamnya seluruh materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, sebab kondisi khusus daerah merupakan salah satu karakter dari otonomi daerah, yakni karakter “nyata” dan yang lainnya adalah seluas-luasnya dan bertanggung jawab).
2. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan, dan
3. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
47.Khususnya mengenai materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah harus merujuk pada ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Pemda, yang masing mengatur urusan wajib dan urusan pilihan daerah provinsi dan urusan wajib dan urusan pilihan daerah kabuipaten/kota. Pembagian urusan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang penetapan masing-masing urusan itu oleh Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah.
48 Selanjut apapun jenis peraturan perundang-undangan akhir bersumber pada Rect Idee Indonesia yang telah disepakati yaitu Pancasila, tetapi bagaimana menjabarkan Pancasila sebagai sumber hukum negara dalam struktur peraturan perundang-undangan. Mengacu pada konsep negara hukum Indonesia telah disepakati bahwa Pancasila adalah cita hukum (recht idee) Indonesia dan secara konstitusional telah diformulasikan oleh para pendiri negara ini pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 kemudian telah dijabarkan lanjut kedalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 10 Tahun 2004 pada Pasal 2 menyatakan : "Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap MATERI MUATAN Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA.
49. Permasalahannya adalah bagaimana mewujudkan Pancasila sebagai recht idee tersebut ke dalam konsep bernegara hukum yang khas Indonesia, tentunya secara teoritis paparannya pada satu sisi tentunya kita memasuki sebuah konsep tentang pembaharuan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional, pada sisi lain dalam hal ini pada sisi kenegaraan tentunya perlu ada kesamaan komitmen, visi dan misi, yaitu menjadikan negara hukum Indonesia sebagai “rumah yang nyaman dan membahagiakan bagi segenap komponen bangsa.“
50. Pertanyaannya secara akademis adalah nilai-nilai apa yang terkandung dalam Pancasila ternyata Pancasila setelah reformasi tidak hanya dipahami secara hirarki piramida semata tetapi juga konsep ber'Thawaf ? dan kedua, bagaimana menjabarkan teori Pancasila "thawaf " dalam Perisai Pancasila pada Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II sebagaimana telah dipertegas Pasal 48 ayat (2) dalam UU No 24 Tahun 2009?
51. Model alternatif yang ditawarkan adalah Model Thawaf yaitu memahami konsep Pancasila dengan pendekatan semiotika pada simbolisasi Pancasila pada perisai Pancasila dalam Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II yang telah dipertegas pada Pasal 48 ayat (2) UUNo 24 Tahun 2009, sehingga pemahaman konsep Pancasila memunculkan pluralisme pandangan, artinya tidak hanya pandangan positivisme abad 19 sebagai yang kita pahami selama ini atau konsep hirarkis piramida.
52. Konsep “thawaf” pada Pancasila jelas akan berbeda dengan konsep Pancasila yang tersusun secara hirarkis piramida. Kedua, Penafsiran Pancasila tidak hanya dianalisis dari paradigma positivisme tetapi Penafsiran Pancasila tetapi bisa memilih pandangannya spiritualisme, agar tidak berkesan sekuler. Kedua implikasi tersebut bermanfaat dalam menyusun konsep bernegara hukum kebangsaan Indonesia yang bermoral, atau penulis singkat konsep negara hukum bermoral yang berdemokrasi berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa .
53. Berdasarkan paparan di atas, berikut ini kita kutip transkrip Sultan Hamid II ketika menjelaskan Perisai Pancasila dalam lambang negara, Rajawali –Garuda Pancasila ketika dipesan oleh Presiden Soekarno, menyatakan: [12]

Ada tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf", dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih
Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [13]

"... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[14]

" ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja- Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
54.Berdasarkan tiga penjelasan Sultan Hamid II tentang konsep thawaf dalam perisai Pancasila dalam lambang negara di atas, maka secara tersirat dan tersurat, bahwa dari lima Sila pada konsep Pancasila menurut Sultan Hamid II berdasarkan pesan Presiden Soekarno[15], yaitu :[16]

"....Adanja dua lambang perisai besar diluar dan perisai jang ketjil ditengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima"
55.Mengacu pada penjelasan Sultan Hamid II diatas, jika kita hubungkan dengan simbolisasi Pancasila pada sila-sila dalam Perisai Pancasila pada lambang negara Rajawali –Garuda Pancasila baik pada ciptaan pertama 8 Februari 1950 maupun ciptaan kedua 11 Februari 1950 dengan perbaikannya yang disposisi Presiden Soekarno dan kemudian dilukis kembali oleh Dullah, 20 Maret 1950 sampai dengan konsep lambang negara terakhir akhir Maret 1950 sebagaimana menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 dan sekarang menjadi lampiran resmi UU No 29 Tahun 2009[17], terlihat, bahwa perumusan simbolisasi sila-sila Pancasila menggunakan arah thawaf itulah penulis sebut sebagai Paradigma[18] Pancasila ber"Thawaf"
56. Konsep Pancasila "thawaf' itu dimulai pada Sila Pertama, kemudian memancar kepada semua Sila, karena Sila pertama dimasukan kedalam perisai kecil yang ada ditengah perisai besar yang terbagi menjadi empat ruang yang dibelah oleh garis equator/khatulistiwa. Arah thawaf pada simbolisasi pada perisai Pancasila itu dimulai dari Sila kedua, yang disimbolisasi dengan tali rantai yang terdiri dari 17, yaitu mata bulatan dalam rantai digambar berjumlah 9 sebagai simbolisai perempuan dan mata pesagi yang digambar berjumlah 8 simbolisasi laki-laki[19] kemudian berputar/thawaf arah kekanan atas Sila Ketiga dilukiskan pohon astana /pohon beringin simbolisasi tempat berlindung, kemudian berputar/thawaf ke arah kiri samping yaitu Sila Keempat yang disimbolkan kepala banteng sebagai simbolisasi tenaga rakyat, kemudian berputar/thawaf kearah kiri bawah ke Sila Kelima, yang dilukiskan dengan kapas dan padi sebagai tanda tujuan kemakmuran.[20]

57.Terhadap konsep/model ber"thawaf" diatas penafsiran Sultan Hamid II menyatakan : [21]
".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima".
58. Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: nilai Pancasila bagi Negara Republik Indonesia pada hakekatnya bahwa negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral [22] kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia menjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah oleh Sultan Hamid II dimasukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
59.Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan atau generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya. Jika sudah ada kesadaran akan hak dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia, tentunya mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agamanya, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
60. Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [23]
61. Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung nakna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
62.Dalam kaitannya dengan konsep Pancasila dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara subtansial nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.
63.Berdasarkan konsep thawaf Pancasila tersebut, maka Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sebuah perisai atau pertahanan sebuah bangsa , karena selaras makna perisai atau tameng itu sendiri yang sebenarnya dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri dan perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud dan artinya tetap tidak berubah-ubah, yaitu lambang perjuangan dan perlindungan, artinya dengan mengambil bentuk perisai, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli[24]
64.Secara semiologi perisai yang berbentuk jantung itu, ditengah terdapat sebuah garis hitam tebal yang maksudnya melukiskan khatulistiwa/equator. Lima buah ruang pada perisai itu mewujudkan masing-masing dasar Pancasila, dan apabila kita menggunakan semiotika hukum dari teks hukum kenegaraan, maka secara semiotika hukum lambang menegaskan konsep thawaf tersebuat secara tegas pada pasal 48 ayat (2) UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
65.Adapun konsep kedua Pancasila ber”thawaf” adalah berputar berlawan dengan arah jarum jam, berdasarkan UU No 24 tahun 2009 :[25]
Pasal 48 (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
66.Deskripsi epistemologis pada Pasal 48 ayat (2) UU No 24 Tahun 2009 diatas memberikan penegasan tentang putaran "Thawaf" pada Konsep Simbolisasi Pancasila dan secara teoritis diatas memberikan paparan, bahwa nilai Sila ke I Ketuhanan Yang Maha Esa tetap menjadi sentral dan menyinari semua nilai-nilai ke empat sila lainnya sila II,III,IV,V secara teoritik mengapa dimulai pada sila ke II Kemanusiaan yang adil dan beradab, maknanya, bahwa hukum progresif pembentukan harus mencerminkan HAM atau taat pada asas kemanusian[26], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika[27], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan[28], artinya setiap materi muatan Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara selanjutnya ke Sila Ke III Persatuan Indonesia, maknanya hukum Progresif taat kepada asas Kebangsaan[29], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, kemudian ke sila IV Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi demokrasi untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara), maknanya, bahwa Hukum Progresif haruslah taat kepada asas kekeluargaan[30], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman[31], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat, dan kemudian sila ke V Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia, maknanya bahwa hukum progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat pada asas Keadilan[32], artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pada asas Kenusantaraan[33] artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum[34], artinya bahwa setiapMateri Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Jika diurut berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan maka konfigurasi keselarasannya adalah sila kedua menjabarkan Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan, Asas Bhinneka Tunggal Ika, asas Kemanusian, Sila ketiga, menjabarkan asas Kebangsaan, sila keempat menjabarkanb asas Kekeluaragan dan asas Pengayoman, sedangkan sila kelima menjabarkan asas Kenusantaraan, Asas Ketertuban dan Kepastian Hukum dan asas Keadilan, inilah yang penulis namakan Paradigma Pancasila Ber"THAWAF" dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penerapan tersebut kemudian penulis sebut penerapan Teori Thawaf Pancasila berdasarkan UU No 24 Tahun 2009 jo UU No 10 Tahun 2004 dalam menjabarkan Pancasila sebagai Recht Idee sebagaimana Pancasila pada alinea keempat UUD 1945, tentunya menjadi berbeda dan teori thwaf diatas mereduksi teori Hirarkis Piramida Pancasila yang selama ini dipahami ketika dikaitkan dengan sistem norma hukum yang sedikit banyak terpengaruh dengan paradigma positivisme atau teori hirarlis piramida Hans Kelsen, artinya dengan teori THAWAF Pancasila menjadi sesuatu ciri khas bernegara hukum yang progresif [35]atau bernegara hukum berciri khas KeIndonesiaan, inilah teori alternatif yang penulis tawarkan yang selaras dengan simbolisasi Pancasila pada lambang Negara sebagaimana analisis semiotika hukum sebagaimana telah dirumuskan pada Pasal 48 ayat (2) UU No 24 Tahun 2009 yang selaras dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a s.d i UU No 10 Tahun 2004 sebagai konsep bernegara hukum yang progresif dan paparan ini sekaligus menjawab kegelisahan Prof Tjip, karena menurut Penulis lambang pada perisai pada lambang negara sesungguhnya merupakan simbolisasi Pancasila, baik sebagai ideologi, dasar negara maupun filosofis bangsa Indonesia serta sumber hukum dari sumber hukum negara, sehingga secara teoritis lambang negara dalam konsep bernegara hukum Indonesia adalah mempresentasikan ide, perasaan, pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dalam bernegara hukum, pertanyaannya apakah dengan telah menetapkan Pancasila sebagai cita hukum, dan apakah dengan pernyataan identitas sebagai negara hukum segala sesuatu sudah selesai ? apakah tidak ada hal lain yang masih perlu dijawab melampaui konsep bernegara hukum yang berdasarkan Pancasila ? Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa negara hukum yang dibentuk pada Tahun 1945 itu ibarat rumah yang belum selesai benar. Negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya. Negara hukum Indonesia perlu terus menerus menegaskan identitasnya, yang belum tuntas dipikirkan oleh para bapak kemerdekaan kita dan menjadi tugas kitalah untuk lebih menegaskan indentitas tersebut.[36]
Berdasarkan kegilasan Prof Tjip itulah identitas tersebut dicari, karena apabila benar lambang negara khususnya simbol-simbol dalam lima buah pada ruang dalam perisai merupakan simbolisasi Pancasila, maka analisis semiotika hukum Pancasila pada lambang negara adalah merupakan konsep teoretis bernegara hukum berparadigma Pancasila yang penulis sebut Paradigma Pancasila ber"thawaf", itulah sesungguhnya kekayaan rohani dan intelektual yang terkristalisasi dan menjadi pilihan sebagai Ground Norm atau Recht Ide/Cita Hukum bagi bernegara hukum Indonesia yang sudah semestinya menemukan jalan masuknya sendiri ke dalam bangunan hukum kita, sekalipun akan menyebabkan ketidak sesuaian dengan model, standar yang dominan di dunia atau doktrinal falsifikasi Pancasila yang dipahami selama ini yaitu struktur hirarkis piramida.
Kebebasan memilih dan menentukan memang cukup menonjol pada saat bangsa berhadapan dengan materi muatan hukum, khususnya dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Tetapi bangunan hukum menghendaki bahwa pola tertentu sehingga memungkinkan pelaksanaan atau penerapan dengan seksama, pola yang sekarang sudah menjadi sangat terkenal di Indonesia adalah Stufen theori Hans Kelsen yang mengikuti A Merkl. Menurut pola tersebut seluruh bangunan hukum suatu bangsa terikat oleh susunan logis dari semua peraturan, bagian yang membentuk sisten hukum bangsa tersebut. Sebagaimana sudah diketahui dengan luas, teori Hans Kelsen tersebut mengatakan, bahwa sistem atau bangunan hukum itu mempunyai dasarnya dalam bentuk peraturan peraturan yang paling abstrak dan keseluruhan sistem hukum merupakan konkretisasi belaka dari peraturan abstrak tersebut melalui prinsip logika, artinya melalui susunan logis tersebut sistem hukum dapat diterima dan dijalankan dengan seksama, sebab sistem hukum bersesuaian dengan prinsip kerja pikiran manusia. Tanpa susunan logis, maka bahan-bahan tersebut diatas terletak secara bertebaran begitu saja tanpa bisa diikuti oleh pikiran manusia sebagai pihak yang menerima, memakai dan menjalankan hukum. Dengan demikian, hukum hanya bisa disebut sebagai himpunan ide. nilai, wawasan, tanpa bisa dinamakan sebagai suatu sistem pengaturan secara sebenarnya.[37]
Peraturan abstrak itu kemudian oleh Hans Kelsen disebut Grund Norm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan –peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, Grund Norm ibarat bahan bahan bakar yang menggerakan seluruh sistem hukum. Grund Norm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan dipertanggungjawabkan pelaksanaan hukum, jadi Grund Norm adalah norma dasar, yang secara teoretis berada pada puncak piramida, artinya peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah semakin kongkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang "seharusnya" berubah menjadi sesuatu yang "dapat dilakukan.[38]
Stufenbautheorie inilah juga yang berpengaruh kuat dalam memahami filsafat Pancasila di Indonesia sehingga semiotika hukum struktur Pancasila sebagaimana pandangan Notonagoro yang dikemukakannya dalam Pidato Dies Natalis Universitas Air Langga pada 10 November 1955 yang saat ini setelah 100 tahun masih banyak diacu dan menjadi sandaran ketika membahas filsafat Pancasila[39], tetapi menurut penulis paradigma yang digunakan tergolong sangat postivisme dan sepertinya terpengaruh dengan konsep pemahaman abad ke 19 yaitu Paradigma Hukum Positivisme dan terpengaruh Teori Stufenbautheorie Hans Kelsen, sedangkan konsep yang dipaparkan Sultan Hamid II ketika memvisualisasikan Pancasila dalam perisai Lambang Negara jauh lebih visioner dan brilian, bahkan melampaui paradigma positivisme, tetapi sudah mengarah kepada paradigma critical theory dan paradigma konstruktifisme.[40] Penulis menyebutnya paradigma ganda Pancasila ber"thawaf"
Notonagoro mengemukakan, dalam bukunya Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 bahwa:[41] "Susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk piramida. Untuk memperjelas pandangan Notonagoro, maka berikut ini dipaparkan uraiannya lebih jelas sebagaimana disitir oleh Kaelan:[42]
"Pancasila yang terdiri atas lima sila yang merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal tersebut pada hakikatnya kesatuan kelima sila tersebut adalah bersifat hirarki dan berbentuk piramida. Kesatuan sila-sila pancasila tersebut adalah merupakan suatu kesatuan yang bertingkat (hierarkies) dan berbentuk piramida.
Berdasarkan pandangan Notonagoro dan penerusnya, akhirnya saat ini berbicara tentang Pancasila kaitannya dengan hukum selalu memiliki kecenderungan umum, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai bagian paling tinggi dipiramida hukum di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Sidharta ketika menggambarkan posisi para penstudi hukum di Indonesia. Pancasila menjadi "bintang Pemandu" atau leistren, yang lapisan-lapisan materinya berisi subtansi hukum dan tiang kerangkanya struktur hukum, serta lingkungan kehidupannya adalah budaya hukum. Darji Darmodihardjo menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menggambarkan gagasan dari Hans Kelsen tentang Reine Rechlehre, Grundnorm atau Unsprungnorm[43]
Dengan struktur Pancasila "hirarkis piramida" itu kemudian berimbas kepada struktur norma hukum dipahami dengan model piramida, karena Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum yang berisi nilai-nilai Pancasila, dan disamping itu terdapat sistem norma hukum yang merupakan norma Fundamental Negara dan aturan dasar tertulisnya terdapat dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yang berfungsi konstitutif dan regulatif terhadap Sistem Norma Hukum Indonesia yang kemudian membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang-jenjang, Norma hukum yang dibawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi[44] dan sampai pada puncak piramida tertinggi, yaitu Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara (Staatfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai Cita Hukum (Rechtidee) yang merupakan sumber hukum negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004.
Dengan demikian kedudukan PERDA dalam struktur peraturan perundang-undangan tidak hanya dipahami secara hirarkis Piramida tetapi melingkar membentuk gerak "thawaf" Gilir Balik., oleh karena asas hukum yang digunakan tidak hanya lex superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan (menderogasi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri juga menggunakan asas-asas berikut ini:[45]
Asas Lex postfreriori derogat legi a priori; Peraturan yang baru akan melumpuhkan/mengenyampingkan peraturan yang lama apabila mengatur subtansi yang sama namun bertentangan.

Asas Lex superior derogat legi inferiori; Peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan/mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah apabila mengatur subtansi yang sama dan bertentangan

Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebihtinggi akan melumpuhkan/mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut.

Asas Lex specialis derogat legi generalis; Peraturan yang lebih khusus akan melumpuhkan peraturan yang yang umum apabila mengtur subtansi yang sama dan bertentangan.


Makalah ini diberikan dalam Rangka Bintek Peraturan Perundang-Undangan di Melawi, Rabu, Oktober 2010.
[1] Expert Hukum Tata Negara Untan dan Tim Hali Forum Parlemen DPRD Provinsi Kal-Bar.
[2] Bagir Manan, 1994, “Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional”, makalah, disajikan pada pertemuan ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, di Jakarta. Selanjutnya disebut Bagir Manan (II), hlm. 1.
[3] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Armico, Bandung, hlm. 13.
[4] A. Hamid. S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 314.
[5] Indroharto, Op.Cit., hlm. 105.
[6] A. Hamid S. Attamimi dalam Padmo Wahjono, ed., Op.Cit, hlm. 135.
[7] Indroharto, Op. Cit., hlm. 82, 144. A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 316
[8] A. Hamid. S. Attamimi, Ibid., hlm. 317.
[9] Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan dari General Theory of Law and State, Penerbit Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 179. Lihat pula Hans Kelsen, 2006,Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan dari Pure Theory of Law, Penerbit Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 244.

[10] Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 41, 44-45.

[11] Gede Marhaendra Wija Atmaja, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar)”, Tesis Magister, Program Pascasarjana, Bandung, hlm. 13-14.
[12] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 13 April 1967 sebagaimana disalin oleh sekrataris peribadi Sultan Hamid II: Max Yusuf Al- Kadrie. Halaman 5-6
[13] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, ibid halaman 7
[14] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, ibid, halaman 8
[15] Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara. Pidato kenegaraan Soekarno Pada tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila dikutip dari Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999,
[16] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, ibid, halaman 7
[17] Pasal 50 UU No 29 Tahun 2009: "Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini".
[18] Apa sebenarnya pengertian paradigma ? Paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subyek mater) yang semestinya dipelajarinya (a fundamental image a disipline has of its subject matter. Dengan maksud lebih memperjelas lagi George Ritzer mencoba mensintesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Thomas Khun, Mastermann dan Friedrich, dengan mengartikan paradigma sebagai: Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan, (diciplin)Bertolak dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa unsur, yaitu: (1). sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang; (2). objek ilmu pengetahuan yang seharusnya didpelajari oleh disiplin; dan tentang; (3). metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu. Dengan demikian, paradigma diartikan sebagai: Kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakatnya. Jadi Paradigma hukum adalah sejumlah gagasan tentang hukum yang telah eksis dalam suatu rangkaian pertumbuhan sains yang menyerupai gagasan Khun. Bermula dari gagasan hukum alam yang mendapat tantangan dari bagian alirannya yang lebih muda (aliran hukum rasional), ilmu hukum kemudian berkembang dalam suatu bentuk revolusi sains yang khas. Salah satu bentuk khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini adalah bahwa kehadiran suatu paradigma baru dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tergeser atau jatuhnya paradigma itu, Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmun Pengetahuan Berparadigma Ganda, 1980, halaman 7dan halaman 9 atau lihat juga Lili Rasjidi , Ib Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu Sistem, Penerbit PT Remaja Rosdarkrya, Bandung, 1993, halaman 70
[19] Penjelasan yang sama pada Pasal 4 angka romawi IV dan penjelasan pasal 4 PP No 66 Tahun 1951, dan juga disitir Pasal 48 ayat (2) UU No 29 Tahun 2009 Ayat (2) Huruf b Mata rantai bulat yang berjumlah 9 melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi yang berjumlah 8 melambangkan unsur laki-laki. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun.
[20] Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951.
[21] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, op cit, halaman 7
[22] Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[23] Hatta, Panitia Lima, 1980 dalam Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[24] Penjelasan Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
[25] Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara
[26] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b UU No 10 Tahun 2004
[27] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f UU No 10 Tahun 2004
[28] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h UU No 10 Tahun 2004
[29] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf c UU No 10 Tahun 2004
[30] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d UU No 10 Tahun 2004
[31] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU No 10 Tahun 2004
[32] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2004
[33] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e UU No 10 Tahun 2004
[34] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i UU No 10 Tahun 2004
[35] Gagasan Hukum progresif telah mengilhami dan menggairahkan dunia intelektual hukum berarapa tahun teraakhir ini bahkan masa-masa mendatang. Pesona hukum progresif tidak hanya mampu menggeledah berbagai sudut pandang yang selama ini tidak tersentuh dan dianggap mapan misalnya paham positivisme dalam jagat pemikiran hukum melainkan juga dengan kemampuan dan keberanian melakukan rekombinasi berbagai pendapat mahzab hukum dengan perkembangan sains komtemporer. Hukum progresif tidak menjadi kota kata penting yang wajib dikutip dan dibahas ketika berbicara masalah berhukum kita pada masa kekinian bagaimana hukum seharusnya beruasaha mengatasi berbagai permasalahan dan persoalan bangsanya, Lihat selengkap Sajtipto Rahardjo, Hukum Progersif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Cet I , Juli 2009, pada ringkasan buku.
[36] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, cet II, 2009, halaman 3.
[37] Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Kaitannya dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Genta Publising. Cet I, 2009, halaman 138-139.
[38] Inti ajaran Hans Kelsen, dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) CV Candra Pratama, Makasar, 2009,halaman 273
[39] Dalam seminar 100 memperingati Notonagoro di UGM, Joko Pitoyo menyatakan kondisi paradoks pada berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat derasnya globalisasi, telah menjadikan kurangnya wacana tentang Pancasila baik pada aras politik, budaya dan akademis. Kaelan melihat bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh adanya kekacauan epistemologis dalam pemahaman tentang Pancasila. Tawaran yang diajukan untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah system nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh, Hasil Seminar 100 Tahun Memperingati Notonagaro, pada sesi I Kontektualisasi dan Implementasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara: Bidang Filsafat, Ideologi, Sosial Budaya, dan Pendidikan, Yogyakarta UGM, 7-2-2006.
[40] Untuk memahami konsep Teori dan Paradigma dalam Penelitian Sosial, dapat dilihat pandangan Agus Salim Ms, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, sebuah buku sumber untuk penelitian kualitatif, edisi kedua, Tiara Wacana, 2003, halaman 68-71.
[41] Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, edisi 3, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 2000, halaman 91.
[42] Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 68-71
[43] Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004, halaman 211-213.
[44] A. Hamid S Attamimi, Pancasila Sebagai Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Pancasila sebagai Ideologi Dalam berbagai bidang kehdupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, BP 7 Pusat 1993, halaman 83.
[45] Forum Parlemen Kalimantan Barat dan bahan pelatihan Direktorat Pertaruran Perundang-undangan,

0 komentar:

Posting Komentar