Selasa, 27 Desember 2011

Menapaki Konsep Kenegaraan Indonesia

Menapaki Konsep Kenegaraan Indonesia



Oleh: Anshari Dimyati

Sampai hari ini belum pernah ada Konsensus – “kata sepakat” diantara para Pakar Tata Negara Indonesia terhadap bentuk Negara yang baik di terapkan di Indonesia, dengan perdebatan bahwa persepsi tentang demokratisasi kehidupan politik di Indonesia memiliki perspektif yang berbeda-beda. Semua dinamika tersebut bukan tak ber-sebab, melainkan ‘buah’ dari gagalnya pemerintah dalam mengaplikasikan pesan dari Konstitusi Indonesia. Kemudian harus dicermati lebih mendalam bahwa hak setiap bangsa, hak setiap individu dan masyarakat, serta hak setiap daerah untuk mendapatkan kesejahteraan kehidupan itu Penting, setidaknya kehidupan yang layak yang harus diperjuangkan dan didapatkan.

Indonesia memiliki banyak latar kebudayaan yang berbeda secara kontras, baik cara berpikir dan sifatnya dalam berkehidupan, memiliki ribuan pulau dan wilayah yang sangat luas. Dimana kebudayaan dari ribuan pulau dan wilayah tersebut menjadi satu Negara dengan diwadahi dalam sebuah Konsep Kenegaraan. Konsep/Bentuk Negara ini merupakan pendasaran berjalannya system untuk menjalankan tujuan-tujuan dari Bangsa tersebut. Bentuk negara menyatakan struktur organisasi sebagai suatu keseluruhan yang meliputi semua unsurnya atau negara dalam wujudnya sebagai suatu organisasi. Indonesia pernah menjalankan dua konsep/bentuk Negara pada saat transisi pasca berdaulat. Pertama; bentuk Negara Kesatuan (UUD 1945), dan Kedua; bentuk Negara Federasi/Federal (lihat: Konstitusi RIS).

Negara Kesatuan (Eenheidsstaat/Unitaris) adalah negara yang bersusun tunggal, dimana pemerintahan pusat memegang kekuasaan untuk menjalankan urusan pemerintahan dari pusat hingga daerah. Bersusun tunggal berarti dalam negara hanya ada satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, satu undang-undang dasar dan satu lembaga legislatif. Sedangkan Negara Federasi (Bondstaat/Federalis/Persatuan/Serikat) adalah adanya satu negara besar yang berfungsi sebagai negara pusat dengan satu konstitusi federal yang di dalamnya terdapat sejumlah negara bagian yang masing-masing memiliki konstitusinya sendiri-sendiri. Konstitusi federal adalah mengatur batas-batas kewenangan pusat (federal), sedangkan sisanya dianggap sebagai milik daerah (negara bagian).

Telah tercantum secara jelas dan selanjutnya kita sepakati bahwa pada Pancasila sila ke-3 menyebutkan “Persatuan Indonesia” (Federalism) bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarism). Hal inilah yang menjadi krusial point dari perdebatan, perbedaan pandangan, atau pertentangan tentang konsep Negara yang terjadi hingga saat ini di Indonesia.

Kemudian yang menarik dalam hal ini adalah ketika melihat didalam UUD 1945 dimana pasal 37 ayat (5) dengan tegas menyatakan bahwa: “Khusus mengenai bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan”. Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa segala hal yang diatur dalam UUD 1945 dapat dilakukan perubahan kecuali satu hal yaitu mengenai “BENTUK NEGARA KESATUAN”. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa tidak dapat dilakukan perubahan? Sama sekali tidak dapat ditemukan rasionalisasi adanya sebuah bentuk “pengkultusan” konsep/bentuk negara sebagaimana yang terdapat didalam UUD 1945 pasal 37 ayat (5) tersebut. Penulis berpendapat bahwa bentuk negara bukanlah sesuatu yang diharamkan untuk berubah atau dirubah, dengan menimbang bahwa hal tersebut berdampak positif atau negatif dalam pembangunan sebuah Negara.

Dalam perspektif historis dan budaya, rasionalisasi yang hadir adalah tidak akan mungkin menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang homogen. Indonesia adalah negara yang berdiri atas pendasaran heterogenitas budaya dan hal ini merupakan fakta yang tidak bisa dinafikkan oleh pemerintah. Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, wajah Indonesia adalah kerajaan-kerajaan yang memiliki kedaulatan masing-masing di setiap daerahnya. Kerajaan-kerajaan ini tersebar diseluruh wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke dan dapat dibuktikan hal ini dimana setiap daerah punya sejarah kepemimpinan masing-masing. Kemudian fakta yang terjadi saat ini adalah penempatan beberapa daerah khusus dengan tetap memberikan kesempatan untuk melestarikan budaya kesultanan (keistimewaan), hal ini menurut penulis merupakan sebuah diskriminasi nyata yang berlaku di Indonesia. Karena pada dasarnya, setiap daerah punya tradisi kesultanan/kerajaan masing-masing dan punya sejarah pemerintahan secara sendiri-sendiri.

Lalu mengapa UUD 1945 mengharamkan Indonesia menjadi negara dengan bentuk federal? Bukankah sejarah dan heterogenitas budaya merupakan alasan paling nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai negara federal? Karena dengan berbentuk federal dan setiap daerah berbentuk negara bagian ini jelas merupakan konsep yang paling demokratis karena memberikan kesempatan untuk setiap daerah mengatur daerahnya masing-masing secara penuh dan independen. Dan dengan federal maka setiap daerah posisinya akan sederajat. Tidak ada satu daerah yang lebih tinggi dari daerah lain dan juga tentu saja ini akan semakin memperkecil bahkan menghilangkan intervensi pusat ke daerah.

Otonomi daerah yang digagas sebagai sebuah upaya desentralisasi pasca reformasi bukan merupakan langkah kearah federalisasi. Terdapat perbedaan yang sangat substansi antara bentuk negara federal dengan sistem otonomi daerah. Dalam negara federal arah kewenangan dari bawah ke atas (bottom up). Negara-negara bagian adalah pihak yang terlebih dahulu menentukan apa yang akan mereka lakukan dan apa yang tidak bisa mereka lakukan itulah yang diserahkan ke pemerintah federal. Artinya, kewenangan pemerintah federal adalah kewenangan residu dari kewenangan pemerintah negara bagian. Ini berarti pemerintah negara federal pada dasarnya hanya berposisi sebagai organ yang berfungsi untuk merealisasikan kebutuhan negara-negara bagian, tidak lebih dari itu.

Sedangkan dalam sistem otonomi daerah, kewenangan daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh negara. Arah pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam otonomi daerah merupakan kebalikan dari arah pembagian kewenangan yang ada dalam Negara Federal. Maka dalam sistem otonomi daerah, pusat pada hakekatnya merupakan organ yang dibentuk untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan pusat. Dalam pelaksanaan realisasi inilah terdapat otonomi. Jadi otonomi yang ada pada daerah tidak dapat ditafsirkan sebagai kedaulatan daerah untuk menentukan apa yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi, otonomi yang dimaksud adalah otonomi dalam pengertian kebebasan untuk menerjemahkan kepentingan pusat.

Konsep Negara Federal untuk Indonesia sangat penting dipelajari dan diperdebatkan secara publik, guna untuk mempertimbangkan kembali konsep atau bentuk Negara yang mana yang kemudian layak untuk digunakan di Indonesia. Federalisme barangkali merupakan pilihan terbaik, dan patut di pertimbangkan untuk kita coba kembali dalam menerapkan sistem tersebut. Dalam terjadinya dinamika konflik yang di Negara ini, sudah sepatutnya kita mengkoreksi kembali kekurangan-kekurangan sistem yang diciptakan bersama selama beberapa fase kebelakang, tentunya berdasarkan pengalaman, konsep, dan sejarah yang telah dibuka kembali saat ini.


»»  Baca Selengkapnya...

ANOMALI MANAGEMEN PEMERINTAHAN DAERAH AKIBAT "PECAH KONGSI"


“ANOMALI “  MANAGEMEN  PEMERINTAHAN DAERAH AKIBAT “PECAH KONGSI”

                                                   Oleh :  Turiman Fachturahman Nur

          Fenomena yang menarik dalam proses pelaksanaan prinsip –prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Governance  saat ini beberapa daerah otonom di Indonesia, yaitu adanya “pecah kongsi” antara Gubernur dan Wakil Gubernur, antara  Bupati/Walikota dan wakil Bupati/Wakil Walikota atau antara Bupati dengan Sekda dan yang menarik fenomena tersebut selalu ada kaitannya antara konstelasi politik hubungan eksekutif dengan legislatif  di dalamnya.
          Tata kelola pemerintahan daerah yang baik secara manajemen pemerintahan kuncinya pada tiga prinsip, yaitu akuntabilitas, supremasi hukum dan transparansi, tetapi ketiga prinsip ini ditopang dengan satu asas penting responsibiliti, yaitu bagaimana pemerintah daerah dan DPRD merespon kepentingan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk program usulan dari hasil jaring aspirasi masyarakat. Oleh karena itu sering yang menjadi persoalan adalah masalah pengelolaan anggaran keuangan daerah yang kemudian nomenklatur peruntukannya disepakati sebagai program prioritas daerah otonom.
        Program prioritas pada awalnya sebenarnya sudah dikawal oleh masyarakat ketika musbangdes, kemudian dilanjutkan ditingkat kecamatan, kemudian terakhir ditingkat kabupaten/kota, tetapi ketika seorang kepala daerah, Gubernur, Bupati atau walikota beserta jajarannya sepakat dengan hasil tersebut pada tataran selanjutnya tidaklah selaras dengan kesepakatan, karena diinstal ulang oleh “pemegang palu anggaran, yaitu DPRD” maka semua yang disepakati itu berubah menjadi sesuatu yang instan atau tiba-tiba muncul, karena ada kepentingan anggota DPRD Prov/kab/kota yang munculnya belakangan.
         Pada tataran ini mulailah “loby-loby politik” bermain dengan pengelola-pengelola anggaran, yaitu dengan para Kepala Dinas sebagai mitra kerja, dan kita ketahui bersama semua yang disepakati pada saat musrenbang berbagai tingkatan itu “rontok satu persatu” dan tanpa diketahui oleh sang pengusul yaitu elemen masyarakat pengusul. Program usulan masyarakat  sebenarnya adalah pencerminan kebutuhan mendasar di wilayahnya, karena sebelumnya sudah dimapping oleh para ketua RT dan RW dan ditingkat desa/kelurahan.
         Ketidak berdayaan para Kepala Dinas untuk tidak meladeni usulan program instan, maka bakal “repot” dan ketidak berdayaan untuk menolak program-program yang instan dari anggota DPRD itu akhirnya semua “ditumpahkan” kepada Bupati/Walikota/Gubernur yang  nota bene dipilih oleh rakyat daerah. Akhirnya dengan mengabaikan asas transparansi pada titik ujungnya akhirnya “mengalah” dengan kesepakatan politik yang diajukan oleh anggota DPRD, walaupun jauh menyimpang dari  kesepakatan yang sudah melalui proses musrenbang berbagai tingkatan.
         Menjadi “apes dan sasaran tembak” ketika ada gubernur/bupati/walikota bertahan dengan dengan aspirasi masyarakat yang telah disepakati dan dapat dipastikan kepala daerah yang seperti ini akan menjadi “hujatan” dan “rekayasa politik” elit-elit politik di DPRD dan jika tetap tidak “tembus” mulailah anggota DPRD  mencari “sekutu” di eksekutif yang berbeda dengan pola pikirnya dengan bupati/walikota/gubernur dalam mengelola manajemen pemerintahan dan manajemen pembangunan yang  sudah disepakati dengan masyarakat. Mengapa ini terjadi, “karena hujan tidak merata” antara kepentingan masyarakat di arus bawah dengan “kepentingan anggota DPRD menurut rasionalitas partainya yang diwalikinya”
       Pada awalnya “birokrasi tidak masuk ranah politik” tetapi “bentengpun runtuh” kemudian terseret dengan pola permainan dan setting politik anggota DPRD,  akhirnya ”menembak bersama kepala daerah terpilih” bahkan wakil kepala daerahpun “pecah kongsi” dengan kepala daerah, pada titik kulminasi politik inilah asas-asas pemerintahan yang baik – transparansi, akutanbilitas, supremasi hukumpun terabaikan dan menjadi “rumitlah persoalannya ” jika Sekdapun “pecah kongsi” dengan Kepala Daerah dan bersekutu dengan DPRD menembak bersama sama Kepala Daerah yang menjadi atasannya.
       Pada akhirnya sang Bupati/Walikota/Gubernur dihadapan dua pilihan yang  secara managemen resiko pemerintahan daerah seharusnya ditanggung bersama, karena DPRD adalah mitranya. Pilihan pertama, yaitu “ikut menyepakati program instan DPRD” atau pilihan kedua “mempertahankan program yang disepakati bersama dengan masyarakat di berbagai tingkatan musrenbang.  Ketika pilihan pertama dipilih, maka menjadi sebuah “penkhianatan kepentingan masyarakat” dan siap dihujat oleh masyarakat, tetapi ketika pilihan kedua dipilih, maka bersiap-siaplah menjadi “sasaran tembak pemegang palu anggaran dalam hal ini DPRD”, tetapi jika bertahan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka pilihan kedua yang seharusnya dipilih oleh kepala daerah, karena pemerintah daerah hanya pengelola anggaran, bukan pemilik anggaran dan pemilik anggaran adalah masyarakat yang di ada di desa, di wilayah kecamatan. Merekalah sebenarnya pemilik sejati anggaran keuangan daerah, karena di merekalah ujung tombak hasil kemamfaatan pembangunan.
        Hasil penelitian beberapa perguruan tinggi dan lembaga yang terpercaya di Indonesia, “akar masalah”nya adalah “awalnya selalu diawali masuknya program instan oleh anggota DPRD” ditengah pembahasan RAPBD di DPRD” dan tersirat dan tersurat “ikut campur” pula dalam penentuan kepala SKPD sebagai perpanjangan tangan kepentingan fraksi. Pada tataran ini sebenarnya elemen masyarakat yang mengusulkan program pada musrenbang seharusnya ada kewajiban mengawal di DPRD berdasarkan UU No 14 Tahun 2008 keterbukaan informasi publik, UU No 25 Tahun 2008 tentang pelayanan publik, tetapi transparansi keuangan daerah “masih dianggap” sesuatu yang harus disembunyikan oleh anggota DPRD kepada masyarakat, dan jikapun dikawal ketat pada awalnya, maka strategi berikutnya  yang dikawal itu akan dirubah oleh anggota DPRD pada moment “perubahan anggaran atau ABT.
         Fenomena di atas sudah menjadi “rahasia publik” dan sebenarnya dikeluhkan oleh para birokrasi pemerintahan yang ingin berpegang teguh dengan aturan main dan kesepakatan musrenbang. Mereka sadar sebagai pelayan masyarakat, tetapi ketidakberdayaan birokrasi menghadapi “legislatif power” maka yang terjadi saat ini adalah anomali atau ketidak aturan, tetapi pada tataran permukaan terlihat teratur. Inilah “kemunafikan” dalam managemen pemerintahan daerah, padahal DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah berdasarkan UU No 32 Tahuyn 2004.
        Pertanyaannya kapan buah “kemunafikan” ini akan didapat, yaitu ketika para birokrasi yang tidak komitmen dan anggota DPRD yang tidak komitmen sudah tidak memiliki “kuku” lagi alias kekuasaan dan jabatan. Mulailah satu persatu dijamak oleh KPK. Untuk ini kita berpesan kepada para birokrasi sebagai pengelola anggaran sejak sekarang  untuk menyimpan semua risalah rapat anggaran, ataupun nota-nota yang berupa disposisi walaupun hanya secarik kertas yang selalu menempel pada lembar disposisi untuk disimpan dan diarsipkan jika perlu dibuat kronologis peristiwa hukumnya sesuai urutan kejadian atau jika perlu terekam secara digital berdasarkan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik. Mengapa, karena kelak sangat diperlukan ketika  pembuktian tindak pidana korupsi, karena selama ini tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan anggaran keuangan daerah, selalu diawali dengan anomali administrasi pejabat negara. Hal ini dilakukan agar kelak pejabat pemilik kewenangan tidak menjadi “kambing hitam” kemunafikan managemen pemerintahan daerah atau menjadi “pihak yang dikorbankan”.
       Persoalan-persoalan “pecah kongsi” antara kepala daerah dan wakil Kepala Daerah, atau dengan Sekda, karena salah satu dari mereka bertahan dengan aturan main dan kesepakatan yang telah disepakati oleh masyarakat yang telah memberikan amanahnya kepadanya dan ketidak berdayaan para kepala dinas menghadapi  “program instan” ditengah pembahasan RAPBD dari anggota DPRD, akhirnya akan terinpeksi virus kemunafikan juga, artinya ketika Bupati/Walikota/Gubernur melanggar  aturan main atau tidak mengacu pada prinsip kehati-hatian dan tidak berpihak dengan kepentingan masyarakat, maka bersiap-siaplah menjadi “masuk lingkaran permainan” atau “anomali politik” yang  tidak elegan alias “kemunafikan publik” dan kenyataan hanya sedikit kepala daerah yang mampu bertahan.
        Jika semua orang disekelilingnya sudah “kemasukan virus kemunafikan” dan tidak konsisten dengan aturan main” maka secara managemen pemerintahan daerah dapat saja Bupati/ Walikota/Gubernur mengambil alih kewenangan, karena ia adalah kepala daerah yang diberi amanah dan dipilih dalam Pemilu Kepala Daerah selama pilihan terhadap prinsip itu selaras dengan aturan main peraturan perundang-undangan yang menjadi alas sumpahnya. Mengapa demikian?, karena UU No 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya telah menempatkan Kepala Daerah salah satunya melaksanakan kewajiban daerah (Pasal 25 huruf e) dan untuk melaksanakan kewajiban daerah itu, maka pasal 27 UU No 32 Tahun 2004 kepala daerah harus menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah dan pada ayat (2)nya menyatakan selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan, penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat, kemudian dipertegas dalam PP Nomor 3 Tahun 2007, karena bagaimanapun laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah laporan kepala daerah terpilih selama satu tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan kepala daerah kepada Pemerintah dan penyusuan LPPD menganut prinsip transparansi dan akuntabilitas, kemudian penjelasan PP No 7 Tahun 2007 menyatakan, bahwa sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat, maka kepala daerah tersebut berkewajiban pula untuk menginformasikan laporan penyelenggaraan perintahan daerah yang telah dilaksanakan kepada masyarakat sebagai perwujudan adanya transparansi dan akuntabilitas kepada daerah terhadap masyarakat.
           Berdasarkan aturan main tersebut, tanggungjawab akhir ada pada kepala daerah, oleh karena itu kepala daerah yang konsisten dengan amanah masyarakat yang memilih dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan akan selamat pada akhir jabatannya, tetapi yang keluar dari “garis orbit” atau melakukan kesepakatan beranomali bersama DPRD, maka siap-siap untuk diangkat permasalahannya oleh masyarakat kepermukaan pada tataran hukum, karena RPKD pada hakekatnya adalah penjabaran visi, misi dan  program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan pemerintah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah bagi daerah Kabupaten/Kota.
           Masihkah DPRD dan wakil Kepala Daerah ataupun Sekda bermain-main dengan transparansi informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena semua hal itu akan dilaporkan oleh kepala daerah kepada pemerintah secara tranparan, akuntabilitas dan berdasarkan standar pelayanan publik yang telah ditetapkan pemerintah, mengapa demikian, karena sejak awal kita telah bersepakat bahwa Good Governance tidaklah cukup jika tidak Clean Goverment. (Penulis adalah Pengamat dan expert Hukum Tata Pemerintahan Daerah UNTAN).
        
       
.
      
      
       
       
    
        
»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 10 November 2011

Rencana Penerbitan Buku Sejarah Lambang Negara oleh Sekretariat Negara



 
PONTIANAK POST Kamis, 10 November 2011 , 08:35:00
 
LAMBANG NEGARA : Max Jusuf Alkadrie (Dua dari kiri) bersama Staf Mensesneg Solfian Lubis (samping Max) diabadikan bersama rancangan Lambang Negara yang asli karya Sultan Hamid II, Rabu (9/11), di Jakarta. M KUSDHARMADI/PONTIANAK POST
JAKARTA – Ketua Umum Yayasan Sultan Hamid II, Max Jusuf Alkadrie menerima kedatangan Solfian Lubis, staf Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, Rabu (9/11), di kediamannya Jalan Al Maruf nomor 4 Jeruk Purut, Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Kedatangan staf Mensesneg, itu menindaklanjuti pembuatan buku tentang Burung Garuda, Lambang Negara Republik Indonesia (Sejarah, Simbol, Nilai-nilai dan Makna yang di Kandungnya). Menurut Max lagi, kedatangan pihak pemerintah itu juga sebagai persiapan pengakuan perancang Lambang Negara Garuda Pancasila, yakni Sultan Hamid II yang di era Presiden Soekarno, itu menjabat Menteri Negara RIS.

“Kita ingin ada kejelasan sehingga masalah ini bisa menemui titik terang. Sultan Hamid II, merupakan perancang Lambang Negara yang asli dan pertama. Kita berharap mendapatkan penghargaan berupa bintang jasa agar selalu dikenang," kata Max Jusuf kepada Pontianak Post, di kediamannya. Max menuturkan Pemerintah akan membuat buku mengenai sejarah Lambang Negara Garuda Pancasila yang dirancang oleh Sultan Hamid II tersebut. Pada pertemuan itu Staf Mensesneg juga melihat rancangan yang asli Lambang Negara Burung Garuda. "Selama ini kan hanya melihat gambar dari repro, ke repro lagi. Baru kali ini melihat yang aslinya," ungkap Max Jusuf.

Hasil pertemuan itu akan disampaikan Solfian Lubis kepada Mensesneg Sudi Silalahi untuk segera ditindaklanjuti. "Saya akan menyampaikan kepada Pak Menteri (Mensesneg Sudi Silalahi)," kata Solfian.Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, merupakan putra sulung Sultan Pontianak Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Hamid II lahir di Pontianak, Kalbar, 12 Juli 1913 dan meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu, dia  ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar Lambang Negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis Pembuatan Lambang Negara dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah Koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II. Susunan Panitia Teknis terdiri dari Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia bertugas menyeleksi usulan rancangan Lambang Negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Hasilnya, terpilih dua rancangan Lambang Negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Juga ada karya pelukis LEKRA, Basuki Resobowo, tapi tidak diajukan. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final Lambang Negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno.

Rancangan Lambang Negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar Lambang Negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” menyebutkan, rancangan Lambang Negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada 11 Februari 1950. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih ‘gundul’ dan ‘tidak berjambul’ seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian, memerkenalkan pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Pada 20 Maret 1950, Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut, setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan ‘jambul’ pada kepala Garuda Pancasila. Serta merubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semua di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Seokarno. Dipercaya, alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle (Lambang Amerika Serikat). Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final Lambang Negara dengan menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar Lambang Negara.
   
Lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar Lambang Negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. Max mengatakan, rencananya sejarah Lambang Negara itu akan dibuatkan buku dan brosur oleh pemerintah. “Nanti disebarkan kepada publik,” tegas Max. Tujuan penyusunannya, kata Max, adalah menyadarkan kembali akan pentingnya memahami kebhinekaan melalui simbol-simbol negara dan Lambang Negara. Memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai sejarah Lambang Negara Republik Indonesia. Memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai, makna, dan simbol yang terkandung di dalam Lambang Negara. Mensosialisasikan lambang negara agar menjadi kebanggaan rakyat Indonesia. “Serta memerkuat kesadaran kebhinekaan melalui kebanggaan terhadap lambang negara Garuda Pancasila,” tegas Max. (ody)
»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 15 Oktober 2011

MASALAH KETERPADUAN HUKUM PENGELOLAAN TAPAL BATAS WILAYAH DALAM TATARAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH


 MASALAH  KETERPADUAN HUKUM  PENGELOLAAN TAPAL BATAS WILAYAH DALAM TATARAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH  TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN  DI KALIMANTAN BARAT

Oleh :
Anggota Tim Peneliti Pengelolaan Wilayah Perbatasan Kalimantan-Barat Universitas Tanjungpura Pontianak

TURIMAN FACHTURAHMAN NUR
Email: qitriaincenter@yahoo.co,id HP 08125695414
Blog: RAJAWALI GARUDA PANCASILA BLOGSPOT.COM

A.Latar Belakang

Kebijakan Pemerintah yang disampaikan pada Pidato Presiden RI pada sidang DPD tanggal 23 Agustus 2006: a percepatan pembangunan di daerah perbatasan bukan saja didasarkan atas kenyataan bahwa daerah itu memang tertinggal, namun juga mempunyai arti sangat penting  dalam menjaga keutuhan NKRI. Kita ingin mengurangi perbedaan yang mencolok  antara daerah  perbatasan dengan negara tetangga. b. institusi pemerintah daerah  di daerah perbatasan perlu kita perkuat agar memberikan pelayanan yang optimal. Demikian pula segi-segi ketertiban dan keamanannya. Pemerintah kini sedang menyusun Rencana  Tata Ruang pada 10 kawasan perbatasan, yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk Perpres.
 Kebijakan Pemerintah Pusat untuk kawasan Perbatasan dihadapan Rapat Terbatas Menteri terkait, tanggal 13 Juni 2009 berkaitan dengan kawasan perbatasan Presiden menyatakan:  “Keamanan negara merupakan bagian dari tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, dimana pemerintah menjadi titik central dalam mengendalikannya. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi pembangunan di wilayah perbatasan terutama di wilayah perbatasan Kalimantan. Pemerintah sudah saatnya memusatkan perhatian pada daerah perbatasan ini.
 Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara atau dalam terminologi pemerintah kawasan perbatasan merupakan “beranda depan NKRI”. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah.
Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.
           Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :
a. Mempunyai dampak pentingbagi kedaulatan negara.
b.Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
c. Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.
d. Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.
Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka NKRI.
Keamanan wilayah perbatasan mulai menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan antar negara telah mendorong para birokrat dan perumus kebijakan untuk mengembangkan suatu kajian tentang penataan wilayah perbatasan yang dilengkapi dengan perumusan sistem keamanannya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan kawasan perbatasan terkait dengan proses nation state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di suatu negara dan bahkan pula dengan negara lainnya (neighbourhood countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Sabarno, 2001) .
  Pada umumnya daerah pebatasan belum mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi ini terbukti dari kurangnya sarana prasarana pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan. Hal ini telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti, perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan trans nasional (transnational crimes).

B. Identifikasi Permasalahan Perbatasan
            Masalah perbatasan sebenarnya secara empirik tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik internasional, regional maupun nasional. Dalam era globalisasi, dunia makin terorganisasi dan makin tergantung satu sama lain serta saling membutuhkan.
Konsep saling keterkaitan dan ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamananan. Berbagai negara sambil tetap mempertahankan identitas serta batas-batas teritorial negaranya, mereka membuka semua hambatan fisik, administrasi dan fiskal yang membatasi gerak lalu lintas barang dan orang.
            Perkembangan kerjasama ASEAN diharapkan akan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat dihindarkan terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari sudut sosial budaya maupun ekonomi.
         Pada satu sisi dalam era reformasi dan dengan kondisi kritis global yang masih berkepenjangan, penanganan masalah perbatasan belum dapat dilakukan secara optimal sedangkan pada sisi lain pengelolaan perbatasan negara merupakan “titik temu” dari tiga hal penting yang harus saling bersinergi, yaitu:
1) Politik Pemerintahan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam wadah NKRI.
2)  Pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama masyarakat di daerah-daerah.
3)  Politik luar negeri yang bebas-aktif dalam rangka mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
        Dengan demikian dalam tataran penyusunan peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan dan berdasarkan tiga hal tersebut di atas. Persoalan pengelolaan perbatasan negara sangat kompleks dan urgensinya terhadap integritas negara kesatuan RI,sehingga perlu perhatian penuh pemerintah terhadap penanganan hal-hal yang terkait dengan masalah perbatasan, baik antar negara maupun antar daerah, hal ini mengingat, bahwa kawasan perbatasan adalah kawasan khusus sehingga penanganannya diperlukan kebijakan yang bersifat khusus, dengan kata lain penangannya memerlukan pendekatan yang khusus pula. Hal ini disebabkan karena semua bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada didarah perbatasan apabila tidak dikelola akan mem-punyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, ditingkat regional maupun internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
           Permasalahan yang timbul sering dikarenakan adanya kesan jenjang sosial di dalam masyarakat, hal semacam inilah yang perlu untuk dihindari terutama bagi masyarakat di daerah kawasan perbatasan. Penanganan yang mungkin dilakukan adalah secara adat, tetapi apabila sudah menyangkut stabilitas dan keamanan nasional maka hal tersebut akan menjadi urusan pemerintah.
           Sebagaimana kita ketahui, bahwa terdapat empat propinsi di Indonesia yang memiliki perbatasan darat langsung dengan negara lain, yaitu Kalimantan Barat dengan Sarawak – Malaysia, Kalimantan Timur (Sarawak dan Sabah – Malaysia), Nusa Tenggara Timur (Timor Timur), dan Papua dengan PNG.
           Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kawasan perbatasan dan kenapa kawasan perbatasan perlu mendapat perhatian dalam pembangunannya ? Dapatkah kawasan perbatasan dianggap sama dengan kawasan lain yang bukan terletak di perbatasan ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang sebenarnya masih banyak lagi lainnya senantiasa mengusik kita untuk mengkaji secara lebih cermat kenapa pembangunan kawasan perbatasan menjadi penting.
   Kawasan perbatasan sebetulnya bukanlah kawasan yang terlalu istimewa, kawasan ini sama saja dengan kawasan yang terletak di inland lainnya, yang mempunyai karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi relatif sama dengan daerah bawahnya, tetapi kawasan ini menjado permasalahan karena mempunyai ciri-ciri :
1.      Ada sebagian wilayah tapal batas yang merupakan daerah dengan batas-batas administrasi atau teritorial negara yang tidak jelas, sehingga menjadi kawasan ini tak bertuan, artinya penguasaan lahan dapat dilakukan kedua masyarakat negara tanpa mengindahkan batas-batas negara. Hubungan kekerabatan antar masyarakat kedua negara telah menafikan batas-batas negara.
2.      Tempat berlangsungnya kegiatan ilegal (pencurian, penyelundupan, dsb).
3.      Masyarakat negara yang tingkat kesejahteraannya lebih rendah cenderung lebih menghargai masyarakat, negara, dan pimpinannya yang mempunyai tingkat kesejahteraan lebih tinggi.
4.      Orientasi pembangungan cenderung pada kawasan yang tingkat kesejahteraannya lebih baik.
5.      Masyarakat perbatasan sangat menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, karenanya kurang mendapat perhatian, bahkan ada ‘image’ wilayah mereka telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak menyisakan “kue” yang dapat mereka gunakan untuk kelangsungan hidup mereka (khususnya perbatasan Kalbar).
6.      Mempunyai historis sebagai daerah ajang konflik antar kedua negara maupun oleh kekuatan-kekuatan “sempalan” lainnya yang dikenal dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), khusus pada kawasan perbatasan Kal-Bar secara historis adalah basis gerakan Gestapu Paraku.
7.      Merupakan pencerminan atau barometer pembangunan nasional dan daerah, yang berarti meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara. Kalau daerah perbatasan semrawut, maka itu kemudian akan memberikan persepsi yang mencerminkan kesemrawutan wajah pengelolaan kawasan perbatasan oleh negara secara keseluruhan.
8.      Merupakan kawasan bagi berlakunya hukum-hukum internasional, berkaitan dengan keimigrasian, kepabeanan, karantina, dst.
    Apa yang kemudian dapat dirumuskan dari penjelasan-penjelasan di atas adalah, kawasan perbatasan memang bukan merupakan daerah yang terlalu istimewa untuk diperhatikan, walaupun mungkin kemudian kita “terhenyak” oleh hilangnya pulau Sepadan dan Ligitan, meski dengan alasan sebenarnya kita bukan kehilangan tetapi gagal menambah kedua pulau tersebut menjadi bagian dari NKRI.
    Jika dengan pengalaman hilangnya pulau Ligitan dan Sepadan dari peta nasional, perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan tetap seperti biasa-biasa saja, maka pertanyaannya kemudian adalah apakah kita masih perlu daerah perbatasan, atau memiliki daerah yang berbatasan dengan negara lain ?.
    Nasionalisme dan harga diri sebagai bangsa adalah dua hal yang mungkin dapat menjadi landasan mendasar bagi perlunya diberikan perhatian lebih kepada kawasan perbatasan. Sebab jika kedua rasa tersebut sudah memudar, maka konsep berbangsa dan bernegara Indonesia mungkin perlu ditinjau kembali.
  Menjawab pertanyaan di atas, maka setelah setengah abad merdeka, pemerintah pusat (RI) baru mengeluarkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam, dan tiga tahun kemudian (tahun 1997) disusul dengan penetapan Peraturan Pemerintah No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang antara lain menetapkan kawasan-kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) diantaranya di Kalimantan Barat dan salah satunya adalah kawasan perbatasan Kalbar.
  Ironinya kedua aturan perundangan tersebut terkesan mandul. Keppres 44 misalnya tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak dalam bentuk konsep. Dengan kata lain, eksistensi tim atau badan ini tidak berpengaruh apa-apa pada pembangunan kawasan perbatasan. Keberadaan Keppres ini justru digunakan sebagai alat legitimasi kelompok-kelompok tertentu mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan.
   Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997, hanya sebatas Peraturan Pemerintah (PP) tidak ditindak lanjuti dengan aturan-aturan yang lebih operasional. Semua terkesan melupakan kawasan perbatasan, semua sibuk dengan permasalahan sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri, sampai tibanya masa reformasi. Dan ironinya setelah lima tahun masa reformasi pun perhatian terhadap kawasan perbatasan masih belum terasa, sampai munculnya kebijaksanaan pemerintah Malaysia yang memulangkan “pendatang haram” dari Indonesia, yang diantaranya melalui pintu-pintu perbatasan di Kalbar dan Kaltim.
     Momen ini meskpun terlambat, kemudian menjadi titik balik mulai seriusnya perhatian pemerintah pusat kepada pengelolaan kawasan perbatasan. Namun, upaya yang terkesan terseok-seok ini pun masih menghadapi banyak hambatan internal. Hampir semua instansi merasa mempunyai kewenangan dan tanggung jawab mengelola kawasan perbatasan, demikian pula antar tingkat pemerintahan – yang masing-masing dengan kepentingannya.             
   Persoalan lain menyangkut ketiadaaan konsepsi pengembangan yang tergantung pula pada sistem data base yang juga tidak tersedia. Pengelolaan kawasan perbatasan kemudian meskipun memasuki era baru – tetapi persoalan mulai dari konsepsi pengembangan, mekanisme, sampai dengan tanggung jawab pengelolaan tetap belum jelas.
  “Carut marut” pembangunan kawasan perbatasan semakin lengkap dengan berjalannya sendiri-sendiri elemen-elemen pembangunan, mulai dari masyarakat, departemen sektor, dan setiap tingkatan pemerintah – baik dalam hubungan dengan masyarakat dan pemerintah Sarawak, maupun dengan pemerintah pusat yang diwakili departemen-departemen teknis.
   Paparan hasil penelitian ini lebih difokuskan pada pembahasan kawasan perbatasan Kal-Bar – Sarawak, dengan pertimbangan pemahaman peneliti tentang kawasan dimaksud, dan kemungkinan menjadikannya sebagai salah satu bahan komparasi melihat permasalahan kawasan perbatasan lainnya yang ada di Indonesia dalam perspektif hubungan pusat dan daerah dalam rangka keterpaduan regulasi oleh pemerintah.
           Kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak yang membentang sepanjang sekitar 850 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar, atau hampir seluas propinsi Nusa Tenggara Barat, atau propinsi Sulawesi Utara. Secara administratif, kawasan ini meliputi 5 wilayah kabupaten dan 98 buah desa, dengan penduduk berjumlah sekitar 180.000 orang, atau kepadatannya hanya 9 orang per kilometer persegi Sumber : Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2000
          Terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak, sementara yang disepakati kedua negara 10 buah desa di Kalbar dan 7 buah kampung di Sarawak - sedang yang ditetapkan sebagai pos lintas batas hanya satu buah, yaitu Entekong (Kalbar) – Tebedu (Sarawak).
          Penduduk dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Sarawak, karena akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik. Secara fisik kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak ini dapat digambarkan sebagai berikut :
a.       Secara topografis relatif bergelombang.
b.       Merupakan hulu dari banyak sungai baik di Kalbar maupun  Sarawak.
c.       Jenis tanah sebagian besar berupa podsolik merah kuning dan sangat peka erosi.
          Kondisi di atas jika digabung dengan curah hujan yang tinggi menjadikan kawasan ini rawan erosi, longsor, dst – dan sekaligus sebagai kawasan konservasi atau pendukung deposit sumber air tanah kawasan bawahannya.
         Kawasan perbatasan Kal-Bar memiliki sejarah perkembangan/pembangunan yang kurang menyenangkan. Sejak awal kemerdekaan kawasan ini jarang tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Pada masa orde lama, kawasan ini menjadi salah satu tempat ajang konflik antara Pemerintah Indonesia – Malaysia. Sedang menjelang berakhirnya orde lama, kawasan ini menjadi ajang konflik antara kedua pemerintah menumpas GPK (Paraku/PGRS). Selanjutnya pada masa orde baru, kawasan ini diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya untuk dikelola hutannya (melalui HPH – sejak tahun 1967).
          Pengelolaan kawasan perbatasan selama ini lebih ditekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Berdasarkan perjalanan pembangunan selama ini, potret kawasan perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut :
a.     Potensi sumber daya alam : hutan (virgin forest di areal Yamaker, semula sekitar 800.000 Ha – saat ini tinggal sekitar 80.000 Ha atau hanya 10% dan terletak sporadis), Taman Nasional Bentung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang potensial untuk kegiatan wisata alam dan penelitian, tambang (batu bara) belum dimanfaatkan, dll.
b.   Terbelakang dan terisolir (indikator desa tertinggal dan aksesibilitas rendah).
   c.    Menjadi hinterland Sarawak.
         Kondisi di atas lebih sebagai implikasi dari belum adanya konsepsi pembangunan yang jelas (yang bersifat komprehensif dan integratif). Kalaupun ada biasanya berupa rencana pembangunan parsial dengan pendekatan sangat sektoral (misalnya kehutanan : Yamaker). Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi kawasan hutan (legal dan ilegal) dengan sasaran pokok pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (atau dari pada dicuri “tetangga”). Ini didukung lagi oleh perbedaan kesejahteraan yang menyolok antara Kalbar – Sarawak (tahun 1987 pendapatan per kapita Sarawak 3.640 US$ sedang Kalbar 250 US$), pasar dan aksesibilitas yang tinggi ke Sarawak, sampai dengan lemahnya pengawasan / pengamanan kawasan perbatasan. Padahal sebagian kawasan perbatasan merupakan kawasan berfungsi lindung – dengan hulu-hulu sungai yang sangat penting bagi daerah bawahnya (catchment areas).
       Ketiadaan konsep, menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak terencana dengan baik – dengan implikasi degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan, serta tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terjadinya proses dehumanisasi (peminggiran masyarakat), dan dekulturisasi, serta secara makro mengarah pada disintegrasi wilayah – (terutama secara ekonomi).
      Berdasarkan Paparan di atas, maka permasalahan pokoknya pengelolaan tapal batas kawasan Perbatasan di Kal-Bar adalah:
Pertama, masalah kedaulatan negara, yaitu belum tuntasnya kesepakatan penegasan tapal batas dan ada kerusakan patok batas, belum disosialisasikan batas negara mulai dari aparat pemerintah sampai dengan masyarakat.
Kedua, Terjadinya tingkat kesenjangan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kal-Bar dengan serawak baik ekonomi maupun sosial dan sarana infra struktur dasar.
Ketiga, luas wilayah dan jauhnya wilayah perbatasan dari pusat pemerintahan provinsi dan kabupaten, kerbatasan aksebilitas yang mengakibatkan sulitnya melakukan pembinaan, pengawasan dan pengamanan.
Keempat, Kepadatan penduduk yang relatif rendah dan tersebar dengan kualitas SDM yang rendah
Kelima, diperberat dengan permasalahan eksploitasi sumber daya alam tidak terkendali khususnya hutan, baik legal dan ilegal yang akhirnya mengakibatkan terjadi degradasi hutan dan lingkungan dan lahan.
Keenam, penegakan hukum dan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah sehingga makin maraknya kegiatan “ilegal” lintas batas seperti ilegal trading, trafiking, ilegal mining, ilegal loging
Ketujuh, Karateristik masyarakat yang sudah terlalu lama “termakan janji dan harapan” Pemerintah dan tuntutan percepatan pembangunan kawsan perbatasan, sedangkan mekanisme pengelolaan masih belum optimal dan terkesan sentralistik.


C. Permasalahan Kawasan Perbatasan Dalam Perspektif Hukum
    Kawasan perbatasan didalam UU No 32 Tahun 2004 dimaknai sebagai kawasan khusus,  Pasal  1 angka 19 menyatakan : Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.? Passwordnya : Kawasan Perbatasan adalah kawasan khusus.
Apa yang dimaksud kawasan Perbatasan ? Pada pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan : “Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.  Passwordnya:  Kawasan Perbatasan berada di kecamatan
 UU No 32 Tahun 2004 lebih lanjut BAB II PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS Bagian Kedua Kawasan Khusus,  Pasal 19 ayat : (1)  Untuk menyelengarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. (2)  Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undang-undang. (3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan. (5) Daerah  dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah.  (6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
         Jika kawasan perbatasan  darat  ada di wilayah Kecamatan, maka desa-desa yang berada pada kawasan perbatasan menjadi stressing kebijakan pembangunan pengelolaan kawasan perbatasan.
Jika kita menggunakan UU No 32 Tahun 2004 BAB XI
  DESA Bagian Pertama Umum Pasal 206 Urusan pemerintahan yang menjadi  kewenangan desa mencakup:
 a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;  b. urusan pemerintahan yang    menjadi   kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;  c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;  d urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.
  Berdasarkan Pasal 206 UU No 32 Tahun 2004, maka desa hanya mendapat kewenangan yang bersifat delegasi dari Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi dalam bentuk tugas pembantuan, hal ini berarti “prinsip Top Down Planing” atau menunggu kebijakan dari pemerintahan Provinsi atau Kabupaten hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan kawasan perbatasan bagi desa-desa yang berada di wilayah perbatasan darat  dengan mengacu pada UU no 43 Tahun 2008 yang menyatakan:  “dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan (Pasal 1 angka 6).
  Bagaimana Pemerintah menjalankan tugas pembantuan tersebut di wilayah desa, apabila mengacu UU no 32 tahun 2004 pada Pasal 207 menyatakan: “Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
 Hanya bagaimana jika desa –desa yang dijadikan kebijakan pembangunan kawasan perbatasan” dan  berdasarkan  Pasal 214 (1) Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat.(2)Kerja sama antar desa dan desa dengan pihak ketiga,
 Pasal 215 ayat  (1)Pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.  (2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perda, dengan memperhatikan: a. kepentingan masyarakat desa; b. kewenangan desa;c. kelancaran pelaksanaan investasi; d. kelestarian lingkungan hidup;  d. keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.
Pertanyaaan apakah desa berhak terhadap pengelolaan keuangan daerah dari provinsi atau pemerintah Kabupaten, pada Pasal 212 UU No 32 Tahun 2004 ayat (3) menyatakan : Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pendapatan asli desa; b. bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota; d. bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
UU No 43 Tahun 2008 BAB V KEWENANGAN pada Pasal 9 meyatakan Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Kewenangan dimaksud dinyatakan secara tegas pada Pasal 10 (1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang antara lain : a. menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah  Negara dan Kawasan Perbatasan; b. mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; dan j. menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan. (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan. (3) Dalam rangka menjalankan kewenangannya, Pemerintah dapat menugasi pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangannya dalam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan:  ayat  (1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Provinsi berwenang: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan; b. melakukan koordinasi pembangunan di Kawasan Perbatasan; c. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga; dan d. melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan Kawasan Perbatasan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota. ayat  (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.
Pasal 12 ayat (1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan; b. menjaga dan memelihara tanda batas; c. melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan di Kawasan Perbatasan di wilayahnya; dan d. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga. (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.
Secara kelembagaan Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk membentuk institusi yang menangani kawasan perbatasan,  diatur pada  Pasal 13 UU no 43 Tahun 2008:  Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI KELEMBAGAAN Pasal 14 ayat (1) Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah. ayat (2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden atau kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. ayat (3) Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah dan pemerintah daerah yang terkait dengan perbatasan Wilayah Negara.
Pasal 15 ayat (1) Badan Pengelola bertugas: a. menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan; b. menetapkan rencana kebutuhan anggaran; c. mengoordinasikan pelaksanaan; dan d. melaksanakan evaluasi dan pengawasan. ayat (2) Pelaksana teknis pembangunan dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pasal 16 Hubungan kerja antara Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah merupakan hubungan koordinatif. Pasal 17 Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dibantu oleh sekretariat tetap yang berkedudukan di kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemerintahan dalam negeri. Pasal 18 ayat (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola dan sekretariat tetap di tingkat pusat diatur dengan Peraturan Presiden. ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelolaan Perbatasan.
Berdasarkan konstruksi legal formal di atas, maka secara struktural, ”payung hukum” kawasan Perbatasan memiliki dasar hukum yang kuat baik di UU No 32 Tahun 2004 maupun pada UU No 43 Tahun 2008, hanya secara yuridis formal tetap terbentur dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu:  penentuan kawasan Perbatasan, sebagai  kawasan khusus harus ditetapkan dengan UU, dan UU No 43 Tahun 2008 bisa menjadi dasar hukum pada masa transisi, hanya masalah tetap menunggu Peraturan Pemerintah yang memberikan acuan pelaksanaan kedua UU tersebut khususnya berkaitan dengan Kawasan Perbatasan sebagai Kawasan Khusus, walaupun pada sisi lain Pemerintah daerah bisa mengusulkan Kawasan Perbatasan menjadi kawasan khusus, tetapi hal itu mekanisme tetap diatur dengan Peraturan Pemerintah, yang bisa dilakukan saat ini adalah membentuk  adalah membentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola di tingkat daerah diatur dengan peraturan daerah, hal inipun harus ada yang menstressing percepatan perancangan Perda dan harus juga diperhatikan harus mengacu kepada Peraturan Presiden yang mengatur Badan Pengelola  Nasional terhadap kawasan perbatasan pengelola di tingkat daerah diatur dengan peraturan daerah.
Jika menunggu adanya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan PERDA jelas prosesnya terlalu lama dan membutuhkan birokrasi panjang, maka solusi kebijakan mempercepat pembangunan kawasan perbatasan adalah pemerintah pusat memberikan melalui  berbagaikan kebijakan dalam bentuk special treatment (kebijakan khusus perbidang pembangunan di kawasan perbatasan) dan kebijakan khsusus ini akan memberikan multiplayer efek pada bidang pertahanan dan keamanan serta  dapat mengakomodasi harapan masyarakat perbatasan saat ini, untuk melakukan kebijakan yang bersifat spcial treatmen, maka perlu juga diperhatikan masalah dari aspek lain di kawasan perbatasan, yaitu:    
1.Aspek Ideologi.
             Kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan  dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Pada saat ini penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa tidak disosialisasikan dengan gencar seperti dulu lagi, karena tidak seiramanya antara kata dan perbuatan dari penyelenggara negara. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa, kondisi sangat memprihatinkan masyarakat perbatasan Kal-Bar lebih mudah mengakses media negara tetangga, satu-satu radio swasta yang baru berdiri di kawasana perbatasan adalah Radio Arinanda Two di Sajingan.
2.Aspek Politik.
          Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang ke-rawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di negara tetangga seperti Malaysia (Serawak & Sabah) dan Philipina Selatan akan turut mempengaruhi situasi keamanan daerah perbatasan.
3.Aspek Ekonomi.
         Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang) disebabkan antara lain :
1)  Lokasinya yang   relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.
2)  Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.
3)  Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan
    (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal).
4) Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat di daerah perbatasan (blank spot).
5) Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris.
 4. Aspek Sosial Budaya.
Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan negara tetangga.

 5.Aspek Pertahanan dan Keamanan.
          Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak langsung. Daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok GPK, penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam penanganannya.

D. Permasalahan Kawasan Perbatasan DalamTatara  Hubungan Pusat dan Daerah
1. Masalah Koordinasi antar Instansi
Penanganan perbatasan selama ini memang belum dapat dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal.
Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat sekitar daerah perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian dimana penanganan masalah daerah batas negara menjadi domain pemerintah pusat saja, pemerintah daerahpun menyampaikan keluhannya, karena merasa tidak pernah diajak serta masyarakatnya tidak mendapat perhatian. Merekapun bertanya siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan ? Siapa yang harus menyediakan, memelihara infrastruktur di daerah perbatasan, terutama daerah yang sulit dijangkau, sementara mereka tidak tahu dimana batas-batas fisik negaranya ?
Kenyataan di lapangan ditemukan banyak kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut.
Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur yang secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkan daya saing, kompabilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di negara tetangga.
2. Masalah Reorientasi Kebijakan
Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi kesejahteraan/pembangunan (prosperity/development approach). Dengan adanya reorientasi ini diharapkan penanganan pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut :
a)   Pendekatan keamanan yang diterapkan Mabes TNI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan.
b)   Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan (interface) dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama ekonomi regional seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integrative dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo.
c)  Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbatasan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.

3. Masalah Pemeliharaan Patok Batas Yang Rusak
        Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan wilayah Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni 2001). Pertanyaannya siapa yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembangunan patok batas dilihat dari administrasi keuangan negara dan daerah.

4.Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam
         Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal lodging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3, kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001).

5. Masalah Kepastian Hukum Kawasan Hutan di Perbatasan
          Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No. 3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah perbatasan dan pengelolaan hutan dengan sistem tebang pilih . Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.
    Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.

6. Masalah Keamanan Perbatasan
    Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana terjadi banyak pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di bidang hankam dan politis ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas legal yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya di Kalimantan Barat dengan Serawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16 pos lintas batas yang ada.

7.   Masalah Kemiskinan Masyarakat Perbatasan
    Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia berlatar belakang untuk memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat tingkat perekonomian Malaysia lebih berkembang.
Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara pemicu orientasi perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.
Tidak tercipta keterkaitan antar kluster social ekonomi baik kluster penduduk setempat maupun kluster binaan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, baik keterkaitan ke dalam maupun dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.

8. Masalah Gangguan Hubungan Bilateral dari Berbagai Kasus yang Mencuat
          Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek ke-amanan dan politis, maupun pelanggaran dan eksploitasi sumber daya alam yang lintas batas negara, baik sumber daya alam darat maupun laut.
          Berdasarkan isu strategis dalam pengelolaan daerah perbatasan negara selama ini, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang menonjol di daerah perbatasan yang sering mencuat kepermukaan, yaitu sebagai berikut :
a)    Belum adanya kepastian secara lengkap garis batas laut maupun darat.
b)  Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih tertinggal, baik sumber daya manusia, ekonomi maupun komunitasnya.
c) Beberapa pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan kayu/illegal lodging, tenaga kerja dan lain-lain.
d)   Pengelolahan perbatasan belum optimal, meliputi kelembagaan, kewenangan maupun program.
e)    Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, terutama hasil hutan dan kekayaan laut.
f)  Munculnya pos-pos lintas batas secara ilegal yang memperbesar terjadinya out migration, “economic asset” secara ilegal.
g)  Mental dan professional aparat (stake holders di pusat dan daerah serta aparat keamanan di pos perbatasan).

9. Masalah Keterpaduan Tata Ruang Kawasan Perbatasan
 Mengacu pada Tata Ruang Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara (Pasal 1 PP RTRWN). PKSN ditetapkan dengan kriteria (Pasal 15 PP RTRWN) : a. pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; b. pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga;c. pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/ataud. pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.
           Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara (penjelasan pasal 13 ayat 1 PP RTRWN)
            Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan (Pasal 9), dengan membentuk Badan Pengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah
• Keanggotaan berasal dari unsur pemerintah dan Pemerintah Daerah yang terkait dengan perbatasan wilayah negara (Pasal 14),
• Hubungan keduanya bersifat koordinatif (Pasal 16).
• Tugas Badan Pengelola (Pasal 16) :
– Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan
– Menetapkan rencana kebutuhan anggaran
– Mengkoordinasikan pelaksanaan
– Melaksanakan evaluasi dan pengawasan
• Pada pelaksanaan teknis pembangunan dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tupoksinya (Pasal 16)
• Badan Pengelola di tingkat pusat dibantu oleh suatu sekretariat tetap (Pasal 17)
             Berdasarkan pemetaan keterpaduan tata ruang diatas maka perlunya peran koordinatif antar sektor:
Pertama, Merupakan lembaga yang memainstream/ mengarusutamakan  Sector- sektor terhadap :
    a. pengembangan wilayah perbatasan : (i) pembukaan akses jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan desa; (ii) penyediaan akses pasar, (iii) akses energi, telekomunikasi, air bersih.
     b.  membangun pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan
     c.  penyediaan  pelayanan   dasar bagi masyarakat perbatasan di perbatasan (PKSN, KPE
Kedua, Mengkoordinasikan pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi
Peran Eksekusi Program/Kegiatan yang dilakukan:
a.      Program yang dieksekusi sendiri bukan program yang sudah menjadi kewenangan Departemen/ Lembaga/ Dinas;
b.      Membangun Database (statistik, spasial) dengan penginventarisan data primer maupun sekunder;
c.       Menyusun rencana induk dan rencana aksi pembangunan perbatasan secara keseluruhan sebagai instrument mengkoordinasikan sektor, dunia usaha, dan masyarakat;
d.      Melakukan perundingan dan kerjasama dengan negara tetangga (misal : Sosek Malindo, dll);
e.       Mengkoordinasikan penetapan garis batas (melibatkan Bakosurtanal, BPN, Dephan, Deplu, Depdagri);
f.       Pengadaan dan Pemeliharaan tanda batas negara pada segmen yang sudah disepakati;
g.      Penilaian dan penentuan pembangunan Pos Lintas Batas (kapan dan dimana dibangunan PLB Internasional dan PLB tradisional)
Dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang bahwa kawasan perbatasan merupakan salah satu kawasan tertentu, yaitu kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruang diprioritaskan.

10. Masalah belum ditentukannya Nomenklatur Sebagai Kawasan Khusus
Fungsi kawasan yang terwujud kawasan tertentu/kawasan khusus meliputi tempat pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan kriteria sebagai berikut :
a.          kegiatan dalam suatu bidang tertentu mempunyai dampak terhadap kegiatan berbagai bidang lainnya;
b.         kegiatan bidang yang bersangkutan secara umum mempunyai pengaruh yang besar terhadap upayapengembangan tata ruang di wilayah sekitarnya dan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wilayah perbatasan menurut buku utama rencana induk pengelolaan perbatasan negara disebutkan, bahwa wilayah perbatasan merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan batasbatas wilayahnya ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Wilayah perbatasan di Indonesia secara umum dicirikan antara lain oleh :
a.          letak geografisnya berbatasan langsung dengan negara lain, bias propinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan yang memiliki bagian wilayahnya langsung bersinggungan dengan garis batas negara.
b.         kawasan perbatasan umumnya masih relatif terpencil, miskin, kurangnya sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi serta (3) kondisi pertumbuhan ekonomi wilayahnya relatif terlambat dibandingkan dengan wilayah lain di negara lain.
            Yang perlu diterobos secara hukum adalah:
a.          Meningkatkan sosialisasi pengembangan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang negara, khususnya bagi instansi pelaksana program pengembangan kawasan perbatasan;
b.         Meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya pengembangan kawasan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional, terutama bagi biro perencanaan masingmasing sektor pelaksana program pengambangan kawasan perbatasan;
c.          Meningkatkan sosialisasi rencana induk (grand strategy) pengembangan kawasan perbatasan, terutama bagi biro perencanaan masingmasing sektor pelaksana program pengambangan kawasan perbatasan;
d.         Meningkatkan  sosialisasi dan   koordinasi    terhadap   instansi pelaksana program pengembangan kawasan perbatasan, baik dari aspek perencanaannya maupun aspek pelaksanaannya;
e.          Membentuk bank pusat data/ informasi secara lengkap mengenai perkembangan kondisi kawasan perbatasan dalam satu lembaga/ instansi tertentu;
f.           Mempercepat terbentuknya kelembagaan penanganan kawasan perbatasan;
g.         Mempercepat terselesaikannya persoalan demarkasi/ deliminasi garis batas, terutama di matra laut melalaui peningkatan diplomasi yang lebih progresif;
h.         Dan untuk memperkuat pelaksanaan program pengembangan kawasan perbatasan  sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional secara komprehensif
              Berdasarkan hal tersebut maka sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 19 sebagaimana dipaparkan sebelumnya maka perlu ditentukan oleh pemerintah kawasan perbatasan ditetapkan sebagai kawasan khusus tertentu, saat ini terkesan masih “kawasan abu-abu”  apakah sebagai kawasan khusus perdagangan, kawasan industri, walaupun pemerintah Kabupaten telah memberikan terobosan kebijakan tetapi penetapakan kawasan khusus harus dengan peraturan pemerintah dan regulasinya sering terlambat, oleh karena sering ditempuh special treatment.

11.  Masalah Sentralistik Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan
a.  Tingkat Nasional
            Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan diprioritaskan pembangunannya secara nasional.
            Sebagai tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam.
            Pada tahun 1997 diterbitkan PP No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) di Kalbar dan salah satunya kawasan perbatasan Kalbar.
          Tahun 1996 terbit Keppres No. 89 menetapkan KAPET secara nasional, yang untuk Kalbar adalah kabupaten Sanggau. Keppres ini diperbaharui tahun 1998 dengan nomor 9, dimana KAPET Sanggau di Kalbar diperluas meliputi juga Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang sebagai hasil pemekaran kabupaten Sambas) dan satu kecamatan Kabupaten Pontianak (Menyuke).
            Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan nasional, yang menyangkut security belt / kawasan sabuk pengaman (Dephankam, 1986) melalui pemahaman lini 1 (9 kecamatan yang berbatasan langsung), dan lini 2 (tidak berbatasan langsung – tetapi mempunyai akses yang tinggi). Selain itu pemberian HPH kepada Jamaker (1967), dan diperpanjang tahun 1989 (SK Menhut No. 1355/Menhut-VI/89).
             Baik dalam UU 24/1992 maupun Keppres 44/1994 – secara implisit tersirat harapan upaya pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dalam suatu konsep pembangunan yang jelas dan bersifat komprehensif serta integratif. Sayangnya, Keppres 44 di atas yang telah mengatur secara teknis upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan apa-apa.
              Bahkan Keppres tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak Jamaker sebagai penegasan terhadap kewenangannya mengatur pembangunan di daerah perbatasan. Ini didasarkan pada surat Pangdam VI Tanjungpura No. B/575/VIII/1997, yang antara lain mengatakan bahwa untuk pembangunan areal selebar 20 Km sebagai pelaksana Keppres 44 / 1994 diserahkan  kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya, dan PT. Jamaker Kaltim.
              Penetapan PT. Jamaker sebagai pelaksana pembangunan di kawasan perbatasan, awalnya mungkin sangat tepat (kondisi kawasan yang rawan konflik, pengamanan sumber daya hutan, pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dst) – dengan penekanan pendekatan keamanan. Namun ironinya setelah 30 tahun mengelola kawasan tersebut, potensi virgin forest tinggal 10%, sedang kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak terangkat. Padahal dalam salah satu klausul MoU antara Jamaker dengan pemerintah (Dephut), ada kewajiban Jamaker untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan kawasannya,dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, termasuk pembangunan prasarana-prasarana dasar yang diperlukan.
             Memasuki era globalisasi yang semakin deras melanda seluruh belahan dunia termasuk Indonesia dengan isu sentral demokrasi dan keadilan, pendekatan keamanan dalam arti militer semakin berkurang perannya diganti dengan pendekatan prosperity. Demikian halnya dalam mengantisipasi pembangunan di kawasan perbatasan.
              Pengalaman-pengalaman di atas, juga menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang sangat sentralistis dan sektoral – ternyata tidak banyak memberi manfaat bagi perkembangan suatu wilayah, dan kiranya harus segera ditinggalkan. Pemberdayaan pemerintah daerah (apalagi dengan terbitnya UU tentang pemda yang baru) dan masyarakat harus dikedepankan (pendekatan kewilayahan).
           Dalam konteks lebih luas benturan kepentingan dalam pengelolaan kawasan perbatasan kiranya masih akan terus berlanjut seandainya tidak dipertegas dalam suatu aturan main yang jelas tentang peran masing-masing lembaga dalam mengelola kawasan dimaksud, misalnya antara Badan Pelaksana Kapet (yang kebetulan wilayahnya juga mencakup kawasan perbatasan) – dengan Perhutani, Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten) dan masyarakat setempat. Hal ini didukung dengan terbitnya Peraturan Menteri Agraria / Ketua BPN No. 5 tahun 1999, tanggal 24 Juni 1999 – tentang pedoman penyelesaian masalah ulayat adat masyarakat hukum adat.
b.Tingkat Daerah
              Perda No. 1 tahun 1995 tentang RTRWP Dati I Kalbar : penetapan kawasan perbatasan sebagai kawasan tertentu / strategis yang diprioritaskan pengembangannya – diimbangi dengan penetapan fungsi kawasan sesuai potensi / karakteristik fisik wilayah.
            Meskipun tidak atau belum ada rencana detail pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan – namun di dalam RTRWP yang sudah dipaduserasikan dengan TGHK, kawasan perbatasan sudah ditata sedemikian rupa, sehingga ada kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan hutan produksi, dan kawasan non hutan – yang juga sudah diperuntukkan pemda bagi kegiatan non kehutanan.

12. Masalah Konsep Pengembangan Kawasan Perbatasan Antar Kelembagaan
            Ketiadaan konsep pengembangan (komprehensif dan integratif).
a. Kelembagaan dalam pengelolaan (tumpang tindih) :
-    Departemen Hankam : keamanan dan stabilitas dalam dan luar negeri menggunakan PT. Yamaker – tetapi dengan dicabutnya konsesi HPH PT. Yamaker dan pengembangan pendekatan prosperity – kedudukan Dephankam hanya sebagai penunjang (?).
-    Departemen Kehutanan : sebagian besar kawasan hutan (eks Jamaker) rencana mau diserahkan kepada Perum Perhutani (?).
-     BP Kapet : merupakan bagian wilayah Kapet.
-    Pemda propinsi telah mengalokasi beberapa kegiatan perkebunan pada kawasan non hutan.
-    Pemda kabupaten : semangat otonomi (UU Pemda).
-    Forum Sosek Malindo (kerjasama sosial ekonomi Malaysia – Indonesia), yang diantaranya mengatur secara bersama rencana pembangunan di kawasan dimaksud.
            Disintegrasi wilayah ekonomi :
-     Kecenderungan orientasi kegiatan ekonomi ke Sarawak (termasuk menanam komoditas perkebunan untuk kebutuhan industri Sarawak).
-    Kecenderungan masyarakat perbatasan Kalbar mendapatkan fasilitas pelayanan sosial (juga ekonomi) di Sarawak, karena lebih akses.
-    Secara keseluruhan kawasan perbatasan Kal- Bar menjadi hinterland wilayah Sarawak.
b.Degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan :
-    Pencurian kayu dan hasil hutan lainnya.
-    Indikasi intrusi penambangan batu bara di Senaning (kabupaten Sintang) oleh mitra perusahaan Malaysia dan Korea.
-     Eksploitasi kawasan lindung (TN Gunung Niut dsk).
Dapat menjadi ancaman kawasan bawahannya (air baku, banjir,longsor, dll).
c. Keterbatasan fasilitas :
-     Letak strategis tetapi kurang didukung fasilitas sosial ekonomi.
-     Di Sarawak terdapat sistem jaringan jalan horizontal perbatasan
–  sedang di Kalbar berupa jaringan jalan vertikal (Jagoi Babang,  Entekong, dan Nanga Badau).
d.Peran masyarakat yang terpinggirkan selama ini (proses dehumanisasi).
e.Wilayah perbatasan Kalbar – Sarawak memiliki potensi sumber daya alam dan letak strategis yang sangat menguntungkan.
           Ketiadaan konsep dan lembaga pengelolaan (yang tumpang tindih) menjadikan upaya pembangunan di daerah ini menjadi sangat tidak efisien. Pendekatan sektoral yang sangat eksploitatif dan sangat kurang / miskin mempertimbangkan kepentingan daerah – menyebabkan kawasan ini mengalami proses degradasi (penurunan) kualitas dan kuantitas sumber daya alam serta lingkungan, maupun sumber daya manusianya.
             “Potret” kawasan perbatasan saat ini adalah, kesejahteraan penduduk rendah, kegiatan ekonomi tradisional, dampak positip terhadap pembangunan daerah yang lebih luas (misalnya dalam memberi kontribusi) dapat dikatakan tidak ada, sedang dilain sisi kualitas dan kuantitas sumber daya alam, lingkungan, dan sumber daya manusia mengalami penurunan.
              Solusi dari permasalahan ini, adalah perlunya disusun segera rancangbangun pembangunan kawasan perbatasan dengan pendekatan komprehensif, integratif, dan partisipatif yang mengedepankan asas keadilan, demokrasi, dan kelestarian  berdasarkan rencana tata ruang yang disusun dengan pendekatan kombinasi regional dan sektoral – yang disusun dari tingkat paling rendah (desa). Akumulasi dari perencanaan yang disusun dari bawah akan menjadi rancangbangun yang diharapkan akan menghasilkan dan menjadi rencana kerja (framework) yang jelas, mulai dari apa yang akan dibangun, kapan dibangun, siapa yang melaksanakan, sampai dengan sumber dananya. Berkaitan dengan pertanyaan siapa, maka beberapa hal berikut harus diklarifikasi, yaitu :
-    Siapa memiliki akses terhadap sumber daya alam dan jenis aturan apa yang berlaku.
-    Siapa yang memegang hak-hak atas SDA – dan apa artinya bagi orang lain yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya.
-    Siapa yang berperan dalam pemanfaatan SDA tersebut.
-    Siapa yang menjadi pengelola SDA.
-     dst.

13..Masalah Tapal  Batas Antar Negara Yang Masih Status Quo/Bermasalah.
Melihat masalah yang mencuat saat ini, maka pertanyaannya adalah selesaikah kasus Dusun Camar Bulan dan Tanjung Datok  hanya dengan ”demo” dan ”beradu pendapat di DPR jika masyarakat perbatasan diabaikan kebutuhan dasarnya,  mari belajar dari sedikit historis kawasan perbatasan secara yuridis normatif, bahwa di dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan diprioritaskan pembangunannya secara nasional. Sebagai tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam.
Pada tahun 1997 diterbitkan PP No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) di Kalbar dan salah satunya kawasan perbatasan Kalbar. Tahun 1996 terbit Keppres No. 89 menetapkan KAPET secara nasional, yang untuk Kalbar adalah kabupaten Sanggau. Keppres ini diperbaharui tahun 1998 dengan Nomor 9, dimana KAPET Sanggau di Kalbar diperluas meliputi juga Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang sebagai hasil pemekaran kabupaten Sambas) dan satu kecamatan Kabupaten Pontianak (Menyuke). Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan nasional, yang menyangkut security belt / kawasan sabuk pengaman (Dephankam, 1986) melalui pemahaman lini 1 (9 kecamatan yang berbatasan langsung), dan lini 2 (tidak berbatasan langsung – tetapi mempunyai akses yang tinggi). 
Baik dalam UU 24/1992 maupun Keppres 44/1994 – secara implisit tersirat harapan upaya pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dalam suatu konsep pembangunan yang jelas dan bersifat komprehensif serta integratif. Sayangnya, Keppres 44 di atas yang telah mengatur secara teknis upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan apa-apa, Bahkan Keppres tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak Jamaker sebagai penegasan terhadap kewenangannya mengatur pembangunan di daerah perbatasan. Ini didasarkan pada surat Pangdam VI Tanjungpura No. B/575/VIII/1997, yang antara lain mengatakan bahwa untuk pembangunan areal selebar 20 Km sebagai pelaksana Keppres 44 / 1994 diserahkan  kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya, dan PT. Jamaker Kaltim.
 Penetapan PT. Jamaker sebagai pelaksana pembangunan di kawasan perbatasan, awalnya mungkin sangat tepat (kondisi kawasan yang rawan konflik, pengamanan sumber daya hutan, pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dst) – dengan penekanan pendekatan keamanan. Namun ironinya setelah 30 tahun mengelola kawasan tersebut, potensi virgin forest tinggal 10%, sedang kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak terangkat. Padahal dalam salah satu klausul MoU antara Jamaker dengan pemerintah (Dephut), ada kewajiban Jamaker untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan kawasannya,dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, termasuk pembangunan prasarana-prasarana dasar yang diperlukan.
Kemudian  jika mengacu di dalam UU No 32 Tahun 2004  Pasal  1 angka 19 menyatakan: Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.?berdasarkan UU No 32 Tahun  2004, maka kawasan Perbatasan adalah kawasan khusus yang lebih lanjut harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan sampai saat ini Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU No 32 Tahun 2004 belum terbit, sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 ayat : (1)  Untuk menyelengarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. (2)  Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undang-undang. (3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.(5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah.  (6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan pemetaan peraturan perundang-undangan di atas memberikan pemahaman, bahwa kawasan perbatasan adalah sangat penting bagi kepentingan nasional dan daerah, tetapi apa sebenarnya yang dimaksud kawasan Perbatasan ? Pada pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan : “Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
Berdasarkan definisi Pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 bahwa batas wilayah negara di darat, adalah berada di Kecamatan, jika kita kaitan dengan kasus Dusun Camar Bulan yang menjadi permasalahan saat ini, maka Dusun Camar Bulan adalah termasuk wilayah Kecamatan Paloh yang berada di Tangjung Datuk.
Saat ini yang menjadi problem dan mencuat kepermukaan berkaitan dengan Kasus Tapal Batas Perbatasan antar negara  di Kal-Bar adalah:
a.Masalah Tanjung Datok  Kab Sambas
          Masalah tapal batas di Tanjung Datok yang sebenarnya sampai saat ini masih merupakan salah satu diantara yang dikategorikan Out Standing Boundery Problem (OPB) yang masih dalam perundingan RI-Malaysia, tetapi pihak Malaysia menganggap sudah selesai dan dari pemetaan masalah tapal batas sebenarnya ada lima yang dikatagorikan OPB yakni Batu Aum, Sungai Buan, Gunung Raya, D 400 dan Tanjung Datuk dan kelima hal tersebut ada disektor Barat, berkaitan dengan Tanjung Datuk, bahwa patut diketahui, bahwa penduduk yang berada di OPB Tanjung Datuk tersebut adalah penduduk Desa Temajuk sebanyak 493 KK dan luasnya lebih kurang 4.750 Km2 atau jumlah penduduknya kurang lebih 1.883 jiwa. Terdiri dari dua Dusun, yaitu Dusun Camar Bulan dan Dusun Maludin.
Persoalan OPB Tanjung Datuk sampai saat ini masih dalam proses perundingan di JIM (The Joint Indonesia- Malaysia Boundary Commite On Demaration and Survey Internaional Boundary) antara delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri Malaysia.
Persoalan timbul saat ini, bahwa Malaysia mengklaim wilayah Camar Bulan adalah wilayah Malaysia dengan mendasarkan kepada MoU pada Tahun 1975 di Kinabalu (Malaysia) dan 1978 Di Semarang (Indonesia) tentang hasil pengukuran bersama tanah tersebut, namun MoU adalah bersifat sementara atau tidak tuntas atau bisa ditinjau lagi (modus vivendi),  jika berdasarkan fakta dan juga dokumen peta, maka MoU yang sifatnya sementara tersebut tidak sesuai dengan Peta Negara Malaysia dan Federated Malay State Survey Tahun 1935, sehingga Indonesia dirugikan 1.449 Ha dan juga bertentangan dengan Pemetaan Kapal pemetaan Belanda van Doorn Tahun 1905 dan 1906 serta Peta Sambas Borneo (N 120-E1098/40 Greenwid, tetapi kemudian Malaysia buru-buru memasukan Outstanding Boundary Problems (OPB) Camar Bulan kedalam Peta Kampung Serabang, Serawak, Malaysia, ada apa dengan trik ini ?.
Di Kecamatan Paloh batas yang dianggap bermasalah oleh Indonesia mulai dari patok A. 86 hingga A 156, namun, hingga pertemuan tahun 2010, Malaysia belum mengakui wilayah tersebut masuk kategori OPB.
Jika kita mengacu hasil penelitian Tesis Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNTAN yang diteliti selama dua tahun, yaitu Tahun 2005 s/d 2007 atas nama Umar Affandi yang merupakan penelitian sejarah hukum tentang perbatasan darat di Kal-Bar, mungkin satu-satunya penelitian yang bisa dijadikan acuan, maka dapat diungkapkan beberapa masalah pokok berkaitan dengan masalah perbatasan darat di Kal-Bar sebagaimana paparan berikut ini.
Penempatan patok pilar SRTP 01 secara sepihak oleh petugas ukur Malaysia di Tanjung Datok secara yuridis memberikan konsekwensi hukum yang merugikan Indonesia, karena pergeseran pada titik kordinat 1 detik garis lintang utara (30,866 meter x 12 Nautical Mile Laut x 1.852 meter = 685.980,799 m² = 68,598 ha di Zone Laut Teritorial), serta implikasinya terhadap border line dangkalan Niger Gosong, dengan demikian langkah pemerintah RI antara lain menyampaikan nota protes kepada Malaysia.
Penyelesaian sengketa atas zone Camar Bulan, Tim JIMBC Indonesia seharusnya dapat meyakinkan pada Tim Malaysia bahwa MoU 1976 di Kucing dan MoU 1978 di Semarang masih berbentuk sebuah kesepakatan dari petugas lapangan dan belum mewakili negara fihak, sebab yang berhak menandatangani perjanjian borderline antar negara adalah kepala negara atau kepala pemerintahan, dengan kata lain MoU 1976 dan 1978 bersifat prematur dalam hukum internasional atau diklasifikasikan sebagai modus vivendi (dapat ditinjau lagi) sehingga dengan demikian negara fihak sebenarnya secara hukum masih harus melakukan identification, rafication, and maintanance.
b.Masalah Digunung Raya Kab Bengkayang
Kasus lain seperti penyelesaian atas sengketa di Gunung Raya wilayah Kabupaten Bengkayang, karena belum di MoU-kan, oleh karena itu Indonesia seyogyanya tetap berpedoman pada Convention Denhag 1928 Pasal 2 terkait dengan adanya masalah sosial pada waktu sebelumnya yang menyetujui zona Gunung Raya menjadi milik Hindia Belanda (saat itu).
c. Masalah Sei Buan Kab Bengkayang
Kemudian penyelesaian atas sengketa di zone Sei Buan wilayah Kabupaten Bengkayang, Indonesia seyogyanya mendasari secara yuridis sebagaimana ketentuan Convention the Hague 1928 Pasal 2 yang menyebutkan bahwa batas negara dari Gunung Jagoi Pokok Payung pada titik Trianggulasi, maka borderline harus mengikuti alur Sungai Buan dimana sumber mata airnya 50 meter di atas patok pilar dalam arah utara (N, W by N) atau arah barat laut, hal ini sesuai sesuai dengan penentuan garis perbatasan yang menggunakan watershead sesuai Traktat London 1824.
Penyelesaian sengketa zone Batu Aum wilayah Kab. Bengkayang, Indonesia seyogyanya berpedoman pada ketentuan hukum internasional dimana zone sengketa dibagi 2 dengan menarik garis mideline yang membelah menjadi 2. (dua).
Penyelesaian sengketa Borderline di Gunung Rasau pada Pilar Type D.400 wilayah Kab. Bengkayang, Indonesia seyogyanya berpedoman pada hasil pengukuran bersama Tim Pemetaan Indonesia-Malaysia tahun 1978 yang di dalam peta digambarkan garis berwarna merah.
d.Masalah Sei Tekan Kabupaten Sanggau
Issu Kasus Area Formed di Desa Sei Tekam Kec. Sekayam Kab. Sanggau, muncul sebagai akibat dari pemahaman dalam pembacaan peta oleh anggota Satgaspur Yonif 621/Mtg, karena wilayah ini telah disepakati batas negara pada patok pilar type D kodifikasi nomor G.439 Coordinat 6029-9922 s.d G.443 Coordinat 6085-9972 sebagaimana tertuang dalam Peta Dittopad Helai 3326-IV Noyan 1995, dengan demikian permasalahan Sei Tekam telah dapat diselesaikan oleh instansi terkait pada tahun 2007.
e.Masalah Nanga Badau Kab Kapuas Hulu
Isu Exs Kasus Area Formed di Kec. Badau Kab. Kapuas Hulu seluas 60 ha yang ditanami sawit oleh petani Malaysia, sesuai penelitian Tim Gabungan Korem 121/Abw, Satgaspur Yonif 621/Mtg, Polda Kalbar dan Biro Hukum & HAM Prov. Kalbar dan instansi terkait lainnya awal Juni 2007 termasuk diantaranya adalah penulis hasil penelitian tesis sejarah hukum perbatasan darat (Umar Affandi) selaku mahasiswa magister ilmu hukum UNTAN Pontianak, dilapangan tidak ditemukan bukti syah menurut hukum bahwa fihak Malaysia melanggar batas teritorial RI, dengan demikian Issu Kasus Area Formed  Nanga Badau harus segera dihapuskan dari agenda kita.
f. Masalah Puring Kencana Kab Kapuas Hulu
Demikian juga Eks Kasus Area Formed di Kec.  Puring kencana Kab. Kapuas Hulu seluas 230 ha, sengketa pertanian lintas batas negara berawal dari perjanjian antara Suku Dayak Iban Serawak dengan Suku Dayak Kantuk Indonesia 1930 ketika Puringkencana masih menjadi wilayah administratif Contolleur van Boven Semitau berdasarkan Gouvernement Besluit Nederlandshe Indie Number 9 (Ind. Staastblad 1895 Number 75) yang disyahkan pejabat Belanda di Den Haag 11 April 1895, kasus ini telah diselesaikan RI – Malaysia, untuk RI diwakili Bupati Kapuas Hulu Jacobus Frans Layang, Malaysia oleh Residen Sriaman Mr. Patric Engkasan tahun 1999.
Berdasarkan pemetaan permasalahan di atas, maka saat ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus diprioritaskan adalah menetapkan Undang-undang Batas Negara dan menyelesaikan peta wilayah laut dan darat (dengan memberdayakan peran Dittopad, Dishidros, Pusorta Dephan, Depdagri, Deplu RI dan Instansi terkait lainnya), dan sesegera mungkin mendepositkan data Base koordinat geografi titik-titik garis pangkal (base line and base point) ke lembaga internasional PBB, sesuai ketentuan Pasal 16 Ayat (2) UNCLOS III 1982. Adanya Undang-undang Batas Negara untuk kepastian hukum dan kejelasan pemanfaatan SDA (darat dan laut) dalam rangka kesejahteraan dan untuk keperluan TNI ketika menjaga kedaulatan NKRI.
Yang tetap harus menjadi perhatian semua fihak, jika lima titik out standing boundary problems di Kalbar belum dapat diselesaikan, tentu akan menjadi ganjalan dalam proses legalitas border line tingkat internasional pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konsekwensinya bahwa Negara fihak secara yuridis belum dapat menerbitkan undang-undang perbatasan, karena undang-undang jika sudah disyahkan oleh pejabat yang berwenang mengesahkan, maka undang-undang negara berlaku universal karena terkait dengan kepastian hukum itu sendiri.
Tim JIMBC segera melaksanakan tahapan Penegasan Batas terkait dengan Outr Standing Boundary Problems di Camar Bulan, Batu Aum, Sei Buan, Gunung Raya, patok Pilar D.400 dan terkait dengan penerapan watershed maupun penempatan pilar SRTP 01 secara sepihak oleh petugas ukur Malaysia, dengan demikian kekawatiran masyarakat dan kepastian hukum border line  segera terjawab,  adapun  salah satu tahapan proses  ratifikasi : a.Rekon (recce): pencarian garis batas negara dilapangan mengikuti ketentuan watershed di lokasi yang akan di survei dan jika tidak ditemukan watershed, ditempuh dengan pola garis lurus (straigth line). b.Rintisan (clearing)pembersihan jalur   pengukuran antara 2 (dua) tempat yang akan ditanam tugu patok pilar batas dengan cara rintisan ataupun penebangan pohon yang menghalang-halangi pekerjaan lapangan. c. Tanam tugu/ patok pilar batas (Boundary Makers Planted):  penanaman tugu/ patok pilar batas negara sesuai tempat yang ditentukan bersama. d.Pengukuran situasi (tacheometric):yaitu kegiatan pengukuran untuk mendapatkan data ukur situasi watersheed dengan mengukur arah dan jarak dari patok batas ke arah depan (intersections) dan belakang (resections), juga arah samping kanan dan kiri maksimal sejauh 50 meter. e. Pengukuran poligon (demarcation):  pengukuran untuk mendapatkan data arah dan jarak antara 2 (dua) tugu patok batas dengan alat elektronik GPS untuk mendapatkan koordinat dan tinggi tugu patok batas negara yang diukur dalam hitungan meter di atas permukaan air laut.
Setelah lima tahapan dapat diselesaikan oleh Tim JIMB yang perlu segera dilaksanakan oleh Indonesia adalah sosialisasi ”tapal batas”, hal ini menjadi penting jika sebuah kepentingan sudah sangat mendesak apalagi negara tetangga lebih dahulu siap dengan program strategis daerah perbatasan, salah satu kelemahan pembangunan daerah perbatasan adalah sosialisasi program yang berhadapan dengan kepentingan masyarakat perbatasan, oleh karena itu sosialisasi hukum boundary line menjadi sangat penting dilakukan.
Hal-hal yang sering muncul dalam wacana di pemerintahan dan masyarakat bahkan ketika era otonomi daerah ternyata masalahnya bukan persoalan “patok bergeser” tetapi menyangkut kemanfaatan yang terselesaikan secara hukum internasional, disinilah pemahaman tapal batas negara secara hukum menjadi penting untuk disosialisasikan kepada semua fihak termasuk masyarakat perbatasan dan seluruh komponen bangsa, sebab hukum borderline secara materiil (fisik) berwujud patok pilar batas suatu negara yang dijustivy kedalam international rechstaats  dan terikat pula oleh 2 public rechtaats sebagai perbandingan 2 system hukum public negara fihak. Dengan demikian negara fihak terikat sebagai obyek materiil hukum internasional dan salah satu fihak tidak boleh mengundurkan diri dari out standing boundary problems.

g.Rekomendasi Penyelesaian Tapal Batas Antar Negara di Kal-Bar
Kemudian rekomendasi penyelesaiannya adalah, bahwa terkait degan persoalan hukum yang tidak di otonomkan, disarankan pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang border line sambil menunggu proses hukum internasional yang saat ini masih dalam tahap rangkaian proses ratifikasi, khususnya di 5 (lima) titik out standing boundary problems.
1.      Penyelesaian Tanjung Datok
Terkait dengan penempatan patok pilar SRTP 01 oleh petugas ukur Malaysia di Tanjung Dato dan akibat hukum merugikan Indonesia 1 detik garis lintang utara (30,866 meter x 12 nautical mile laut x 1.852 meter), serta implikasinya terhadap border line kawasan dangkalan Niger Gosong, dipandang perlu pemerintah Republik Indonesia segera melakukan nota protes kepada pemerintah kerajaan Malaysia.
2.      Penyelesaian Dusun Camar Bulan
Kasus Zone Camar Bulan seluas 1.499 hectoare, solusi penyelesaian menurut penulis dengan pola garis lurus (straigth line) mulai dari patok type A.89 s.d A.156 dengan alasan karena RI telah menguasai secara efektif (Efective Ocupation) sejak 11 Februari 1982 dengan kegiatan pencetakan lahan sawah baru dilokasi tersebut melalui program AMD Manunggal Sosial Sejahtera VII dibawah pimpinan Dansatgas Letkol Czi Suparyatmo Yonzipur 9/ Kostrad sebanyak 200 prajurit, upacara pelepasan oleh Kasad Jenderal TNI Poniman di Darmaga Tanjungpriok Jakarta. Adapun sasaran AMD yang dilaksanakan saat itu adalah: pembuatan jalan rintisan Liku-Sei Bening 36 km dan 74 jembatan, 20 unit Rumah pemukiman baru di Temajok Tanjung Dato, Surau, Gereja, Gedung SD, Puskesmas, penutupan AMD oleh Pangdam XII/Tpr Brijen TNI I.B Sujana.
3.      Perlunya Pendelegasian Kewenangan ke Daerah
Perlu diberikan kewenangan khusus kepada Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Kal-Bar yang berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan RI  yang menunjuk perwakilannya yang berkedudukan di kota Pontianak dan secara khusus membidangi serta mengurus persoalan borderline, dan sebenarnya subtansi persoalannya adalah kurang perhatian pemerintah pusat terhadap kesejahetaraan masyarakat di Perbatasan dan seringnya perencanaan yang sudah direncanakan matang oleh birokrasi didaerah yang sebenarnya sangat paham persoalan kawasan perbatasan “selalu dirubah-rubah” oleh pejabat-pejabat di pemerintah pusat dan kurang dikoordinasikan dengan pemerintah daerah Kab di Perbatasan dan dengan Gubernur provinsi Kalimantan Barat sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah,  inilah “ego sektoral” yang masih menjadi kendala di birokrasi pemerintahan, RI. Sedangkan pemerintah Malaysia karena negara berbentuk federal kebijakan ada diwilayahnya menjadi otonom pemerintah pederal dan sangat memperhatikan kawasan perbatasan dengan segala infra struktur, logikanya jika kawasan perbatasan darat entri pointnya adalah Kecamatan, apakah Pemerintah RI tak bisa membangun satu Kecamatan yang  di wilayahnya ada masalah perbatasan, ini jelas tidak masuk akal, bagaimana mungkin menjadi kawasan berbatasan menjadi beranda depan, jika membangun “mercusuar” ditanjung Datok sebagai titik permulaan atau membetulkan patok batas A 1 yang telah rusakpun tak bisa, oleh karena hasil-hasil penelitian perbatasan di Universitas Tanjungpura jangan hanya menjadi “arsip sampah” dan diabaikan oleh pengambil kebijakan sebenarnya sudah setumpuk penelitian dan setumpuk rekomendasi tetapi diabaikan setelah meledak baru semua “kebakaran jenggot dan “panik” sedangkan pihak Malaysia sangat konsen dengan hasil-hasil penelitian akademis dan rencana stretegis pembangunan kawasan perbatasan, akhirnya seperti kata orang Kal-Bar dalam lagu kopi pancung “ka atilah kaulah pek-pek.......!”  masihkah pemerintah pusat peduli dengan masyarakat kawasan  perbatasan di Kal-Bar yang patoknya masih bermasalah dengan Malaysia atau kita masih berdebat terhadap keseluruhan proses pembangunan di kawasan perbatasan mulai dari perencanaannya – harus dikoordinasikan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah – siapa atau lembaga apa yang paling pas bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan di atas – apakah Pemerintah Pusat (Departemen Hankam ? Departemen Kehutanan, karena di Dusun Camar Bulan masih utuh hutannya ? Bappenas ? Departemen Dalam Negeri ? dst), atau Pemerintah Daerah, atau swasta ? BUMN – misalnya Perum Perhutani ? – atau ada alternatif lain ? Atau diperlukan pembagian kewenangan yang jelas antara seluruh pelaku pembangunan tersebut pada tingkat pemerintah pusat sehingga daerah tidak dibingungkan dengan berbagai program kawasan perbatasan yang sebenarnya bisa dipadukan antar sektor. Tetapi yang jelas itu semua seperti ”benang kusut”, yang bahkan untuk mencari ujungnya saja sulit – apalagi mencoba menguraikannya, karena begitu banyak konflik kepentingan–atau sebaliknya keengganan mengurus/ bertanggung jawab. However, everything is change but change……

DAFTAR PUSTAKA
    Bendavid-Val, Avron, 1983, “Regional and Local Economic Analysis for Practitions”, Preager Publisher, New York.
   Dunn, William N, 1981, “An Introduction: Public Policy Analysis”, Prentice Hall, Inc, En
   Depkimpraswil,2002, Strategi dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara. Jakarta.glewood Cliffs.
  Mahbub ul Haq, 1995, Tirai Kemiskinan : Tantangan untuk Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia.
Mubyarto, 1991, “Perekonomian Rakyat Kalimantan­”, Aitya Media, Yogyakarta.
            Mickael Andjioe, 2001, Pengelolaan PPLB Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat, http: //www. perbatasan. Com
            Moeljarto T., MPA, 1993, Politik Pembangunan, Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya.
    Pellindou P. Jack A., Ir., MM., 2002. Peningkatan Kerjasama Perbatasan Antar Negara Guna Memperlancar Arus Perdagangan di Daerah Frontier Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional. Lemhanas. Jakarta.
    Pontianak Post, edisi 3 Juli 2002, Sehari, 200 Truk Kayu Ke Serawak via PLB Entikong, Pontiana
    Rondinelli, Dennis, 1983, “Applied Methods of Regional Planning : the Urban Functions in Rural Development Approach”, Clark Univer - sity, Worcester.
   Sadli, Moh, dan Tjiptoherijanto, Prijono, 1987, “Prespektif Daerah Pembangunan Nasional”, Lembaga Penelitian UI, Jakarta.
 Sabarno Hari, 2001, Kebijakan/Strategi Penataan Batas dan Pengembangan Wilayah Perbatasan, http: //www. perbatasan.com

Peraturan Perundang-Undangan:
 Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang  No 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara
Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan.


»»  Baca Selengkapnya...